LOGINUtomo dan Ragma saling memandang ketika mendengar suara seseorang yang meminta tolong. Mereka pun segera keluar dari gubuk sambil mencari asal suara itu, tetapi suaranya sudah tidak terdengar lagi.
“Apakah Ayah mendengarnya? Aku seperti mendengar suara seseorang yang meminta tolong, dan itu suara seorang perempuan,” tanya Ragma, matanya melirik ke sekitar seolah tengah mencari asal suara itu. “Ya, Ayah juga mendengarnya,” jawab Utomo sambil mengangguk kecil. Ia mengambil sebilah pisau dari balik pinggangnya. Crasshhh.... Ia memutar pisau itu, lalu dengan gerakan yang begitu tenang dan cepat ia memegang tangan Ragma, kemudian menancapkan pisau itu tepat di lengannya, kemudian menariknya hingga kulit Ragma terkoyak, seketika darah mengucur dari luka yang menganga itu. “Argh..!” Erang Ragma begitu terkejut dengan serangan tiba-tiba dari ayahnya. Ragma hendak bertanya, namun seketika mulutnya terkatup sempurna kala melihat luka di tangannya mulai menutup. Darah yang mengucur tadi seolah mengering dan kulit yang terkoyak menyatu kembali. Tangan Ragma tidak lagi menunjukkan bekas luka seperti yang baru saja terjadi. Semua menutup sempurna, seperti sedia kala. “Itu hanya pembuktian bahwa ajian itu sudah merasuk dalam dirimu, anakku. Saat ini antara dirimu dan kematian tidak lagi berjarak. Namun sulit untuk dijelaskan. Kamu mengerti?” ujar Utomo. “Iya, Ayah. Aku mengerti. Ajian rawa rontek ini seperti regenerasi yang begitu cepat terhadap diri sendiri.” “Ya, bahkan lebih besar dari itu. Tapi semoga hal buruk tidak terjadi kepadamu. Tetaplah tenang menjalani kehidupanmu sehari-hari tanpa harus menunjukkan pada siapapun. Tahan dirimu untuk tidak menunjukkan kesombongan kepada orang lain. Ilmu ini bukanlah ilmu adu tanding yang harus diumbar ke mana-mana. Ajian ini sangat terlarang, bahkan Ayah tidak tahu bagaimana jika orang biasa mengetahui bahwa kamu memiliki ajian ilmu terlarang ini.” Utomo kembali mengingatkan putranya itu. Ucapan ayahnya itu membuat Ragma terdiam. Ia sangat paham makna dari setiap kata yang terlontar. Dadanya yang terasa panas perlahan kembali normal. Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan, lalu tersenyum kepada Utomo sambil menatap kembali tangannya yang sempat terluka akibat serangan tiba-tiba itu. “Terima kasih atas segalanya, Ayah. Aku tidak tahu harus berkata apa kepada Ayah, tapi semua kebaikan Ayah akan selalu melekat di dalam hatiku.” “Tentu. Kamu adalah anakku. Ayo, kita pulang. Tidak terasa hari sudah malam, bukan? Perasaan tadi baru menjelang maghrib, tapi menjalani ritual itu seolah baru beberapa menit. Nyatanya lama juga,” jawab Utomo. “Baik, Ayah.” Mereka berdua segera pergi meninggalkan gubuk yang berada sedikit lebih jauh masuk ke dalam hutan. Keduanya melangkah dengan begitu tenang di gelapnya semak belukar yang mereka lalui. “Hahaha! Mau ke mana kau, wanita cantik? Ayo, jangan kabur, temani kami! Hahaha!” Ragma dan Utomo saling memandang saat mendengar suara tawa dan teriakan laki-laki dan itu jelas sekali ramai-ramai. “Ini tidak benar, Ayah. Sebaiknya kita cari asal suara itu,” kata Ragma. Utomo mengangguk setuju. Mereka berlari mencari sumber suara tersebut.. Tap! Tap... Langkah kaki ayah dan anak itu benar-benar sangat cepat. Bahkan, saking cepatnya, keduanya menghentakkan kaki dan melenting di udara, melompat tinggi hingga berada di atas pohon untuk mencari asal suara yang mereka dengar tadi. Begitu juga dengan Utomo, yang berdiri di atas pohon berbeda. Pandangan matanya begitu serius, mencari siapa sebenarnya yang tertawa dan berteriak sekeras itu di hutan tersebut. “Tolong! Tolong!” kembali terdengar suara seorang wanita yang meminta tolong. Ragma menghentakkan kakinya, melompat dari pohon itu menapak tanah. Begitu juga dengan Utomo. “Sepertinya suara itu dari arah barat,” kata Utomo sambil menunjuk ke arah yang ia duga. “Ayah, benar! Aku juga mendengarnya dari arah sana. Ayo, Ayah!” jawab Ragma. Mereka pun berlari, berusaha menemukan suara teriakan permintaan tolong itu. Sementara itu, di sisi lain hutan, seorang gadis muda berusia sekitar 19 tahun tengah berlari ketakutan. Setengah pakaiannya sudah robek, berlari tanpa alas kaki. Pandangan matanya yang penuh ketakutan, keringat bercucuran ditubuhnya, sesekali menoleh ke belakang di sana, delapan orang perampok berpenampilan sangat buruk mengejarnya sambil membawa senjata tajam. “Hei! Jangan kabur! Ayo, temani kami di sini! Hahaha!” teriak mereka semua sambil terus mengejar gadis muda itu. Sementara Utomo dan Ragma yang mencari asal suara tersebut berdiri di sekitar hutan, pandangan mereka tertuju pada seorang wanita yang berlari dan sekelompok laki-laki yang mengejarnya. Ragma pun berlari mendekati mereka. “Larasati, anak pak kades? Larasati!” panggilnya begitu cepat. Ternyata gadis muda itu dikenalnya. “Kang Ragma! Tolong saya, Kang!” Ragma langsung berlari cepat mendekati Larasati, begitu juga dengan Utomo. “Hei! Jangan ganggu kami! Serahkan gadis cantik itu kepada kami, hahaha! Atau kau akan mati di tangan kami! Minggir! Jangan ikut campur urusan orang lain!” teriak salah satu dari para perampok itu. “Dasar kurang ajar! Berani-beraninya kalian bertingkah tidak pantas di sini! Pergilah, jangan memancing keributan!” jawab Ragma dengan sorot mata tajam penuh amarah, menunjuk ke arah mereka semua, lalu melihat Larasati yang benar-benar ketakutan. Utomo melepas kain sarung yang terikat di pinggangnya lalu melesatkannya kepada Larasati, karena pakaian gadis itu sudah sedikit robek. “Terima kasih, PakLe,” ujar Larasati yang begitu ketakutan hingga terduduk di tanah. Dirinya benar-benar kelelahan. “Ayah, biar aku yang menghadapi mereka. Pergilah ke desa untuk mengadukan ini kepada ayahnya Larasati, Pak Kades,” ujar Ragma tegas. “Baiklah. Ayah, pergi dulu. Selesaikan mereka. Tidak perlu mengampuninya,” jawab Utomo sambil menatap ke arah sekelompok laki-laki itu. “Iya, Ayah. Mereka tidak pantas untuk diampuni. Kelakuan mereka harus diberi pelajaran,” jawab Ragma sambil mengepalkan tangan, menatap mereka semua penuh amarah. “Dasar brengsek! Kau pikir kau siapa? Hah?” teriak salah seorang dari perampok itu. Tap! Tap!! Utomo menghentakkan kakinya lalu melenting ke udara dan pergi meninggalkan Ragma. Sekelompok orang itu saling memandang lalu tersenyum sinis. “Oh.. ternyata kalian orang-orang yang memiliki kemampuan kanuragan. Apa kau pikir kami takut? Hahaha, kami pun memilikinya! Pergilah, anak muda. Kau tidak akan mampu melawan kami semua. Kau lebih baik menyerahkan wanita itu daripada mati sia-sia,” ujar seorang pria yang menjadi ketua dari pera perampok tersebut, yang berdiri tegak sambil mengacungkan senjata tajamnya. “Sombong,” ujar Ragma, kemudian membantu Larasati untuk berdiri dan menjauhkan gadis muda itu dari mereka. “Tunggulah di sini ya, jangan ke mana-mana. Mereka harus diberi hukuman.” “Iya, Kang. Terima kasih,” jawab Larasati dengan suara gemetar. “Dasar kurang ajar! Kau tidak bisa dibilangi? Kalian semua,serang dia!” teriak ketua perampok itu sambil menunjuk ke arah Ragma. “Dasar perampok-perampok sialan! Kalian benar-benar tidak bisa diampuni!” Ragma mengepalkan kedua tangannya. Meski tanpa senjata, di wajahnya tidak tampak rasa takut. Sekelompok perampok itu langsung mengitari dirinya seorang. Larasati sangat ketakutan, ia mundur hingga menubruk batang pohon yang besar. “Ya Allah, lindungi Kang Ragma…” gumam Larasati, semakin ketakutan. “Hahaha… mati kau! Serang dia!” teriak para perampok sambil maju. Wush...Samsul kembali melihat Utomo. Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk saja. Kemudian, ia menyimpan sapu lidi di samping rumah dan segera masuk. Samsul dan kedua pemuda itu hanya saling pandang saja.“Siapa yang meminta untuk datang ke sana? Kenapa tiba-tiba kita harus musyawarah ke kantor kepala desa, Jefri, Usman?” tanya Samsul, menatap mereka berdua.“Para warga, Pak Samsul. Kami cuma disuruh aja tadi,” jawab Jefri pelan.“Ya sudah, kita tunggu saja. Mungkin Pak Utomo lagi siap-siap.”“Iya, Pak. Atau kami duluan saja ke kantor kepala desa, ya, Pak? Minta tolong Pak Utomo-nya segera datang ke sana.” Usman terlihat takut saat ini. “Iya, Pak Utomo pasti akan datang, tenang saja. Beliau bukan orang yang suka lari dari masalah. Kalian tidak perlu khawatir,” ujar Samsul dengan bijak.Jefri dan Usman pun pergi setelah mendapat jaminan dari lelaki itu.Sementara di dalam rumah, Utomo sudah mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan celana span berwarna hitam. Penampilannya sangat r
Teriak Ibu Kades terlihat marah-marah sendiri. Ia terus berjalan setengah berlari, sangat cepat sekali, sedangkan beberapa warga masih terus mengejarnya hingga sampai di rumah.. Brakk!! “Bapak! Bapak!” panggil wanita itu, sambil membuka pintu begitu keras. “Ada apa, toh, Bu? Kenapa kamu malah teriak-teriak seperti itu?, banting pintu lagi, tadi katanya mau beli pecel, mana pecelnya? Bapak harus ke kantor ini,” ujar suaminya.“Pak! Kita harus segera mengusir si Ragma dari kampung ini! Dia itu mau menumbalkan Zaki, Pak!”“Astaghfirullahaladzim, ngomong opo toh kamu ini, Bu? Pagi-pagi kok malah bahas seperti itu?”Para warga yang sudah sampai mendengar pembicaraan Ibu Kades karena suaranya begitu keras. Mereka yang ketakutan pun langsung saling menyentuh satu sama lain, memberi kode untuk pergi saja. Di saat yang sama, saat mereka hendak pergi, mereka melihat Larasati yang baru saja selesai menyiram bunga.“Ada apa, Bapak-bapak, Ibu-ibu? Pagi-pagi sudah berada di depan rumah saya? s
Zaki segera bangkit saat melihat Utomo sudah berdiri di depannya.Ia tersenyum canggung sambil mengusap tengkuk sendiri. “Aku mau menemui Ragma, Pakde. Tadi aku malah meninggalkannya gara-gara ditarik sama Bapakku,” ujar Zaki sangat jujur. Ia segera duduk di salah satu dipan di belakang rumah Utomo. “Ragma sudah tidur. Dia kelelahan, karena tadi kan latihan sebelum maghrib,” jawab Utomo tenang. “Tapi Ragma tidak apa-apa kan, Pakde? Jujur saja, aku sangat khawatir dengan perasaannya. Ditambah lagi tadi orang-orang desa seperti itu, bukannya mengucap terima kasih, malah pergi meninggalkannya dengan tatapan sinis dan omongan-omongan yang nggak enak. Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi Ragma yang mengalami. Padahal dia sudah menyelamatkan adikku, Larasati.” “Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Orang-orang desa tentu sangat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi saat itu. Kita tidak bisa menyalahkan,” jawab Utomo lembut. Zaki terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Ut
Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang







