LOGINAir matanya berhenti. Wajahnya tidak lagi hanya menyimpan luka, tapi juga tekad.Khalisa menatap bayangan dirinya di kaca jendela.
“Mulai hari ini… aku bukan lagi Khalisa yang sama, tidak akan tunduk lagi padamu mas!”. Nadia mengangguk mendukung keputusan sahabatnya itu. Selang dua hari setelah khalisa dari rumah mertuanya tiba-tiba Suara klakson mobil berhenti tepat di depan pagar rumah besar Khalisa. Dari jendela lantai dua, ia bisa melihat mobil mewah hitam berkilau berhenti. Hatinya langsung berdebar tak enak. Nafasnya tercekat saat pintu mobil terbuka. Fahri turun, dengan wajah tenang seakan tak terjadi apa-apa. Namun yang membuat darah Khalisa berdesir panas, ada Nayla yang ikut turun, bergelayut manja di lengan Fahri. Perut buncitnya jelas terlihat, dan ia tersenyum puas—senyum penuh kemenangan. Belum cukup, Bu Laila dan Pak Arman, mertuanya, ikut keluar. Dua adik iparnya, Arini dan Arlina, ikut turun sambil cekikikan. Di tangan mereka ada koper besar, tas pakaian, bahkan beberapa kardus. Khalisa berdiri kaku di balik pintu, tangannya bergetar saat gagang pintu diputar. “Assalamu’alaikum!” suara Bu Laila lantang, seakan rumah itu memang miliknya. Khalisa membuka pintu perlahan. Wajahnya pucat. “Wa’alaikumussalam… ada apalagi datang ke sini rame-rame?” Nayla menempel makin erat di lengan Fahri. “Lis, kamu nggak usah kaget. Kami cuma datang, ya, silaturahmi lah agar hubungan keluarga kita lebih harmonis. Rumah ini kan rumah bersama. Jadi wajar kalau kami juga di sini.” Khalisa ternganga. “Apa maksud kamu? Ini rumah aku! Rumah yang aku beli dengan hasil jerih payahku! Kalian nggak punya hak seenaknya masuk!” Bu Laila langsung maju, menunjuk hidung menantunya. “Jangan sombong, Khalisa! Kamu pikir tanpa Fahri kamu bisa apa? Rumah ini memang dibeli atas nama kamu, karena kamu istri Fahri Artinya ini rumah keluarga. Fahri punya hak penuh bawa kami masuk ke sini.” Pak Arman hanya duduk di sofa sambil menyalakan rokok, menghembuskan asap dengan santai. “Sudahlah, Lis. Jangan ribut di depan orang. Toh ini juga rumah suamimu.” “Rumah suamiku?” suara Khalisa bergetar. “Pak, Bu… kenapa kalian seenaknya begitu? Aku ini istrinya, bukan pembantu yang bisa diatur sesuka hati.” Arini dan Arlina cekikikan sambil menenteng koper. “Aduh, repot banget sih Mbak Khalisa. Santai aja, toh rumahnya masih luas. Lagian, kalau ada Nayla, suasananya pasti makin ramai. Sebentar lagi ada bayi loh, cucu pertama Mama sama Papa!” Tawa mereka pecah. Khalisa menahan napasnya, dadanya naik turun cepat. “Kalian semua tega banget. Mas Fahri, kamu diam aja? Kamu biarin keluargamu injak harga diriku di rumahku sendiri?” Fahri melangkah maju, mencoba meraih tangan istrinya. “Lis… tolong denger aku dulu. Aku bawa mereka ke sini supaya kita bisa bicarakan baik-baik. Jangan emosi dulu, ayo masuk ke kamar. Kita bicara berdua.” Khalisa menepis tangannya kasar. “Jangan sentuh aku, Fahri! Kamu sudah cukup bikin aku hancur kemarin. Sekarang kamu datang, bawa dia, bawa Nayla dan keluargamu, masuk seenaknya ke rumahku?!” Nayla pura-pura tersenyum manis, tangannya mengelus perut buncit. “Lis, kamu nggak perlu marah-marah. Aku di sini juga karena Fahri yang ajak. Lagian, sebentar lagi aku lahiran. Masa iya suami aku ninggalin aku sendirian? Kamu kan tahu aku butuh dia.” “Suami kamu?!” suara Khalisa meninggi. “Dia suamiku, Nayla! Sah secara agama, sah secara negara! Kamu itu cuma—” suaranya tercekat karena air mata menutupi pandangannya. Fahri buru-buru memotong. “Lis, jangan begitu! Aku nggak pernah niat nyakitin kamu. Aku salah, aku khilaf. Tapi aku mau tanggung jawab. Aku tetap ingin kamu jadi istriku. Aku cuma… aku juga harus ada buat Nayla. Dia butuh aku, Lis. Anakku ada di kandungannya.” “Anakmu?” Khalisa menatapnya dengan mata merah, suara pecah. “Anakmu ada di rahim perempuan yang bukan istrimu! kalian pezina! Dan sekarang kamu bawa dia ke rumah ini, ke rumahku, minta aku nerima, aku jijik liat kalian?!” amarah khalisa memuncak. Bu Laila maju, suaranya dingin. “Khalisa, kamu harus tahu diri. Kamu itu sudah 4 tahun menikah, tapi belum juga kasih cucu. Nayla bisa. Jadi wajar kalau Fahri lebih perhatiin dia. Kamu jangan egois, syukur karena Fahri masih mau bertanggung jawab dengan kamu." “Aku egois?!” Khalisa nyaris menjerit. “Aku ini yang ditipu, dikhianati, dipermalukan! Aku yang ditinggalkan tanpa kabar sebulan penuh! Aku yang setiap malam berdoa supaya suamiku pulang dengan selamat! Dan sekarang aku yang dituduh egois?! Astaghfirullah, Bu… apa hati kalian sudah sekeras batu?!” Pak Arman menghembuskan asap rokok, wajahnya datar. “Sudahlah, Lis. Nerima aja. Kamu kan masih istri sah. Kalau Fahri punya anak dari Nayla, apa ruginya buatmu? Malah kamu terbantu, nggak usah repot lahirkan anak sendiri.” Khalisa membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada pukulan. Ia menatap mereka satu per satu, air mata mengalir tanpa henti. “Cukup…” bisiknya. “Kalian semua… kejam.” Ia menatap Fahri dengan mata penuh kebencian. “Mas Fahri, mulai hari ini… anggap saja aku nggak pernah jadi istrimu dan talak aku sekarang juga!, Aku lebih baik hidup sendirian daripada terus diinjak harga diriku begini. Keluarkan mereka semua dari rumahku sekarang… atau aku usir paksa kalian pergi!!"Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes
Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek
Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke
keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal
Fahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam. “Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—b







