Home / Rumah Tangga / Ku Miskinkan Suamiku / 2. Pengkhianatan yang di dukung

Share

2. Pengkhianatan yang di dukung

last update Last Updated: 2025-09-22 15:44:20

Fahri terdiam. Wajahnya tegang. Ia tahu, Khalisa bukan tipe wanita yang mudah dikalahkan. Dengan langkah gemetar tapi tegas, Khalisa keluar dari rumah itu. Air matanya belum berhenti jatuh, tapi ada api baru menyala di hatinya. Api amarah yang perlahan mengusir kesedihan.

“Jangan angkuh, Khalisa! Bisa apa kamu tanpa Fahri? Kamu itu cuma pengangguran, hidupmu numpang di rumahnya Fahri. Jangan mimpi bisa bangkit tanpa dia!” suara Bu Laila melengking dari balik pintu.

Langkah Khalisa terhenti sejenak. Dadanya sesak, hatinya berdenyut sakit mendengar kata-kata itu. Ia menoleh sebentar, matanya berair tapi penuh amarah.

“Insya Allah, Bu… saya bisa hidup tanpa anak Ibu, tanpa semuanya. Kalian lihat saja nanti.”

Khalisa melangkah cepat keluar gerbang, air matanya deras, pipinya basah. Belum jauh berjalan, suara lain menghentikan langkahnya. Dua gadis berseragam SMA berdiri di teras rumah, menatap Khalisa dengan pandangan heran. Mereka adalah Arini dan Arlina, adik Fahri.

“Mbak Khalisa? Ada apa? Kok keluar kayak orang habis berantem?” tanya Arini polos.

Khalisa tidak menjawab. Ia menunduk, mempercepat langkah. Arlina menyikut kakaknya lalu berbisik, cukup keras untuk terdengar.

“Aneh banget istri Mas Fahri. Mungkin dia yang salah, makanya dimarahin.” Dan tawa keduanya pecah.

Khalisa menutup mulutnya, menahan tangis yang kian memuncak. Dadanya terasa ditusuk-tusuk.

“Ya Allah… apa salahku sampai mereka semua menghina aku begini?” bisiknya lirih.

Sesampainya di rumah besar miliknya, Khalisa masuk dengan langkah gemetar. Ruang tamu yang biasanya terasa hangat kini tampak kosong dan dingin. Ia menjatuhkan diri di sofa, menangis tersedu-sedu.

“Aku ini apa? Istri atau boneka? Aku dijaga hanya karena status, tapi saat nggak bisa kasih anak, aku dibuang kayak sampah.”

Tangannya gemetar, menggenggam ponsel. Foto-fotonya bersama Fahri masih tersimpan di galeri: saat ulang tahun pernikahan, saat makan malam sederhana, saat Fahri pamit kerja dengan senyum hangat. Semua itu sekarang terasa seperti kebohongan besar. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor Fahri.

Fahri: Lis, aku minta maaf. Jangan ambil keputusan gegabah. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa ninggalin Nayla. Dia sebentar lagi lahiran. Aku janji tetap tanggung jawab sama kamu. Khalisa terdiam membaca pesan itu. Tangannya gemetar. Air matanya jatuh lagi.

“Jadi… aku disuruh terima jadi istri kedua? Terima kasih sudah dikhianati, terima kasih sudah dibagi?!” suaranya meninggi. Ia melempar ponsel ke sofa, tubuhnya bergetar menahan marah.

Keesokan harinya, Khalisa duduk di teras rumahnya. Wajahnya sembab. Saat itulah sahabatnya sejak kuliah, Nadia, datang berkunjung.

“Lis… aku dengar kabar dari tetangga. Kamu nggak apa-apa?” tanya Nadia, duduk di sampingnya.

Khalisa menutup wajahnya. “Dia selingkuh, Nad. Suamiku selingkuh. Dan parahnya… keluarganya dukung dia. Mereka hina aku karena belum bisa kasih anak.”

Nadia mengepalkan tangan. “Astaga, Lis. Mereka itu keterlaluan! Kamu yang setia, yang sabar, malah disia-siain. Kamu harus bangkit, Lis. Jangan biarkan mereka injak harga dirimu.”

“Aku bingung, Nad. Aku nggak punya orang tua, nggak punya siapa-siapa. Mereka bilang aku nggak bisa hidup tanpa Fahri.”

Nadia menatapnya tajam. “Mereka salah besar! Kamu bisa, Lis. Kamu punya rumah, kamu punya otak, kamu punya kemampuan. Jangan remehkan dirimu sendiri. Kalau perlu, kamu buktikan… kamu bisa bikin Fahri nyesel sampai hancur!”

Khalisa menatap sahabatnya, matanya masih berkaca-kaca, tapi ada cahaya lain yang mulai menyala. “Aku takut, Nad… tapi aku juga marah. Aku nggak terima diperlakukan kayak gini.”

Nadia mengangguk. “Bagus. Gunakan marahmu itu buat bangkit. Jangan buang air matamu percuma untuk laki-laki pengkhianat.”Malam itu, Khalisa duduk di ruang kerjanya. Ia menatap layar laptop, mengingat semua kata-kata hinaan yang keluar dari mulut mertuanya.

“Pengangguran.”

“Tidak bisa kasih keturunan.”

“Hanya numpang hidup dari Fahri.” Khalisa mengepalkan tangan. “Baik. Kalau mereka pikir aku lemah, aku bakal tunjukkan siapa aku. Aku mungkin bukan siapa-siapa sekarang… tapi aku bisa jadi lebih besar dari Fahri. Aku akan buat dia menyesal. Aku akan miskinkan dia dengan tanganku sendiri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Miskinkan Suamiku   9. Fahri datang

    Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes

  • Ku Miskinkan Suamiku   8. Nayla mengadu

    Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara

  • Ku Miskinkan Suamiku   7. keberanian khalisa

    Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek

  • Ku Miskinkan Suamiku   6. Kemarahan khalisa

    Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke

  • Ku Miskinkan Suamiku   5. Aku yang punya hak

    keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal

  • Ku Miskinkan Suamiku   4. Talak aku

    Fahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam. “Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status