BAB 1
Pertemuan Dengan Mantan Suami “Mbak, area perlengkapan pesta ulang tahun sebelah mana?” Sebuah suara yang berasal dari arah belakang Arini terdengar. Wanita yang sedang masih memegang sapu itu menoleh. Bibirnya yang sudah terlatih mengulas senyum ramah pada pelanggan tiba-tiba tertarik dengan cepat. Tak ada lagi lengkungan indah di bibir wanita itu. Tangan yang semula ingin menunjuk ke area yang ditanyakan pun terasa begitu kaku dan sulit digerakkan. Wajah Arini menegang. Tak hanya wajahnya saja, wanita di depannya yang memakai dres warna hijau botol itu pun menunjukkan ekspresi yang sama. Arini sudah mendengar kabar itu. Kabar yang membuat jiwa dan tubuhnya hancur berserak tak berbentuk. Kabar yang sesungguhnya seringkali ingin sekali disangkalnya. “Gimana? Udah ketemu, Di?” Suara laki-laki yang terlihat berjalan dari lorong sebelahnya pun terdengar. Laki-laki itu tanpa ragu memeluk pinggang wanita di depannya. “Mbak Anita bilang Giska pengin pernak-pernik kuda poni di pesta nanti.” Tangan Arini mencengkeram kuat gagang sapu yang sedari tadi dipegangnya. Giginya beradu kuat, bergemeletuk hebat akibat emosi yang hampir tak mampu dia kendalikan. Laki-laki yang seharusnya mendampingi anak perempuannya yang tengah meringkuk berjuang melawan sakitnya itu justru memeluk pinggang wanita lain yang sampai detik ini belum sah menjadi pasangannya. “Di sana. Ambil lorong ini, lurus terus hingga ujung. Di sana rak pernak-pernik pesta ulang tahun.” Suara Arini bergetar hebat. Matanya mengarah ke arah lain agar kedua orang di depannya itu tak mampu menangkap raut kehancuran dari netranya. Sama dengan kedua wanita itu, laki-laki bernama Yuda itu pun memandang Arini dengan mata terbelalak. Begitu syoknya dia mendapati wanita yang pernah hidup berumah tangga dengannya selama lima tahun kini berjarak kurang dari dua meter. Tangannya yang semula merengkuh hangat pinggang Diandra terlepas begitu saja. Sekian lama berpisah baru kali ini dia bertemu kembali dengan wanita itu. Rasa bersalah itu menyeruak mendapati Arini yang makin terlihat kurus. Entah dimana otaknya bersarang hingga membuat dirinya melupakan tanggung jawab yang semestinya berada dalam pundaknya. “Mas,” panggil Diandra lirih namun penuh dengan tekanan. Siapapun akan sepakat Diandra baru saja mengurai kecemburuan di depan pasangan yang pernah berjanji sehidup semati itu. “Silakan,” ucap Arini sambil mengangguk tanpa ekspresi. Dia berjalan menjauhi kedua pasangan itu. Rasanya hancur. Kedua anaknya tak pernah sekalipun merayakan pesta ulang tahun dengan hiasan kartun kesukaan mereka selama ini. Bahkan sedihnya, mereka berdua yang hidup sangat sederhana dengan Arini sebagai orangtua tunggal seringkali menelan kekecewaan karena teman-teman seusia mereka enggan mengundang Rafa dan Naya ke pesta anak-anak itu. Alasannya sungguh sederhana. Mereka yang tak mampu memberikan kado seolah sangat pantas untuk tersisih dan tak layak menyuapkan sepotong kue ulang tahun ke mulut mereka. Mereka yang hanya menumpang makan enak tentu masuk ke daftar hitam anak-anak yang tak perlu diundang ke pesta ulang tahun. Lalu kini Yuda justru sibuk dengan pesta ulang tahun anak dari satu-satunya kakak perempuan yang dimiliki oleh lelaki itu? Apakah otaknya benar-benar tumpul untuk mengingat kedua anaknya masih ada hingga saat ini? Arini memekik dalam hati. Sebegitu percayakah Tuhan pada dirinya, hingga beban seperti ini ditimpakan dengan begitu dahsyat ke pundak wanita itu? Baru saja akan berbalik dia merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang di belakangnya. Refleks Arini menoleh. Amarahnya perlahan naik kembali. Wanita bergaun selutut di depannya menyilangkan kedua tangan di dadanya. Mata itu mengintimidasi Arini begitu kuat. "Kami akan menikah," ucap lantang Diandra pada Arini. Bibir Arini beku. Dia tak langsung bisa menanggapi kalimat singkat wanita yang dulu pernah satu almamater dengannya. "Berhenti berharap banyak atas pertemuan barusan dengan Mas Yuda." Arini mendecih sinis. Kalimat Diandra terdengar begitu sumbang di telinganya. "Apakah penting memberitahu diriku?" Arini membalas Diandra dengan tatapan serupa. Betapapun dia tersakiti dengan apa yang didengarnya tadi, bukan saatnya lemah menangisi takdir yang sudah digariskan untuknya. Apalagi dia tahu sekali Diandra akan makin menekannya. "Aku hanya ingin kau paham posisimu saat ini. Di mata Mas Yuda, kau hanya orang dari masa lalunya yang tak berarti apa-apa lagi baginya. Kau dan anak-anakmu, tak lebih dari sampah berserakan yang lambat laun akan terlupakan oleh laki-laki itu." Diandra makin menegakkan kepalanya. Bahkan tarikan napas wanita itu makin menegaskan apa yang baru saja dia sampaikan. Sebuah kepuasan. Puas atas nasib Arini, wanita yang bertahun-tahun lalu berhasil memiliki hati laki-laki yang diincarnya sudah lama. Puas usahanya memisahkan mereka berhasil. Puas sekali saat Arini makin menderita tanpa nafkah apapun dari mantan suaminya. Tidak sia-sia dia memutar otak agar tujuannya mendapatkan Yuda kini hampir berada dalam genggaman. Arini menarik napas kuat-kuat. Perih yang dirasakan Arini segera dia lupakan. Menghadapi Diandra tak cukup dengan kepasrahan. Dia harus menegakkan kepala hingga tak seorang pun mampu melihat bagaimana luka hatinya itu menganga. "Benarkah? Mengapa harus kau yang mengatakannya? Aku sangsi sekali jika bukan Mas Yuda sendiri yang mengatakan hal itu padaku!" "Kau?!" Diandra mengacungkan telunjuknya di depan Arini. "Tenang saja. Jangan panik. Kalian berdua sama-sama cocok. Laki-laki pecundang seperti yang kau gilai itu sangat cocok dengan wanita murahan sepertimu. Bersenang-senanglah. Mudah-mudahan karma tak terlalu cepat datang dan memainkan peranannya." Arini berbalik. Dia sadar sekali berdebat dengan Diandra di tempatnya bekerja akan memberinya masalah baru. Secepatnya dia melangkahkan kaki sebelum Diandra yang tempramental itu membuat kekacauan di tempat ini. Secepat kilat Arini menuju ke arah toilet karyawan swalayan tempatnya bekerja. Setelah berusaha sekuat tenaga untuk kuat, nyatanya dada Arini yang sesak itu akhirnya tak mampu menopang beban berat yang dirasakan olehnya. Dia memukuli dadanya kuat-kuat berharap sakit yang bersarang di sana segera lenyap. Digigitnya bibir merah jambu miliknya agar tangisan itu tak bersuara. Sakit sekali. Hingga sebuah ketukan terdengar begitu kuat. Arini buru-buru mengusap air matanya dan memastikan tak ada jejak apapun di pipi miliknya. "Rin, kamu di dalam? Cepatlah keluar!" Suara Wulandari teman kerjanya terdengar panik. Gegas Arini keluar guna memastikan apa yang terjadi dengan wanita itu. "Umi memintamu cepat pulang. Tadi ada telepon ke bagian administrasi, anakmu dilarikan ke rumah sakit!" ***BAB 2Hutang“Ini.” Arini yang sedang merapikan barisan detergen tersentak. Dia menatap bingung pada Wulandari— temannya yang menyerahkan uang dengan jumlah yang lumayan padanya.“Uang kembalian belanjaan Yuda. Kemarin dia belanja lagi kemari dan tidak kuserahkan uang kembaliannya. Aku tahu kamu butuh uang dan juga ada hakmu dalam setiap rupiah dari harta lelaki sialan itu.” Wulandari menjelaskan dengan cepat. Dia mengenal Yuda dengan baik. Arini telah bekerja di sini bahkan sejak sebelum lelaki itu meninggalkan sahabatnya.“Kalau aku jadi kamu, sudah kuteriaki pasangan gila itu biar malu sekalian! Apalagi yang perempuan! Bisa-bisanya maling kok petantang-petenteng seperti itu. Geram aku!" Wulandari menghentakkan kakinya kesal. dia ikut berjongkok dan membantu Arini merapikan barang di depannya. “Terima kasih.” Arini menjawab dengan suara bergetar. Satu rupiah sangat berarti baginya saat ini. Memikirkan uang di dompet yang hanya tinggal selembar sedangkan Naya masih membutuhkan ban
BAB 3Mantan MertuaArini menatap rumah dua lantai di hadapannya dengan hati tak menentu. Hujan gerimis yang sejak jam dua siang tadi mengguyur kota setia menemani langkah wanita itu. Dia memutuskan datang kemari setelah jam kerjanya di toko selesai.Arini menghela napas panjang. Setelah lima menit lagi berlalu, dia memutuskan menyebrang jalan dan mendatangi rumah itu. Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah enam, dia tidak dapat menunggu lagi. Rafa dan Naya pasti sudah menunggunya."Assalamualaikum." Ketukan ketiga, pintu terbuka."Kamu?!" Tanpa menjawab salam, wanita berusia pertengahan lima puluh tahun itu langsung menatap tajam pada Arini.Arini tersenyum sopan pada Ratna, mantan mertuanya. Dia yakin sekali, wanita itu tidak menyangka dia yang ada di depan pintu setelah dua tahun tidak bertemu."Mas Yuda ada, Bu?""Untuk apa kamu mencari Yuda?" Ratna menatap Arini tidak suka."Ada yang harus kami bicarakan.""Bicara saja dengan saya."Arini mengepalkan tangan. Sejak dulu, Ratn
BAB 4PenyesalanYuda menepikan mobilnya ke halaman minimarket tempatnya kemarin bertemu Arini. Dihembuskannya napas kasar sambil menatap bangunan kubikal di depannya saat ini. Telunjuknya mengetuk stir mobil, memastikan tindakannya tak akan berisiko. Entah berapa lama dia terdiam sambil memandang lurus ke arah pintu masuk swalayan Basmalah yang berjarak kurang dari sepuluh meter dengan mobilnya saat ini. Hari kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan Arini selepas palu hakim yang menandakan hubungan berakhir diketuk. Selama ini dia berusaha mengabaikan bisikan hatinya mempertanyakan kondisi Arini dan kedua anaknya selepas kepergian dirinya dari kehidupan mereka. Dari sekian swalayan yang dia dan Diandra lewati, entah mengapa tempat itulah yang dipilih oleh keduanya. Hatinya benar-benar tersentil. Mungkinkah ini cara Tuhan menegur dirinya? Pekerjaannya saat ini sungguh memberinya limpahan harta. Apalagi sebagian besar kekayaan kedua orangtuanya pun sudah berada di genggamannya pas
BAB 5Janda Gatal?Yuda mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan sarkas dari Wulandari barusan. Wanita itu memang sangat dekat dengan mantan istrinya sehingga Yuda maklum jika dia bersikap demikian. Siapapun pasti akan kesal dengan perlakuannya yang abai pada Arini dan kedua anak mereka.“Totalnya dua ratus enam belas ribu.”Yuda menghembuskan napas dengan kencang mendengar suara ketus Wulandari barusan. Beruntung, pengunjung hari itu sepi. Mungkin karena masih jam kerja sehingga tidak terlalu ramai.Yuda menyerahkan tiga lembar uang berwarna merah. “Simpan makanan ini dan kembaliannya untuk Arini.”Raut kaget sangat kentara di wajah Wulandari mendengar ucapan Yuda. Namun dia tak ambil pusing. Wanita itu bergegas menurunkan belanjaan dari meja kasir dan menyimpannya di bawah.“Apa keadaan Naya sudah membaik?”Wulandari mendengus sebal karena Yuda terus-terusan mengulang pertanyaan yang sama seperti radio rusak. Jujur saja, dia mulai muak melihat wajah lelaki zalim di hadapannya.A
Takut Kehilangan "Gue nggak tahu! Kita juga kaget tadi pas denger ada suara benda jatuh. Kirain barang di gudang bergeser lagi. Pas kita lihat keluar, Arini sudah di posisi tergeletak di lantai." "Lan, sudahlah. Aku sama Rista memang tidak terlalu menyukai Arini karena dia dianakemaskan, tapi bukan berarti kami akan mencelakai dia. Apalagi ini tempat kerja …."Arini menautkan alis. Samar-samar dia mendengar keributan antara beberapa orang. Kepalanya pusing. Dia berusaha membuka mata, tapi entahlah kenapa berat sekali. Sulit. Seperti ada lem yang merekatkan matanya hingga susah terbuka. "Rin? Arini?" Wulandari yang baru saja perang omongan dengan Rista dan Dewi langsung menoleh mendengar rintihan sahabatnya.Tadi dia berencana mau ke toilet, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rista dan Dewi sedang membopong Arini dengan susah payah ke ruang istirahat karyawan. Dia yang mengetahui dua rekan kerjanya itu tidak terlalu menyukai Arini langsung berpikiran yang tidak-tidak hingga menyeb
DIBUNTUTI MANTAN SUAMI“Rafa tadi aku titip ke Mas Roni, Mbak. Tadi mau kuajak sekalian kesini tapi dia menangis kencang melihat adiknya kejang. Khawatir malah jadi bikin tambah ribet akhirnya kutinggal.” Widya menyerahkan kursi pada Arini. Dia membiarkan wanita itu melanjutkan menyuapi Naya.“Tidak apa-apa, Wid. Terima kasih sudah membantu. Maaf merepotkan.” Arini mengelus kepala Naya yang menatapnya dengan mata sayu."Santai saja, Mbak. Kebetulan aku masuk shift malam minggu-minggu ini."Mereka saling diam cukup lama setelahnya. Arini tersenyum lebar saat semangkuk bubur di tangannya habis dilahap Naya. Anak itu memang tidak pernah rewel dari dulu kalau masalah makanan. Apapun yang diberikan pasti dia habiskan.Sepulang Widya dari puskesmas, Arini duduk termenung menunggu jam kunjungan dokter. Tadi dia sudah minta tolong pada Widya untuk sekalian mengantarkan Rafa kalau nanti malam dia berangkat kerja. Dia tidak enak hati kalau meninggalkan Rafa terlalu lama di tempat tetangga. Kha
PERTENGKARAN Yuda menyugar rambutnya kasar. Laki-laki yang mengenakan kemeja slimfit warna grey itu tertampar dengan kalimat yang diucapkan Arini barusan. Tak ada yang salah dengan penuturan mantan istrinya. Semuanya memang kenyataan. Dua tahun laki-laki itu menghilang, bersembunyi di balik pesona kemewahan yang orangtuanya hadirkan."Rin, please. Izinkan aku bertemu Naya. Aku ayahnya." Arini mendelik. Matanya menatap penuh amarah pada laki-laki yang belakangan ini hadir kembali dalam kehidupannya. Laki-laki yang pernah dicintai sepenuh hati itu menatap Arini penuh rasa penyesalan. Sayangnya semua itu tak berarti apapun bagi Arini. Terlambat. Terlalu banyak rasa sakit yang dia torehkan pada wanita itu. Tak ada kesempatan untuk memperbaiki. Semua pintu maaf sudah dia tutup rapat-rapat. "Rin, Naya butuh pengobatan. Ayolah, jangan jadi ibu yang egois. Apa yang bisa diharapkan dari fasilitas pemerintah seperti ini? Kau hanya sedang memperparah kondisi anak kita." "Cukup!" Arini meng
PERGILAH, MAS!"Mas. Pergilah. Kumohon. Jangan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun di masa lalu. Jika bukan kasihan padaku, maka lakukanlah karena kau kasihan pada Naya. Anak perempuan yang sudah lupa bagaimana hangatnya dekapan seorang Ayah.Kau tahu orangtua dan calon istrimu, bukan? Membuat seorang laki-laki melupakan anak dan istrinya saja mereka mampu dan tega, apalagi hanya melakukan balas dendam pada kami atas sikapmu ini? Ingat, kau yang menginginkan semua ini, Mas! Bukan kami yang pergi, tapi kau yang pergi! Jangan bersikap seolah kami jahat karena tak memberimu kesempatan menebus kesalahan, tapi kau sendiri yang sudah melupakan momentum untuk menebus kesalahan itu sendiri. Ingat, Mas. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Kau membuat hidup kami bagai di neraka, lalu kau sekarang datang seolah-olah tak pernah terjadi apapun dan berharap aku bersikap baik-baik saja? Apakah kau sebodoh itu sekarang, Mas?!Mari saling melupakan kalau kita pernah menjadi satu. Lupakan