Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela besar kamar Alinea. Ia duduk di meja makan besar yang sunyi, dengan hanya satu piring sarapan di depannya dan segelas jus jeruk yang mulai kehilangan dinginnya.
Ia menunggu. Tapi kursi di seberangnya tetap kosong, seperti kemarin, dan hari sebelumnya. “Selamat pagi, Nyonya Alinea.” Anin, pelayan pribadi, menyapanya dengan hangat. “Apakah Anda ingin menunggu Tuan Leon untuk sarapan?” Alinea tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku rasa dia punya sarapannya sendiri… di tempat lain.” Suaranya pelan, tapi getir. Ia menusuk roti panggang dengan garpu, tapi tak benar-benar memakannya. Hatinya lebih penuh dari perutnya. Baru saja ia hendak berdiri, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Leon muncul, mengenakan kemeja putih setengah dikancing, dan rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur. Alinea mematung sejenak. Ia tak menyangka akan melihat Leon sepagi ini, terlebih di meja makan. Mereka saling menatap sekilas. Hening. “Pagi,” ucap Leon tanpa emosi. Alinea menjawab pelan. “Pagi.” Ia kembali duduk, meski tangannya sedikit gemetar. Untuk pertama kalinya, mereka duduk satu meja. Tapi keheningan di antara mereka begitu tebal, seperti kabut pagi yang tak bisa ditembus sinar matahari. Leon membuka koran, membacanya sambil sesekali menyuap roti tanpa menatap Alinea sama sekali. Alinea menggigit bibir bawahnya. Ia tak tahan lagi. “Apa kita akan terus seperti ini, Leon?” Leon mengangkat alisnya. “Seperti apa maksudmu?” “Seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal serumah.” Leon melipat koran pelan, menatapnya lurus. “Bukankah dari awal kita sepakat ini hanya kontrak?” Alinea mengangguk, suaranya mulai bergetar. “Ya, tapi setidaknya perlakukan aku sebagai manusia. Aku tidur sendiri, makan sendiri, bahkan mengucap salam pun rasanya seperti bicara pada tembok.” Leon berdiri pelan, mendekatinya. “Lalu kamu ingin apa, Alinea?” Matanya menatap dalam. Tajam. Tapi ada sedikit goyah yang tersembunyi. “Aku ingin tahu kenapa kamu menikahiku kalau kamu bahkan tak mau mencoba jadi suami.” Leon terdiam. Dadanya naik-turun. Lalu ia menjawab dingin, “Karena aku tak pernah ingin menikah. Aku hanya melakukannya demi ayahku. Dan kamu tahu itu sejak awal.” Alinea menatapnya tajam, lalu berdiri. “Aku tahu. Tapi aku tidak tahu bahwa rasanya akan sesakit ini.” Matanya memerah. Tapi ia tidak menangis. Ia terlalu kuat untuk menangis di depannya. Ia meninggalkan ruang makan dengan langkah cepat. Anin yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, tak sanggup menatap punggung majikannya yang terlihat rapuh. --- Di Balkon Pribadi Leon Leon berdiri memandangi taman belakang mansion. Pikirannya berkelana pada ucapan Alinea. Ia bisa saja mengabaikannya, seperti biasa. Tapi entah kenapa, kali ini suara Alinea menggema lebih lama di dalam kepalanya. "Setidaknya perlakukan aku sebagai manusia." Leon mengembuskan napas panjang. Ia tak pernah peduli pada wanita manapun. Dunia bisnis mengajarkannya untuk tidak melibatkan perasaan. Tapi gadis itu—dengan suara pelannya, dengan senyumnya yang tetap muncul meski hatinya hancur—sedikit demi sedikit mengusik dinding hatinya yang selama ini dingin. --- Sore Hari Alinea duduk di taman kecil belakang mansion, menulis di jurnal kecil yang selalu ia bawa. Ia tidak sadar bahwa Leon memperhatikannya dari jauh, dari balik tirai kamarnya. Ia menuliskan sesuatu: > "Mungkin aku hanya bagian dari rencana hidupnya. Tapi tetap saja… aku ingin tahu bagaimana rasanya dicintai oleh seseorang yang kupanggil suami." --- Malam Hari Saat malam menjelang, Alinea membuka pintu kamarnya dan mendapati sebuah nampan kecil di depan pintu. Ada secangkir teh hangat dan selembar kertas kecil yang hanya bertuliskan: > “Maaf untuk pagi tadi.” —L Alinea menatap kertas itu lama. Hatinya seperti dihujani gerimis yang lembut. Bukan karena kata-kata itu cukup. Tapi karena itu pertama kalinya Leon menunjukkan bahwa dia mendengar. Ia memeluk kertas kecil itu seperti harta karun. Dan untuk pertama kalinya, malam itu Alinea tidur dengan senyum kecil di bibirnya. .. Leon kembali ke ruang kerjanya malam itu setelah meninggalkan catatan singkat untuk Alinea. Tapi pikirannya tidak tenang. Ia menatap layar laptop, dokumen-dokumen terbuka, namun tidak satu pun bisa membawanya fokus. Bunyi detik jam dinding terdengar jelas di ruang yang sunyi itu. Ia meneguk kopi yang mulai dingin, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Kenapa aku minta maaf?" Itu pertanyaan yang mengganggu benaknya sejak sore tadi. Leon bukan pria yang biasa menunjukkan emosi. Apalagi merasa bersalah. Tapi entah kenapa... ekspresi Alinea tadi pagi terus muncul di kepalanya. Mata gadis itu. Bibirnya yang bergetar. Kalimatnya yang begitu sederhana tapi menusuk. "Setidaknya perlakukan aku sebagai manusia." Leon menghela napas keras dan berdiri, berjalan ke arah rak bukunya. Tangannya menyentuh sebuah bingkai foto tua — foto mendiang ibunya bersama dirinya saat kecil. Ia memandangi mata ibunya yang tersenyum hangat. Dulu, ibunya adalah satu-satunya yang bisa menenangkan sisi gelapnya. Tapi sejak kepergian wanita itu, ia tak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu dekat. Ia percaya, cinta itu menyakitkan. Dan sekarang ada Alinea, wanita yang begitu tenang… begitu sabar… yang bahkan tak pernah menuntut apa-apa sejak hari pertama mereka tinggal serumah. Tapi sikapnya pagi tadi—cara dia berbicara, keberaniannya menuntut rasa hormat, meskipun hatinya jelas terluka—itu membuat Leon terdiam lebih lama dari biasanya. Ia duduk kembali di kursinya, membuka catatan kerja, tapi jemarinya mengetik sesuatu yang lain: > Bagaimana cara memperlakukan istri yang tidak kau cintai… tapi hatimu mulai terusik karena tangis diamnya? Ia menatap tulisan itu di layar. Diam. Kemudian, ia menghapusnya pelan-pelan. --- Keesokan Paginya Leon bangun lebih pagi dari biasanya. Ada sesuatu yang membuat langkahnya sedikit lebih ringan. Ia mengenakan kemeja biru gelap, lalu turun ke ruang makan. Dan di sana—untuk pertama kalinya—Alinea sudah menunggunya sambil membaca buku. Mereka saling bertatapan. Leon menarik kursi dan duduk. Alinea tampak terkejut, tapi tak berkata apa-apa. Leon melirik ke arah teh hangat yang sudah disiapkan. Ia tidak minum teh. Tapi Alinea menyadari sesuatu. Ia berdiri, hendak menuangkan kopi. Tanpa berkata apa-apa, hanya isyarat kecil. Dan Leon hanya memandanginya. Diam-diam. Dalam hening itu, mereka mulai belajar satu hal: Kadang cinta tidak dimulai dengan detak jantung cepat atau pelukan hangat. Tapi dari hal sederhana… seperti teh hangat yang diganti jadi kopi, dan kursi kosong yang akhirnya terisi. .. Hujan turun deras malam itu, membasahi halaman mansion yang biasanya sunyi. Di dalam kamarnya, Alinea duduk di dekat jendela sambil memeluk lutut. Selimut hanya menyelimuti sebagian tubuhnya. Suara gemuruh dari langit menggema, dan sesekali kilat menyambar, membuat bayangan pepohonan tampak mengerikan. Alinea tidak takut gelap, tapi malam ini—ada sesuatu yang membuat dadanya sesak. Mungkin karena semuanya terasa terlalu sepi. Atau mungkin karena kebaikan kecil Leon tadi pagi yang terlalu dalam menusuk perasaannya yang sudah lama beku. Ketukan pelan terdengar dari pintu. Alinea terkejut. Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Siapa? “Masuk,” ucapnya pelan. Pintu terbuka… dan sosok yang muncul membuat Alinea tercekat. Leon. Ia berdiri di sana, dengan rambut sedikit basah—sepertinya ia baru saja dari garasi atau balkon. Kemejanya sedikit kusut. Wajahnya dingin… tapi ada sorot aneh di matanya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana. “Kamu belum tidur,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Alinea mengangguk pelan. “Aku… cuma duduk saja.” Hening beberapa detik. Lalu Leon masuk tanpa permisi lebih lanjut dan duduk di sofa kecil dekat jendela, tak jauh darinya. “Aku juga nggak bisa tidur,” katanya pelan, sambil menatap jendela yang basah oleh hujan. Alinea meliriknya. “Kenapa?” Leon mengangkat bahu. “Banyak hal. Termasuk… kamu.” Alinea terdiam. Degup jantungnya langsung berubah tak beraturan. “Aku?” tanyanya lirih. Leon mengangguk pelan. “Kamu bukan orang yang kupikir akan tahan tinggal di sini. Tapi kamu bertahan. Kamu… tetap baik, meskipun aku tidak memberikan apa pun.” Alinea menunduk. “Aku bertahan bukan karena aku kuat. Tapi karena… aku ingin percaya masih ada sisi manusia dari Leon Rayendra.” Leon menatapnya. Lama. Kilatan petir menyambar langit, membuat wajah Alinea sedikit bercahaya di balik bayang-bayang. Leon tidak bicara apa-apa. Tapi ia berdiri, lalu mengambil selimut tipis di kursi, dan tanpa berkata-kata, ia menutupkannya di bahu Alinea. Alinea membeku. “Jangan sakit. Aku tidak mau jadi suami yang harus mengantar istrinya ke rumah sakit, cuma karena tidak pakai selimut,” katanya pelan, setengah bercanda. Tapi Alinea tahu. Itu cara Leon menunjukkan perhatiannya. Dengan caranya sendiri yang kaku, dingin, dan canggung. Alinea menatapnya, lalu tersenyum samar. “Makasih…” Leon hanya mengangguk, lalu berdiri. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Kamu benar, Alinea… Mungkin aku harus mulai belajar jadi manusia.” Pintu tertutup pelan. Dan malam itu… meski hujan masih mengguyur dengan derasnya, Alinea merasa hangat. Bukan karena selimut di pundaknya. Tapi karena untuk pertama kalinya, Leon tak hanya mengetuk pintu kamarnya… tapi juga mulai mengetuk hatinya.Luka yang Tidak Pernah SembuhHujan turun deras malam itu, menghantam kaca jendela rumah Leon dengan irama yang menggambarkan kegelisahan di hati Alinea. Di dalam kamar yang luas dan sepi, Alinea duduk di sisi tempat tidur sambil memegang surat ancaman terbaru yang ia temukan di dalam laci lemari kerjanya. Surat itu tidak lagi ditulis dengan kalimat samar. Kata-katanya jelas, tajam, dan penuh kebencian.> "Kamu pikir dia mencintaimu? Kamu hanya mainan. Waktumu hampir habis, Alinea."Tangannya gemetar saat membaca ulang isi surat itu. Ancaman ini terasa sangat pribadi, seolah seseorang yang sangat mengenalnya dan menyimpan dendam mendalam sedang mengawasinya setiap saat. Rasa takut yang sudah lama ia tekan perlahan merayap lagi, mencengkram jiwanya seperti belenggu tak terlihat.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan wajah letih, rambutnya basah, dan dasi yang sudah longgar. Saat matanya tertuju pada Alinea yang pucat sambil memegang surat it
Pagi itu, mentari nyaris enggan muncul dari balik kabut. Udara terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, melainkan juga karena suasana yang menggantung tegang di dalam rumah keluarga Rayendra.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi taman yang basah oleh sisa hujan semalam. Namun pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan mimpi buruk yang diceritakan Alinea, dan langkah kaki misterius di koridor. Semua terasa makin nyata, makin mengarah ke satu kesimpulan: ini bukan ancaman biasa.Bukan dari luar.Tapi dari dalam.Leon mengepalkan tangan. Ia sudah mencurigai ada yang tidak beres sejak Alinea menerima pesan misterius dengan nada mengancam. Namun kini, setelah suara langkah di malam hari dan jejak sepatu basah yang menuju koridor timur—bagian rumah yang jarang dilewati siapa pun kecuali beberapa anggota keluarga—kecurigaannya makin menguat.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk.”Claudia melangka
Langit pagi masih gelap ketika Alinea terbangun karena suara bisikan tak jelas dari lorong luar kamar. Ia menegakkan tubuh perlahan dari ranjang dan melihat Leon masih tertidur, tubuhnya setengah tertutup selimut, napasnya teratur. Pintu kamar sedikit terbuka—tidak biasa.Dengan langkah pelan dan hati-hati, Alinea keluar dari kamar, merapatkan cardigan tipisnya. Lorong rumah besar itu selalu sepi di pagi buta, tetapi kali ini ada sesuatu yang lain. Ia mendengar suara langkah pelan—bukan seperti langkah pelayan atau staf biasa.Langkah itu terdengar teratur… dan asing.“Hallo…?” panggil Alinea pelan, suara seraknya nyaris ditelan keheningan.Tak ada jawaban. Tapi pintu menuju ruangan penyimpanan yang biasa terkunci kini terbuka sedikit. Ia mendekat, jantungnya berdebar lebih cepat.Begitu jari-jarinya menyentuh gagang pintu, suara berat memanggil dari belakangnya.“Alinea.”Ia sontak menoleh. Leon berdiri dengan ramb
Hujan turun sejak pagi, menari-nari di balik jendela kamar utama rumah Leon Rayendra. Langit kelabu menggantung rendah, seperti mencerminkan suasana hati Alinea yang masih tak tenang sejak menerima pesan ancaman dari nomor tak dikenal.Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Jemarinya menggenggam cangkir itu erat, seolah hangatnya bisa menenangkan gejolak yang menari di dalam dada. Tapi sehangat apa pun teh itu, tetap saja dingin menjalar di hatinya.Leon baru saja masuk ke kamar setelah menerima panggilan telepon dari pengacaranya. Ia memperhatikan Alinea dalam diam. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, rasa bersalah yang perlahan tumbuh sejak melihat wajah cemas perempuan itu malam sebelumnya.“Tehnya nggak bikin kamu lebih tenang, ya?” tanya Leon pelan, duduk di sisi ranjang. Suaranya lembut, berbeda dari biasanya.Alinea hanya menggeleng. “Kalau ancamannya datang
Pagi itu mendung. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap rumah keluarga Rayendra, menciptakan nuansa muram yang seolah mencerminkan apa yang tengah bergolak di dalam rumah itu.Alinea duduk di ruang kerja Leon, tangannya menggenggam secarik foto dari paket ancaman yang ia terima. Foto dirinya saat tengah duduk sendiri di balkon kamar—diambil dari kejauhan, tanpa ia sadari."Aku merasa seperti diawasi, Leon," gumam Alinea lirih.Leon berdiri di dekat jendela, menatap keluar, lalu menoleh padanya dengan rahang mengeras. "Aku juga merasakannya. Ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Dan aku yakin... bukan orang luar yang bermain."“Dari keluarga kamu sendiri?” Alinea tak bisa menyembunyikan getir dalam suaranya.Leon tidak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya cukup menjelaskan.Ia mendekat lalu duduk di samping Alinea. “Mulai hari ini, kita akan pasang pengawasan sendiri di rumah
Langit mendung menggelayut di atas atap rumah besar keluarga Rayendra. Angin sore meniup tirai tipis di ruang tamu tempat Alinea duduk gelisah, menanti Leon yang masih bicara dengan seseorang di telepon. Hatinya belum tenang sejak kejadian mawar hitam kemarin. Terlalu sunyi, terlalu mencekam.Tak lama, Leon kembali dan duduk di depannya, wajahnya tampak serius."Aku udah selidiki nomor yang kirim pesan kemarin," ucapnya perlahan. "Nomornya pakai akun palsu. Tapi polanya familiar. Gaya ancamannya… aku pernah lihat sebelumnya."Alinea menatapnya cemas. "Maksud kamu?"Leon menatap mata Alinea sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku curiga itu Claudia."Alinea tercekat. Nama itu kembali menggema. Claudia—wanita yang dulu nyaris menjadi bagian dari hidup Leon. Cantik, pintar, dan... penuh ambisi."Apa kamu yakin?" tanya Alinea pelan."Aku nggak punya bukti kuat. Tapi Claudia punya alasan untuk dendam. Sejak aku batal