Beranda / Romansa / Kontrak Tanpa Cinta / Bab 4 — Wanita dari Masa Lalu

Share

Bab 4 — Wanita dari Masa Lalu

Penulis: Gywnee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-16 19:02:03

Matahari sore menembus kaca jendela besar ruang kerja Leon, mewarnai ruangan dengan cahaya keemasan. Suasana terasa hening, kecuali suara detik jam yang pelan. Leon duduk di balik mejanya, menatap layar laptop, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.

Sebuah undangan elegan tergeletak di mejanya — pesta ulang tahun perusahaan partner lama dari bidang properti internasional. Salah satu acara sosial kelas atas yang selalu dia hindari, kecuali kehadirannya memang dibutuhkan secara simbolik.

Tapi bukan itu yang membuatnya ragu.

Leon menatap nama yang tertera di sudut bawah undangan: Claudia Marettha — CEO Marettha Holdings.

Claudia.

Wanita yang dulu hampir ia nikahi. Wanita yang meninggalkannya demi ambisi pribadi, demi mengejar takhta perusahaan ayahnya. Dan kini… Claudia kembali.

Leon menarik napas dalam, lalu memencet tombol interkom.

“Suruh Alinea ke ruang kerja. Sekarang.”

Tak sampai lima menit, pintu diketuk.

Alinea masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja putih dan celana panjang kain berwarna krem. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya polos tapi justru memancarkan ketenangan yang anehnya… membuat Leon merasa sedikit nyaman.

“Kamu manggil aku?” tanyanya pelan.

Leon mengangguk dan menyodorkan undangan itu. “Besok malam. Kita harus datang ke acara ini.”

Alinea membaca cepat. “Pesta besar?”

“Ya. Aku butuh kamu ikut. Sebagai istriku.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Alinea menatapnya. Ada keraguan di matanya. Tapi ia tidak menolak.

“Oke,” jawabnya akhirnya. “Jam berapa kita berangkat?”

Leon menatapnya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia mengurungkan niat.

“Pukul tujuh malam. Dress code formal, tentu saja.”

Alinea mengangguk pelan dan keluar tanpa bertanya lebih banyak.

Namun saat pintu tertutup, Leon menatap undangan itu sekali lagi. Kali ini, bukan dengan keraguan… tapi dengan rasa waspada.

Karena dia tahu, Claudia tidak pernah hanya mengundang.

---

Keesokan Malamnya

Alinea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun malam berwarna silver lembut yang membalut tubuhnya dengan elegan. Gaun itu dipilihkan oleh asisten Leon—mahal, sederhana, tapi memancarkan wibawa. Rambutnya digelung anggun, riasannya tipis namun memperjelas garis wajahnya yang lembut.

Ketika Leon muncul di ambang pintu, mengenakan setelan hitam rapi dan dasi abu gelap, langkahnya terhenti sesaat.

Alinea menatapnya. “Apakah… aku terlalu mencolok?”

Leon menggeleng pelan, matanya menelusuri sosoknya dengan pandangan samar. “Tidak. Kamu terlihat tepat.”

Hanya itu. Tapi bagi Alinea, itu lebih dari cukup.

---

Di Lokasi Acara

Gemerlap lampu kristal, denting gelas anggur, dan tawa palsu menyambut kedatangan mereka di ballroom mewah hotel bintang lima. Pasangan itu melangkah masuk, menarik perhatian banyak mata.

Dan tidak lama kemudian, suara langkah hak tinggi bergema di belakang mereka.

Leon menoleh. Begitu juga Alinea.

Seorang wanita cantik berambut cokelat keemasan dengan gaun merah marun melangkah mendekat, senyumnya manis tapi matanya tajam. Claudia.

“Leon,” sapanya. “Senang sekali akhirnya kamu datang.”

Alinea bisa merasakan hawa dingin di antara mereka. Tapi ia tetap tersenyum sopan, meskipun jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Leon menjawab dingin, “Claudia.”

Mata Claudia beralih ke arah Alinea. “Dan kamu pasti… istri barunya, ya? Menarik. Sangat… menarik.”

Alinea tetap tersenyum. “Saya Alinea. Senang bertemu dengan Anda, Bu Claudia.”

Claudia tertawa kecil. “Lucu sekali kamu memanggilku ‘ibu’. Aku belum setua itu, sayang.”

Ketegangan semakin terasa. Tapi Leon meraih tangan Alinea dan menggenggamnya—untuk pertama kalinya di depan umum.

“Terima kasih atas undangannya, Claudia. Tapi aku tidak di sini untuk bernostalgia.”

Claudia menahan senyum, namun sorot matanya gelap. “Tentu, Leon. Tapi kadang… masa lalu punya cara sendiri untuk kembali.”

.

Mobil sedan hitam yang ditumpangi Leon dan Alinea melaju mulus di bawah langit senja Jakarta yang kelabu. Hujan rintik mulai membasahi jendela, menciptakan suara menenangkan yang mengisi keheningan di antara mereka.

Alinea duduk dengan postur anggun, menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia bukan gadis yang biasa menghadiri pesta kalangan atas, apalagi sebagai “istri” CEO terkenal.

Di sampingnya, Leon duduk tenang, tetapi sesekali melirik Alinea dari sudut matanya. Ia bisa merasakan kegugupan wanita itu meskipun Alinea tidak mengatakannya.

“Kalau kamu gugup, itu wajar,” ucap Leon tiba-tiba, membuat Alinea menoleh.

Alinea tersenyum kecil. “Terlihat ya?”

“Sedikit.”

Hening sesaat, lalu Leon menambahkan dengan nada lebih pelan, “Kamu tidak perlu membuktikan apa pun malam ini. Cukup jadi dirimu.”

Kata-kata itu sederhana, tapi bagi Alinea, itu seperti napas pertama setelah lama tenggelam. Suaranya nyaris bergetar saat menjawab, “Terima kasih.”

Di tengah keramaian ballroom, setelah beberapa sesi berbasa-basi, Claudia mendekati Leon dan Alinea yang sedang berdiri di dekat meja minuman. Senyumnya manis, tapi nada suaranya licin seperti pisau tersembunyi.

“Leon, masih ingat pesta di Paris tiga tahun lalu? Waktu itu kamu berjanji akan menemaniku sampai akhir acara, tapi malah sibuk mengejar investor. Tipikal kamu.”

Alinea mendengarnya, dan meski ia mencoba tersenyum sopan, hatinya terasa menegang.

Leon menatap Claudia datar. “Kalau kamu masih suka mengungkit masa lalu, artinya kamu belum benar-benar move on, Claud.”

Claudia tertawa pelan. “Bukan begitu. Aku hanya nostalgia. Tapi tentu, kamu sekarang sudah berubah, ya. Sekarang lebih suka perempuan manis yang… diam dan menurut.”

Alinea tahu itu sindiran. Tapi ia tidak terpancing. Ia melirik Leon, yang tiba-tiba menaruh tangannya di pinggang Alinea dan menariknya sedikit lebih dekat.

“Alinea bukan ‘perempuan manis’. Dia jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”

Claudia terdiam sesaat. Dan saat ia berpaling, Alinea melihat sorot matanya berubah. Ia tahu, ini belum selesai.

Setelah satu jam penuh percakapan basa-basi dengan rekan bisnis, Alinea memutuskan menghirup udara segar. Ia melangkah ke balkon samping ballroom, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.

Tak lama kemudian, suara langkah berat menyusul. Leon berdiri di sampingnya.

“Kamu lelah?” tanyanya.

Alinea mengangguk. “Aku cuma butuh… lima menit tanpa kamera dan senyum palsu.”

Leon terkekeh kecil. “Kamu cepat belajar. Dunia ini memang penuh topeng.”

Alinea menatapnya, matanya menyiratkan rasa ingin tahu. “Termasuk kamu?”

Leon membalas tatapannya. “Aku pakai topeng terlalu lama. Sampai kadang aku sendiri lupa wajah asliku seperti apa.”

Alinea tak berkata apa-apa. Tapi saat Leon menggenggam jemarinya perlahan, ia tidak menolak. Untuk sesaat, keheningan di antara mereka bukan lagi canggung… tapi nyaman.

Saat Alinea keluar dari toilet, Claudia sudah berdiri di depan pintu. Senyumnya penuh strategi.

“Aku hanya ingin kamu tahu satu hal, Alinea. Leon mencintaiku dulu. Aku mengenal setiap kebiasaannya, luka-lukanya, bahkan masa kecilnya. Kamu hanya datang belakangan.”

Alinea menatap Claudia, tenang.

“Mungkin benar. Aku datang belakangan. Tapi tidak berarti aku tidak bisa jadi penting.”

Claudia mendecih. “Kamu pikir dia akan jatuh cinta padamu hanya karena kamu terlihat ‘tulus’? Leon bukan pria seperti itu.”

Alinea menatapnya dalam-dalam. “Dan kamu berpikir kamu bisa mendapatkannya kembali hanya karena kamu bagian dari masa lalunya?”

Claudia tidak menjawab.

Alinea tersenyum tipis. “Kita lihat saja, siapa yang akan dia genggam saat semuanya runtuh.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 23 - Jejak masa kecil

    Pagi itu datang dengan sunyi yang aneh. Udara terasa berat dan tidak seperti biasanya. Alinea terbangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya lembutnya sudah merambat ke sela tirai jendela kamar. Leon masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur. Wajahnya tampak lelah, tetapi tenang. Alinea mengusap pipinya perlahan, mengingat semua yang terjadi semalam.Surat ancaman, boneka rusak di pagar, dan kalimat mengerikan yang tertulis di gulungan kertas... semuanya masih terekam jelas dalam benaknya. Ia menggenggam liontin peninggalan ibunya dan menarik napas panjang.Beberapa jam kemudian, Leon bangun. Ia langsung memeriksa ponselnya—kamera keamanan, pesan dari tim keamanannya, dan satu nama yang ia cari sejak lama: Ansel."Kita dapat petunjuk," kata Leon sambil mengenakan baju. "Ansel ternyata tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Tapi minggu lalu, dia kembali ke Indonesia, lewat jalur pribadi. Tanpa catatan resmi."

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 22- Paket yang membawa luka

    Paket yang Membawa LukaLangit sore mulai dipenuhi awan kelabu saat mobil Leon melaju cepat di jalanan menuju rumah mereka. Tangan Alinea terus menggenggam erat sabuk pengaman, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tenang. Suasana di dalam mobil hening, namun bukan keheningan biasa—ini adalah keheningan yang menegangkan, penuh tanya dan dugaan."Paket itu bisa jebakan. Mereka mungkin sudah masuk rumah kita lebih dulu," kata Leon, matanya tajam menatap jalan. "Kita tidak bisa ambil risiko."Alinea menoleh ke arahnya. "Apa mungkin... Claudia?"Leon menggeleng. "Aku belum yakin. Claudia punya dendam, ya. Tapi caranya... terlalu terorganisir. Ini seperti seseorang yang sudah lama menyusun semuanya."Tak lama, mobil mereka sampai di depan rumah. Pagar otomatis terbuka, namun Leon tidak langsung masuk. Ia turun, memeriksa sekeliling terlebih dahulu.Di depan pintu, memang ada sebuah paket besar, terbungkus rapi d

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 21 - Rumah kenangan, Rahasia yang terkubur

    Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah Rayendra, dan udara dipenuhi aroma embun yang menempel di rerumputan. Alinea mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu, sementara Leon menyalakan mesin mobil dengan ekspresi serius di wajahnya. Mereka bersiap menuju tempat yang selama ini Leon hindari: rumah masa kecilnya yang kini terbengkalai.Perjalanan menuju rumah tua itu tak banyak diisi percakapan. Alinea bisa merasakan betapa tegangnya Leon. Tangan pria itu menggenggam kemudi erat-erat, sementara matanya tertuju lurus ke depan. Alinea hanya sesekali memandangi wajahnya, mencoba membaca pikiran yang tengah berkecamuk di benak suaminya itu."Kau yakin ingin ke sana?" tanya Alinea lembut.Leon mengangguk. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya disembunyikan keluargaku. Rumah itu... menyimpan lebih banyak kenangan buruk daripada baik, tapi aku yakin ada petunjuk di sana."Setelah dua jam berkendara melewati ja

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 20

    Malam kembali menyapa dengan gemerlap lampu kota yang menari di balik jendela kamar penthouse Leon. Alinea berdiri membelakangi Leon, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Sementara Leon berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikannya dalam diam."Apa kau masih memikirkan pesan itu?" suara Leon terdengar dalam, namun lembut.Alinea tidak langsung menjawab. Hanya hembusan napas yang terdengar dari bibirnya. "Tidak mudah untuk melupakannya, apalagi ketika semua ini terjadi begitu cepat."Leon mendekat, langkahnya mantap namun pelan. Ia berdiri di samping Alinea dan ikut menatap ke luar. Tangannya perlahan menyentuh tangan Alinea yang dingin."Kita akan cari tahu siapa pelakunya. Aku janji." Kata-katanya tegas, namun sarat emosi.Alinea menoleh pelan ke arah Leon. "Bagaimana kalau orang itu memang berasal dari keluargamu, Leon?" pertanyaannya membuat udara di ruangan seolah mengeras.Leon menarik napas dalam. "Kalau i

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 19 - Jejak yang Tertinggal

    Malam itu terasa semakin pekat, bukan hanya karena langit yang mendung tanpa bintang, tapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara antara Leon dan Alinea. Setelah panggilan misterius yang diterima Leon, penjagaan di sekitar rumah diperketat. Pengawal pribadi kini berjaga di setiap sudut rumah, dan kamera tambahan dipasang di lorong dan area privat.Alinea berdiri di balkon lantai dua, mengenakan mantel panjang berwarna krem dan syal wol yang dibungkuskan Leon tadi. Meski udara dingin menusuk, pikirannya jauh lebih membekukan. Matanya menatap lampu kota dari kejauhan, namun hatinya tak tenang.Leon menghampirinya diam-diam dari belakang. Ia menyandarkan tubuh di sisi pembatas balkon, menatap wajah istrinya dengan seksama. "Kalau kau lelah dengan semua ini, aku mengerti... tapi aku minta, tetaplah di sini, bersamaku."Alinea tak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Bahkan bayangan pun terasa mencu

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 18- Bayangan dalam Darah

    Pukul 22.30.Langit malam di atas rumah Rayendra begitu gelap. Awan menggulung tanpa bintang, seolah malam ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang keji. Di dalam, suasana rumah sama mencekamnya.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap tajam ke luar seperti mencoba membaca rahasia dari balik kegelapan. Alinea duduk di sofa, menggenggam lengan dengan cemas. Amplop ancaman malam sebelumnya masih ada di atas meja, dikelilingi oleh dokumen lain yang ditemukan oleh tim keamanan."Kamu yakin nggak ingin mengungsi sementara?" tanya Leon tanpa menoleh.Alinea menggeleng. "Kalau aku pergi, mereka menang. Aku nggak mau lagi lari."Leon menoleh perlahan, ada rasa kagum dan khawatir yang bertubrukan di matanya. Ia melangkah pelan, lalu duduk di sisi Alinea. “Malam ini, kita akan mulai menggali siapa yang bermain di balik semua ini. Aku butuh kamu kuat.”Alinea mengangguk.Sementara itu, di kamar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status