Home / Romansa / Kontrak Tanpa Cinta / Bab 3 — Hati yang Tak Pernah Ditanya

Share

Bab 3 — Hati yang Tak Pernah Ditanya

Author: Gywnee
last update Last Updated: 2025-06-16 19:01:22

Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela besar kamar Alinea. Ia duduk di meja makan besar yang sunyi, dengan hanya satu piring sarapan di depannya dan segelas jus jeruk yang mulai kehilangan dinginnya.

Ia menunggu. Tapi kursi di seberangnya tetap kosong, seperti kemarin, dan hari sebelumnya.

“Selamat pagi, Nyonya Alinea.” Anin, pelayan pribadi, menyapanya dengan hangat. “Apakah Anda ingin menunggu Tuan Leon untuk sarapan?”

Alinea tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku rasa dia punya sarapannya sendiri… di tempat lain.”

Suaranya pelan, tapi getir. Ia menusuk roti panggang dengan garpu, tapi tak benar-benar memakannya. Hatinya lebih penuh dari perutnya.

Baru saja ia hendak berdiri, suara langkah berat terdengar dari arah tangga.

Leon muncul, mengenakan kemeja putih setengah dikancing, dan rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur. Alinea mematung sejenak. Ia tak menyangka akan melihat Leon sepagi ini, terlebih di meja makan.

Mereka saling menatap sekilas. Hening.

“Pagi,” ucap Leon tanpa emosi.

Alinea menjawab pelan. “Pagi.”

Ia kembali duduk, meski tangannya sedikit gemetar. Untuk pertama kalinya, mereka duduk satu meja. Tapi keheningan di antara mereka begitu tebal, seperti kabut pagi yang tak bisa ditembus sinar matahari.

Leon membuka koran, membacanya sambil sesekali menyuap roti tanpa menatap Alinea sama sekali. Alinea menggigit bibir bawahnya. Ia tak tahan lagi.

“Apa kita akan terus seperti ini, Leon?”

Leon mengangkat alisnya. “Seperti apa maksudmu?”

“Seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal serumah.”

Leon melipat koran pelan, menatapnya lurus. “Bukankah dari awal kita sepakat ini hanya kontrak?”

Alinea mengangguk, suaranya mulai bergetar. “Ya, tapi setidaknya perlakukan aku sebagai manusia. Aku tidur sendiri, makan sendiri, bahkan mengucap salam pun rasanya seperti bicara pada tembok.”

Leon berdiri pelan, mendekatinya. “Lalu kamu ingin apa, Alinea?”

Matanya menatap dalam. Tajam. Tapi ada sedikit goyah yang tersembunyi.

“Aku ingin tahu kenapa kamu menikahiku kalau kamu bahkan tak mau mencoba jadi suami.”

Leon terdiam. Dadanya naik-turun. Lalu ia menjawab dingin, “Karena aku tak pernah ingin menikah. Aku hanya melakukannya demi ayahku. Dan kamu tahu itu sejak awal.”

Alinea menatapnya tajam, lalu berdiri. “Aku tahu. Tapi aku tidak tahu bahwa rasanya akan sesakit ini.”

Matanya memerah. Tapi ia tidak menangis. Ia terlalu kuat untuk menangis di depannya.

Ia meninggalkan ruang makan dengan langkah cepat. Anin yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, tak sanggup menatap punggung majikannya yang terlihat rapuh.

---

Di Balkon Pribadi Leon

Leon berdiri memandangi taman belakang mansion. Pikirannya berkelana pada ucapan Alinea. Ia bisa saja mengabaikannya, seperti biasa. Tapi entah kenapa, kali ini suara Alinea menggema lebih lama di dalam kepalanya.

"Setidaknya perlakukan aku sebagai manusia."

Leon mengembuskan napas panjang. Ia tak pernah peduli pada wanita manapun. Dunia bisnis mengajarkannya untuk tidak melibatkan perasaan. Tapi gadis itu—dengan suara pelannya, dengan senyumnya yang tetap muncul meski hatinya hancur—sedikit demi sedikit mengusik dinding hatinya yang selama ini dingin.

---

Sore Hari

Alinea duduk di taman kecil belakang mansion, menulis di jurnal kecil yang selalu ia bawa. Ia tidak sadar bahwa Leon memperhatikannya dari jauh, dari balik tirai kamarnya.

Ia menuliskan sesuatu:

> "Mungkin aku hanya bagian dari rencana hidupnya. Tapi tetap saja… aku ingin tahu bagaimana rasanya dicintai oleh seseorang yang kupanggil suami."

---

Malam Hari

Saat malam menjelang, Alinea membuka pintu kamarnya dan mendapati sebuah nampan kecil di depan pintu.

Ada secangkir teh hangat dan selembar kertas kecil yang hanya bertuliskan:

> “Maaf untuk pagi tadi.” —L

Alinea menatap kertas itu lama. Hatinya seperti dihujani gerimis yang lembut. Bukan karena kata-kata itu cukup. Tapi karena itu pertama kalinya Leon menunjukkan bahwa dia mendengar.

Ia memeluk kertas kecil itu seperti harta karun.

Dan untuk pertama kalinya, malam itu Alinea tidur dengan senyum kecil di bibirnya.

..

Leon kembali ke ruang kerjanya malam itu setelah meninggalkan catatan singkat untuk Alinea. Tapi pikirannya tidak tenang. Ia menatap layar laptop, dokumen-dokumen terbuka, namun tidak satu pun bisa membawanya fokus.

Bunyi detik jam dinding terdengar jelas di ruang yang sunyi itu.

Ia meneguk kopi yang mulai dingin, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kenapa aku minta maaf?"

Itu pertanyaan yang mengganggu benaknya sejak sore tadi. Leon bukan pria yang biasa menunjukkan emosi. Apalagi merasa bersalah. Tapi entah kenapa... ekspresi Alinea tadi pagi terus muncul di kepalanya.

Mata gadis itu. Bibirnya yang bergetar. Kalimatnya yang begitu sederhana tapi menusuk.

"Setidaknya perlakukan aku sebagai manusia."

Leon menghela napas keras dan berdiri, berjalan ke arah rak bukunya. Tangannya menyentuh sebuah bingkai foto tua — foto mendiang ibunya bersama dirinya saat kecil. Ia memandangi mata ibunya yang tersenyum hangat.

Dulu, ibunya adalah satu-satunya yang bisa menenangkan sisi gelapnya. Tapi sejak kepergian wanita itu, ia tak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu dekat. Ia percaya, cinta itu menyakitkan.

Dan sekarang ada Alinea, wanita yang begitu tenang… begitu sabar… yang bahkan tak pernah menuntut apa-apa sejak hari pertama mereka tinggal serumah.

Tapi sikapnya pagi tadi—cara dia berbicara, keberaniannya menuntut rasa hormat, meskipun hatinya jelas terluka—itu membuat Leon terdiam lebih lama dari biasanya.

Ia duduk kembali di kursinya, membuka catatan kerja, tapi jemarinya mengetik sesuatu yang lain:

> Bagaimana cara memperlakukan istri yang tidak kau cintai… tapi hatimu mulai terusik karena tangis diamnya?

Ia menatap tulisan itu di layar.

Diam.

Kemudian, ia menghapusnya pelan-pelan.

---

Keesokan Paginya

Leon bangun lebih pagi dari biasanya. Ada sesuatu yang membuat langkahnya sedikit lebih ringan. Ia mengenakan kemeja biru gelap, lalu turun ke ruang makan.

Dan di sana—untuk pertama kalinya—Alinea sudah menunggunya sambil membaca buku.

Mereka saling bertatapan. Leon menarik kursi dan duduk.

Alinea tampak terkejut, tapi tak berkata apa-apa.

Leon melirik ke arah teh hangat yang sudah disiapkan. Ia tidak minum teh. Tapi Alinea menyadari sesuatu.

Ia berdiri, hendak menuangkan kopi.

Tanpa berkata apa-apa, hanya isyarat kecil.

Dan Leon hanya memandanginya. Diam-diam.

Dalam hening itu, mereka mulai belajar satu hal:

Kadang cinta tidak dimulai dengan detak jantung cepat atau pelukan hangat. Tapi dari hal sederhana… seperti teh hangat yang diganti jadi kopi, dan kursi kosong yang akhirnya terisi.

..

Hujan turun deras malam itu, membasahi halaman mansion yang biasanya sunyi. Di dalam kamarnya, Alinea duduk di dekat jendela sambil memeluk lutut. Selimut hanya menyelimuti sebagian tubuhnya. Suara gemuruh dari langit menggema, dan sesekali kilat menyambar, membuat bayangan pepohonan tampak mengerikan.

Alinea tidak takut gelap, tapi malam ini—ada sesuatu yang membuat dadanya sesak. Mungkin karena semuanya terasa terlalu sepi. Atau mungkin karena kebaikan kecil Leon tadi pagi yang terlalu dalam menusuk perasaannya yang sudah lama beku.

Ketukan pelan terdengar dari pintu.

Alinea terkejut. Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Siapa?

“Masuk,” ucapnya pelan.

Pintu terbuka… dan sosok yang muncul membuat Alinea tercekat. Leon.

Ia berdiri di sana, dengan rambut sedikit basah—sepertinya ia baru saja dari garasi atau balkon. Kemejanya sedikit kusut. Wajahnya dingin… tapi ada sorot aneh di matanya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Kamu belum tidur,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Alinea mengangguk pelan. “Aku… cuma duduk saja.”

Hening beberapa detik. Lalu Leon masuk tanpa permisi lebih lanjut dan duduk di sofa kecil dekat jendela, tak jauh darinya.

“Aku juga nggak bisa tidur,” katanya pelan, sambil menatap jendela yang basah oleh hujan.

Alinea meliriknya. “Kenapa?”

Leon mengangkat bahu. “Banyak hal. Termasuk… kamu.”

Alinea terdiam. Degup jantungnya langsung berubah tak beraturan.

“Aku?” tanyanya lirih.

Leon mengangguk pelan. “Kamu bukan orang yang kupikir akan tahan tinggal di sini. Tapi kamu bertahan. Kamu… tetap baik, meskipun aku tidak memberikan apa pun.”

Alinea menunduk. “Aku bertahan bukan karena aku kuat. Tapi karena… aku ingin percaya masih ada sisi manusia dari Leon Rayendra.”

Leon menatapnya. Lama.

Kilatan petir menyambar langit, membuat wajah Alinea sedikit bercahaya di balik bayang-bayang. Leon tidak bicara apa-apa. Tapi ia berdiri, lalu mengambil selimut tipis di kursi, dan tanpa berkata-kata, ia menutupkannya di bahu Alinea.

Alinea membeku.

“Jangan sakit. Aku tidak mau jadi suami yang harus mengantar istrinya ke rumah sakit, cuma karena tidak pakai selimut,” katanya pelan, setengah bercanda.

Tapi Alinea tahu. Itu cara Leon menunjukkan perhatiannya. Dengan caranya sendiri yang kaku, dingin, dan canggung.

Alinea menatapnya, lalu tersenyum samar. “Makasih…”

Leon hanya mengangguk, lalu berdiri. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar.

“Kamu benar, Alinea… Mungkin aku harus mulai belajar jadi manusia.”

Pintu tertutup pelan.

Dan malam itu… meski hujan masih mengguyur dengan derasnya, Alinea merasa hangat. Bukan karena selimut di pundaknya. Tapi karena untuk pertama kalinya, Leon tak hanya mengetuk pintu kamarnya… tapi juga mulai mengetuk hatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 23 - Jejak masa kecil

    Pagi itu datang dengan sunyi yang aneh. Udara terasa berat dan tidak seperti biasanya. Alinea terbangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya lembutnya sudah merambat ke sela tirai jendela kamar. Leon masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur. Wajahnya tampak lelah, tetapi tenang. Alinea mengusap pipinya perlahan, mengingat semua yang terjadi semalam.Surat ancaman, boneka rusak di pagar, dan kalimat mengerikan yang tertulis di gulungan kertas... semuanya masih terekam jelas dalam benaknya. Ia menggenggam liontin peninggalan ibunya dan menarik napas panjang.Beberapa jam kemudian, Leon bangun. Ia langsung memeriksa ponselnya—kamera keamanan, pesan dari tim keamanannya, dan satu nama yang ia cari sejak lama: Ansel."Kita dapat petunjuk," kata Leon sambil mengenakan baju. "Ansel ternyata tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Tapi minggu lalu, dia kembali ke Indonesia, lewat jalur pribadi. Tanpa catatan resmi."

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 22- Paket yang membawa luka

    Paket yang Membawa LukaLangit sore mulai dipenuhi awan kelabu saat mobil Leon melaju cepat di jalanan menuju rumah mereka. Tangan Alinea terus menggenggam erat sabuk pengaman, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tenang. Suasana di dalam mobil hening, namun bukan keheningan biasa—ini adalah keheningan yang menegangkan, penuh tanya dan dugaan."Paket itu bisa jebakan. Mereka mungkin sudah masuk rumah kita lebih dulu," kata Leon, matanya tajam menatap jalan. "Kita tidak bisa ambil risiko."Alinea menoleh ke arahnya. "Apa mungkin... Claudia?"Leon menggeleng. "Aku belum yakin. Claudia punya dendam, ya. Tapi caranya... terlalu terorganisir. Ini seperti seseorang yang sudah lama menyusun semuanya."Tak lama, mobil mereka sampai di depan rumah. Pagar otomatis terbuka, namun Leon tidak langsung masuk. Ia turun, memeriksa sekeliling terlebih dahulu.Di depan pintu, memang ada sebuah paket besar, terbungkus rapi d

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 21 - Rumah kenangan, Rahasia yang terkubur

    Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah Rayendra, dan udara dipenuhi aroma embun yang menempel di rerumputan. Alinea mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu, sementara Leon menyalakan mesin mobil dengan ekspresi serius di wajahnya. Mereka bersiap menuju tempat yang selama ini Leon hindari: rumah masa kecilnya yang kini terbengkalai.Perjalanan menuju rumah tua itu tak banyak diisi percakapan. Alinea bisa merasakan betapa tegangnya Leon. Tangan pria itu menggenggam kemudi erat-erat, sementara matanya tertuju lurus ke depan. Alinea hanya sesekali memandangi wajahnya, mencoba membaca pikiran yang tengah berkecamuk di benak suaminya itu."Kau yakin ingin ke sana?" tanya Alinea lembut.Leon mengangguk. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya disembunyikan keluargaku. Rumah itu... menyimpan lebih banyak kenangan buruk daripada baik, tapi aku yakin ada petunjuk di sana."Setelah dua jam berkendara melewati ja

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 20

    Malam kembali menyapa dengan gemerlap lampu kota yang menari di balik jendela kamar penthouse Leon. Alinea berdiri membelakangi Leon, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Sementara Leon berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikannya dalam diam."Apa kau masih memikirkan pesan itu?" suara Leon terdengar dalam, namun lembut.Alinea tidak langsung menjawab. Hanya hembusan napas yang terdengar dari bibirnya. "Tidak mudah untuk melupakannya, apalagi ketika semua ini terjadi begitu cepat."Leon mendekat, langkahnya mantap namun pelan. Ia berdiri di samping Alinea dan ikut menatap ke luar. Tangannya perlahan menyentuh tangan Alinea yang dingin."Kita akan cari tahu siapa pelakunya. Aku janji." Kata-katanya tegas, namun sarat emosi.Alinea menoleh pelan ke arah Leon. "Bagaimana kalau orang itu memang berasal dari keluargamu, Leon?" pertanyaannya membuat udara di ruangan seolah mengeras.Leon menarik napas dalam. "Kalau i

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 19 - Jejak yang Tertinggal

    Malam itu terasa semakin pekat, bukan hanya karena langit yang mendung tanpa bintang, tapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara antara Leon dan Alinea. Setelah panggilan misterius yang diterima Leon, penjagaan di sekitar rumah diperketat. Pengawal pribadi kini berjaga di setiap sudut rumah, dan kamera tambahan dipasang di lorong dan area privat.Alinea berdiri di balkon lantai dua, mengenakan mantel panjang berwarna krem dan syal wol yang dibungkuskan Leon tadi. Meski udara dingin menusuk, pikirannya jauh lebih membekukan. Matanya menatap lampu kota dari kejauhan, namun hatinya tak tenang.Leon menghampirinya diam-diam dari belakang. Ia menyandarkan tubuh di sisi pembatas balkon, menatap wajah istrinya dengan seksama. "Kalau kau lelah dengan semua ini, aku mengerti... tapi aku minta, tetaplah di sini, bersamaku."Alinea tak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Bahkan bayangan pun terasa mencu

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 18- Bayangan dalam Darah

    Pukul 22.30.Langit malam di atas rumah Rayendra begitu gelap. Awan menggulung tanpa bintang, seolah malam ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang keji. Di dalam, suasana rumah sama mencekamnya.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap tajam ke luar seperti mencoba membaca rahasia dari balik kegelapan. Alinea duduk di sofa, menggenggam lengan dengan cemas. Amplop ancaman malam sebelumnya masih ada di atas meja, dikelilingi oleh dokumen lain yang ditemukan oleh tim keamanan."Kamu yakin nggak ingin mengungsi sementara?" tanya Leon tanpa menoleh.Alinea menggeleng. "Kalau aku pergi, mereka menang. Aku nggak mau lagi lari."Leon menoleh perlahan, ada rasa kagum dan khawatir yang bertubrukan di matanya. Ia melangkah pelan, lalu duduk di sisi Alinea. “Malam ini, kita akan mulai menggali siapa yang bermain di balik semua ini. Aku butuh kamu kuat.”Alinea mengangguk.Sementara itu, di kamar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status