LOGIN
Arthur, seorang siswa baru saja menginjakan kaki di sekolah barunya, SMA Skywhip. Matanya berbinar memancarkan harapan, tubuhnya ramping, rambutnya hitam dengan belahan tak beraturan.
"Kau akan menemukan banyak wanita cantik, lalu merasakan ciuman yang akan mengubah hidupmu." Terngiang pesan dari sang nenek sebelum dirinya berencana menetap di asrama sekolah, terasa main-main namun Arthur mempercayainya. Baru saja menginjakan kaki di aula, Arthur sudah disambut tangga berkilau seperti emas. Firasatnya mengatakan sekolah tersebut menyimpan banyak wanita cantik seindah tangga di hadapannya. Namun, di kejauhan tampak lorong gelap dengan plang bertuliskan "ruang loker", dia pun melangkah menuju lorong yang hanya disinari lampu temaram tersebut. Arthur menelusuri tembok penuh coretan, terlihat grafiti mencolok bertuliskan "Flawless", menegaskan bahwa itu bukan sembarang nama. Tiba di ruang loker untuk menyimpan peralatannya, Arthur merasakan sebuah sentuhan lembut di telinganya. Dia memutar badannya, namun tidak mendapati siapapun, bahkan tidak ada aura kehadiran siapapun. Tiba-tiba, "Di kananmu, anak baru!" Terdengar suara bisikan seorang wanita, lembut namun terkesan misterius. Arthur berbalik ke kanan, mendapati seorang wanita berambut abu-abu berdiri anggun, senyumnya manis namun terasa menyimpan banyak rahasia. "Aku Leona, mampu menghilangkan aura keberadaanku... Apa kekuatanmu?" Tanya gadis tersebut seraya memperkenalkan diri. "Aku Arthur, kemampuanku tidak bisa merasakan sakit... Mohon bimbingannya," jawab Arthur, menundukan kepala menegaskan rasa hormat sebagai murid baru. "Apa yang akan kau lakukan sekarang? Tanya Leona. Mata Arthur seketika menyipit, dahinya yang berkernyit menegasakan kebingungan terhadap pertanyaan Leona. "Tentu belajar, tapi mencari wanita cantik tampaknya juga menyenangkan,"jawab Arthur, menutupi rasa heran dengan candaan. "Dasar pemula... Kau tidak tau kebanyakan siswa di sini belajar sendiri melalui faslitas yang disediakan?" Sindir Leona. "Apa?" Arthur terperangah. "Pantas nenek tidak mengajakku saat pendaftaran, dia menjebakku," gumam Arthur, menggaruk kepalanya, menyadari keusilan sang nenek. "Kau ikuti saja aku... Kita akan bercerita sambil melihat pemandangan," Seru Leona, bergegas pergi meninggalkan ruang loker. Arthur mengikutinya, rasa penasaran seolah tali tak kasat mata yang menyeretnya mengikuti Leona. Tak jauh dari pintu ruang loker, tampak tangga khusus menuju suatu tempat, Arthur mengikuti Leona melewati satu persatu anak tangga hingga tiba di atap sekolah. Matahari pagi menyambutnya, tiupan angin pagi itu terasa kencang hingga membuat rambut indah Leona beterbangan. Baru saja beberapa langkah, Arthur dikejutkan dengan kehadiran wanita lain di samping pintu masuk atap sekolah, rambutnya yang berwarna merah, berkibar pelan bagai mawar ditipu angin, indah. Namun, auranya terasa dingin bagaikan hati tanpa cinta, wanita tersebut sedang bertapa, matanya terpejam dihiasi bulu mata lentik. "Sebaiknya kita pergi dari tempat ini," ucap Leona mendadak, menambah kesan bahwa ada yang aneh dengan tempat tersebut. "Lucu, mengajakku ke sini lalu sekejap mengajak pergi," sindir Arthur, glabellanya mengkerut bagai daun kering. "Saat menghilangkan aura, aku semakin peka dengan aura di sekitarku... Di luar sana ada yang mengintai kita, lalu gadis itu," ucap Leona, terputus, matanya seketika menoleh ke arah wanita berambut merah. "Ayo, kita jangan berurusan dengannya!" Seru Leona, segera menarik tangan Arthur. Namun, baru saja hendak melangkah keluar, wanita berambut merah tersebut bangkit dan menghadang. "Keluar masuk tanpa permisi adalah penghinaan... Aku Elixia, tidak akan memaafkanmu." Wanita tersebut memperkenalkan diri, matanya menyala bagaikan serigala menjaga wilayah kekuasaanya. Dengan presisi dia menendang Arthur, Membuatnya terpental beberapa meter. "Pukulan Mawar Membelah Bumi!" Elixia segera melompat, menari dengan indah di udara, melesatkan pukulan sambil menukik tajam. Cepat, membuat Arthur tidak sempat menghindar, memaksanya menyilangkan kedua tangan untuk menahan serangan tersebut. "Bayang Menyelinap!" Leona menarik tangan Arthur, namun efek pukulan Elixia yang menciptakan tiupan angin kencang membuat mereka terguling cukup jauh. "Kau... Sejak kapan ada di situ?" Pekik Elixia, tidak menyadari kehadiran Leona sebelumnya. Dia berjalan mendekat, hendak menghabisi kedua orang di hadapannya. Arthur segera bangkit, "Kau... Lampiaskan saja semuanya padaku!" Serunya, berdiri menutupi Leona dan bersiap melindunginya. "Baik... Kau yang memintanya!" Elixia tersenyum meremehkan, mendekat dengan cepat ke arah Arthur. "Tarian Mawar Berduri!" Elixia melesatkan sejumlah pukulan kombinasi, pukulan tersebut tampak tidak mengenai tubuh Arthur. Namun, tiba-tiba dirinya tersungkur, memuntahkan darah segar yang membasahi lantai atap sekolah. "Kuakui nyalimu, anak baru!" Seru Elixia, senyumnya menusuk bagaikan duri mawar. Dia kemudian menurunkan sedikit kepalanya, sejajar dengan wajah Arthur yang kini terduduk dengan lutut bertumpu di lantai. Elixia mendekatkan bibirnya ke dekat bibir Arthur, "Ciuman Pencabut Sukma!" Ia berbisik. Arthur terkesiap, jantungnya berdegup liar, ciuman yang dijanjikan sang nenek datang dengan cepat dari seorang wanita cantik sekaligus mematikan. Namun, bukannya kenikmatan, Arthur merasa kesulitan bernafas seperti paru-parunya tertusuk duri mawar. "Jadi ciuman itu adalah jurus mematikan," gumam Arthur, pandangannya kabur, bibirnya bergetar. "Anggap saja itu ciuman perkenalan dariku... Lebih lama kau akan mati!" Seru Elixia, mengibaskan rambut merahnya, menghilang dengan cepat diiringi tiupan angin. Leona melonjak mendekati Arthur, "Kau baik-baik saja?" Tanyanya, memastikan kondisi Arthur dengan cemas. "Buka bajumu..." Seru Leona. "Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Arthur, membuka seragam dengan ragu. "Kau jangan berfikir aneh... Cepat duduk bersila!" Jawab Leona. Arthur segera duduk bersila dengan bertelanjang dada, demikian pula Leona di belakangnya. Leona mengulurkan kedua tangannya menyentuh punggung Arthur dengan lembut. "Aku akan mengalirkan hawa murniku untuk menyembukanmu," ucapnya. "Kau juga tau tentang hawa murni? Aku kira hanya aku dan nenek yang tau," Arthur terkejut. "Tentu saja... Energi kehidupan yang memberi kemampuan unik, bisa digunakan untuk penyembuhan... Itu diajarkan di sekolah ini," Jawab Leona. Aliran hawa murni mengalir dari tubuhnya menuju telapak tangan dan meresap ke tubuh Arthur melewati punggungnya. Menciptakan sensasi hangat di seluruh tubuh, menyembuhkan organ dalamnya, Arthur merasa nyaman, matanya terpejam menikmati aliran hawa murni Leona. Setelah pulih, Arthur membuka matanya, tampak Leona jongkok di hadapannya seraya tersenyum. "Kenapa kau baik padaku sejak kita pertama bertemu?" Tanya Arthur. "Auramu, begitu tenang dan lembut," jawab Leona, tersenyum seraya menutup mata, seolah merasakan aura tersebut. "Lalu siapa gadis tadi?" Tanya Arthur. Leona mengabaikannya, berjalan menuju pagar pembatas atap sekolah. Arthur mengikutinya. Leona menatap ke arah gedung-gedung usang di hadapannya, berulang kali meghembuskan nafas seolah bersiap menceritakan suatu rahasia besar. "Elixia Ross..." Sebuah nama dari Leona memecah keheningan. "Member utama geng Flawless, jangan cari masalah dengannya!" Lanjut Leona, memperingati Arthur. Arthur teringat coretan grafiti di lorong, menegaskan firasatnya bahwa nama tersebut bukan sembarang nama. "Flawless?" Tanya Arthur lagi, kali ini tatapannya menunjukan rasa penasaran yang begitu mendalam. "Geng terkuat di sekolah ini... Bahkan, di seluruh perbatasan kota Greenhaven," jelas Leona, wajahnya masih menyimpan misteri. "Flawless, gadis ciuman kematian, lalu gadis di hadapanku... Nenek, tempat apa ini?" Gumam Arthur, menghembuskan nafas yang tertahan sedari tadi. Baru hari pertama, Arthur sudah dikejutkan dengan hal-hal aneh di sekolah barunya. Dengan wajah pasrah seraya menepuk jidat, dia menatap Leona di hadapannya.Tepat setelah keluar dari area menuju kuil sembilan dewa, tim senyap lalu membagi kelompok menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua orang. "Kalian tetap awasi kuil sembilan dewa," ucap seorang tim senyap yang memakai pakaian ninja dan hanya terlihat matanya saja. Setelah dua orang lainnya kembali menuju area kuil sembilan dewa, dia bersama seorang lainnya yang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya menuju ke belakang dua buah pohon besar. Tak lama, mereka muncul kembali tanpa mengenakan pakaian ninja dan tampaklah dua orang sosok remaja belia dengan menggendong tas di punggung. Satu orang pria dan satu orang adalah wanita, sorot mata mereka memancarkan kesetiaan, rambut mereka bagai cahaya bulan purnama yang bersinar di gelapnya malam. Tim senyap pria menarik tim senyap wanita untuk segera bergegas, namun wanita tersebut menahan tarikan si pria dan menahan langkahnya. "Ada apa, Lena?" Tanya tim senyap pria seraya berbalik untuk melihat temannya. "Apakah yang kita lakukan s
Melihat dua buah kepala menggelinding seolah tidak ada artinya, hati Elixia dipenuhi perasaan gelisah. Dua pasang anggota dewan antar siswa bertarung satu sama lain, tentu ini bukan sesuatu yang biasa. Ketika membujuk Elixia menjadi sekutu, Valerina berkata bahwa dia hanya membunuh satu orang selama hidupnya, yaitu donatur SMA Skywhip yang dia cabik saat pesta bulanan siswa. Kenangan buruk itu menghantui Elixia lagi. Elixia tidak segan menarik tangan Valerina, membawanya jauh dari kerumunan, "apa yang kau lakukan pada mereka?" Tanyanya dengan lirih, matanya menyipit penuh kecurigaan terhadap gadis yang kini menggunakan jubah hitam. "Mereka ingin bergabung, aku hanya menguji kesetiaan mereka," jawab Valerina dengan nada dan tatapan yang dingin. "Dengan cara membuat mereka saling membunuh? Itu sama kejinya dengan membunuh langsung!" Cecar Elixia, kini tatapannya tajam seperti berusaha masuk ke dalam pikiran Valerina. "Sssttt, sebaiknya kau diam... Mereka bukan dirimu yang bisa aku p
Beberapa menit sebelum kedatangan Flawless ke tempat pertarungan Riokusa dan Valerina... "Hahahaha," Valerina tertawa seraya memandang wajah Riokusa yang ditopang kedua tangannya. Dia menyimpan kepala Riokusa di tengah altar seolah persembahan untuk dewi kematian. Valerina kemudian mengambil dua buah lilin yang jatuh akibat pertarungannya, dengan perlahan dan presisi dia meletakannya di kedua sisi kepala Riokusa. Dengan tawa mengerikan menguar di udara dia merentangkan kedua tangannya, menyerap kabut hitam sisa-sisa hawa murni dari berandalan yang tewas. Dia pun pergi meninggalkan tempat ibadah kosong untuk kembali ke kuil sembilan dewa. Secepat bayangan dia melesat, meninggalkan jejak kabut hitam yang beterbangan ditiup angin malam. Sesampainya di depan tangga menuju kuil sembilan dewa, empat orang sudah menunggunya. Mereka adalah Carls, Dals, Zenia, dan Zenita, empat anggota dewan antar sekolah yang berkhianat. "Hahahaha, sudah berapa lama kalian menungguku?" Tanya Valerina, d
Ksatria berpakaian putih, berikat pinggang hitam turun dari langit. Dengan tekad dan semangat untuk berkorban, dia bertarung dengan dewi kematian. Walaupun mampu memberi kerusakan, namun pada akhirnya dewi kematian... "Sial... Lagi-lagi ada bagian tulisan yang seperti terhapus," gumam Livia, ketiga kalinya buku ramalan pemberian Eleana yang kini dia baca, memiliki paragrah tidak lengkap. Livia fokus pada kalimat "pakaian putih dan ikat pinggang hitam" yang mengingatkannya pada Riokusa. Entah kenapa hatinya terasa berdegup kencang, tangannya bergetar tak karuan. "Riokusa, apa yang terjadi padamu?" Tanya Livia dalam hati, sudah dua jam Riokusa belum kembali. "Kak Rio!" Seru Leona, tiba-tiba bangun dari tidurnya, membuat Livia terkesiap karena terakhir kali mengigau, nama Arthur yang Leona sebutkan. "Kau kenapa, Leona?" Tanya Livia, cepat. Dia segera melonjak ke tempat tidur Leona, terbuat dari batu alam, dilapisi seprai yang dibeli Riokusa siang tadi. "Entah kenapa aku merasa ada s
Riokusa teringat ucapan Livia untuk melarikan diri jika bertemu Valerina, matanya menatap ke sekeliling untuk mencari celah melarikan diri. Terpantau hanya ada dua jalan keluar, pintu masuk dan bubungan atap yang gentingnya telah dia buka sebelumnya. Valerina mengeluarkan gelombang kejut menggunakan hawa murninya, membuat pintu masuk tertutup dengan sendirinya. Diikuti suara besi penyangga pintu yang berputar 180 derajat, menahan pintu untuk dibuka dari luar. "Jika aku melompat ke atas sambil menggendong sebuah mayat, aku akan mudah diserang," gumam Riokusa, menyadari tidak ada cara lain selain menghadapi Valerina. Sementara itu, kabut hitam dari beberapa korban yang mati terus menerus terserap ke dalam tubuh Valerina. "Mau tidak mau, aku harus mengalahkan Valerina secepatnya sebelum hawa murni para korban habis terhisap," lanjut Riokusa, sadar dirinya terjebak dilema. "Hahaha... Kenapa kau diam? Tampaknya kau kebingungan karena tidak ada jalan keluar ya?" Sindir Valerina, tertaw
Riokusa menatap ke arah langit, pikirannya campur aduk. Menerima tawaran bekerja di perbatasan kota demi menjadi kuat, namun musuh yang dihadapi kali ini bukanlah alat latihan untuk menjadi lebih hebat. Apalagi, alam seakan tidak memberi restu padanya malam ini. Bulan hanya tampak bagaikan sabit, tidak ada satupun bintang yang bersinar di langit gelap. Mata Riokusa menerawang ke batu karang besar dekat air terjun yang seolah tidak lelah untuk mengalir. Sama seperti Arthur yang sedari tadi ditinggalkan sendiri di sana, masih setia duduk bersila. "Entah apa yang dipikirkannya," gumam Riokusa, dia pun menuju tempat Arthur saat ini berada. Siapa tahu, dia bisa sedikit mengurangi kebimbangan Riokusa. Sampailah dia di atas tempat Arthur termenung seorang diri. "Permisi... Bolehkah aku mengobrol sebentar?" Tanya Riokusa, Arthur menatap dengan ramah, senyum tersungging dari bibirnya. "Bolehkah aku titip padamu cara membuka pintu keluar masuk tempat ini?" Tanya Riokusa, membalas senyum Art







