MasukPiring yang tadi jatuh belum sempat dibereskan. Pecahannya masih berserakan di lantai, tapi tak ada dari mereka yang berniat memungutnya. Hening yang menggantung terasa lebih berbahaya dari teriakan tadi. Raka berdiri di dekat meja makan, napasnya masih berat. Alya, dengan wajah pucat tapi tenang, menatap tanpa ekspresi. Di tangannya, ada handuk kecil yang tadi digunakan untuk membersihkan meja, kini diremas pelan. “Jadi begini caramu, ya?” suara Raka kembali meninggi. “Diam saja. Membisu seolah kau korban paling suci di dunia.” Alya menarik napas perlahan, mencoba tidak terpancing. “Aku tidak diam karena pasrah, Raka,” ujarnya pelan, suaranya serak tapi mantap. “Aku diam karena kalau aku bicara, kau tidak akan mau mendengar.” Raka menatapnya dengan sorot marah yang sulit dibaca — campuran antara frustrasi dan rasa terancam. “Selalu saja alasan! Kau pikir aku sebodoh itu, Alya? Aku tahu apa yang kau lakukan di belakangku.” Alya menegakkan tubuhnya. “Aku tidak melakukan apa pun
Suara pintu dibanting keras memecah keheningan sore itu. Langit di luar tampak muram, hujan menggantung di udara tanpa benar-benar jatuh — seperti amarah yang menunggu momen untuk meledak. Raka melangkah masuk ke ruang tengah dengan wajah tegang, dasinya terlepas setengah, napasnya berat. Alya yang sedang merapikan bunga di vas hanya melirik sekilas, lalu kembali menata kelopak mawar putih yang mulai layu. “Jadi ini kerjaan kamu?” suara Raka membentak, keras, menusuk udara. Alya menoleh perlahan. “Kerjaan apa, Raka?” Raka melempar selembar kertas ke meja — potongan dari berita gosip daring yang menyinggung “hubungan spesial” antara dirinya dan rekan bisnis perempuan. Semuanya tentu saja berawal dari bisikan kecil yang Alya ciptakan, tapi Raka tak tahu itu. “Berita ini! Dari mana lagi kalau bukan kamu yang mulai?” Nada suaranya berat, penuh tuduhan. Alya hanya memandangi kertas itu, lalu tersenyum tipis. “Kalau kamu merasa bersalah, berarti mungkin memang ada alasannya.” “J
Hari-hari berikutnya berubah menjadi ruang senyap penuh tekanan. Sejak pertemuan sore itu, Selina merasa seperti ada mata-mata yang mengikuti ke mana pun ia pergi. Setiap kali bertemu dengan kerabat Raka atau rekan kantor, selalu ada senyum aneh, lirikan halus, dan sapaan yang terlalu ramah untuk menjadi tulus. Ia mulai menyadari — reputasinya sedang digerogoti perlahan. Di kafe tempat biasa ia dan Raka bertemu untuk membahas proyek, Selina duduk dengan tangan gelisah di pangkuan. Kopi di depannya sudah dingin. Ia tidak meminumnya. Pikirannya hanya berputar pada satu hal: Alya. “Apa dia benar-benar sengaja?” Pertanyaan itu menempel di kepalanya seperti luka yang tak kering. Ia tahu Alya tampak lembut, tapi di balik senyum tenang itu ada sesuatu yang licin dan tak terduga. Saat Raka datang, Selina langsung menegakkan bahu. Ia tersenyum manis, berusaha tampak wajar. “Maaf ya, nunggu lama?” tanya Raka sambil menaruh map kerja di meja. “Enggak, aku juga baru datang,” jawab Sel
Ruang tamu keluarga Bagaskara sore itu tampak hangat dan rapi. Wangi teh melati menguar dari cangkir-cangkir porselen yang disajikan Alya di atas meja kaca. Beberapa kerabat perempuan sedang berkumpul, berbincang santai — setidaknya di permukaan. Namun di balik tawa kecil dan obrolan ringan itu, tersembunyi arus halus yang disulut oleh satu orang: Alya. Ia tidak mengatakan apa pun secara langsung. Hanya bercerita sekilas, dengan nada lembut yang membuat siapa pun tak merasa sedang mendengar gosip. “Selina memang orangnya perhatian,” ucap Alya sambil menuangkan teh. “Kadang sampai datang ke rumah tanpa bilang dulu. Katanya mau bantu Raka urus bisnis.” Nada suaranya tenang, bahkan diselipi senyum kecil — tapi kata “tanpa bilang dulu” menempel di kepala para tamu. Salah satu dari mereka, Tante Mira, mengangkat alis. “Oh? Sering, Alya? Wah, hebat juga ya dia… sampai segitu dekatnya sama keluarga kalian.” Alya tersenyum lembut. “Iya, mungkin karena Raka dan dia sudah kerja baren
Malam itu turun dengan tenang, namun hawa tegang di rumah keluarga Bagaskara masih tersisa. Raka duduk di ruang kerja, menatap layar laptop yang sejak satu jam terakhir tak juga berubah halaman. Pikirannya berantakan. Ia tahu ibunya mulai curiga, dan yang membuatnya muak adalah — Alya yang menanamkan bibit itu dengan wajah polosnya. Ia menutup laptop kasar, lalu berdiri dan berjalan ke jendela. Dari situ, ia bisa melihat halaman belakang yang diterangi lampu taman. Dan di sana — Alya duduk sendirian, di bangku kayu, dengan selimut tipis menutupi bahu. Tangannya menggenggam sesuatu — mungkin buku doa kecil milik ibunya yang dulu sering dipakai setiap malam. Raka mendengus, separuh kesal, separuh bingung. Bagaimana bisa perempuan itu masih terlihat begitu tenang setelah semua yang terjadi? Ia tidak tahu, bahwa ketenangan itu bukan kepasrahan. Itu adalah strategi. Alya memejamkan mata, mendengarkan desir angin yang lembut. Ia tahu Raka menatap dari jendela — bisa merasakan tat
Pagi itu, rumah keluarga Bagaskara terasa terlalu tenang. Cahaya matahari menembus tirai ruang makan, menyorot meja panjang dengan taplak putih yang tampak sempurna — tapi suasana di sekitarnya tidak seindah tampilan luar. Alya duduk di ujung meja, mengenakan gaun sederhana berwarna gading. Wajahnya tenang, tapi matanya menatap kosong ke arah cangkir teh di tangannya. Di seberangnya, duduk Raka, dengan ekspresi canggung, berusaha tampak biasa saja. “Kenapa kalian berdua diam terus?” suara lembut tapi tegas itu datang dari Ibu Raka, Bu Ratna, yang duduk di tengah meja, memperhatikan mereka berdua dengan pandangan tajam khas seorang ibu yang tahu lebih banyak dari yang dikatakan. Alya mengangkat pandangan perlahan dan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Kami hanya sedang sama-sama sibuk akhir-akhir ini.” Raka menimpali cepat, seolah ingin menutup topik. “Ya, betul. Perusahaan lagi padat.” Tapi mata Bu Ratna tidak berpindah dari Alya. Ia menatap lebih dalam — melihat senyum lembu







