Share

Kronik Negeri Nusa
Kronik Negeri Nusa
Author: Cicero

PROLOG

Diwata merasa telah mendayung selamanya, perahu kayu reot yang ia duduki melaju perlahan dibawah langit yang berubah semakin gelap. Raut wajah pemuda itu terlihat tidak puas, kedua tanganya terasa nyeri, tenggorokanya meronta meminta air. Ia memang menghabiskan sebagian hidupnya di lautan sebagai perompak, membajak kapal dagang di sepenjuru Nusa, tapi ia terbiasa menjadi penindas bukan orang yang di tindas dan melarikan diri seperti sekarang ini. Kepalanya yang dibalut kain menoleh kebelakang, menatap kearah lautan yang sepi dan pulau yang baru saja ia tinggalkan. "Tak ada yang selamat," Diwata membatin.

Sesaat dirinya terpikir untuk melompat dan membiarkan dirinya menjadi santapan hewan buas dari laut dalam, ia sendiri pernah melihat seseorang dicabik cabik oleh sekawanan hiu, seorang pedagang kain dari Malingga yang dengan bodoh menantang kelompoknya di lautan. Namun Diwata menepis pikiran itu, ia belum ingin mati, ia masih ingin hidup, dan pesannya harus tersampaikan pada sisa-sia kelompoknya. 

Pikiranya melayang memikirkan nasib teman temanya yang berada di Indanao, mereka tidak tahu apa yang akan mendatangi mereka, "Harus kuperingatkan, yang lain harus ku peringatkan." Dengan seluruh tenaganya yang tersisa, perompak yang malang itu mendayung dengan cepat menuju sebuah pulau kecil di kejauhan yang diterangi titik - titik kecil cahaya, Diwata terus mendayung hingga pandanganya perlahan semakin remang dan semakin gelap, dan nafasnya perlahan semakin berat.

Sang perompak terbangun oleh sebuah tamparan yang mendarat di pipinya. Dalam pandangannya yang masih berkunang kunang, ia melihat seseorang memegang botol berisi air dan memaksanya untuk minum, menumpahkan seisi botol keramik itu kedalam mulutnya.

"Dimana aku?" Tanya Diwata lirih, tapi orang disebelahnya justru tertawa terbahak. "Pulau Indanao dasar bodoh! Kau mendayung dari pulau Uzon sampai Indanao! Apa kau sudah gila?"

Mendengar itu ia jadi tersadar, ya mungkin saja ia sudah gila, mungkin saja kewarasanya perlahan menghilang, tapi Diwata mengingat sesuatu dan seketika mengguncang bahu orang dihadapanya dengan sekuat tenaga, "Lari! Peringatkan yang lain! Laskar Sagara akan datang dan menghabisi kita semua!"

Orang itu kembali tertawa terbahak tapi kali ini diselingi cekukan dan disertai nafas yang didominasi bau arak, ia lalu berdiri dan berjalan sempoyongan meninggalkan Diwata seorang diri berselimut rasa panik.

Pria malang itu mengerjapkan mata berusaha untuk lebih fokus dan menyingkirkan kunang - kunang di matanya. Langit rupanya sudah gelap sepenuhnya, ia dapat melihat sekumpulan orang yang sedang menari dan bernyanyi mengelilingi api unggun yang dibuat dari potongan perahu nelayan sementara bau minuman keras memenuhi udara malam.

Kelompok perompaknya ternyata sedang berpesta.

Diwata berhasil mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan menyeret kakinya di atas pasir pantai, ia berjalan menuju arah perkampungan yang terlihat lebih ramai dan riuh untuk mencari ketua kelompoknya. Melihat keadaan kampung itu, Diwata langsung menyadari bahwa teman - temanya baru saja menjarah kampung nelayan terpencil ini, terlihat jelas dari rumah - rumah yang hancur dan tangis histeris penduduk lokal ditengah tawa riang kelompoknya. Suatu kegiatan yang  biasa bagi para Perompak Lanun, menjarah kapal dan perkampungan pesisir.

"Baigu!" Ia berteriak lantang. Diwata menarik lengan salah satu perompak disana dan menanyakan keberadaan pemimpin mereka itu, tapi sayangnya jawaban yang ia terima hanya berupa muntahan.

Dengan sedikit kesal Diwata kembali melangkah dan mulutnya terus berteriak, "Baigu! Baigu!"

Kali ini ia melewati sekumpulan perompak yang menyeret seorang wanita muda kedalam rumah yang setengah hancur sementara beberapa perompak lain memukuli seorang pria yang kemungkinan besar kerabat wanita malang itu. Mata Diwata tertarik ke arah ujung perkampungan dimana terlihat gundukan yang lumayan tinggi, ia berjalan mendekat dan menyadari gundukan itu ternyata adalah tumpukan mayat warga yang habis mereka bantai. Tertumpuk dan dikerubungi serangga bagai onggokan ikan segar di pasar pagi. "Baigu dimana kau!?" sekuat tenaga Diwata kembali berteriak.

"Kenapa kau tidak berhenti berteriak, dan mulai bersenang senang, eh?" Seorang perompak muncul dibelakang Diwata, seseorang berbadan besar dan gemuk dengan bulu dada yang sangat lebat. Baigu mengenakan kain batik penuh sobekan yang menutupi pinggang hingga pahanya, juga baju terbuka yang seakan tersiksa tidak mampu menutupi tubuh besarnya, sementara di lehernya tergantung sebuah kalung emas berbandul matahari, dan  kemungkinan besar semuanya adalah barang hasil jarahan.

"Baigu! Aku telah mencarimu sejak tadi, kita harus lari dari sini! Pergi sejauh mungkin sekarang!" Diwata memohon dengan cepat, suaranya terdengar panik. "Laskar Sagara, mereka telah menghabisi semua yang ada di Uzon, kita harus segera pergi jika tidak..."

Perompak bernama Baigu itu tertawa, sekali lagi bau arak menyembur ke udara, "Biarkan orang orang kuno itu datang ! Kita ini Perompak Lanun, tidak ada yang harus kita takuti!"

Melihat keadaan kelompoknya, Diwata tampak putus asa, sebagian temanya mabuk dan tidak sadarkan diri, sebagian lain larut dalam euforia, sementara Baigu sang pemimpin perompak Lanun masih congkak seperti biasa, "Baigu, aku mohon...kalau saja kau melihat apa yang mampu orang Sagara itu lakukan di Uzon."

Baigu kemudian mengangkat tangan, ia menyuruh Diwata berhenti berbicara dan dengan angkuh berjalan kearah keramaian. "Saudarku para perompak Lanun!" Pria bertubuh besar itu berteriak sembari berjalan mondar mandir dihapan kelompoknya. Para perompak lain seketika menghentikan kegiatan dan memperhatikan pemimpin mereka, "Kawan kita Diwata ini membawa kabar dari Uzon, katanya sekelompok orang udik dari Sagara akan menyerang kita!" Seketika para perompak saling bergumam, beberapa tampak kaget, sementara yang lain cekikan renyah.

Baigu berhenti sejenak, dan menendang papan kayu didepanya hingga terbelah dua, "Banyak dari kalian yang mungkin mendengar dongeng tentang kehebatan mereka, tapi jangan lupakan! Kita adalah kelompok perompak yang ditakuti seantero Nusa! Jika Laskar Sagara itu benar benar berani datang, aku ingin kalian semua mengangkat senjata dan mencincang mereka sama seperti yang kita lakukan pada warga desa ini!"

Para perompak seketika bersorak, mereka bersulang dan menari nari dengan riang. Nala melihat teman - temanya dengan pasrah, ia lalu menghempaskan dirinya ke atas tanah berpasir seraya memegangi kepalanya putus asa, "Kita akan mati, aku akan mati," bisiknya pada diri sendiri.

Ditengah riuh sorak sorai mereka, sayup sayup terdengar teriakan ngeri yang tidak biasa, lama kelamaan teriakan itu semakin dekat. Para perompak lain mulai menampakan kebingungan tapi Diwata sudah tahu apa yang akan terjadi.

Dari arah pantai beberapa perompak lari tunggang langgang, "Kita diserang! kita di ser--" Sedetik kemudian sebuah anak panah melesat menembus tepat di bola matanya.

Menyadari kehadiran kelompok tak diundang, Baigu berteriak sambil menarik pedang dari sarungnya, "Perompak Lanun! siapkan senjata kalian!" Di sisi lain Diwata seketika berdiri dan mematung menatap kearah pantai, kejadian ini bagai mimpi buruk yang terulang. Dalam sekejap, muncul dari balik gelapnya malam belasan kesatria yang menyerbu sambil berteriak, "Demi Nusa! Demi Nusa!" Sekumpulan manusia dengan badan dipenuhi otot dan sorot mata layaknya hewan buas yang lapar.

Para penyerbu itu mengenakan zirah kulit tebal lengkap dengan lempengan besi bersimbol harimau yang terpasang dibagian dada juga mengenakan pelindung kepala yang sekilas mirip dengan bentuk kepala seekor harimau. Bagian lengan dan kaki mereka ditutupi pelindung berbahan kulit, sementara kain berwarna kecokelatan terlilit menutupi pinggang hingga paha. Mereka masing masing dilengkapi senjata mulai dari pedang, tombak, dan perisai sementara beberapa membawa busur dan anak panah.

Diwata melihat kawanan perompaknya menerjang maju, tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata pedang dan kapak, sayangnya, dalam sekejapan mata, kawanan perompak itu sudah tumbang, ada yang terpenggal, beberapa tersungkur dengan bagian tubuh sudah terpisah, sementara sisanya mati dengan kondisi yang sama mengenaskan.

Perompak yang lain tidak gentar, puluhan dari mereka dengan berani menghunuskan senjata dan menyerang sembari berteriak penuh amarah. Namun keahilan Laskar Sagara berada pada tingkat yang berbeda, orang - orang Sagara itu bertempur layaknya iblis. Diwata bergerak mundur dan berniat lari tapi Baigu menghalanginya, "Angkat senjatamu atau aku sendiri yang akan menghabisimu pengecut!"

Baigu kemudian mendorongnya maju, merasa tak punya pilihan lain, Diwata mau tak mau ikut melawan, ia mengambil sebilah golok yang jatuh lalu berlari kearah salah satu kesatria Sagara yang tampak terkepung oleh 3 perompak, salah satu perompak berhasil menebas kesatria itu namun alih alih tumbang, si kesatria malah berhasil bermanuver, membalikan keadaan dan membunuh ketiga teman perompaknya dengan sangat cepat.

Diwata berlari dan mulai mengibaskan senjata miliknya tapi serangan itu ditangkis dengan mudah, matanya melirik kearah luka tebasan yang diterima sang kesatria, lukanya masih mengucurkan darah segar tapi sosok kesatria itu sama sekali tidak tampak terganggu, tidak juga lukanya mempengaruhi kekuatan, kecepatan, dan daya tahan kesatria itu.

Diwata belum pernah melihat pemandangan seperti itu selama puluhan tahun karirnya menjadi perompak. Tanpa disadarinya darah justru tiba - tiba mencuat dari perutnya. Rupanya kesatria itu memanfaatkan kelengahan Diwata dan menusuknya dengan tombak. Golok Diwata terjatuh dari tanganya, tanganya berusaha mencabut tombak yang tertancap menembus perutnya namun tidak berhasil, tombak itu menancap terlalu dalam.

Pada saat terakhir Diwata melihat kembali kawanan perompaknya yang tersungkur habis dengan  mengenaskan, sementara belasan musuhnya tak satupun yang terlihat tumbang. Ia mendengar teriakan amarah para perompak perlahan menghilang, diliriknya Baigu yang mencoba melarikan diri namun tembakan panah tiba tiba mengenai kaki montoknya. Pria gemuk itu terjatuh diatas tanah pasir dan dalam sekejap sebuah mata tombak telah menembus lehernya yang berlemak. Baigu mati seketika.

Diwata mendengus, ia menyadari legenda dan cerita tentang para Laskar Sagara itu ternyata benar adanya. Perompak itu menyesal, ia seharusnya kabur selagi sempat. Perlahan pandangan Diwata berubah gelap, rasa sakit di perutnya yang menjadi - jadi entah kenapa mulai tak terasa lagi, mungkin ia mati rasa, dan tanpa disadarinya jantungnya tak lagi berdetak.

.

.

.

.

.

KRONIK NEGERI NUSA

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
opening yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status