Balkon masih sunyi. Hanya angin malam yang berbisik pelan dan lampu kota di kejauhan yang berkedip samar. Alinea menunduk, masih merasakan sisa hangat dari genggaman tangan Leon tadi. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya terasa sedikit bergetar.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Leon tiba-tiba, membuat Alinea menoleh. “Aku hanya… penasaran,” jawabnya jujur. “Kamu ini pria yang sulit ditebak.” Leon menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke pagar balkon. “Bagus. Karena kamu juga bukan wanita yang mudah dibaca.” Alinea tertawa pelan. “Kita ini aneh, ya? Menikah karena kontrak, pura-pura bahagia, lalu berdiri di sini seperti pasangan yang sedang jatuh cinta.” Leon diam. Ada bayangan ragu di wajahnya. “Mungkin pura-pura itu… kadang jadi terlalu nyata.” Perkataan itu membuat Alinea menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Leon tak menjawab. Ia hanya menatap Alinea dalam-dalam. Sekilas, hanya sekilas, ada luka lama yang muncul di matanya. Tapi seperti biasa, ia menutupinya dengan senyum tipis yang sulit dibaca. “Yuk masuk. Sebentar lagi giliran kita memberi sambutan.” --- Di dalam ballroom, suasana semakin ramai. Musik pelan mengiringi langkah para tamu yang berlalu-lalang. Alinea dan Leon kembali ke meja utama, di mana beberapa rekan bisnis sudah menanti. Namun saat mereka duduk, Claudia mendekat dengan segelas wine di tangan. “Kalian pasangan yang menarik,” katanya, memaksakan senyum manis. “Apa kalian akan segera punya bayi?” Pertanyaan itu langsung membuat suasana menegang. Alinea menelan ludah. Ia tahu Claudia sengaja melontarkan pertanyaan itu untuk menjatuhkannya. Tapi sebelum ia sempat bicara, Leon menjawab, “Itu urusan kami. Tapi kalau kamu penasaran karena masih peduli, Claudia, maaf ya. Aku sudah bukan bagian dari masa lalumu.” Claudia terdiam. Wajahnya menegang, tapi tetap memaksakan tawa. “Aku hanya bercanda, Leon.” “Tapi aku tidak,” balas Leon dingin. Alinea merasakan dada kirinya berdebar. Ia tak tahu harus senang atau bingung, tapi satu hal pasti—Leon mulai membelanya di depan umum. Dan itu… terasa nyata. Saat acara semakin ramai, beberapa wartawan yang meliput mulai mendekati pasangan Leon dan Alinea. Claudia, dengan senyum manisnya, menyelinap di tengah-tengah kerumunan. “Oh, wartawan dari Majalah Bisnis Metro ya?” sapanya dengan manja. “Kenalkan, ini Alinea, istri barunya Leon. Gadis yang manis, ya? Katanya dulu kerja sebagai pelayan kafe?” Suara Claudia cukup keras untuk didengar semua orang. Alinea tersentak. Wartawan langsung melirik padanya, penasaran. Sorot lampu kamera mulai menyala. Namun sebelum Alinea sempat bicara, Leon menarik tubuhnya mendekat dan berkata lantang, “Alinea memang berasal dari dunia yang berbeda. Tapi justru itu yang membuatnya istimewa. Aku mencintainya karena dia tidak palsu.” Claudia terdiam, senyumnya memudar. Wartawan tersenyum dan mengangguk, mencatat kata-kata Leon. Alinea menatap Leon dengan mata lebar. Ini lebih dari sekadar membela. Dan untuk pertama kalinya malam itu… dia tak tahu apakah semua ini masih pura-pura, atau sudah mulai nyata. --- Adegan Tambahan 3: Percakapan Larut Malam di Dapur Setelah acara selesai dan semua tamu pulang, Alinea turun ke dapur karena tak bisa tidur. Ia membuka kulkas dan mengambil susu, lalu menuangkannya ke gelas. Tak lama, suara langkah terdengar dari arah tangga. Leon muncul, juga masih terjaga. “Kamu belum tidur juga?” tanyanya. Alinea mengangguk. “Kepalaku masih penuh.” Leon duduk di kursi dapur dan menatapnya. “Kamu tampil sangat tenang tadi. Padahal aku tahu, kamu pasti tegang setengah mati.” Alinea tertawa kecil. “Karena kamu. Kamu selalu tahu caranya menutupi kelemahan orang lain.” Leon mengambil gelas susunya. “Kadang… orang yang terlihat kuat sebenarnya sedang rapuh.” Alinea menatapnya. Dan di tengah malam yang sunyi itu, mereka saling memandang lebih lama dari biasanya. Tidak ada kamera. Tidak ada kontrak. Tidak ada penonton. Hanya ada dua hati yang perlahan… mulai saling membaca. --- Adegan Tambahan 4: Claudia Menghadang Leon Saat Sendiri Ketika Alinea sedang di toilet, Claudia menghampiri Leon yang berdiri sendiri di dekat meja minuman. “Kamu berubah, Leon. Dulu kamu nggak semudah itu jatuh ke dalam permainan,” bisik Claudia. Leon menatapnya dingin. “Ini bukan permainan, Claudia. Setidaknya tidak untukku.” Claudia menyipitkan mata. “Jangan bilang kamu benar-benar jatuh cinta sama dia.” Leon diam. “Leon… kamu tahu dia cuma gadis biasa. Dia nggak akan bisa mengimbangi dunia kamu. Dia akan hancur di tengah kerasnya hidupmu.” “Tapi justru karena dia biasa… aku bisa bernapas. Sesederhana itu.” Jawaban itu membuat Claudia membeku. Dan untuk pertama kalinya… dia menyadari bahwa dia mungkin benar-benar kehilangan Leon untuk selamanya. .. Mobil melaju perlahan di jalanan ibu kota yang mulai lengang. Di dalamnya, hanya ada sunyi yang menggantung di antara Alinea dan Leon. Tapi itu bukan sunyi yang canggung—lebih seperti diam yang berisi. Diam yang membicarakan lebih banyak daripada kata-kata. Alinea mencuri pandang ke arah Leon yang menyetir dalam diam. Sorot matanya tampak lebih tenang, namun tetap menyimpan banyak lapisan yang tak mudah ditebak. “Kamu serius waktu bilang aku lebih dari Claudia?” Alinea akhirnya bertanya pelan, nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulutnya. Leon melirik sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. “Kenapa harus bohong?” Alinea mengalihkan pandangan ke luar jendela, berusaha menahan senyum kecil yang entah kenapa muncul begitu saja. Begitu sampai di rumah, Leon lebih dulu membuka pintu mobil dan membukakan pintu untuk Alinea. “Masuk duluan. Aku nyusul sebentar.” Alinea mengangguk, melangkah ke dalam dengan perasaan yang masih kacau. Begitu masuk, ia melepas high heels-nya dan bersandar di dinding lorong. Jantungnya masih berdetak cepat karena ucapan Leon di mobil tadi. Tak lama, Leon masuk. Ia membawa jaket yang tadi tertinggal di mobil. “Kamu belum tidur?” Alinea menggeleng pelan. “Masih kebayang tadi malam. Semua sorot mata mereka. Claudia. Wartawan. Semua terasa seperti mimpi.” Leon mendekat. “Mimpi buruk?” Alinea menatapnya. “Nggak tahu. Tapi kalau iya, kamu berhasil bikin bagian akhirnya jadi mimpi indah.” Leon tersenyum kecil. “Aku nggak janji akan selalu bikin segalanya indah. Tapi setidaknya, aku akan pastikan kamu nggak sendirian.” Kata-kata itu menampar sisi rapuh Alinea yang selama ini berusaha dia sembunyikan. Sejenak, mereka hanya berdiri berhadapan. Waktu seolah berhenti. Alinea akhirnya bicara, pelan tapi mantap, “Kita boleh pura-pura di depan dunia, tapi jangan pura-pura di rumah ini. Aku butuh kejujuran, Leon. Bahkan kalau itu menyakitkan.” Leon menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Baik. Mulai malam ini, tidak ada kepura-puraan di antara kita. Tapi kamu juga harus janji, jangan lari kalau suatu saat kamu tahu bagian paling buruk dariku.” Alinea tersenyum tipis. “Aku juga bukan wanita sempurna, Leon. Tapi kalau kamu mau tetap berdiri di sampingku… aku nggak akan kemana-mana.” --- Malam itu, Alinea masuk ke kamarnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada benih hangat yang mulai tumbuh, meski belum jelas apa namanya. Dan di kamarnya, Leon berdiri menatap langit dari balik jendela. Masing-masing memikirkan hal yang sama: Apakah hati ini mulai terlibat dalam kontrak yang katanya hanya di atas kertas?Pagi itu datang dengan sunyi yang aneh. Udara terasa berat dan tidak seperti biasanya. Alinea terbangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya lembutnya sudah merambat ke sela tirai jendela kamar. Leon masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur. Wajahnya tampak lelah, tetapi tenang. Alinea mengusap pipinya perlahan, mengingat semua yang terjadi semalam.Surat ancaman, boneka rusak di pagar, dan kalimat mengerikan yang tertulis di gulungan kertas... semuanya masih terekam jelas dalam benaknya. Ia menggenggam liontin peninggalan ibunya dan menarik napas panjang.Beberapa jam kemudian, Leon bangun. Ia langsung memeriksa ponselnya—kamera keamanan, pesan dari tim keamanannya, dan satu nama yang ia cari sejak lama: Ansel."Kita dapat petunjuk," kata Leon sambil mengenakan baju. "Ansel ternyata tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Tapi minggu lalu, dia kembali ke Indonesia, lewat jalur pribadi. Tanpa catatan resmi."
Paket yang Membawa LukaLangit sore mulai dipenuhi awan kelabu saat mobil Leon melaju cepat di jalanan menuju rumah mereka. Tangan Alinea terus menggenggam erat sabuk pengaman, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tenang. Suasana di dalam mobil hening, namun bukan keheningan biasa—ini adalah keheningan yang menegangkan, penuh tanya dan dugaan."Paket itu bisa jebakan. Mereka mungkin sudah masuk rumah kita lebih dulu," kata Leon, matanya tajam menatap jalan. "Kita tidak bisa ambil risiko."Alinea menoleh ke arahnya. "Apa mungkin... Claudia?"Leon menggeleng. "Aku belum yakin. Claudia punya dendam, ya. Tapi caranya... terlalu terorganisir. Ini seperti seseorang yang sudah lama menyusun semuanya."Tak lama, mobil mereka sampai di depan rumah. Pagar otomatis terbuka, namun Leon tidak langsung masuk. Ia turun, memeriksa sekeliling terlebih dahulu.Di depan pintu, memang ada sebuah paket besar, terbungkus rapi d
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah Rayendra, dan udara dipenuhi aroma embun yang menempel di rerumputan. Alinea mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu, sementara Leon menyalakan mesin mobil dengan ekspresi serius di wajahnya. Mereka bersiap menuju tempat yang selama ini Leon hindari: rumah masa kecilnya yang kini terbengkalai.Perjalanan menuju rumah tua itu tak banyak diisi percakapan. Alinea bisa merasakan betapa tegangnya Leon. Tangan pria itu menggenggam kemudi erat-erat, sementara matanya tertuju lurus ke depan. Alinea hanya sesekali memandangi wajahnya, mencoba membaca pikiran yang tengah berkecamuk di benak suaminya itu."Kau yakin ingin ke sana?" tanya Alinea lembut.Leon mengangguk. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya disembunyikan keluargaku. Rumah itu... menyimpan lebih banyak kenangan buruk daripada baik, tapi aku yakin ada petunjuk di sana."Setelah dua jam berkendara melewati ja
Malam kembali menyapa dengan gemerlap lampu kota yang menari di balik jendela kamar penthouse Leon. Alinea berdiri membelakangi Leon, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Sementara Leon berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikannya dalam diam."Apa kau masih memikirkan pesan itu?" suara Leon terdengar dalam, namun lembut.Alinea tidak langsung menjawab. Hanya hembusan napas yang terdengar dari bibirnya. "Tidak mudah untuk melupakannya, apalagi ketika semua ini terjadi begitu cepat."Leon mendekat, langkahnya mantap namun pelan. Ia berdiri di samping Alinea dan ikut menatap ke luar. Tangannya perlahan menyentuh tangan Alinea yang dingin."Kita akan cari tahu siapa pelakunya. Aku janji." Kata-katanya tegas, namun sarat emosi.Alinea menoleh pelan ke arah Leon. "Bagaimana kalau orang itu memang berasal dari keluargamu, Leon?" pertanyaannya membuat udara di ruangan seolah mengeras.Leon menarik napas dalam. "Kalau i
Malam itu terasa semakin pekat, bukan hanya karena langit yang mendung tanpa bintang, tapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara antara Leon dan Alinea. Setelah panggilan misterius yang diterima Leon, penjagaan di sekitar rumah diperketat. Pengawal pribadi kini berjaga di setiap sudut rumah, dan kamera tambahan dipasang di lorong dan area privat.Alinea berdiri di balkon lantai dua, mengenakan mantel panjang berwarna krem dan syal wol yang dibungkuskan Leon tadi. Meski udara dingin menusuk, pikirannya jauh lebih membekukan. Matanya menatap lampu kota dari kejauhan, namun hatinya tak tenang.Leon menghampirinya diam-diam dari belakang. Ia menyandarkan tubuh di sisi pembatas balkon, menatap wajah istrinya dengan seksama. "Kalau kau lelah dengan semua ini, aku mengerti... tapi aku minta, tetaplah di sini, bersamaku."Alinea tak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Bahkan bayangan pun terasa mencu
Pukul 22.30.Langit malam di atas rumah Rayendra begitu gelap. Awan menggulung tanpa bintang, seolah malam ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang keji. Di dalam, suasana rumah sama mencekamnya.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap tajam ke luar seperti mencoba membaca rahasia dari balik kegelapan. Alinea duduk di sofa, menggenggam lengan dengan cemas. Amplop ancaman malam sebelumnya masih ada di atas meja, dikelilingi oleh dokumen lain yang ditemukan oleh tim keamanan."Kamu yakin nggak ingin mengungsi sementara?" tanya Leon tanpa menoleh.Alinea menggeleng. "Kalau aku pergi, mereka menang. Aku nggak mau lagi lari."Leon menoleh perlahan, ada rasa kagum dan khawatir yang bertubrukan di matanya. Ia melangkah pelan, lalu duduk di sisi Alinea. “Malam ini, kita akan mulai menggali siapa yang bermain di balik semua ini. Aku butuh kamu kuat.”Alinea mengangguk.Sementara itu, di kamar