KONDISI NAYA "Bawa ke rumah sakit. Saya hanya bisa memberi obat untuk sementara waktu. Jangan ditunda. Saya rasa ini bukan alergi seperti kebanyakan," ucap Pak Mantri Qodir, laki-laki berprofesi sebagai perawat di salah rumah sakit milik pemerintah setempat. Laki-laki itu menurunkan kacamatanya, memandang secara langsung wajah mungil Naya sambil menggeleng perlahan. Gerakannya itu membuat Arini dan Widya yang bersisian makin panik. Bibir Naya semakin pucat, begitu pun tubuhnya yang makin melemah. Hanya erangan kecil yang hampir tak terdengar sebagai tanda anak itu benar-benar tak bertenaga. "Mbak. Aku ke depan buat nyetop angkot. Mudah-mudahan ada yang mau membawa kita kesana," ucap Widya sambil meraih lengan Arini. "Biar saya yang antar. Kalau pakai angkot khawatirnya terlalu lama di perjalanan. Anak Anda butuh perawatan secepatnya," ucap Pak Mantri Qodir yang langsung membuat wajah Arini terlihat makin bingung. Nyatanya laki-laki itu langsung ke dalam rumahnya. Bukan tanpa seb
BERTEMU MANTAN MERTUA "Yuda sedang sibuk persiapan pernikahan dengan Diandra. Dia tak bisa diganggu. Ada perlu ada mencarinya?" Suara Ratna terdengar amat menakutan bagi telinga Arini. Wanita itu duduk dengan angkuh, menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Wajahnya tak bersahabat sama sekali, apalagi tamunya ini benar-benar tidak diharapkan kehadirannya. Rasa sinis itu kian membuncah saat mengingat penuturan Diandra mengenai mantan menantunya yang sedang berusaha mengacaukan acara pernikahan Yuda dengan wanita yang sudah dijamin bibir, bebet, dan bobot menurutnya. "Biasanya dia akan pulang jam sepuluh malam nanti. Maklum saja, Yuda harus mengantar calon istrinya itu pulang. Diandra harus dipastikan keamanannya oleh Yuda hingga sampai di dalam rumah." Sengaja Bu Ratna mengatakan hal yang sudah pasti akan menyakiti hati Arini. Bukankah puas melihat wanita itu diam tak berkutik seperti ini? "Ada perlu apa?" Akhirnya ibu kandung Yuda itu menanyakan maksud kedatangan Arini. Dia
PERLAKUAN TIDAK MANUSIAWI "Jaga ucapanmu! Dasar wanita tidak berpendidikan! Beruntung sekali kami karena kau sudah tidak menjadi bagian dari keluarga ini." Ratna terengah-engah menahan amarah. "Jangan memintaku menjaga ucapan sementara Ibu sendiri tidak bisa menjaga sikap." Arini memegang pipinya yang terasa panas. "Aku datang baik-baik meminta hak anakku. Bukankah seharusnya, sebagai keluarga yang berpendidikan tinggi, Ibu menerima kedatanganku dengan baik?""Dengar, Arini, saat ketuk palu hakim mengesahkan perceraian, detik itu juga hubungan Yuda dengan kalian selesai. Titik!"“Naya dan Rafa itu darah daging Mas Yuda, Bu. Tidak ada yang namanya mantan anak, hubungan darah selamanya tidak akan pernah bisa diputus dengan cara apapun.” Arini mengepalkan tangan. Kalau bukan karena dia benar-benar membutuhkan uang, dia tidak akan menginjakkan kaki di tempat ini lagi.“Urus anak-anakmu sendiri, Arini. Jangan pernah datang kemari lagi. Kau tidak akan pernah mendapatkan sepeserpun dari ha
KEPERGIAN NAYA “Kata orang, menikah itu membuka pintu rezeki, Rin. Doakan Mas ya? Semoga mendapat pembimbing skripsi yang mudah ditemui dan tidak neko-neko. Biar Mas bisa segera lulus dan mendapatkan pekerjaan. Biar kamu juga bisa segera melanjutkan kuliah yang sempat tertunda.”Arini tertawa terbahak-bahak di tengah hujan mengingat ucapan Yuda saat usia pernikahan mereka memasuki angka satu setengah tahun. Saat lelaki itu sibuk menyongsong cita-cita, dia justru harus bergelut dengan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.Hilang sudah Arini yang dulu selalu tampil rapi dan manis. Pekerjaan yang tak ada habisnya membuat Arini tidak memiliki cukup waktu untuk merawat diri. Bahkan, Arini mulai merasa kecerdasannya berkurang karena tidak ada kesempatan untuk mengembangkan diri. Kadang, dia tidak bisa menanggapi ucapan Yuda karena tidak mengerti konteks cerita. Padahal, dulu dia bisa membicarakan apa saja.Hampir satu jam hingga Arini yang berjalan dengan kaki pincang memasuki pelataran r
ARINI TERGUNCANGArini lunglai di atas gundukan tanah merah di depannya. Tak kata yang keluar dari bibirnya. Matanya pun tak tampak mengeluarkan air mata sedikit pun. Tatapannya kosong, menatap pusara yang baru selesai ditancapkan di atas gundukan tersebut. Rafa di sisinya tak kunjung melepaskan tangannya dari lengan wanita itu. Seribu sesal berlomba-lomba meruntuhkan hari Arini untuk tetap tegar. Kepergian Naya yang tiba-tiba belum mampu dia cerna dalam pikirannya. Observasi yang dilakukan oleh dokter pun belum juga memberinya kepastian. Entah apa yang sebenarnya diderita oleh anak perempuannya hingga mengantarkan gadis kecil itu pada sebuah titik akhir bernama kematian. "Dok, pasti dokter bercanda? Nggak mungkin anakku meninggal. Dia masih baik-baik saja sebelum kutinggal tadi. Ayo periksa lagi dia! Jangan sampai dokter melakukan kesalahan. Tenang saja, saya akan cari biaya untuk perawatannya. Dokter tak perlu khawatir tentang hal tersebut!" Arini meracau, dia menarik jas putih
SUMPAH ARINI "Mbak. Rafa nggak bisa lihat ibunya seperti ini. Mbak harus kuat, Mbak Arin nggak sendiri," ucap Widya dengan air mata yang membanjir. Dia paham dengan kehancuran wanita yang selama ini begitu banyak mengajarkan arti hidup padanya. "Kue ulang tahun Naya…bahkan dia baru memakannya sedikit, Wid…." Widya menarik napasnya dalam-dalam. Arini belum bisa berpikir normal. Jiwanya yang terguncang hebat tak kunjung memberinya kesadaran. "Wid, Naya…." "Arini! Jelaskan padaku apa yang terjadi! Kenapa Naya jadi seperti ini?!" Suara yang baru saja mereka dengar membuat Arini menghentikan kalimatnya pada Widya. Wanita itu menoleh ke sumber suara yang berjeda beberapa langkah dari posisinya saat ini. Yuda yang memakai kemeja berwarna abu-abu itu mendekat. Laki-laki itu menatap Arini dengan tatapan penuh penghakiman. Kabar kematian anaknya yang dia dapatkan dari salah seorang temannya yang mengetahui informasi tersebut membuatnya meninggalkan janji bersama Diandra. Dia tak mempedu
SURAT DARI PENGADILAN“Belanja banyak, Mbak Arini?” Mbok Darmi, pemilik warung sayur di depan gang perumahan menyapa Arini yang sejak tadi sibuk memilih belanjaan. Ayam lima kilogram, tempe beberapa potong, bihun, cabai, bawang dan masih banyak lagi.“Iya, Mbok, buat acara seratus hari Naya nanti malam.” Arini tersenyum tipis. Tiga bulan lebih setelah kematian Naya, Arini sudah mulai bisa menerima meski langkahnya masih tertatih dengan hati yang terus merintih.Yatim untuk anak yang ditinggalkan Ayah. Piatu untuk anak yang ditinggalkan Ibu. Yatim piatu adalah untuk anak yang ditinggalkan kedua orangtuanya. Lalu, apa namanya jika orangtua ditinggalkan anak? Adakah sebutannya?Tidak ada! Tidak ada sebutannya. Perasaan orangtua yang ditinggalkan anaknya tidak bisa digambarkan dengan apapun. Bahkan seniman terbaik pun tidak bisa melukiskan sakitnya kehilangan keturunan walau menggunakan tinta darah sekalipun.“Oh iya, tidak terasa sudah seratus hari Naya pergi ya, Rin." Mbok Darmi mulai m
Omong Kosong! Jangankan merawat Rafa, bahkan selama bercerai, hanya waktu itu Yuda memberikan dia uang. Hanya sekali itu. Lalu, apa pertimbangan pengadilan hingga mengabulkan pengambilan hak asuh atas Rafa darinya?“Mbak?” Widya mengguncangkan tangan Arini yang melamun. Dia langsung mengambil surat yang Arini serahkan. Widya terhenyak setelah membaca isi di dalamnya. Dia menatap mata Arini yang berkabut. Amarah, sedih, tertekan, kebingungan berkumpul menjadi satu. Terlihat jelas dari wajah Arini yang mendung.“Mbak mau ke rumah Mas Yuda?” Widya memegang tangan Arini. Dia tidak habis pikir dengan tindakan mantan suami Arini. Bisa-bisanya dia melakukan tindakan ini saat Arini masih belum bisa sepenuh hati melepas Naya.“Aku harus ke rumah lelaki yang tidak ada otak itu, Wid! Apa alasannya ingin mengambil Rafa dariku? Apa dia pikir bisa mengurus anakku dengan lebih baik? Apa dia tidak tahu ibunya tidak pernah menganggap anakku sebagai cucu? Lalu, bagaimana dia akan membesarkan anak kami