Share

KPKDS-4

Penulis: Fatmah Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-11 21:58:45

“Bolehkah?”

Nampak sekali Nami takut mengganggu kegiatan beribadah keluarga Juun, jika dia bersikeras untuk ikut.

Aisyah yang mendengarnya sontak berbalik menghadap sang Ummi, kemudian bertanya dengan nada yang sangat ceria. "Ummi, Oni-chan mau ikut belajar shalat. Boleh tidak?"

Ummi Fatimah tersenyum lembut ke arah keduanya. "Ma syaa Allah ... tentu saja boleh." Beliau pun melanjutkan, "Sekarang bantu, Oni-chan berwudhu dan bersiap-siap. Ummi, Abi dan yang lain akan shalat sunnah dua rakaat dulu, baru kalian menyusul ya?"

Nampak Nami maupun Aisyah tersenyum bahagia mendapatkan respon positif dari sang ibu. Begitupun dengan Juun yang nampak ikut bahagia mendengarnya. Hanya Namira serta orang tuanya—paman dan bibi Juun—yang nampak kesal.

Namun, mereka tidak berani berkata apa-apa, karena mau bagaimana pun, mereka bekerja di bawah naungan Abi Rahmat dalam bidang konveksi. Abi dan Ummi memang memiliki usaha konveksi pakaian syar'i serta alat shalat dan perlengkapan haji yang terkenal di daerahnya.

Gegas Aisyah mengajak Nami untuk berwudhu di kamarnya. Karena baru pertama kali melakukannya, Nami banyak sekali melakukan kesalahan, sehingga dirinya menghabiskan waktu 30 menit baru selesai berwudhu.

Namun dengan sabar, Aisyah membantunya. Berkat didikan sang ibu, Aisyah tumbuh menjadi gadis yang berhati lembut serta penuh dengan sopan santun. Meskipun Nami berbeda, tapi dirinya sendiri tidak mempermasalahkannya karena sang ibu telah memberi tahu terlebih dahulu tentang masalah ini.

Sedangkan di musala, Juun, Ummi-Abi, paman dan bibi, juga Namira nampak menunggu kehadiran Aisyah dan Nami. Di ruangan yang sudah tergelar sajadah itu, hanya Abi yang tidak berkomentar sedikit pun. Sedangkan paman, bibi serta putrinya—Namira, nampak tidak setuju dengan hal tersebut.

Mereka menganggap, Nami sungguh tidak layak berada di tengah-tengah keluarga mereka. Sementara Juun, tidak ambil pusing dengan protes yang di layangkan oleh keluarga sang paman terhadapnya. Dimana dirinya dianggap akan mencoreng nama baik keluarga, jika berhubungan dengan Nami.

"Abang yakin mengizinkan gadis itu ikut shalat berjamaah bersama kita semua?" Tanya Namira kesal.

"Iya, Abang yakin!" Jawab Juun.

"Bukankah dia tidak beragama? Kenapa harus mengizinkannya shalat bersama kita?!" Tanya Namira kembali sembari menggembungkan pipinya, kesal mendengar jawaban yang Juun berikan.

"Urusannya apa denganmu?" Tanya Juun balik dengan datar.

"Tentu saja ada! Dia tidak pantas berada di tengah-tengah kita semua!" Jawab Namira sembari mendengus.

"Kamu siapa, berani berkata seperti itu?!" Balas Juun ketus, merasa terpancing emosinya kini. Kesal pujaan hatinya di hina sedemikian rupa.

"Ya, ak—''

"Begini loh, nak Ian … maksud Namira itu baik, dia hanya berusaha melindungi nama baik keluarga kita saja. Jika, Nak Ian masih bersikeras, bagaimana dengan omongan orang lain bahwa ada perempuan yang tidak beragama ikut melaksanakan shalat bersama kita. Mereka pasti menganggap Nami menghina agama kita,'' timpal bibi Rumaisyah.

"Bukan bermaksud penghinaan agama kita, Bi. Siapa tahu, Nami akan menjadi mualaf nantinya,''

"Maksud Bibi, kita 'kan keluarga. Masa tidak ikut melindungi keluarganya sendiri agar tidak salah jalan," jawab Bibi Rumaisyah tanpa merasa bersalah.

"Aku tidak perduli, kalian mau setuju atau tidak. Bukan kalian yang menentukan keputusan di rumah ini!" Balas Juun, enggan meneruskan perdebatan. Dirinya kembali menatap ke depan.

''Kamu kok begitu?" Tanya bibi Rumaisyah kesal, saat mendengar ucapan sang keponakan.

"Tidak sopan kamu bicara!'' sentak Rahman, menyetujui ucapan istrinya. Pun dengan Namira.

Juun terdiam, ia sama sekali tidak perduli dengan ucapan Bibi dan juga pamannya. Entah kenapa dirinya sangat keras kepala. Padahal itu semua demi kebaikan keluarga.

"Sebetulnya Teteh yang mengizinkan teman Ian ini untuk ikut belajar shalat bersama kita. Jadi, apa salahnya jika temen Ian ikut shalat berjamaah bersama kita?!'' timpal Ummi Fatimah.

"Kenapa Teteh izinkan?" Rumaisyah heran.

"Gadis itu ingin belajar agama kita, karena itu teteh izinkan dirinya ikut belajar shalat bersama kita semua, sebagai bekal pembelajaran buatnya nanti. Jika bukan kita yang mengajari? Siapa lagi?" Jawab ummi Fatimah lugas. Membungkam mulut ketiganya, sementara Juun sendiri nampak semringah karena pujaan hatinya mendapatkan pembelaan dari sang Ummi.

"Juun!" panggil Nami, sembari menatap ke arah Juun, saat mereka duduk di kursi teras yang bersebelahan dan dihalangi oleh meja, di mana tersaji sepiring ubi goreng yang masih mengepulkan asap, dan 2 buah cangkir teh hangat. Tak lupa, ulekan sambel petis pedas andalan Ummi Fatimah.

Keduanya nampak menikmati pemandangan di pagi hari di samping rumah. Pemandangan yang sangat sejuk, karena di pekarangan rumah penuh dengan pepohonan buah-buahan, sayur-sayuran serta tanaman obat-obatan herbal. Sesekali nampak burung hinggap di dahan pohon, serta kupu-kupu beterbangan di sekitar pohon yang nampak mulai berbunga.

"Ya," sahut Juun sembari menoleh ke arah Nami.

"Ibu kamu baik ya? Adik kamu juga," ucapnya dalam bahasa Jepang, sembari tersenyum manis.

Gadis itu nampak menyelipkan rambutnya yang terbang tertiup angin ke belakang telinganya.

"Iya, ibu dan adikku orang baik."

Juun menjawab disertai senyum manis yang sontak membuat Nami tersenyum malu-malu. Meskipun mereka telah bersama sekian tahun lamanya, tetapi entah mengapa … gadis itu selalu merasa seperti mereka baru saja bersama. Meskipun tanpa ada kata ‘jadian’ di antara keduanya, tetapi kebersamaan mereka lebih berarti dari segalanya bagi Nami.

Karena kenal Juun, Nami tidak lagi suka clubbing. Bahkan dia sudah 5 tahun tidak pernah lagi menyentuh minuman beralkohol. Pakaiannya pun sekarang menjadi lebih sopan daripada sebelumnya. Jika dulu dirinya senang memakai rok pendek serta tanktop, sekarang sudah berubah menjadi baju lengan panjang serta celana panjang.

Bahkan gadis itu mulai sedikit-sedikit belajar agama Islam dengan Juun sebagai pembimbingnya. Devina saja, sahabat baiknya nampak terkagum-kagum. Ibu muda itu sangat bahagia jika Nami mendapatkan jodoh sebaik Juun yang notabene adalah sahabat suaminya sendiri.

"Kenapa Nami-chan?" tanya Juun heran, saat melihat gadis itu malah terdiam seribu bahasa setelah memanggilnya barusan.

"Terima kasih banyak," ucap Nami penuh haru dan membuat Juun terkejut.

"Untuk?" tanya Juun heran.

"Semuanya ... terima kasih karena sudah mengijinkanku menyukaimu," sahut Nami sembari tersenyum manis, membuat Juun salah tingkah dibuatnya. Bahkan wajah Juun memerah. Gegas pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, saat mendapatkan pernyataan cinta dari pujaan hatinya. "Ak—"

"Abang Ian!" panggil Namira, memotong ucapan Juun. Gadis itu berdiri di depan pintu yang menghadap ke arah mereka berdua, sembari menatap Nami intens.

Baik Juun dan Nami menoleh ke arah Namira berdiri saat ini.

"Ya, Dek!" sahut Juun.

"Abang dipanggil Ummi," ucap Namira kesal, sembari menatap Nami dengan sinis.

Dirinya merasa cemburu, karena melihat pemuda yang disukainya dekat dengan perempuan lain. Dirinya merasa kalah bersaing dengan gadis di depannya yang dia yakin hanya menang di rupa saja. Soal keimanan, dirinya merasa lebih baik dari gadis di depannya ini.

"Oh, ok.” Juun kemudian beranjak dari kursi menuju pintu di mana Namira berada, membuat gadis itu tersenyum salah tingkah. "Umminya di mana, Dek?" tanya Juun kembali pada gadis berusia 20 tahun yang sedang memakai baju syar'i berwarna fuschia dengan hijab dan niqab senada. Pemuda itu melirik sebentar ke arah Namira, kemudian memalingkan wajahnya ke arah pintu.

"Di kamar Aisyah, Bang. Lagi bantu Aisyah berkemas," sahut Namira, seraya melirik malu-malu.

Juun mengangguk. Pemuda itupun berlalu meninggalkan keduanya.

Wajah Namira yang semula tersenyum manis, sekarang berubah secepat kilat menjadi cemberut. Gadis itu berjalan mendekati Nami. Sedangkan Nami mengerutkan dahinya, bingung melihat Namira memasang wajah kesal seperti itu.

"Kamu!" Tunjuk Namira dengan jari telunjuk kanan mengacung ke depan wajah Nami. "Jangan sok ganjen ya, sama babang aku!?"

Nampak dari niqabnya, gadis itu mendelik tajam ke arah Nami. Selain karena gadis itu tidak mengerti apa yang dibicarakan Namira, dia juga susah melihat ekspresi wajah Namira saat ini.

"Maksudnya?" tanya Nami heran. Keningnya nampak berkerut, tidak mengerti.

"Dasar, cewek gak jelas!" Namira menghentakkan kakinya ke lantai dengan kesal. "Pokoknya awas, kalo kamu deket-deket dengan calon suami aku! Habis kamu!!" ancam Namira kembali, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Nami yang hanya bisa memasang raut wajah cengo.

"Dia bicara apa?" gumam Nami melihat Namira yang semakin menjauh. "Gadis yang aneh ….”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
berasa MALAIKAT ya Namira nggak MALU apa kamu yang beragama bersikap kayak BLOKOKOK di depan orang yang Atheis heheheheheyoooooooooon
goodnovel comment avatar
Rini Rachmawati
namira ngarep juun nie ya
goodnovel comment avatar
Elis Martini
Namira siapa kmu yang ngatur ngatur hidup Nami sama junn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-34

    Juun akhirnya menjelaskan semuanya tanpa satupun yang tertinggal. Sementara Abi Rahmat, hanya bungkam seribu bahasa, enggan menginterupsi sedikitpun. Hanya hela napas berat bersama gumam istighfar yang senantiasa lolos dari bibirnya sebagai respon atas semua berita buruk ini. Juun akhirnya ikut terdiam setelah sekian lama berucap. Ia ikut menghela napas pendek, pasrah akan keputusan sang ayah. Abi Rahmat berjalan perlahan ke arah tembok kawat yang ada di rooftop hingga angin senja meniup rambut pendeknya yang sudah dipenuhi uban. Matanya menatap lurus ke arah matahari tenggelam di antara gedung-gedung yang berseberangan dengan rumah sakit. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ian?" tanya Abi Rahmat tanpa menoleh pada sang putra yang kini ikut berdiri di samping kirinya, Juun ikut mengarahkan pandangan kemana ayahnya memandang. "Aku mencintainya, Abi. Tapi, jika Abi tidak berkenan? Aku —""Apa kamu akan berhenti berjuang?!" tegur Abi

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-33

    Ummi Fatimah pun terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada suaminya, di ma a lelaki itu hanya bisa bungkam seribu bahasa. Sesekali terdengar ucapan istighfar lolos dari celah bibirnya yang kini mulai tertutupi dengan kumis. "Bagaimana menurut, Akang?" tanya Ummi Fatimah cemas. "Panggil Ian kemari. Tapi, sebelum itu..., Akang mau melihat keadaan Nami. Neng mau ikut?" ajak Abi Rahmat seraya mengulurkan tangan kanannya disertai tatapan lurus menghujam mata. "Iya, Kang. Neng ikut!" tukas Ummi Fatimah bersemangat sambil menerima uluran tangan. Keduanya lantas berjalan bersisian ke arah luar guna mencari ruangan Nami dirawat. "Oh ya, Akang mengerti, ya, isi pembicaraan orang-orang?" tanya Ummi Fatimah setelah suaminya bertanya pada salah seorang petugas keamanan mengenai ruang rawat Nami yang baru. "Sedikit-sedikit, Sayang. Akang diam-diam setiap malam belajar Bahasa Jepang, biar gak bingung saat diajak berinteraksi dengan calon besan

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-32

    Nami enggan menjawab, ia justru segera berjalan cepat ke arah jendela hingga membuat Ummi Fatimah semakin terkejut saat melihat Nami membuka kaca, lalu melompat ke bawah. "NAMI!" Ummi Fatimah berteriak kencang d bersama degup jantung berdetak kencang seraya berlari ke arah jendela. Wanita itu segera melongok ke bawah bersama seluruh perasaan takut mendera. Namun, akhirnya ia bisa bernapas lega saat melihat di bawah sana sang putra tengah memeluk Nami yang lemas dalam dekapan. Ummi Fatimah bahkan tanpa sadar mengucap syukur karena Nami selamat. Sementara itu, Juun segera menggendong Nami ala bridal, lalu meletakkannya di atas brankar yang segera didorong oleh para perawat menuju ruang perawatan. Salah seorang dokter, rekan sejawatnya bahkan segera menepuk pundak Juun seraya berujar dengan nada menguatkan, "Kamu harus kuat, Dokter Juun. Hanya kamu yang bisa menguatkan Dokter Nami saat ini. Lagipula kami semua men

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-31

    Nami bungkam seribu bahasa. Kepalanya bahkan tertunduk dalam, tidak berani mengatakan isi hatinya yang kini tidak berbentuk lagi akibat peristiwa buruk yang telah terjadi padanya. Ummi Fatimah pun berusaha mengerti. Ia ikut bungkam, membiarkan Nami berkutat dalam lamunan. Hanya jemarinya yang menggenggam sebagai bentuk jika dirinya perduli pada sang calon menantu. Nami perlahan mengangkat kepala, menatap wajah teduh Ummi Fatimah yang kini melepaskan niqab miliknya. Sementara Juun dan Abi Rahmat pergi keluar guna bicara empat mata. "Ummi, apakah saya boleh mengatakan sesuatu?" ujarnya meminta dengan sopan, meskipun suaranya terdengar serak."Katakan saja, Nak! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ujar Ummi Fatimah, mengijinkan. Nami terdiam, kesedihannya terasa mencekam. Ummi Fatimah mengangguk sambil tersenyum hangat. "Katakanlah, Nak."

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-30

    Juun terdiam. Matanya menatap tajam pada Nami yang balas menatapnya datar. "Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan, Nami Chan?" tanyanya geram.Nami tersenyum sinis. Ia membalas tatapan itu tidak kalah dingin. "Ba yi sia lan itu, Juun. Apa dia sudah ma ti?"Juun menggebrak tepi brankar hingga membuat Nami terkejut setengah mati. Jantungnya terdengar berdetak kencang, namun gadis itu berusaha untuk tidak menjerit. Ia bahkan semakin menatap dingin pada sang kekasih."Aku rasa otakmu perlu dicuci hingga bersih agar berhenti mengatakan sebuah omong kosong." Suara Juun terdengar berdesis kuat. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya hingga tanpa sadar mengatakan sesuatu yang buruk."Ya, tentu saja." Nami menyahut dengan santai, terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun."Agar otakku tidak mengingat kembali jika ja nin sia lan itu masih bersarang di rahimku." Nami melanjutkan ucapannya.Juun menggeram. Ia bahkan melepaskan pegangan tangannya dengan sedikit kasar hingga Nami pun semakin te

  • Ku Pinang Kau Dengan Syahadat   KPKDS-29

    Baju Juun penuh dengan da rah yang tentu saja berasal dari Nami. Sementara gadis itu kini telah berada di dalam ruang operasi tempat mereka bekerja guna menyelamatkan nyawanya.Dirinya tidak diijinkan ikut serta karena semua teman-temannya khawatir lelaki itu tidak bisa bertindak profesional. Apalagi saat melihat wajah panik juga lolongan histeris yang ia berikan beberapa saat yang lalu.Juun duduk di atas kursi tunggu sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan dengan kepala tertunduk dalam. Sementara Aisyah ikut duduk di samping kanannya, mengusap punggung sang kakak guna memberikan dukungan."Abang," panggil Aisyah lirih sembari membersit hidungnya yang mampet dari balik niqab yang ia kenakan."Hmmm," sahut Juun menggumam, enggan mengangkat kepala. "Abang yang tenang, ya," pinta Aisyah, kembali sesenggukan.Juun tersentak. Ia lantas dengan cepat menoleh pada sang adik dengan tatapan menuntut jawaban.Aisyah lan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status