Beranda / Romansa / Kontrak Tanpa Cinta / Bab 2: Istri di Rumah, Orang Asing di Hati

Share

Bab 2: Istri di Rumah, Orang Asing di Hati

Penulis: Gywnee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-16 19:00:41

Pagi itu, rumah megah milik keluarga Rayendra terasa sepi seperti galeri tak berpenghuni. Padahal di dalamnya baru saja terjadi sesuatu yang seharusnya meriah—sebuah pernikahan. Tapi Alinea tahu, ini bukan dongeng.

Ia berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding kamarnya. Mengenakan gaun tidur berwarna krim dengan rambut tergerai, ia tampak cantik, tapi matanya tak menyiratkan kebahagiaan. Semalaman ia menangis dalam diam. Bukan karena diperlakukan kasar—Leon bahkan tidak menyentuhnya sedikit pun. Ia hanya… tidak peduli.

Alinea menghela napas, mengganti bajunya dengan kemeja putih longgar dan celana kain. Ia memutuskan turun untuk sarapan. Perutnya perih karena semalaman tak disentuh makanan.

Langkah kakinya menuruni tangga pelan. Saat tiba di ruang makan yang luas dan elegan itu, tak ada siapa-siapa. Meja panjang berlapis marmer putih sudah tertata rapi, lengkap dengan peralatan makan berlapis emas dan gelas kristal. Namun semua terasa dingin. Kosong. Seperti tidak ada kehidupan.

“Selamat pagi, Nyonya Rayendra,” sapa seorang pelayan wanita dengan ramah. “Silakan duduk. Sarapannya akan segera kami sajikan.”

Alinea tersenyum tipis. “Terima kasih. Tuan Leon… sudah berangkat?”

“Ya, Nyonya. Beliau berangkat pukul lima pagi tadi. Katanya ada rapat mendadak dengan investor asing.”

Tentu saja. Bahkan sepatah kata pun tidak ia ucapkan pagi ini. Tidak juga pesan singkat. Bagi Leon, Alinea mungkin tak lebih dari seseorang yang kebetulan memakai gaun pengantin bersamanya.

Ia duduk, menunggu. Tak lama, pelayan membawakan sepiring bubur ayam lengkap dengan irisan telur rebus dan kerupuk kecil di sisi piring.

“Terima kasih…” katanya pelan.

Tapi ketika sendok itu menyentuh bibirnya, rasanya hambar. Sangat hambar.

Ia makan perlahan. Mengunyah tanpa benar-benar merasa. Pandangannya sesekali melirik ke kursi di ujung meja—kursi Leon. Kosong. Seperti hatinya sekarang.

---

Lorong Dapur

Setelah sarapan, Alinea memutuskan berjalan ke arah taman belakang untuk menghirup udara segar. Namun ketika melewati lorong dekat dapur, ia mendengar bisik-bisik suara dua pelayan wanita yang sedang mencuci gelas.

“Beneran ya, katanya pernikahan mereka tuh cuma kontrak?”

“Iya… Katanya mereka bahkan nggak saling kenal sebelumnya. Gila ya, bisa-bisanya kayak gitu.”

“Cantik banget padahal istrinya. Tapi keliatannya sedih kemarin pas resepsi, ya?”

“Iya… aku liat matanya merah. Kayak habis nangis. Tapi dia senyum terus.”

Alinea berhenti. Jantungnya mencelos. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis.

“Ya, tapi katanya Tuan Leon tuh dingin banget orangnya. Banyak yang bilang nggak akan jatuh cinta. Nikah juga demi warisan katanya…”

Langkah Alinea terhenti. Jari-jarinya mengepal.

Ia tidak ingin menjadi bahan gosip. Tapi lebih dari itu, ia tidak ingin menjadi istri yang hanya hidup di balik bayang-bayang.

Tanpa suara, ia kembali berjalan. Menyusuri lorong panjang itu menuju taman belakang. Menghirup udara. Menenangkan diri.

---

Kamar Leon

Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, Alinea membuka pintu kamar Leon. Ia ingin melihat dunia seperti apa yang ditempati pria yang kini menjadi suaminya. Bukan karena rasa ingin tahu biasa. Tapi karena ada sesuatu di dadanya yang kosong, dan ia ingin tahu… mengapa.

Kamar itu maskulin. Dinding gelap dengan sentuhan abu-abu, lemari kayu hitam, dan ranjang besar dengan selimut tebal warna navy. Semua tampak sempurna. Terlalu sempurna.

Ia melangkah ke dalam, pelan-pelan, seolah takut mengganggu udara yang diam. Di atas meja kerja, ada foto kecil Leon waktu masih kecil, berdiri di samping seorang wanita cantik yang tersenyum hangat.

Ibunya.

Alinea menyentuh bingkai itu perlahan. “Kamu pernah bahagia, Leon?” bisiknya lirih.

Ia menatap ruangan itu sekali lagi. Tidak ada jejak perempuan mana pun. Tidak ada parfum wanita, tidak ada sentuhan kelembutan. Leon hidup sendiri, bahkan sebelum menikah. Dan sekarang… tetap sendiri.

---

Rayendra Corp

Di kantor pusat Rayendra Corp, Leon berdiri di balik jendela kaca besar yang menghadap ke kota. Sekretarisnya, Luna, masuk dengan map di tangan.

“Tuan Leon, semua media sudah mulai memberitakan soal pernikahan Anda.”

“Biarkan saja.”

“Mereka menuntut klarifikasi. Banyak yang penasaran siapa sebenarnya istri Anda.”

“Bilang saja tidak ada komentar. Itu urusan pribadi.”

Luna mengangguk, ragu sejenak. “Tapi... publik bisa mulai berspekulasi. Apakah tidak lebih baik memperkenalkan Nyonya Alinea secara resmi?”

Leon menoleh, matanya tajam. “Aku tidak butuh opini publik. Dan aku tidak perlu menjelaskan pernikahan yang bahkan tidak kudasari atas cinta.”

Luna menelan ludah. “Maaf, Tuan.”

Leon kembali duduk, namun pikirannya tidak benar-benar tenang. Ia tiba-tiba teringat senyum Alinea saat mereka bersanding di altar. Senyum yang tampak kuat, padahal matanya menyimpan luka. Dan malam itu… bagaimana Alinea duduk diam di tepi ranjang sambil menunduk.

Sesuatu mengganjal di dadanya. Tapi ia tak mau mengakuinya.

---

Puisi yang Tertinggal

Malam itu, Alinea kembali ke ruang kecil di sebelah kamar. Di situlah ia bisa bernapas lebih lega. Ia membuka laptop dan menulis, menuangkan isi hatinya yang tak bisa diucapkan pada siapa pun.

> "Aku tidak diminta mencintai, hanya diminta bertahan,"

"Di rumah yang luas, aku menjadi asing di mata suamiku sendiri."

"Dan jika suatu hari aku pergi tanpa jejak..."

"Semoga langit tetap biru untuknya."

Ia menatap tulisan itu lama. Air matanya jatuh, membasahi touchpad laptop.

Kemudian ia simpan file itu ke folder bernama “Langit Tanpa Nama.”

Keesokan paginya, Leon pulang sebentar sebelum rapat siang. Ia butuh berkas penting yang ia tinggalkan di meja kerja. Karena laptop Alinea ada di atas meja, ia mengira berkasnya terselip di sana. Ia membukanya dengan niat baik, tapi malah tanpa sengaja membuka dokumen terakhir.

Matanya menyapu puisi itu.

Sunyi.

Tak ada siapa pun di ruangan itu. Tapi Leon berdiri diam, membacanya berulang kali. Tak menyangka… Alinea menyimpan perasaan sedalam itu.

..

Malam menjelang dengan sunyi yang menggantung di langit Rayendra Mansion. Angin lembut meniup tirai-tirai putih di kamar Alinea. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sambil menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa belas kasihan.

Pukul 22.45.

Belum ada suara mobil. Belum ada tanda bahwa Leon akan pulang malam ini. Sejak pernikahan itu digelar, ini sudah malam ketiga ia tidur sendiri di kamar megah itu. Rasanya seperti tinggal di hotel mahal, bukan rumah tangga.

Alinea membuka ponsel, jari-jarinya ragu. Ia sempat mengetik pesan:

> “Apakah kamu akan pulang malam ini?”

Tapi lalu dihapus.

Apa gunanya menanyakan pada seseorang yang mungkin bahkan tidak ingin menjawab? Ia mengembuskan napas, lalu mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas nakas.

Tak lama, pintu kamarnya diketuk perlahan.

Tok. Tok.

Alinea menoleh cepat. Hatinya berdebar. Leon?

Ia bangkit dan membuka pintu perlahan.

Bukan. Seorang pelayan perempuan membawa secangkir susu hangat.

“Nyonya Alinea… maaf mengganggu. Saya hanya ingin memastikan Anda tidur dengan perut terisi. Ini susu hangat, sesuai permintaan siang tadi.”

Alinea tersenyum tipis. “Terima kasih, Anin.”

Pelayan itu menunduk sopan, lalu pergi. Alinea menatap cangkir itu lama, lalu membawanya ke balkon kamarnya. Ia duduk di kursi rotan sambil memandangi langit malam yang bertabur bintang. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu, ia merasa lebih jujur pada dirinya sendiri.

---

Di Tempat Lain: Leon dan Dunia yang Ia Pilih

Di sebuah lounge hotel bintang lima, Leon duduk di sofa kulit sambil memandangi dokumen di tangannya. Tapi pikirannya berkelana. Telinganya hanya samar-samar menangkap suara dentingan gelas dan percakapan orang-orang di sekitarnya.

Di hadapannya duduk seorang wanita cantik berambut cokelat muda. Mewah, stylish, dan menawan. Tapi tidak membuat jantung Leon berdebar.

“Leon,” katanya pelan, “kamu yakin dengan pernikahan itu? Kamu dan aku dulu sepakat untuk tidak terikat.”

Leon menatap wanita itu dengan dingin. “Ini hanya soal tanggung jawab keluarga. Tidak perlu ada perasaan.”

“Lalu bagaimana kalau dia jatuh cinta padamu?” wanita itu memutar gelas anggurnya dengan senyum sinis.

Leon tak menjawab. Tapi pertanyaan itu justru menghantam hatinya seperti tamparan diam-diam. Bukan karena dia peduli... tapi karena ia sadar, ia bahkan belum pernah melihat Alinea benar-benar tertawa.

---

Tengah Malam

Leon tiba di rumah pukul 01.15 dini hari. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah sunyi. Sepatu kulitnya nyaris tak menimbulkan suara. Ia mendongak, menatap ke arah tangga. Lampu kamar Alinea masih menyala samar.

Ada dorongan aneh dalam dirinya. Entah rasa ingin tahu, atau mungkin… rasa bersalah yang perlahan muncul.

Ia menaiki tangga. Pelan. Hatinya tak tenang.

Sampai akhirnya ia berdiri di depan pintu kamar Alinea.

Ia ragu. Tangannya terangkat, hampir mengetuk.

Tapi tidak jadi.

Leon berdiri di sana hampir dua menit. Kemudian ia menghela napas, berbalik, dan melangkah ke kamarnya sendiri. Ia belum siap. Atau mungkin, ia terlalu takut untuk menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri Alinea yang perlahan mulai mengusik dunia beku miliknya.

---

Di Balik Pintu

Dari balik pintu, Alinea bersandar dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tidur.

Ia tahu Leon berdiri di sana. Ia bahkan mendengar napasnya.

Tapi pintu itu tak pernah diketuk. Tidak malam ini. Mungkin tidak akan pernah.

Dan Alinea akhirnya sadar…

>"Aku bisa tinggal serumah dengannya. Tapi aku tak yakin bisa tinggal di hatinya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 9 - Jejak di Dalam Rumah

    Pagi itu mendung. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap rumah keluarga Rayendra, menciptakan nuansa muram yang seolah mencerminkan apa yang tengah bergolak di dalam rumah itu.Alinea duduk di ruang kerja Leon, tangannya menggenggam secarik foto dari paket ancaman yang ia terima. Foto dirinya saat tengah duduk sendiri di balkon kamar—diambil dari kejauhan, tanpa ia sadari."Aku merasa seperti diawasi, Leon," gumam Alinea lirih.Leon berdiri di dekat jendela, menatap keluar, lalu menoleh padanya dengan rahang mengeras. "Aku juga merasakannya. Ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Dan aku yakin... bukan orang luar yang bermain."“Dari keluarga kamu sendiri?” Alinea tak bisa menyembunyikan getir dalam suaranya.Leon tidak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya cukup menjelaskan.Ia mendekat lalu duduk di samping Alinea. “Mulai hari ini, kita akan pasang pengawasan sendiri di rumah

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 8 - Tuduhan yang tertuju

    Langit mendung menggelayut di atas atap rumah besar keluarga Rayendra. Angin sore meniup tirai tipis di ruang tamu tempat Alinea duduk gelisah, menanti Leon yang masih bicara dengan seseorang di telepon. Hatinya belum tenang sejak kejadian mawar hitam kemarin. Terlalu sunyi, terlalu mencekam.Tak lama, Leon kembali dan duduk di depannya, wajahnya tampak serius."Aku udah selidiki nomor yang kirim pesan kemarin," ucapnya perlahan. "Nomornya pakai akun palsu. Tapi polanya familiar. Gaya ancamannya… aku pernah lihat sebelumnya."Alinea menatapnya cemas. "Maksud kamu?"Leon menatap mata Alinea sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku curiga itu Claudia."Alinea tercekat. Nama itu kembali menggema. Claudia—wanita yang dulu nyaris menjadi bagian dari hidup Leon. Cantik, pintar, dan... penuh ambisi."Apa kamu yakin?" tanya Alinea pelan."Aku nggak punya bukti kuat. Tapi Claudia punya alasan untuk dendam. Sejak aku batal

  • Kontrak Tanpa Cinta    Bab 7 – Pagi yang Canggung

    Alinea terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari menerobos lembut dari sela tirai, membias hangat ke seluruh ruangan. Ia masih berada di kamar yang sama. Masih di ranjang yang sama. Dan yang lebih penting… masih bersama pria yang sama.Leon.Perlahan, Alinea menggeser tubuhnya, mencoba duduk. Tapi gerakannya langsung terhenti saat ia menyadari…Leon sedang duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya sedikit acak, kemeja tidurnya terbuka dua kancing, dan di tangannya ada secangkir kopi.Mata mereka bertemu.Canggung.Alinea langsung membuang pandangan. Ia merapikan selimut dan mengusap wajah, seolah itu bisa menghapus ketegangan aneh yang tiba-tiba melingkupi udara.“Pagi,” ucap Leon lebih dulu.Alinea mengangguk. “Pagi…”Hening.Suasana yang biasanya dipenuhi adu mulut atau saling cuek itu kini jadi lebih aneh. Mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Terlalu hangat

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 6 - Luka lama, Janji baru

    Pagi itu, Alinea bangun lebih awal dari biasanya. Ia turun ke dapur dengan rambut masih sedikit berantakan, hanya mengenakan sweater panjang dan celana kain tipis. Cahaya matahari pagi masuk dari jendela kaca, memantul lembut di lantai marmer.Ia membuka kulkas dan mulai menyiapkan sarapan—tanpa sadar, kebiasaan lamanya kembali muncul. Ia merasa lebih nyaman menjadi dirinya sendiri.Saat sedang mengocok telur, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.Leon muncul dengan rambut acak-acakan, kaus putih dan celana tidur. Tatapannya agak heran melihat Alinea yang sudah sibuk di dapur.“Kamu masak?” tanyanya singkat.Alinea menoleh, tersenyum. “Iya. Aku nggak suka sarapan instan tiap hari. Kamu mau kopi?”Leon berjalan mendekat, lalu duduk di stool bar sambil menatap punggung Alinea yang sedang sibuk.“Mau. Tapi jangan terlalu manis,” jawabnya. “Kamu bisa jadi istri sungguhan dengan cepat, ya.”Alinea terk

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 5 : Perasaan yang Tidak Direncanakan

    Balkon masih sunyi. Hanya angin malam yang berbisik pelan dan lampu kota di kejauhan yang berkedip samar. Alinea menunduk, masih merasakan sisa hangat dari genggaman tangan Leon tadi. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya terasa sedikit bergetar.“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Leon tiba-tiba, membuat Alinea menoleh.“Aku hanya… penasaran,” jawabnya jujur. “Kamu ini pria yang sulit ditebak.”Leon menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke pagar balkon. “Bagus. Karena kamu juga bukan wanita yang mudah dibaca.”Alinea tertawa pelan. “Kita ini aneh, ya? Menikah karena kontrak, pura-pura bahagia, lalu berdiri di sini seperti pasangan yang sedang jatuh cinta.”Leon diam. Ada bayangan ragu di wajahnya. “Mungkin pura-pura itu… kadang jadi terlalu nyata.”Perkataan itu membuat Alinea menoleh cepat. “Apa maksudmu?”Leon tak menjawab. Ia hanya menatap Alinea dalam-dalam. Sekilas, hanya sekilas, ada luka lama yang mu

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 4 — Wanita dari Masa Lalu

    Matahari sore menembus kaca jendela besar ruang kerja Leon, mewarnai ruangan dengan cahaya keemasan. Suasana terasa hening, kecuali suara detik jam yang pelan. Leon duduk di balik mejanya, menatap layar laptop, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.Sebuah undangan elegan tergeletak di mejanya — pesta ulang tahun perusahaan partner lama dari bidang properti internasional. Salah satu acara sosial kelas atas yang selalu dia hindari, kecuali kehadirannya memang dibutuhkan secara simbolik.Tapi bukan itu yang membuatnya ragu.Leon menatap nama yang tertera di sudut bawah undangan: Claudia Marettha — CEO Marettha Holdings.Claudia.Wanita yang dulu hampir ia nikahi. Wanita yang meninggalkannya demi ambisi pribadi, demi mengejar takhta perusahaan ayahnya. Dan kini… Claudia kembali.Leon menarik napas dalam, lalu memencet tombol interkom.“Suruh Alinea ke ruang kerja. Sekarang.”Tak sampai lima menit, pintu diketuk.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status