Pagi itu, rumah megah milik keluarga Rayendra terasa sepi seperti galeri tak berpenghuni. Padahal di dalamnya baru saja terjadi sesuatu yang seharusnya meriah—sebuah pernikahan. Tapi Alinea tahu, ini bukan dongeng.
Ia berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding kamarnya. Mengenakan gaun tidur berwarna krim dengan rambut tergerai, ia tampak cantik, tapi matanya tak menyiratkan kebahagiaan. Semalaman ia menangis dalam diam. Bukan karena diperlakukan kasar—Leon bahkan tidak menyentuhnya sedikit pun. Ia hanya… tidak peduli. Alinea menghela napas, mengganti bajunya dengan kemeja putih longgar dan celana kain. Ia memutuskan turun untuk sarapan. Perutnya perih karena semalaman tak disentuh makanan. Langkah kakinya menuruni tangga pelan. Saat tiba di ruang makan yang luas dan elegan itu, tak ada siapa-siapa. Meja panjang berlapis marmer putih sudah tertata rapi, lengkap dengan peralatan makan berlapis emas dan gelas kristal. Namun semua terasa dingin. Kosong. Seperti tidak ada kehidupan. “Selamat pagi, Nyonya Rayendra,” sapa seorang pelayan wanita dengan ramah. “Silakan duduk. Sarapannya akan segera kami sajikan.” Alinea tersenyum tipis. “Terima kasih. Tuan Leon… sudah berangkat?” “Ya, Nyonya. Beliau berangkat pukul lima pagi tadi. Katanya ada rapat mendadak dengan investor asing.” Tentu saja. Bahkan sepatah kata pun tidak ia ucapkan pagi ini. Tidak juga pesan singkat. Bagi Leon, Alinea mungkin tak lebih dari seseorang yang kebetulan memakai gaun pengantin bersamanya. Ia duduk, menunggu. Tak lama, pelayan membawakan sepiring bubur ayam lengkap dengan irisan telur rebus dan kerupuk kecil di sisi piring. “Terima kasih…” katanya pelan. Tapi ketika sendok itu menyentuh bibirnya, rasanya hambar. Sangat hambar. Ia makan perlahan. Mengunyah tanpa benar-benar merasa. Pandangannya sesekali melirik ke kursi di ujung meja—kursi Leon. Kosong. Seperti hatinya sekarang. --- Lorong Dapur Setelah sarapan, Alinea memutuskan berjalan ke arah taman belakang untuk menghirup udara segar. Namun ketika melewati lorong dekat dapur, ia mendengar bisik-bisik suara dua pelayan wanita yang sedang mencuci gelas. “Beneran ya, katanya pernikahan mereka tuh cuma kontrak?” “Iya… Katanya mereka bahkan nggak saling kenal sebelumnya. Gila ya, bisa-bisanya kayak gitu.” “Cantik banget padahal istrinya. Tapi keliatannya sedih kemarin pas resepsi, ya?” “Iya… aku liat matanya merah. Kayak habis nangis. Tapi dia senyum terus.” Alinea berhenti. Jantungnya mencelos. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis. “Ya, tapi katanya Tuan Leon tuh dingin banget orangnya. Banyak yang bilang nggak akan jatuh cinta. Nikah juga demi warisan katanya…” Langkah Alinea terhenti. Jari-jarinya mengepal. Ia tidak ingin menjadi bahan gosip. Tapi lebih dari itu, ia tidak ingin menjadi istri yang hanya hidup di balik bayang-bayang. Tanpa suara, ia kembali berjalan. Menyusuri lorong panjang itu menuju taman belakang. Menghirup udara. Menenangkan diri. --- Kamar Leon Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, Alinea membuka pintu kamar Leon. Ia ingin melihat dunia seperti apa yang ditempati pria yang kini menjadi suaminya. Bukan karena rasa ingin tahu biasa. Tapi karena ada sesuatu di dadanya yang kosong, dan ia ingin tahu… mengapa. Kamar itu maskulin. Dinding gelap dengan sentuhan abu-abu, lemari kayu hitam, dan ranjang besar dengan selimut tebal warna navy. Semua tampak sempurna. Terlalu sempurna. Ia melangkah ke dalam, pelan-pelan, seolah takut mengganggu udara yang diam. Di atas meja kerja, ada foto kecil Leon waktu masih kecil, berdiri di samping seorang wanita cantik yang tersenyum hangat. Ibunya. Alinea menyentuh bingkai itu perlahan. “Kamu pernah bahagia, Leon?” bisiknya lirih. Ia menatap ruangan itu sekali lagi. Tidak ada jejak perempuan mana pun. Tidak ada parfum wanita, tidak ada sentuhan kelembutan. Leon hidup sendiri, bahkan sebelum menikah. Dan sekarang… tetap sendiri. --- Rayendra Corp Di kantor pusat Rayendra Corp, Leon berdiri di balik jendela kaca besar yang menghadap ke kota. Sekretarisnya, Luna, masuk dengan map di tangan. “Tuan Leon, semua media sudah mulai memberitakan soal pernikahan Anda.” “Biarkan saja.” “Mereka menuntut klarifikasi. Banyak yang penasaran siapa sebenarnya istri Anda.” “Bilang saja tidak ada komentar. Itu urusan pribadi.” Luna mengangguk, ragu sejenak. “Tapi... publik bisa mulai berspekulasi. Apakah tidak lebih baik memperkenalkan Nyonya Alinea secara resmi?” Leon menoleh, matanya tajam. “Aku tidak butuh opini publik. Dan aku tidak perlu menjelaskan pernikahan yang bahkan tidak kudasari atas cinta.” Luna menelan ludah. “Maaf, Tuan.” Leon kembali duduk, namun pikirannya tidak benar-benar tenang. Ia tiba-tiba teringat senyum Alinea saat mereka bersanding di altar. Senyum yang tampak kuat, padahal matanya menyimpan luka. Dan malam itu… bagaimana Alinea duduk diam di tepi ranjang sambil menunduk. Sesuatu mengganjal di dadanya. Tapi ia tak mau mengakuinya. --- Puisi yang Tertinggal Malam itu, Alinea kembali ke ruang kecil di sebelah kamar. Di situlah ia bisa bernapas lebih lega. Ia membuka laptop dan menulis, menuangkan isi hatinya yang tak bisa diucapkan pada siapa pun. > "Aku tidak diminta mencintai, hanya diminta bertahan," "Di rumah yang luas, aku menjadi asing di mata suamiku sendiri." "Dan jika suatu hari aku pergi tanpa jejak..." "Semoga langit tetap biru untuknya." Ia menatap tulisan itu lama. Air matanya jatuh, membasahi touchpad laptop. Kemudian ia simpan file itu ke folder bernama “Langit Tanpa Nama.” Keesokan paginya, Leon pulang sebentar sebelum rapat siang. Ia butuh berkas penting yang ia tinggalkan di meja kerja. Karena laptop Alinea ada di atas meja, ia mengira berkasnya terselip di sana. Ia membukanya dengan niat baik, tapi malah tanpa sengaja membuka dokumen terakhir. Matanya menyapu puisi itu. Sunyi. Tak ada siapa pun di ruangan itu. Tapi Leon berdiri diam, membacanya berulang kali. Tak menyangka… Alinea menyimpan perasaan sedalam itu. .. Malam menjelang dengan sunyi yang menggantung di langit Rayendra Mansion. Angin lembut meniup tirai-tirai putih di kamar Alinea. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sambil menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa belas kasihan. Pukul 22.45. Belum ada suara mobil. Belum ada tanda bahwa Leon akan pulang malam ini. Sejak pernikahan itu digelar, ini sudah malam ketiga ia tidur sendiri di kamar megah itu. Rasanya seperti tinggal di hotel mahal, bukan rumah tangga. Alinea membuka ponsel, jari-jarinya ragu. Ia sempat mengetik pesan: > “Apakah kamu akan pulang malam ini?” Tapi lalu dihapus. Apa gunanya menanyakan pada seseorang yang mungkin bahkan tidak ingin menjawab? Ia mengembuskan napas, lalu mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Tak lama, pintu kamarnya diketuk perlahan. Tok. Tok. Alinea menoleh cepat. Hatinya berdebar. Leon? Ia bangkit dan membuka pintu perlahan. Bukan. Seorang pelayan perempuan membawa secangkir susu hangat. “Nyonya Alinea… maaf mengganggu. Saya hanya ingin memastikan Anda tidur dengan perut terisi. Ini susu hangat, sesuai permintaan siang tadi.” Alinea tersenyum tipis. “Terima kasih, Anin.” Pelayan itu menunduk sopan, lalu pergi. Alinea menatap cangkir itu lama, lalu membawanya ke balkon kamarnya. Ia duduk di kursi rotan sambil memandangi langit malam yang bertabur bintang. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu, ia merasa lebih jujur pada dirinya sendiri. --- Di Tempat Lain: Leon dan Dunia yang Ia Pilih Di sebuah lounge hotel bintang lima, Leon duduk di sofa kulit sambil memandangi dokumen di tangannya. Tapi pikirannya berkelana. Telinganya hanya samar-samar menangkap suara dentingan gelas dan percakapan orang-orang di sekitarnya. Di hadapannya duduk seorang wanita cantik berambut cokelat muda. Mewah, stylish, dan menawan. Tapi tidak membuat jantung Leon berdebar. “Leon,” katanya pelan, “kamu yakin dengan pernikahan itu? Kamu dan aku dulu sepakat untuk tidak terikat.” Leon menatap wanita itu dengan dingin. “Ini hanya soal tanggung jawab keluarga. Tidak perlu ada perasaan.” “Lalu bagaimana kalau dia jatuh cinta padamu?” wanita itu memutar gelas anggurnya dengan senyum sinis. Leon tak menjawab. Tapi pertanyaan itu justru menghantam hatinya seperti tamparan diam-diam. Bukan karena dia peduli... tapi karena ia sadar, ia bahkan belum pernah melihat Alinea benar-benar tertawa. --- Tengah Malam Leon tiba di rumah pukul 01.15 dini hari. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah sunyi. Sepatu kulitnya nyaris tak menimbulkan suara. Ia mendongak, menatap ke arah tangga. Lampu kamar Alinea masih menyala samar. Ada dorongan aneh dalam dirinya. Entah rasa ingin tahu, atau mungkin… rasa bersalah yang perlahan muncul. Ia menaiki tangga. Pelan. Hatinya tak tenang. Sampai akhirnya ia berdiri di depan pintu kamar Alinea. Ia ragu. Tangannya terangkat, hampir mengetuk. Tapi tidak jadi. Leon berdiri di sana hampir dua menit. Kemudian ia menghela napas, berbalik, dan melangkah ke kamarnya sendiri. Ia belum siap. Atau mungkin, ia terlalu takut untuk menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri Alinea yang perlahan mulai mengusik dunia beku miliknya. --- Di Balik Pintu Dari balik pintu, Alinea bersandar dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tidur. Ia tahu Leon berdiri di sana. Ia bahkan mendengar napasnya. Tapi pintu itu tak pernah diketuk. Tidak malam ini. Mungkin tidak akan pernah. Dan Alinea akhirnya sadar… >"Aku bisa tinggal serumah dengannya. Tapi aku tak yakin bisa tinggal di hatinya."Pagi itu datang dengan sunyi yang aneh. Udara terasa berat dan tidak seperti biasanya. Alinea terbangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya lembutnya sudah merambat ke sela tirai jendela kamar. Leon masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur. Wajahnya tampak lelah, tetapi tenang. Alinea mengusap pipinya perlahan, mengingat semua yang terjadi semalam.Surat ancaman, boneka rusak di pagar, dan kalimat mengerikan yang tertulis di gulungan kertas... semuanya masih terekam jelas dalam benaknya. Ia menggenggam liontin peninggalan ibunya dan menarik napas panjang.Beberapa jam kemudian, Leon bangun. Ia langsung memeriksa ponselnya—kamera keamanan, pesan dari tim keamanannya, dan satu nama yang ia cari sejak lama: Ansel."Kita dapat petunjuk," kata Leon sambil mengenakan baju. "Ansel ternyata tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Tapi minggu lalu, dia kembali ke Indonesia, lewat jalur pribadi. Tanpa catatan resmi."
Paket yang Membawa LukaLangit sore mulai dipenuhi awan kelabu saat mobil Leon melaju cepat di jalanan menuju rumah mereka. Tangan Alinea terus menggenggam erat sabuk pengaman, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tenang. Suasana di dalam mobil hening, namun bukan keheningan biasa—ini adalah keheningan yang menegangkan, penuh tanya dan dugaan."Paket itu bisa jebakan. Mereka mungkin sudah masuk rumah kita lebih dulu," kata Leon, matanya tajam menatap jalan. "Kita tidak bisa ambil risiko."Alinea menoleh ke arahnya. "Apa mungkin... Claudia?"Leon menggeleng. "Aku belum yakin. Claudia punya dendam, ya. Tapi caranya... terlalu terorganisir. Ini seperti seseorang yang sudah lama menyusun semuanya."Tak lama, mobil mereka sampai di depan rumah. Pagar otomatis terbuka, namun Leon tidak langsung masuk. Ia turun, memeriksa sekeliling terlebih dahulu.Di depan pintu, memang ada sebuah paket besar, terbungkus rapi d
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah Rayendra, dan udara dipenuhi aroma embun yang menempel di rerumputan. Alinea mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu, sementara Leon menyalakan mesin mobil dengan ekspresi serius di wajahnya. Mereka bersiap menuju tempat yang selama ini Leon hindari: rumah masa kecilnya yang kini terbengkalai.Perjalanan menuju rumah tua itu tak banyak diisi percakapan. Alinea bisa merasakan betapa tegangnya Leon. Tangan pria itu menggenggam kemudi erat-erat, sementara matanya tertuju lurus ke depan. Alinea hanya sesekali memandangi wajahnya, mencoba membaca pikiran yang tengah berkecamuk di benak suaminya itu."Kau yakin ingin ke sana?" tanya Alinea lembut.Leon mengangguk. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya disembunyikan keluargaku. Rumah itu... menyimpan lebih banyak kenangan buruk daripada baik, tapi aku yakin ada petunjuk di sana."Setelah dua jam berkendara melewati ja
Malam kembali menyapa dengan gemerlap lampu kota yang menari di balik jendela kamar penthouse Leon. Alinea berdiri membelakangi Leon, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Sementara Leon berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikannya dalam diam."Apa kau masih memikirkan pesan itu?" suara Leon terdengar dalam, namun lembut.Alinea tidak langsung menjawab. Hanya hembusan napas yang terdengar dari bibirnya. "Tidak mudah untuk melupakannya, apalagi ketika semua ini terjadi begitu cepat."Leon mendekat, langkahnya mantap namun pelan. Ia berdiri di samping Alinea dan ikut menatap ke luar. Tangannya perlahan menyentuh tangan Alinea yang dingin."Kita akan cari tahu siapa pelakunya. Aku janji." Kata-katanya tegas, namun sarat emosi.Alinea menoleh pelan ke arah Leon. "Bagaimana kalau orang itu memang berasal dari keluargamu, Leon?" pertanyaannya membuat udara di ruangan seolah mengeras.Leon menarik napas dalam. "Kalau i
Malam itu terasa semakin pekat, bukan hanya karena langit yang mendung tanpa bintang, tapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara antara Leon dan Alinea. Setelah panggilan misterius yang diterima Leon, penjagaan di sekitar rumah diperketat. Pengawal pribadi kini berjaga di setiap sudut rumah, dan kamera tambahan dipasang di lorong dan area privat.Alinea berdiri di balkon lantai dua, mengenakan mantel panjang berwarna krem dan syal wol yang dibungkuskan Leon tadi. Meski udara dingin menusuk, pikirannya jauh lebih membekukan. Matanya menatap lampu kota dari kejauhan, namun hatinya tak tenang.Leon menghampirinya diam-diam dari belakang. Ia menyandarkan tubuh di sisi pembatas balkon, menatap wajah istrinya dengan seksama. "Kalau kau lelah dengan semua ini, aku mengerti... tapi aku minta, tetaplah di sini, bersamaku."Alinea tak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Bahkan bayangan pun terasa mencu
Pukul 22.30.Langit malam di atas rumah Rayendra begitu gelap. Awan menggulung tanpa bintang, seolah malam ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang keji. Di dalam, suasana rumah sama mencekamnya.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap tajam ke luar seperti mencoba membaca rahasia dari balik kegelapan. Alinea duduk di sofa, menggenggam lengan dengan cemas. Amplop ancaman malam sebelumnya masih ada di atas meja, dikelilingi oleh dokumen lain yang ditemukan oleh tim keamanan."Kamu yakin nggak ingin mengungsi sementara?" tanya Leon tanpa menoleh.Alinea menggeleng. "Kalau aku pergi, mereka menang. Aku nggak mau lagi lari."Leon menoleh perlahan, ada rasa kagum dan khawatir yang bertubrukan di matanya. Ia melangkah pelan, lalu duduk di sisi Alinea. “Malam ini, kita akan mulai menggali siapa yang bermain di balik semua ini. Aku butuh kamu kuat.”Alinea mengangguk.Sementara itu, di kamar