Share

BAB 2 HUTANG

BAB 2

Hutang

“Ini.”

Arini yang sedang merapikan barisan detergen tersentak. Dia menatap bingung pada Wulandari— temannya yang menyerahkan uang dengan jumlah yang lumayan padanya.

“Uang kembalian belanjaan Yuda. Kemarin dia belanja lagi kemari dan tidak kuserahkan uang kembaliannya. Aku tahu kamu butuh uang dan juga ada hakmu dalam setiap rupiah dari harta lelaki sialan itu.” Wulandari menjelaskan dengan cepat. Dia mengenal Yuda dengan baik. Arini telah bekerja di sini bahkan sejak sebelum lelaki itu meninggalkan sahabatnya.

“Kalau aku jadi kamu, sudah kuteriaki pasangan gila itu biar malu sekalian! Apalagi yang perempuan! Bisa-bisanya maling kok petantang-petenteng seperti itu. Geram aku!" Wulandari menghentakkan kakinya kesal. dia ikut berjongkok dan membantu Arini merapikan barang di depannya.

“Terima kasih.” Arini menjawab dengan suara bergetar. Satu rupiah sangat berarti baginya saat ini. Memikirkan uang di dompet yang hanya tinggal selembar sedangkan Naya masih membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya membuat kepala wanita itu berdenyut nyeri.

Arini Dafina, janda dengan dua orang anak yang salah satunya masih balita. Tahun ini, umurnya genap menyentuh angka dua puluh delapan tahun. Wanita berkulit kuning langsat dengan alis tebal itu bekerja di toko Umi Hasyim sejak jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Pemilik toko tidak pernah memberikannya shift malam karena mengerti kondisi Arini sebagai single parents.

"Gimana keadaan Naya?" Wulandari berbicara dengan hati-hati. Wajahnya menunjukkan raut keprihatinan terhadap apa yang menimpa sahabatnya.

"Semalam aku bersikeras membawa Naya pulang dari rumah sakit." Mata Arini berkaca-kaca. Wulandari menepuk bahu wanita itu perlahan.

“Apakah perlu kutemani berbicara dengan Yuda?”

“Bicara apa?” Arini menghapus ujung matanya yang berair.

“Minta uang, Rin. Dia Bapak dari anak-anakmu. Kewajibannya membiayai mereka sampai dewasa.” Wulandari menjawab gemas. Entah dirinya yang tidak sabaran atau memang Arini yang kelewat bodoh membiarkan laki-laki itu melenggang tanpa beban sedikit pun.

Padahal jika Arini menuntut haknya pasti Yuda mampu memberikannya. Terlebih saat tak sengaja Wulandari menangkap gerak-gerik Yuda yang mencari keberadaan Arini meski harus curi-curi kesempatan dari Diandra yang melekat erat pada tubuh laki-laki itu.

Wulandari yakin sekali matanya tak salah melihat. Tatapan Yuda yang penuh harap membuktikan bahwa masih ada ruang di hati laki-laki itu untuk Arini.

“Entahlah.” Arini menjawab lirih. Sejak bercerai dua tahun lalu, tadi adalah pertemuan pertamanya dengan Yuda. Lelaki itu tidak sekalipun datang atau menelepon untuk menanyakan kabar.

Yuda hilang bak ditelan bumi. Bahkan, saat Arini pernah mencoba menghubungi Yuda karena kedua anaknya terus bertanya dimana ayahnya, nomor mantan suaminya itu sudah tidak aktif. Lelaki itu benar-benar telah lepas tanggung jawab pada mereka.

Bukan sekali dua kali dia datang ke rumah mantan mertuanya untuk bertemu Yuda. Dia berharap hati lelaki itu terketuk agar mau menemui kedua anaknya. Namun, setiap kali datang, mertuanya selalu pasang badan “menyembunyikan” sang putra kesayangan.

“Berhenti mengganggu anakku, Arini! Sebagai seorang wanita yang telah dibuang, apa kau benar-benar tidak punya harga diri hingga terus mengemis cinta henti?”

“Rafa dan Naya kangen Ayah mereka, Ma.” Tubuh Arini bergetar hebat. Hari itu, tepat dua bulan dia menyandang status janda. Enam puluh hari yang lalu, ketuk palu hakim sah memutus ikatan pernikahan di antara dia dan Yuda.

“Alah! Anak terus yang kau jadikan alasan untuk mengikat Yuda. Oh iya, jangan panggil aku Mama. Antara kita sudah tidak ada kaitan apapun lagi.”

Hari itu, Arini pulang dengan menggandeng Rafa di tangan kiri, sementara tangan kanan menggendong Naya. Dia datang karena kedua anaknya terus memanggil Ayah, bukan untuk meminta rupiah. Andai bukan karena kedua anaknya, haram bagi Arini menginjak kembali rumah yang menyimpan berjuta kenangan buruk di hidupnya.

“Bangunkan Rafa kalau Ayah pulang ya, Bu. Jangan dibolehkan berangkat kerja lagi sebelum Rafa bertemu.”

Arini mengangguk sambil menggigit bibir kencang mendengar ucapan Rafa malam harinya. dia mencium puncak kepala anak lelakinya itu sambil memakaikan satu-satunya selimut yang mereka punya.

“Tidurlah, kalau Ayah pulang pasti Ibu bangunkan.” Arini mengusap kepala anaknya. Dia sengaja berbohong Yuda sedang bekerja sehingga belum bisa pulang.

“Nanti Ayah bawa oleh-oleh sepeda, Bu?”

“Iya, nanti Ayah bawakan sepedanya.”

“Asiiiiik.” Rafa tersenyum lebar. Sudah sejak lama dia menginginkan sepeda seperti milik anak-anak seusianya yang sering lewat di depan rumah. Arini ikut tertawa melihat wajah sumringah Rafa, tapi jauh di dalam sana hatinya menjerit. Lukanya masih belum sembuh benar, tapi dia harus terlihat tegar demi kedua buah hatinya.

“Rin? Arin?”

“Ah, apa, Lan?” Arini tergagap. Kelebatan kenangan menyakitkan dua tahun lalu membuatnya tenggelam hingga tidak menyadari Wulan memanggilnya sejak tadi.

“Ada yang mencarimu di depan.”

“Siapa?” Arini menautkan alis. Tidak biasanya ada yang ingin bertemu dengannya di jam kerja.

“Entahlah, sana temui langsung, dia menunggu di ruangan Umi.”

“Aku tinggal sebentar ya, Lan.”

Wulan mengangguk sambil terus membereskan pernak-pernik ulang tahun. Sementara Arini berjalan dengan banyak pertanyaan berputar di kepala. Siapa yang mencarinya?

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, masuk, Mbak Arin.” Umi Hasyim tersenyum dan mempersilakan. “Mari, Pak, ini Mbak Arini sudah datang. Saya tinggal dulu agar bicaranya lebih leluasa.” Umi Hasyim mengelus punggung Arini sebelum meninggalkan mereka.

“Mbak ….”

Wajah Arini pias melihat siapa yang sudah menunggunya. Dua orang lelaki berpakaian rapi, kemeja putih dan rambut klimis mengangguk sopan pada Arini yang membeku. Arini menarik napas panjang untuk meredakan detak jantungnya yang mendadak bertalu-talu. dengan lemah, dia ikut duduk di seberang sofa.

“Bagaimana, Mbak Arin? Apakah uangnya sudah ada? Semakin lama, bunganya semakin besar.”

Arini menggigit bibir. Air matanya tumpah begitu saja. Jangankan untuk membayar hutang, untuk makan saja dia harus benar-benar irit agar cukup sampai gajian minggu depan.

“Pak Yuda tidak bisa kami hubungi. Jadi, mau tidak mau kami harus menagih pada Mbak Arini.”

Arini mengusap air matanya dengan kasar. Uang sepuluh juta baginya sangat besar. Dulu, Yuda pernah meminjam uang untuk modal usaha karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Namun, entah kenapa usahanya selalu gagal. Mulai dari berjualan cendol, menyewa kios di pasar berjualan sembako kecil-kecilan, hingga akhirnya Yuda menjadi tukang ojek dengan menyewa motor sistem harian.

Namun, semua usaha itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Hingga hutang untuk usaha pun tidak terbayar. Awalnya tidak terlalu besar, hanya sekitar lima juta. Dua tahun berlalu, bunganya membengkak hingga jumlahnya sudah dua kali lipat hutang semula. Kini, setelah mereka berpisah. Arini lah yang dikejar-kejar penagih hutang.

“Kalau bulan ini Mbak Arin masih belum bisa membayar hutang juga, terpaksa kami akan bicara pada pemilik toko agar mau bekerjasama dengan memotong jumlah gaji Mbak Arin setiap bulan untuk mencicil hutang.”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Anissa Bahmed
kalau arini yg bayar hutang bodoh ....mau an aja bayar laki² ga da otak kayak yuda
goodnovel comment avatar
Tempe
lain kali jgn terpedaya janji manis yuda
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
salah satu definisi perempuan dungu kayak arini inilah. klu g bisa berjumpa yuda tunjukkan rumah orangtuanya. percuma kuliah cuman buang2 duit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status