Share

BAB 6 TAKUT KEHILANGAN

Takut Kehilangan

"Gue nggak tahu! Kita juga kaget tadi pas denger ada suara benda jatuh. Kirain barang di gudang bergeser lagi. Pas kita lihat keluar, Arini sudah di posisi tergeletak di lantai."

"Lan, sudahlah. Aku sama Rista memang tidak terlalu menyukai Arini karena dia dianakemaskan, tapi bukan berarti kami akan mencelakai dia. Apalagi ini tempat kerja …."

Arini menautkan alis. Samar-samar dia mendengar keributan antara beberapa orang. Kepalanya pusing. Dia berusaha membuka mata, tapi entahlah kenapa berat sekali. Sulit. Seperti ada lem yang merekatkan matanya hingga susah terbuka.

"Rin? Arini?" Wulandari yang baru saja perang omongan dengan Rista dan Dewi langsung menoleh mendengar rintihan sahabatnya.

Tadi dia berencana mau ke toilet, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rista dan Dewi sedang membopong Arini dengan susah payah ke ruang istirahat karyawan. Dia yang mengetahui dua rekan kerjanya itu tidak terlalu menyukai Arini langsung berpikiran yang tidak-tidak hingga menyebabkan mereka berdebat barusan.

"Kaki Arini dingin." Suara Wulandari terdengar cemas. Dia menoleh pada Rista yang mencari sesuatu di tasnya.

"Ini." Wanita berkacamata itu menyerahkan sebotol minyak kayu putih berukuran kecil pada Wulandari. "Maaf, aku duluan. Kita tidak bisa berkumpul di sini semua. Jam istirahat hampir habis. Biar aku sementara yang menghandle urusan di depan."

Wulandari dan Dewi mengangguk bersamaan. Mereka langsung mengoleskan minyak kayu putih di telapak kaki dan tangan Arini. Rista menoleh sebentar pada Arini sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu.

“Rin?” Mata Wulandari membesar saat Arini kembali merintih. Dia mengambil minyak kayu putih dan meletakkannya ke dekat hidung Arini. “Alhamdulillah.” Wulandari bernapas lega melihat mata Arini mulai terbuka. Temannya itu mengerjap-ngerjap karena silau oleh cahaya lampu.

“Aku ke depan ya, Lan? Arini sudah sadar.” Dewi menepuk bahu Wulandari dan langsung meninggalkan tempat itu.

“Aku harus pulang, Lan.” Arini tersentak setelah mengingat kalau tadi Widya mengabarinya Naya sedang kejang. Arini terhuyung saat merasakan kepalanya pusing luar biasa karena bangun mendadak barusan.

“Rin! Duduk dulu.” Wulandari memapah Arini. Dia benar-benar cemas dengan kondisi temannya itu.

“Naya kejang, Lan. Barusan aku dapat kabar. Aku harus pulang. Tolong kasih tahu Umi ya? Besok aku akan menghadap beliau.”

“Rin! Arini!”

Arini melesat pergi setelah mengambil tasnya di laci. Dia tidak menghiraukan Wulandari yang terus berteriak memanggilnya. “Naya.” Arini terus mendesahkan nama anak pertamanya. Ketakutan mengungkung perasaan Arini. Wanita berhijab biru itu berkali-kali menyeka matanya yang basah.

“Allah.” Arini terduduk setelah keluar dari swalayan. Kakinya terasa lemas. Kekhawatiran pada buah hati telah membuat jiwanya seolah terlepas dari raga. Dengan tangan gemetar, Arini mengambil ponselnya yang berbunyi. “Iya, Wid? Aku dalam perjalanan pulang.”

“Naya sudah aku bawa ke puskesmas dekat kelurahan, Mbak. Maaf, aku tidak punya pegangan uang untuk membawa ke rumah sakit.” Arini menarik napas lega mendengar penjelasan Widya di seberang sana. Setidaknya, Naya sudah mendapat pertolongan di unit kesehatan.

“Iya, tidak apa-apa, Wid. Terima kasih. Maaf Mbak sering merepotkan. Sudah dulu ya? Mbak jalan kesana. Assalamualaikum.” Arini langsung berjalan cepat menuju sekumpulan ojek yang sedang mangkal setelah telepon ditutup.

Pikiran Arini terus tertuju pada Naya sepanjang perjalanan. Gadis kecilnya yang empat bulan lagi genap berusia dua setengah tahun itu memang sering sakit-sakitan sejak dulu. Naya lahir prematur di usia kehamilan tiga puluh satu minggu. Arini yang kelelahan mengerjakan semua pekerjaan rumah di tempat mertuanya menjadi penyebabnya.

Anak keduanya dengan Yuda itu masuk panggul sebelum waktunya. Beberapa kali dia pendarahan dan diminta oleh Dokter agar bedrest demi keselamatan bayinya. Namun, setiap kali Yuda berangkat bekerja, dia selalu mengerjakan semua pekerjaan atas desakan ibu mertuanya.

“Manja kamu itu, Rin! Dulu, waktu saya hamil Yuda, nggak ada tuh saya malas-malasan. Dokter jangan terlalu didengarkan. Mereka sengaja memberi saran aneh-aneh biar kelihatan kerja jadi kita tidak merasa rugi sudah membayar mahal biaya konsultasi.”

Arini menekan dada mengingat ucapan mantan Ibu mertuanya pagi hari sebelum kelahiran Naya. Andai waktu itu dia mempunyai keberanian untuk melawan, mungkin Naya tidak akan tumbuh dengan tubuh lemah seperti ini.

Ah … sudahlah, semua hanya masa lalu. Arini menggeleng berkali-kali. Dia menghela napas untuk yang kesekian kali. Dulu, dia sengaja mengalah pada Ratna. Dia tidak ingin membuat keributan di rumah mertuanya. Dia tidak ingin Yuda membenci ibunya sehingga memilih memendam semua sendiri. Berharap hati Ratna terketuk suatu hari nanti.

“Semangat, Nak, semoga yang sakit segera diberi kesehatan.”

“Amin, terima kasih, Pak.” Arini tersenyum tipis sebelum berlalu. Tukang ojek yang usianya sudah sepuh itu sepertinya mendengar dia terisak sepanjang jalan. Arini menggeleng pelan. Sudahlah, dia tidak punya waktu untuk memikirkan itu.

Setelah mendapat informasi kamar Naya, Arini bergegas mencari ruangan itu. Dia menarik napas lega melihat Naya sedang disuapi oleh Widya. Tangisnya kembali pecah mengingat kekhawatirannya tadi. Sungguh, dia benar-benar takut kehilangan buah hatinya itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yanie Abdullah
bikin cerita kenapa begini amat ya...sedih banget emang ada ya mertua jahat kek gitu di kehidupan nyata ?
goodnovel comment avatar
Popindo
Thor, mbak arini dan anak2 didaftarin bpjs dong. biar kalau naya kejang tiba2 bisa langsung bawa ke igd. gak bayar. BPJS yg gratis juga ada kok asal mau ngurus . Jangan ditiru ya ges yak ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status