Share

3

“Kenapa Citra tidak dibawa ke rumah sakit saja, Yah? Bagaimana kalau dia mengalami luka dalam?”

Pertanyaan itu menembus pendengaran Citra yang sudah siuman beberapa menit yang lalu. Tapi, ia masih ngotot menerapkan kemampuannya sebagai mantan aktris dan berpura-pura pingsan untuk mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya dengan lebih leluasa, terutama setelah ibu mertua yang sangat dibencinya meninggal dengan cara begitu tragis.

Citra tentu saja sangat riang mengetahui bahwa akhirnya rumah tangganya tidak akan diusik oleh Henny lagi. Sekarang ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus mempertimbangkan pendapat ibu mertuanya yang cerewet itu.

“Kamu kan dengar sendiri apa kata Dokter Julian tadi, Rion. Citra tidak apa-apa. Dia hanya pingsan karena stres. Seharusnya, kamu sebagai suaminya lebih memperhatikannya. Memangnya dia tidak pernah cerita apa yang membuatnya stres?”

Aku sudah bilang ratusan kali sama Rion tapi ia cuma menyuruh bersabar, batin Citra sebal.

Tentu saja, Citra sudah teramat capek. Selama tiga tahun, ia diperlakukan seperti kuman oleh ibu mertuanya sendiri.

Mengadu kepada Orion pun percuma, ia pasti bakal membela ibunya dan hanya meminta Citra maklum. Sampai kapan ia bisa menjalani hidup mengerikan seperti itu? Citra pun menyesal telah melepas karirnya sebagai aktris dan berakhir menjadi istri yang tertindas.

Ketika Citra sudah mulai berpikir untuk bercerai saja dari Orion, tiba-tiba datang seseorang yang mampu membantunya bertahan di rumah keluarga Indrayana dengan cara yang sama sekali tidak diduganya.

“Tidak ada, Citra tidak pernah cerita. Dia cuma mengeluhkan sikap Ibu yang dianggapnya membencinya,” ujar Orion.

“Dasar bodoh. Itulah yang membuatnya stres, Rion. Kamu ini bagaimana, sih? Masa kamu tidak bisa mengerti perasaan istrimu sendiri? Kalau sikapmu terus begitu, Ayah akan mendukung kalau suatu hari Citra bakal meminta cerai darimu,” damprat Erian.

Citra hampir saja spontan tertawa mendengar Orion disebut bodoh oleh ayahnya sendiri kalau tidak tiba-tiba ingat kalau ia tengah akting jadi orang malang yang tidak sadarkan diri. Ayah mertuanya memang blak-blakan, tapi anehnya tetap kelihatan karismatik. Mungkin itu salah satu sebabnya Erian menjadi pengusaha hotel terbesar di Kota Ryha, selain karena bakat bisnis yang mumpuni tentunya.

Orion tidak kedengaran berbicara lagi, mungkin sedang meresapi kebenaran dari kata-kata Erian. Ujung bibir Citra tertarik sedikit, senang karena ayah mertuanya menegur keras Orion. Suami kayanya itu memang sudah seharusnya disadarkan.

Tapi, walaupun nanti Orion akan menjelma menjadi pasangan yang pengertian, Citra tidak yakin apakah bisa mencintai Orion sepenuh hati lagi seperti dulu. Tampaknya tidak. Terlebih setelah Citra lebih mengenal orang itu dan menjalin hubungan terlarang dengannya.

Suara ketukan pintu mendadak terdengar. Citra bisa merasakan salah satu dari dua pria yang berada di samping tempat tidurnya beranjak menjauh. Ia penasaran siapa yang mengunjunginya sekarang, tapi tidak mungkin ia mencoba mengintip. Risikonya terlalu besar.

“Ada apa, Pak Nadi? Ada yang ingin ditanyakan lagi pada saya atau anak saya?”

Citra menahan napas. Sepertinya yang datang adalah polisi. Tangannya di sisi tubuh nyaris mencengkeram seprai saking terkejutnya. Bagaimanapun juga, ia belum siap diinterogasi sekarang.

“Sebenarnya saya ingin menanyai menantu Anda, Pak Erian. Tapi, tampaknya ia belum sadar,” jawab suara dalam yang diyakini Citra sebagai Nadi.

“Seperti yang Anda lihat sendiri, Pak Nadi. Namun, kata dokter keluarga kami, dia tidak apa-apa. Mungkin sebentar lagi ia akan bangun. Saya juga penasaran dengan keberadaan darah di tangannya. Oh ya, bagaimana hasil pengecekannya di laboratorium? Apa benar itu darah milik istri saya?”

Benar-benar tercengang, Citra hampir mendelik mendengar ucapan ayah mertuanya. Ada darah ditemukan di tangannya? Bagaimana bisa? Bahkan setelah mati pun, ibu mertuanya masih tetap menyiksanya. Sial!

“Kami belum menerima hasilnya, Pak. Namun, apapun hasilnya nanti, saya rasa itu bukan sesuatu yang bisa kami bagikan di luar lingkaran kepolisian, Pak. Jadi, saya tidak bisa memberitahu Anda,” tutur Nadi. Nadanya tegas, seakan menyatakan pada Erian bahwa pihaknya tidak bisa berkompromi.

“Begitu. Maaf karena saya telah lancang ikut campur, Pak Nadi. Saya cuma ingin tahu siapa yang telah membunuh istri saya,” balas Erian dengan intonasi yang agak kaku.

“Kalau begitu, kami akan kembali ke kantor untuk menganalisa bukti. Nanti kami akan datang lagi kalau menantu Anda sudah sadar,” tutur Nadi.

Citra kemudian mendengar suara derap sepatu yang menjauh dan bunyi pintu yang dibuka dan ditutup, disusul oleh langkah kaki yang dialasi oleh sandal rumah bergemirisik di karpet dan berhenti di dekatnya.

“Saya benar-benar heran dengan darah di tangan Citra tadi. Bagaimana menurut Ayah, apa Citra yang membunuh ibu?” Orion kedengaran bertanya. Tidak ada kemarahan dalam omongannya, hanya nada ingin tahu yang mendesak.

Pertanyaan Orion membuat Citra ingin menyudahi aksi pura-pura pingsan itu dan menamparnya langsung di muka. Kalau ada yang harus dicurigai atas kematian ibu mertuanya, itu adalah Orion. Bukan dia. Suaminya itu punya alasan sangat kuat untuk membasmi ibunya sendiri dari bumi.

“Kita belum bisa menyimpulkan apa-apa, Rion. Jadi, jangan berani-berani kamu membeberkan soal dugaan konyolmu itu pada reporter kenalanmu. Kalau ada sedikit saja berita negatif soal keluarga kita, itu akan memengaruhi saham hotel. Kamu paham, kan?”

Erian kedengarannya gusar. Namun, Citra tidak tahu apakah kekhawatirannya karena Orion berpikir Citra yang membunuh Henny atau justru cemas harga saham hotelnya merosot. Pikiran orang kaya memang susah diterka.

“Memangnya saya orang bodoh yang akan menyebarkan hal seperti itu? Ayah tenang saja. Biar bagaimana pun juga, hotel itu nantinya juga akan menjadi milik saya. Mana mungkin saya akan sengaja merusak reputasinya? Saya hanya ingin tahu pendapat Ayah soal ini. Apa Ayah berpikir Citra benar-benar sanggup membunuh ibu?”

Dasar Orion sialan, berani-beraninya dia menggiring opini agar Ayah mencurigaiku, kutuk Citra dalam hati. Mungkin sudah saatnya ia mengakhiri sandiwara yang dilakonkannya ini supaya Orion bisa menutup mulutnya yang berbisa itu.

Namun, Citra juga penasaran dengan jawaban ayah mertuanya. Apakah mendukung pemikiran sinting putranya atau bakal membela Citra?

“Sudahlah, Rion. Bukan ranah kita untuk menuduh siapa-siapa. Itu tugas polisi untuk mencari tahu. Kita hanya perlu menjaga agar saham kita tidak turun di pasaran,” tutur Erian mencoba bersikap bijaksana.

Citra sudah mengira akan mendengar suara Orion yang akan membujuk ayahnya untuk beropini, tapi yang dijaring oleh telinganya adalah nada dering ponsel suaminya.

“Halo. Ada apa, Ulfa? Ada email soal perjanjian kerja sama dengan perusahaan jasa kebersihan yang kamu kirim? Harus dicek sekarang? Tapi, ini sudah bukan jam kantor, Ulfa. Mendesak? Ya, ya, baiklah. Saya akan mengeceknya sekarang,” tukas Orion.

“Lebih baik kamu memeriksa email yang dimaksud sekretarismu, Rion. Ayah akan meminta Bik Yuli menjaga Citra di sini, mungkin keadaannya sudah baikan. Ayah rasa email itu benar-benar penting sampai Ulfa memintamu sekarang,” ujar Erian.

“Ya, mungkin Ayah benar,” kata Orion yang disusul oleh bunyi sandal rumah yang menjauh diikuti oleh bunyi pintu yang terkuak dan menutup.

Sepeninggal Orion, Citra bingung. Apakah sudah waktunya untuk bangun dari pingsan pura-puranya? Ayah mertuanya jelas lebih gampang dihadapi daripada suaminya sendiri yang bahkan sudah berani berpikir bahwa Citra adalah seorang pembunuh. Tapi, Citra belum sempat memutuskan saat suara Erian terdengar berbisik di telinganya.

“Sekarang kamu sudah boleh membuka mata, Citra. Pasti kamu lelah karena akting tidak sadarkan diri selama bermenit-menit.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status