Diwata merasa telah mendayung selamanya, perahu kayu reot yang ia duduki melaju perlahan dibawah langit yang berubah semakin gelap. Raut wajah pemuda itu terlihat tidak puas, kedua tanganya terasa nyeri, tenggorokanya meronta meminta air. Ia memang menghabiskan sebagian hidupnya di lautan sebagai perompak, membajak kapal dagang di sepenjuru Nusa, tapi ia terbiasa menjadi penindas bukan orang yang di tindas dan melarikan diri seperti sekarang ini. Kepalanya yang dibalut kain menoleh kebelakang, menatap kearah lautan yang sepi dan pulau yang baru saja ia tinggalkan. "Tak ada yang selamat," Diwata membatin.
Sesaat dirinya terpikir untuk melompat dan membiarkan dirinya menjadi santapan hewan buas dari laut dalam, ia sendiri pernah melihat seseorang dicabik cabik oleh sekawanan hiu, seorang pedagang kain dari Malingga yang dengan bodoh menantang kelompoknya di lautan. Namun Diwata menepis pikiran itu, ia belum ingin mati, ia masih ingin hidup, dan pesannya harus tersampaikan pada sisa-sia kelompoknya.
Pikiranya melayang memikirkan nasib teman temanya yang berada di Indanao, mereka tidak tahu apa yang akan mendatangi mereka, "Harus kuperingatkan, yang lain harus ku peringatkan." Dengan seluruh tenaganya yang tersisa, perompak yang malang itu mendayung dengan cepat menuju sebuah pulau kecil di kejauhan yang diterangi titik - titik kecil cahaya, Diwata terus mendayung hingga pandanganya perlahan semakin remang dan semakin gelap, dan nafasnya perlahan semakin berat.
Sang perompak terbangun oleh sebuah tamparan yang mendarat di pipinya. Dalam pandangannya yang masih berkunang kunang, ia melihat seseorang memegang botol berisi air dan memaksanya untuk minum, menumpahkan seisi botol keramik itu kedalam mulutnya.
"Dimana aku?" Tanya Diwata lirih, tapi orang disebelahnya justru tertawa terbahak. "Pulau Indanao dasar bodoh! Kau mendayung dari pulau Uzon sampai Indanao! Apa kau sudah gila?"
Mendengar itu ia jadi tersadar, ya mungkin saja ia sudah gila, mungkin saja kewarasanya perlahan menghilang, tapi Diwata mengingat sesuatu dan seketika mengguncang bahu orang dihadapanya dengan sekuat tenaga, "Lari! Peringatkan yang lain! Laskar Sagara akan datang dan menghabisi kita semua!"
Orang itu kembali tertawa terbahak tapi kali ini diselingi cekukan dan disertai nafas yang didominasi bau arak, ia lalu berdiri dan berjalan sempoyongan meninggalkan Diwata seorang diri berselimut rasa panik.
Pria malang itu mengerjapkan mata berusaha untuk lebih fokus dan menyingkirkan kunang - kunang di matanya. Langit rupanya sudah gelap sepenuhnya, ia dapat melihat sekumpulan orang yang sedang menari dan bernyanyi mengelilingi api unggun yang dibuat dari potongan perahu nelayan sementara bau minuman keras memenuhi udara malam.
Kelompok perompaknya ternyata sedang berpesta.
Diwata berhasil mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan menyeret kakinya di atas pasir pantai, ia berjalan menuju arah perkampungan yang terlihat lebih ramai dan riuh untuk mencari ketua kelompoknya. Melihat keadaan kampung itu, Diwata langsung menyadari bahwa teman - temanya baru saja menjarah kampung nelayan terpencil ini, terlihat jelas dari rumah - rumah yang hancur dan tangis histeris penduduk lokal ditengah tawa riang kelompoknya. Suatu kegiatan yang biasa bagi para Perompak Lanun, menjarah kapal dan perkampungan pesisir.
"Baigu!" Ia berteriak lantang. Diwata menarik lengan salah satu perompak disana dan menanyakan keberadaan pemimpin mereka itu, tapi sayangnya jawaban yang ia terima hanya berupa muntahan.
Dengan sedikit kesal Diwata kembali melangkah dan mulutnya terus berteriak, "Baigu! Baigu!"
Kali ini ia melewati sekumpulan perompak yang menyeret seorang wanita muda kedalam rumah yang setengah hancur sementara beberapa perompak lain memukuli seorang pria yang kemungkinan besar kerabat wanita malang itu. Mata Diwata tertarik ke arah ujung perkampungan dimana terlihat gundukan yang lumayan tinggi, ia berjalan mendekat dan menyadari gundukan itu ternyata adalah tumpukan mayat warga yang habis mereka bantai. Tertumpuk dan dikerubungi serangga bagai onggokan ikan segar di pasar pagi. "Baigu dimana kau!?" sekuat tenaga Diwata kembali berteriak.
"Kenapa kau tidak berhenti berteriak, dan mulai bersenang senang, eh?" Seorang perompak muncul dibelakang Diwata, seseorang berbadan besar dan gemuk dengan bulu dada yang sangat lebat. Baigu mengenakan kain batik penuh sobekan yang menutupi pinggang hingga pahanya, juga baju terbuka yang seakan tersiksa tidak mampu menutupi tubuh besarnya, sementara di lehernya tergantung sebuah kalung emas berbandul matahari, dan kemungkinan besar semuanya adalah barang hasil jarahan.
"Baigu! Aku telah mencarimu sejak tadi, kita harus lari dari sini! Pergi sejauh mungkin sekarang!" Diwata memohon dengan cepat, suaranya terdengar panik. "Laskar Sagara, mereka telah menghabisi semua yang ada di Uzon, kita harus segera pergi jika tidak..."
Perompak bernama Baigu itu tertawa, sekali lagi bau arak menyembur ke udara, "Biarkan orang orang kuno itu datang ! Kita ini Perompak Lanun, tidak ada yang harus kita takuti!"
Melihat keadaan kelompoknya, Diwata tampak putus asa, sebagian temanya mabuk dan tidak sadarkan diri, sebagian lain larut dalam euforia, sementara Baigu sang pemimpin perompak Lanun masih congkak seperti biasa, "Baigu, aku mohon...kalau saja kau melihat apa yang mampu orang Sagara itu lakukan di Uzon."
Baigu kemudian mengangkat tangan, ia menyuruh Diwata berhenti berbicara dan dengan angkuh berjalan kearah keramaian. "Saudarku para perompak Lanun!" Pria bertubuh besar itu berteriak sembari berjalan mondar mandir dihapan kelompoknya. Para perompak lain seketika menghentikan kegiatan dan memperhatikan pemimpin mereka, "Kawan kita Diwata ini membawa kabar dari Uzon, katanya sekelompok orang udik dari Sagara akan menyerang kita!" Seketika para perompak saling bergumam, beberapa tampak kaget, sementara yang lain cekikan renyah.
Baigu berhenti sejenak, dan menendang papan kayu didepanya hingga terbelah dua, "Banyak dari kalian yang mungkin mendengar dongeng tentang kehebatan mereka, tapi jangan lupakan! Kita adalah kelompok perompak yang ditakuti seantero Nusa! Jika Laskar Sagara itu benar benar berani datang, aku ingin kalian semua mengangkat senjata dan mencincang mereka sama seperti yang kita lakukan pada warga desa ini!"
Para perompak seketika bersorak, mereka bersulang dan menari nari dengan riang. Nala melihat teman - temanya dengan pasrah, ia lalu menghempaskan dirinya ke atas tanah berpasir seraya memegangi kepalanya putus asa, "Kita akan mati, aku akan mati," bisiknya pada diri sendiri.
Ditengah riuh sorak sorai mereka, sayup sayup terdengar teriakan ngeri yang tidak biasa, lama kelamaan teriakan itu semakin dekat. Para perompak lain mulai menampakan kebingungan tapi Diwata sudah tahu apa yang akan terjadi.
Dari arah pantai beberapa perompak lari tunggang langgang, "Kita diserang! kita di ser--" Sedetik kemudian sebuah anak panah melesat menembus tepat di bola matanya.Menyadari kehadiran kelompok tak diundang, Baigu berteriak sambil menarik pedang dari sarungnya, "Perompak Lanun! siapkan senjata kalian!" Di sisi lain Diwata seketika berdiri dan mematung menatap kearah pantai, kejadian ini bagai mimpi buruk yang terulang. Dalam sekejap, muncul dari balik gelapnya malam belasan kesatria yang menyerbu sambil berteriak, "Demi Nusa! Demi Nusa!" Sekumpulan manusia dengan badan dipenuhi otot dan sorot mata layaknya hewan buas yang lapar.
Para penyerbu itu mengenakan zirah kulit tebal lengkap dengan lempengan besi bersimbol harimau yang terpasang dibagian dada juga mengenakan pelindung kepala yang sekilas mirip dengan bentuk kepala seekor harimau. Bagian lengan dan kaki mereka ditutupi pelindung berbahan kulit, sementara kain berwarna kecokelatan terlilit menutupi pinggang hingga paha. Mereka masing masing dilengkapi senjata mulai dari pedang, tombak, dan perisai sementara beberapa membawa busur dan anak panah.
Diwata melihat kawanan perompaknya menerjang maju, tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata pedang dan kapak, sayangnya, dalam sekejapan mata, kawanan perompak itu sudah tumbang, ada yang terpenggal, beberapa tersungkur dengan bagian tubuh sudah terpisah, sementara sisanya mati dengan kondisi yang sama mengenaskan.
Perompak yang lain tidak gentar, puluhan dari mereka dengan berani menghunuskan senjata dan menyerang sembari berteriak penuh amarah. Namun keahilan Laskar Sagara berada pada tingkat yang berbeda, orang - orang Sagara itu bertempur layaknya iblis. Diwata bergerak mundur dan berniat lari tapi Baigu menghalanginya, "Angkat senjatamu atau aku sendiri yang akan menghabisimu pengecut!"
Baigu kemudian mendorongnya maju, merasa tak punya pilihan lain, Diwata mau tak mau ikut melawan, ia mengambil sebilah golok yang jatuh lalu berlari kearah salah satu kesatria Sagara yang tampak terkepung oleh 3 perompak, salah satu perompak berhasil menebas kesatria itu namun alih alih tumbang, si kesatria malah berhasil bermanuver, membalikan keadaan dan membunuh ketiga teman perompaknya dengan sangat cepat.
Diwata berlari dan mulai mengibaskan senjata miliknya tapi serangan itu ditangkis dengan mudah, matanya melirik kearah luka tebasan yang diterima sang kesatria, lukanya masih mengucurkan darah segar tapi sosok kesatria itu sama sekali tidak tampak terganggu, tidak juga lukanya mempengaruhi kekuatan, kecepatan, dan daya tahan kesatria itu.
Diwata belum pernah melihat pemandangan seperti itu selama puluhan tahun karirnya menjadi perompak. Tanpa disadarinya darah justru tiba - tiba mencuat dari perutnya. Rupanya kesatria itu memanfaatkan kelengahan Diwata dan menusuknya dengan tombak. Golok Diwata terjatuh dari tanganya, tanganya berusaha mencabut tombak yang tertancap menembus perutnya namun tidak berhasil, tombak itu menancap terlalu dalam.
Pada saat terakhir Diwata melihat kembali kawanan perompaknya yang tersungkur habis dengan mengenaskan, sementara belasan musuhnya tak satupun yang terlihat tumbang. Ia mendengar teriakan amarah para perompak perlahan menghilang, diliriknya Baigu yang mencoba melarikan diri namun tembakan panah tiba tiba mengenai kaki montoknya. Pria gemuk itu terjatuh diatas tanah pasir dan dalam sekejap sebuah mata tombak telah menembus lehernya yang berlemak. Baigu mati seketika.
Diwata mendengus, ia menyadari legenda dan cerita tentang para Laskar Sagara itu ternyata benar adanya. Perompak itu menyesal, ia seharusnya kabur selagi sempat. Perlahan pandangan Diwata berubah gelap, rasa sakit di perutnya yang menjadi - jadi entah kenapa mulai tak terasa lagi, mungkin ia mati rasa, dan tanpa disadarinya jantungnya tak lagi berdetak.
.....KRONIK NEGERI NUSA
Nala sampai lupa berapa lama ia telah duduk bersila diatas Pendapa, bangunan tanpa dinding dengan 8 tiang - tiang kayu sebagai penyangga atap. Saat itu Nala dan teman - temanya sedang mendengar ocehan Mpu Merdah, seoarang guru sepuh yang mengajar di Padepokan Sagara, tempat pendidikan bagi para Taruna yang ingin bergabung menjadi kesatria Laskar Sagara. Nala merasa pernah mendengar pelajaran yang sama sebelumnya, kisah sejarah tentang Mahapatih Werkudara sang pembebas pulau Sagara di masa lalu dan sosok pendiri Laskar Sagara ratusan tahun yang lalu. Dalam benaknya Nala bertanya - tanya apakah mungkin usia telah membuat Mpu Merdah pikun, atau memang gurunya itu kehabisan materi untuk diajarkan. Rasa bosan membuat mata Nala menerawang dan menengok keseberang pendapa, di sana, seorang kesatria Laskar Sagara sedang berdiri seperti sedang menunggu sesuatu. Kesatria itu mengenakan zirah berbahan kulit keras sebagai atasan, kedua lenganya ter
Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu. Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi. Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu meru
Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan. Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangk
"Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan. Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter. Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik. Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh. Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak menden
3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya. Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya. Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya
Lantai yang dilapisi marmer warna - warni, tembok putih yang tertutup permadani terbaik, deretan jendela raksasa yang menghadap taman istana di satu sisi sementara pemandangan Teluk Malka disisi yang lain, aula utama yang berada di dalam istana Malingga merupakan sebuah ruangan besar yang akan membuat mata siapapun terbelalak. Di dalam aula yang disusupi cahaya matahari sore tersebut, Dapunta Vishaka duduk di sebuah kursi jati yang dihiasi kain beludru, sebuah kursi yang telah ia duduki selama puluhan tahun menjadi Dapunta, tangan kanan kepercayaan Raja dan Ratu Kedatuan Malingga. Ia memandangi sebuah singgasana yang berjarak beberapa jengkal disebelahnya, terletak diatas lantai yang lebih tinggi sesuai dengan kedudukan orang yang bertakhta di atasnya, berhiaskan ukiran dari perak yang berkilau dan batu giok yang indah. Singgasana yang diperuntukan bagi Maharaja Malingga...atau Maharatu khusus beberapa tahun belakangan. Dihadapanya sedang berlutut seorang pria, sosok
Tradisi, kehormatan, harga diri, semuanya tak berarti apa - apa di kota seperti Glora, itulah yang selalu ada dalam benak Patih Mada setiap ia berkunjung ke kota dagang tersebut. Mada baru saja datang dari arah Madya Puri dan memasuki kota itu melewati gapura timur. Langkahnya mengarah langsung menuju bagian kota mengenaskan yang bernama 'Distrik Pelesir'. Mada saat itu menyamarkan dirinya dengan sebuah jubah lapuk lengkap dengan kerudung, ia juga menanggalkan atribut Patihnya dan hanya menyisakan keris yang terselip di pinggang untuk jaga - jaga.Sebagai seorang patih yang terhormat Mada tak ingin terlihat berada di kawasan itu, kawasan yang berbanding terbalik dengan ajaran dan prinsip Laskar Sagara.Rumah bordil, warung - warung minum, para pedagang arak dan tuak bertebaran kemanapun matanya memandang, sementara udara dipenuhi aroma alkohol dan wangi pembakaran kemenyan , dulunya Laskar Sagara melarang adanya tempat - tempat kotor seperti itu, namun Patih Gura
Para taruna saat itu sedang berada di pinggiran Hutan Vanara, berhektar - hektar lautan berwarna hijau yang terasa lembab, saking luasnya, hutan itu hampir menutupi seluruh wilayah selatan Sagara dan menghantui desa desa kecil disekitarnya. Nala dan keempat sahabatnya berada di antara puluhan taruna yang berusia 10 sampai 14 tahun, berkumpul di bagian luar hutan. Mereka dijadwalkan untuk latihan taktis hari ini. Mpu Merdah dan para guru serta pengawas lain juga hadir di sana, tapi yang membuat pertandingan kali ini spesial adalah kehadiran Patih Jambha penguasa wilayah selatan. Para taruna akan dibagi menjadi 2 kelompok yang masing - masing terdiri dari 30 orang. Kedua kelompok akan saling berhadapan di dalam wilayah hutan yang telah ditentukan. Untuk meraih kemenangan, salah satu kelompok harus berhasil merebut bendera dari markas kelompok lawan, sambil berusaha mempertahankan bendera sendiri mereka dari lawan. Mereka juga dibebaskan untuk memasang peran