ALASAN RAFA “Aku sekolah seperti biasa, Ma.” Rafa menunduk dalam-dalam. Baru kali ini dia melihat mamanya begitu emosi.“Bu Kartika tadi sore menelpon Mama. Dia bilang Abang sudah hampir seminggu ini tidak masuk. Jadi, sekarang Mama harus percaya dengan siapa? Bu Kartika yang berbohong atau Rafa?” Arini menarik napas panjang. Dia berusaha mengendalikan emosi. Tanpa sadar dia berteriak pada anaknya tadi.“Rafa sekolah seperti biasa, Ma.”“RAFA!” Arini tersentak mendengar tangisan Naya yang terkejut mendengar teriakannya. Dia langsung berjalan dan memeluk anak nomor duanya. Badan Naya gemetar. Arini menengadah, air matanya tumpah. Karena banyak pikiran, emosinya jadi tidak terkendali. Dia jadi kesulitan mengontrol diri sendiri.Setelah Naya sedikit lebih tenang, Arini memanggil Rafa yang duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Dia langsung memeluk anak lelakinya itu begitu mendekat. Setelah sesak didalam dada sedikit mereda, Arini mencium puncak kepala Rafa cukup lama.“Rafa, Abang tahu
ISTRI KEEMPAT?“Maafkan Rafa ya, Ma. Rafa takut akan membuat Mama kesusahan kalau bilang Naya ingin sekali kue ulang tahun. Rafa juga sudah bilang ke Naya agar tidak membahas kue ulang tahun di depan Mama. Maaf kalau Rafa membuat Mama sedih.”Naya memeluk Rafa erat-erat. berkali-kali dia mengucap kata maaf. Hatinya perih. Sebagai seorang Ibu, dia ingin sekali bisa membelikan apapun yang diinginkan anaknya. Namun, bagaimanalah? Bahkan untuk membayar uang kost-kostan yang naik pun dia harus memutar otak agar mendapat uang tambahan.“Rafa tidur dulu ya? Besok masuk sekolah Mama antar menghadap Bu Kartika. Tidak usah memikirkan kue ulang tahun Naya. Mama janji akan belikan nanti setelah gajian?”“Yang benar, Ma?” Rafa hampir berteriak senang kalau tidak ingat Naya yang sedang tidur. Dia langsung memeluk ibunya yang mengangguk sambil tersenyum.“Uang yang kemarin Rafa kumpulkan boleh buat beli kado, Ma? Rafa mau datang ke pesta ulang tahun Dendi.”“Boleh.” Arini memasang selimut Rafa dan N
Perubahan Rista“Sudah dua hari ini rawat inap. Aku baru mau minta keringanan dana. Masih menunggu surat dari kelurahan selesai, Pak RT yang bantu mengurus.”Umi Hasyim mengelus bahu Rista yang bercerita sambil menangis. Wanita yang usianya sudah pertengahan kepala tiga itu terlihat kacau sekali. Matanya sembab karena kurang tidur. Bicaranya juga sedikit tidak teratur karena beban pikiran.“Mas Imam posisinya masih di luar pulau mengantar papan, mungkin masih empat hari lagi baru bisa pulang.” Rista kembali menghapus air mata. “Terima kasih.” Dia mengangguk pada Arini yang memberikan tisu.“Maaf kalau dua hari ini saya tidak bisa bekerja, Umi. Saya benar-benar kalut karena berpikir sendirian. Bapaknya anak-anak juga tidak bisa membantu banyak. Posisinya yang sedang menyetir truk tronton membutuhkan konsentrasi tinggi. Jadi, apa-apanya saya berpikir dan bertindak sendiri.”“Urus dulu saja anakmu, masalah pekerjaan nanti bisa masuk lagi kalau keadaannya sudah membaik.” Umi memegang tang
Ketegaran Umi “Ini sedikit bantuan dari Umi, Rista. Semoga berguna untuk meringankan biaya pengobatan Hendi.” Umi Hasyim memberikan amplop pada Rista. Tadi karyawannya mau patungan, tapi dia menolak karena mengetahui mereka banyak kebutuhan.“Terima kasih, Umi.” Rista mencium tangan Umi. Wanita itu memeluk Arini, Dewi dan Kiki saat mereka berpamitan."Kamu masih ingat cerita Umi tempo hari, Rin? Tentang masa-masa sulit yang pernah Umi lalui."Arini mengangguk cepat. Dia memang menumpang pada Umi Hasyim. Sementara kedua temannya tadi pulang dengan mengendarai motor masing-masing. Arini berdecak kagum melihat Umi Hasyim yang lincah sekali menyetir mobil walau sudah berumur. Sementara dia yang masih muda malah belum bisa.Arini tersenyum sambil menunduk. Ya bagaimana pula akan bisa sementara dia tidak punya mobil? Dulu, Yuda pernah ingin mengajarinya. Tapi Ibu mertuanya selalu menghalangi. Ratna mengatakan posisi wanita itu hanya di rumah saja apalagi dia ada anak kecil. Belum perlulah
Ketakutan Diandra “Kamu kenapa sih, Mas? Dari kemarin kayak nggak semangat ngurusin persiapan pernikahan.” Diandra menatap Yuda yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Lelaki itu tidak sedikitpun menanggapi ucapannya yang sejak tadi menjelaskan ini dan itu.“Tidak semangat bagaimana?” Yuda menatap sekilas pada Diandra yang duduk di depannya. Wajah putih mulus dengan rambut potongan bob blonde itu balik menatapnya dengan wajah sedikit cemberut.Yuda menarik napas panjang. Karena tunangannya itu tetap bungkam, Yuda meneruskan makan siang. Ayam sambal dabu-dabu dengan kangkung cah tauge membuatnya makan dengan lahap.Setelah menyelesaikan makan, segelas besar es jeruk tandas dia habiskan. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah makan yang mereka pilih ini terletak di tengah-tengah sawah. Beberapa saung tersebar sehingga menimbulkan kesan petani sedang makan setelah bekerja di sawah seharian.Sejuk dan nyaman membuat betah pengunjung. Sepanjang mata memandang, hijau padi meny
Fitnah Arini berdiri dengan wajah panik. Dia yang sedang beristirahat dan baru akan makan siang mendadak dipanggil ke depan karena ada keributan yang menyeret namanya.“Saya ingat sekali, tadi Mbak ini yang membantu saya membawa semua barang-barang. Mbak ini juga yang memberikan informasi tentang produk-produk yang sedang diskon.”Wulandari mengelus punggung Arini. Dia dapat merasakan tubuh Arini sedikit gemetar. Udara dingin dan perut yang lapar kemungkinan salah satu penyebab Arini terlihat begitu pucat. Ditambah juga dengan masalah ini, membuat wanita itu hanya bisa terdiam dan tampak kebingungan.“Setelah membayar semua belanjaan, Mbak ini juga yang membantu saya mengangkat barang-barang ke depan. Baru setelah dari sana, sopir saya yang mengangkut ke mobil.” Ibu-ibu yang mengenakan setelan blus biru dan celana kulot hitam itu membenarkan jilbabnya. Dia sedikit terengah-engah karena terbawa emosi.“Di perjalanan, saya memastikan lagi barang belanjaan. Takut kelupaan kalau-kalau ad
Pertolongan Yuda Arini terpaku menatap wanita yang masih bersikeras dengan pendapatnya. Matanya memanas dan hampir tak bisa menahan air matanya untuk luruh. Namun melihat Wulandari yang memintanya untuk tetap tenang membuat Arini merasa dia tidak sendiri. Wulandari tak berada dalam lokasi yang sama dengannya saat kejadian berlangsung. Tetapi melihat dia begitu gigih, hal itu menguatkan Arini untuk membela dirinya. Apalagi kondisi makin tak terkendali. Hilangnya barang belanjaan pengunjung baru kali ini terjadi. "Apa susahnya pihak swalayan ganti rugi. Toh hanya satu karton minyak. Jangan pelit, apalagi ini menyangkut nama baik dan tanggung jawab swalayan. Jangan sampai membela satu orang pegawai justru membuat tempat ini sepi," ucap seorang wanita lanjut usia yang sepertinya sudah terpengaruh dengan tuduhan waktu berblouse warna biru itu. Arini mengusap wajahnya kasar. Suara-suara sumbang itu mulai membuat mentalnya kacau. Di benaknya terbayang wajah Umi yang lagi-lagi harus dihad
KEPERCAYAAN UMI Arini mengusap wajahnya yang memanas. Ditatapnya bayangan dirinya di depan cermin. Wajah yang makin tirus digerus oleh tempaan nasib yang membuat hidupnya makin terombang-ambing. Meski masih terlihat jelas jejak kecantikannya yang tak luntur, namun siapapun sepakat bahwa Arini terlihat makin layu. Tak cukupkah derita hidupnya selama ini? Mengapa banyak sekali orang yang berlomba-lomba membuat mentalnya jatuh seperti ini? Apakah untungnya jika Arini mendapatkan kesialan yang bertubi-tubi?Umi sudah mendengar apa yang menimpa wanita itu sepulangnya dari urusan di luar. Dia langsung mendapat laporan dari orang kepercayaannya. Wanita itu langsung memanggil Arini dan meminta penjelasan dari karyawannya itu. "Sejauh ini Umi percaya dengan apa yang kau katakan, Arini." Kalimat singkat Umi Hasyim membuat Arini tak mampu menahan lagi sesak yang dia rasakan. Wanita itu terlampau baik padanya. Bahkan dia tak menunjukkan keraguannya sedikit pun. Arini tergugu. Apa yang menimp