Share

Kubalas Hinaanmu, Mas!
Kubalas Hinaanmu, Mas!
Author: Yuli Zaynomi

BAB 1 PERTEMUAN

BAB 1 

Pertemuan Dengan Mantan Suami 

“Mbak, area perlengkapan pesta ulang tahun sebelah mana?” Sebuah suara yang berasal dari arah belakang Arini terdengar. Wanita yang sedang masih memegang sapu itu menoleh. 

Bibirnya yang sudah terlatih mengulas senyum ramah pada pelanggan tiba-tiba tertarik dengan cepat. Tak ada lagi lengkungan indah di bibir wanita itu. Tangan yang semula ingin menunjuk ke area yang ditanyakan pun terasa begitu kaku dan sulit digerakkan. 

Wajah Arini menegang. Tak hanya wajahnya saja, wanita di depannya yang memakai dres warna hijau botol itu pun  menunjukkan ekspresi yang sama. 

Arini sudah mendengar kabar itu. Kabar yang membuat jiwa dan tubuhnya hancur berserak tak berbentuk. Kabar yang sesungguhnya seringkali ingin sekali disangkalnya. 

“Gimana? Udah ketemu, Di?” 

Suara laki-laki yang terlihat berjalan  dari lorong sebelahnya pun terdengar. Laki-laki itu tanpa ragu memeluk pinggang wanita di depannya. “Mbak Anita bilang Giska pengin pernak-pernik kuda poni di pesta nanti.” 

Tangan Arini mencengkeram kuat gagang sapu yang sedari tadi dipegangnya. Giginya beradu kuat, bergemeletuk hebat akibat emosi yang hampir tak mampu dia kendalikan. Laki-laki yang seharusnya mendampingi anak perempuannya yang tengah meringkuk berjuang melawan sakitnya itu justru memeluk pinggang wanita lain yang sampai detik ini belum sah menjadi pasangannya. 

“Di sana. Ambil lorong ini, lurus terus hingga ujung. Di sana rak pernak-pernik pesta ulang tahun.” 

Suara Arini bergetar hebat. Matanya mengarah ke arah lain agar kedua orang di depannya itu tak mampu menangkap raut kehancuran dari netranya. Sama dengan kedua wanita itu, laki-laki bernama Yuda itu pun memandang Arini dengan mata terbelalak. 

Begitu syoknya dia mendapati wanita yang pernah hidup berumah tangga dengannya selama lima tahun kini berjarak kurang dari dua meter. Tangannya yang semula merengkuh hangat pinggang Diandra terlepas begitu saja. 

Sekian lama berpisah baru kali ini dia bertemu kembali dengan wanita itu. Rasa bersalah itu menyeruak mendapati Arini yang makin terlihat kurus. Entah dimana otaknya bersarang hingga membuat dirinya melupakan tanggung jawab yang semestinya berada dalam pundaknya. 

“Mas,” panggil Diandra lirih namun penuh dengan tekanan. Siapapun akan sepakat Diandra baru saja mengurai kecemburuan di depan pasangan yang pernah berjanji sehidup semati itu. 

“Silakan,” ucap Arini sambil mengangguk tanpa ekspresi. Dia berjalan menjauhi kedua pasangan itu. 

Rasanya hancur. Kedua anaknya tak pernah sekalipun merayakan pesta ulang tahun dengan hiasan kartun kesukaan mereka selama ini. Bahkan sedihnya, mereka berdua yang hidup sangat sederhana dengan Arini sebagai orangtua tunggal seringkali menelan kekecewaan karena teman-teman seusia mereka enggan mengundang Rafa dan Naya ke pesta anak-anak itu.  

Alasannya sungguh sederhana. Mereka yang tak mampu memberikan kado seolah sangat pantas untuk tersisih dan tak layak menyuapkan sepotong kue ulang tahun ke mulut mereka. Mereka yang hanya menumpang makan enak tentu masuk ke daftar hitam anak-anak yang tak perlu diundang ke pesta ulang tahun. 

Lalu kini Yuda  justru sibuk dengan pesta ulang tahun anak dari satu-satunya kakak perempuan yang dimiliki oleh lelaki itu? Apakah otaknya benar-benar tumpul untuk mengingat kedua anaknya masih ada hingga saat ini? 

Arini memekik dalam hati. Sebegitu percayakah Tuhan pada dirinya, hingga beban seperti ini ditimpakan dengan begitu dahsyat ke pundak wanita itu? 

Baru saja akan berbalik dia merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang di belakangnya. Refleks Arini menoleh. Amarahnya perlahan naik kembali. 

Wanita bergaun selutut di depannya menyilangkan kedua tangan di dadanya. Mata itu mengintimidasi Arini begitu kuat. 

"Kami akan menikah," ucap lantang Diandra pada Arini. Bibir Arini beku. Dia tak langsung bisa menanggapi kalimat singkat wanita yang dulu pernah satu almamater dengannya. 

"Berhenti berharap banyak atas pertemuan barusan dengan Mas Yuda."  

Arini mendecih sinis. Kalimat Diandra terdengar begitu sumbang di telinganya. 

"Apakah penting memberitahu diriku?" Arini membalas Diandra dengan tatapan serupa. Betapapun dia tersakiti dengan apa yang didengarnya tadi, bukan saatnya lemah menangisi takdir yang sudah digariskan untuknya. Apalagi dia tahu sekali Diandra akan makin menekannya. 

"Aku hanya ingin kau paham posisimu saat ini. Di mata Mas Yuda, kau hanya orang dari masa lalunya yang tak berarti apa-apa lagi baginya. Kau dan anak-anakmu, tak lebih dari sampah berserakan yang lambat laun akan terlupakan oleh laki-laki itu." Diandra makin menegakkan kepalanya. Bahkan tarikan napas wanita itu makin menegaskan apa yang baru saja dia sampaikan. Sebuah kepuasan. 

Puas atas nasib Arini, wanita yang bertahun-tahun lalu berhasil memiliki hati laki-laki yang diincarnya sudah lama. Puas usahanya memisahkan mereka berhasil. Puas sekali saat Arini makin menderita tanpa nafkah apapun dari mantan suaminya. Tidak sia-sia dia memutar otak agar tujuannya mendapatkan Yuda kini hampir berada dalam genggaman. 

Arini menarik napas kuat-kuat. Perih yang dirasakan Arini segera dia lupakan. Menghadapi Diandra tak cukup dengan kepasrahan. Dia harus menegakkan kepala hingga tak seorang pun mampu melihat bagaimana luka hatinya itu menganga. 

"Benarkah? Mengapa harus kau yang mengatakannya? Aku sangsi sekali jika bukan Mas Yuda sendiri yang mengatakan hal itu padaku!" 

"Kau?!" Diandra mengacungkan telunjuknya di depan Arini. 

"Tenang saja. Jangan panik. Kalian berdua sama-sama cocok. Laki-laki pecundang seperti yang kau gilai itu sangat cocok dengan wanita murahan sepertimu. Bersenang-senanglah. Mudah-mudahan karma tak terlalu cepat datang dan memainkan peranannya." 

Arini berbalik. Dia sadar sekali berdebat dengan Diandra di tempatnya bekerja akan memberinya masalah baru. Secepatnya dia melangkahkan kaki sebelum Diandra yang tempramental itu  membuat kekacauan di tempat ini. 

Secepat kilat Arini menuju ke arah toilet karyawan swalayan tempatnya bekerja. Setelah berusaha sekuat tenaga untuk kuat, nyatanya dada Arini yang sesak itu akhirnya tak mampu menopang beban berat yang dirasakan olehnya. 

Dia memukuli dadanya kuat-kuat berharap sakit yang bersarang di sana segera lenyap. Digigitnya bibir merah jambu miliknya agar tangisan itu tak bersuara. Sakit sekali. 

Hingga  sebuah ketukan terdengar begitu kuat. Arini buru-buru mengusap air matanya dan memastikan tak ada jejak apapun di pipi miliknya. 

"Rin, kamu di dalam? Cepatlah keluar!" 

Suara Wulandari teman kerjanya terdengar panik. Gegas Arini keluar guna memastikan apa yang terjadi dengan wanita itu. 

"Umi memintamu cepat pulang. Tadi ada telepon ke bagian administrasi, anakmu dilarikan ke rumah sakit!" 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Shofie Widdianto
Baru baca bab 1 rasanya hatiku sudah memanas ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status