DIBUNTUTI MANTAN SUAMI
“Rafa tadi aku titip ke Mas Roni, Mbak. Tadi mau kuajak sekalian kesini tapi dia menangis kencang melihat adiknya kejang. Khawatir malah jadi bikin tambah ribet akhirnya kutinggal.” Widya menyerahkan kursi pada Arini. Dia membiarkan wanita itu melanjutkan menyuapi Naya.“Tidak apa-apa, Wid. Terima kasih sudah membantu. Maaf merepotkan.” Arini mengelus kepala Naya yang menatapnya dengan mata sayu."Santai saja, Mbak. Kebetulan aku masuk shift malam minggu-minggu ini."Mereka saling diam cukup lama setelahnya. Arini tersenyum lebar saat semangkuk bubur di tangannya habis dilahap Naya. Anak itu memang tidak pernah rewel dari dulu kalau masalah makanan. Apapun yang diberikan pasti dia habiskan.Sepulang Widya dari puskesmas, Arini duduk termenung menunggu jam kunjungan dokter. Tadi dia sudah minta tolong pada Widya untuk sekalian mengantarkan Rafa kalau nanti malam dia berangkat kerja. Dia tidak enak hati kalau meninggalkan Rafa terlalu lama di tempat tetangga. Khawatir merepotkan. Bocah lelaki itu sedang aktif-aktifnya."Orangtua Naya?""Ah, iya, Dok." Arini tersadar dari lamunan saat dokter muda dengan hijab modern itu mendekat ke ranjang Naya."Kondisi Naya masih lemah, jadi belum boleh pulang ya, Bu? Sebenarnya, kita memerlukan pengecekan laboratorium lanjutan untuk menganalisa sakit Naya. Tapi di puskesmas tidak tersedia. Pengecekan lengkap hanya ada di rumah sakit besar.""Naya sakit apa, Dok?" Arini menggigit bibir. Dia meremas tangannya yang saling bertaut di atas paha."Hanya demam biasa. Tapi, dari keterangan Mbak yang tadi mengantar, katanya Naya sering sekali panas. Bahkan bisa dua bulan sekali. Kejangnya tadi itu karena kelewat panas. Sebelumnya tidak pernah kejang?"Arini menggeleng. Naya memang sering panas, tapi baru kali ini sampai kejang hingga membuatnya sangat khawatir."Kalau dari pemeriksaan umum, hanya panas biasa. Demam. Saya curiga ada yang tidak terdeteksi, jadi harus dicek laboratorium secara keseluruhan. Kalau di puskesmas, pengecekan di sini terbatas."Arini menarik napas panjang. Bagaimanalah dia akan membawa Naya ke rumah sakit besar, sementara dia sendiri sedang kehabisan pegangan uang. Dia bahkan tidak punya simpanan sama sekali karena gajinya selama ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari."Apa kondisi Naya bahaya, Dok?""Tadi sudah diberikan obat penurun panas, sambil dikompres saja terus.""Baik, Dok. Nanti saya pikirkan lagi untuk pindah ke rumah sakit."Dokter muda itu mengangguk maklum. Dia dapat mengerti banyak pasien yang tidak mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit.Arini ikut merebahkan badan di samping Naya. Ranjang itu cukup untuk mereka berdua. Dia memeluk erat Naya yang sesekali mengerang. Badan anaknya terasa panas saat kulit mereka bersentuhan.Selama tiga hari Arini bolak-balik antara puskesmas-rumah-swalayan. Dia lelah fisik dan mental. Kondisi Naya yang naik turun membuat emosinya menjadi tidak stabil. Pikirannya terus tertuju pada Naya, tapi dia juga tidak bisa meninggalkan kewajibannya di tempat kerja.Beruntung ada Widya yang menggantikannya kalau dia berangkat kerja. Entah bagaimana dia akan membalas kebaikan gadis itu. Selama mengontrak, sudah terlalu sering dia merepotkannya.Di sini, sepasang mata mengawasi Arini yang sudah menghilang di dalam angkot. Yuda menatap lama ke arah puskesmas. Dia terus bertanya-tanya apa Naya dirawat disana?Dua hari kemarin Yuda sengaja mampir ke swalayan tempat mantan istrinya itu bekerja. Sekedar membeli cemilan ringan dan minuman. Dia hanya ingin memastikan Arini baik-baik saja setelah keributan yang disebabkan oleh Diandra beberapa hari yang lalu.Sore harinya dia ingin mengajak Arini berbicara. Namun, wanita itu sengaja menghindarinya. Dia akhirnya memutuskan mengikuti Arini hingga sampai di puskesmas ini. Ditunggu sampai malam, Arini tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan keluar hingga akhirnya Yuda memutuskan pulang.Pagi ini, dia sengaja menunggu di sini untuk memastikan firasatnya benar. Dia curiga Naya yang dirawat disana mengingat kondisi tubuh anaknya yang memang lemah."Pasien anak atas nama Naya Permata apakah benar dirawat disini?""Sebentar ya, Pak." Gadis petugas administrasi melihat catatan pasien rawat inap. "Betul, Pak, tapi sekarang belum waktunya jam besuk.""Tidak apa-apa, saya hanya memastikan saja." Aditya mengangguk sopan dan meninggalkan tempat itu. Dia terus bertanya-tanya sudah berapa lama Naya dirawat? Parahkah kondisinya? Kenapa Arini tidak membawanya ke rumah sakit?"Mas Yuda?"Yuda tersentak saat berpapasan dengan Arini di pintu puskesmas. Pun dengan Arini, wanita itu sama terkejutnya saat melihat kehadiran Yuda di sana. Dia kembali karena ID Card-nya ketinggalan. Dia benar-benar tidak menyangka justru bertemu dengan mantan suaminya."Naya sakit apa, Rin?"Napas Arini menderu mengetahui Yuda membuntutinya. Kehadiran lelaki itu di sana bisa menyebabkan keributan kalau sampai diketahui oleh mantan mertuanya atau Diandra. Bukan apa-apa, Arini hanya malas saja mencari perkara dengan mereka. Dia lelah. Pikiran dan tenaganya sudah terkuras habis untuk bekerja dan merawat Rafa dan Naya."Pergilah, Mas.""Aku hanya ingin tahu Naya sakit apa. Kalau memang parah, bisa kita bawa ke rumah sakit.""Pergilah, aku tidak mau terjadi keributan lagi sampai calon istrimu tahu kau masih menemuiku.""Aku mengunjungi anakku ….""Baru sekarang Mas sadar punya anak?" Arini tertawa sinis. "Kemana saja selama dua tahun ini? Pingsan?!"PERTENGKARAN Yuda menyugar rambutnya kasar. Laki-laki yang mengenakan kemeja slimfit warna grey itu tertampar dengan kalimat yang diucapkan Arini barusan. Tak ada yang salah dengan penuturan mantan istrinya. Semuanya memang kenyataan. Dua tahun laki-laki itu menghilang, bersembunyi di balik pesona kemewahan yang orangtuanya hadirkan."Rin, please. Izinkan aku bertemu Naya. Aku ayahnya." Arini mendelik. Matanya menatap penuh amarah pada laki-laki yang belakangan ini hadir kembali dalam kehidupannya. Laki-laki yang pernah dicintai sepenuh hati itu menatap Arini penuh rasa penyesalan. Sayangnya semua itu tak berarti apapun bagi Arini. Terlambat. Terlalu banyak rasa sakit yang dia torehkan pada wanita itu. Tak ada kesempatan untuk memperbaiki. Semua pintu maaf sudah dia tutup rapat-rapat. "Rin, Naya butuh pengobatan. Ayolah, jangan jadi ibu yang egois. Apa yang bisa diharapkan dari fasilitas pemerintah seperti ini? Kau hanya sedang memperparah kondisi anak kita." "Cukup!" Arini meng
PERGILAH, MAS!"Mas. Pergilah. Kumohon. Jangan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun di masa lalu. Jika bukan kasihan padaku, maka lakukanlah karena kau kasihan pada Naya. Anak perempuan yang sudah lupa bagaimana hangatnya dekapan seorang Ayah.Kau tahu orangtua dan calon istrimu, bukan? Membuat seorang laki-laki melupakan anak dan istrinya saja mereka mampu dan tega, apalagi hanya melakukan balas dendam pada kami atas sikapmu ini? Ingat, kau yang menginginkan semua ini, Mas! Bukan kami yang pergi, tapi kau yang pergi! Jangan bersikap seolah kami jahat karena tak memberimu kesempatan menebus kesalahan, tapi kau sendiri yang sudah melupakan momentum untuk menebus kesalahan itu sendiri. Ingat, Mas. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Kau membuat hidup kami bagai di neraka, lalu kau sekarang datang seolah-olah tak pernah terjadi apapun dan berharap aku bersikap baik-baik saja? Apakah kau sebodoh itu sekarang, Mas?!Mari saling melupakan kalau kita pernah menjadi satu. Lupakan
Widya akhirnya memilih diam. Dia membiarkan Arini menumpahkan sesak sesukanya. Isak tangis wanita dengan alis mata tebal itu memenuhi ruangan. Hidung dan pipi Arini memerah. Sesekali, dia menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa dibendung lagi.Yuda Hadiwijaya, lelaki dengan segala kesempurnaannya sebagai seorang pria. Badannya tegap dengan perut yang berkotak-kotak. Ah … Arini ingat sekali, dia bahkan melotot saking takjubnya saat pertama kali melihat Yuda di malam pertama mereka. Pikirnya, bentuk tubuh seperti itu hanya dimiliki oleh para model di majalah dan televisi.Arini menengadah. Dia berusaha menahan agar air matanya tidak kembali tumpah. Tidak bisa. Keributan yang baru saja terjadi dengan mantan suaminya dan sergapan kenangan masa lalu membuat kesedihan di hatinya kembali membuncah.Arini Dafina, mahasiswa berprestasi yang menjadi kembang kampus. Dia berasal dari keluarga biasa saja. Mereka bahkan bisa dikatakan hidup dalam garis kemiskinan. Golongan orang-orang yang b
Air liur Arini terbit saat kotak bekal dibuka. Telur balado, sawi tumis dengan potongan bakso kecil-kecil serta tahu goreng membuat perutnya yang keroncongan berontak seketika. Sekejap saja, makanan itu tandas. Dia memang kelaparan karena dari pagi tidak sarapan. selama tiga hari ini, Arini makan hanya saat malam. Itu juga makan dari sisa jatah makan Naya yang didapat dari puskesmas.“Mau tambah?” Wulandari senyum-senyum melihat kotak bekal Arini yang habis lebih dulu. Dia mengulurkan makanannya ke hadapan Arini.“Boleh aku ambil jatahmu?”“Yeee, tadi pura-pura menolak sekarang malah tidak tahu diri.”Tawa mereka pecah memenuhi mushola. Arini menatap Wulandari yang masih sibuk dengan bekalnya. Ah … ini pertama kali dia tertawa selepas ini sejak Naya sakit lagi. “Lan, terima kasih.”Wulandari hanya tersenyum melihat mata Arini berkaca-kaca. Dia menepuk pelan bahu sahabatnya yang kini mulai menyusut air mata. Sungguh, Arini adalah salah satu perempuan hebat yang pernah dia kenal. Di usi
TAMU TAK DIUNDANG Arini berlari kecil kecil sambil memastikan Naya tetap aman dari terpaan hujan. Napasnya kepayahan karena tubuh ramping Arini sudah mulai kesusahan menggendong anak bungsunya yang masih tergolek lemah. Sementara Rafa sudah lebih dulu sampai di pintu rumah petak sempit yang disewanya. Anak lelaki itu tengah menunggu sang Ibu membukakan pintu rumah mereka yang hanya terdiri atas kamar tidur dan dapur sempit. Dengan susah payah Arini mengambil kunci dari dalam tasnya yang sudah usang. Pencahayaan yang minim membuat Arini sedikit kesulitan mencari benda yang dicarinya. Rafa memeluk lengannya kuat-kuat. Bibir anak laki-laki berusia enam tahun itu mulai bergetar. Gemeletuk giginya pun tak mampu dia cegah. "Ma," ucap Rafa lirih. Matanya mulai terasa panas. "Sebentar, Sayang. Mama cari kunci." Arini hampir memekik senang saat benda yang dia cari akhirnya tersentuh tangannya. Rafa dengan sigap membantu sang Ibu membuka pintu dan menyalakan lampu ruangan itu. Rafa den
SKAKMAT YUDAYuda berjongkok tepat di hadapan anak laki-lakinya. Diangsurkannya benda itu ke tangan sang anak secara langsung. Rafa tak bisa menolaknya. Aroma itu amat menggiurkan. Entah kapan terakhir kali Arini membawa makanan enak pada anak-anaknya. Segala keterbatasan wanita itu membuat anak-anaknya mulai merasa terbiasa dengan keprihatinan. "Makanlah, Sayang. Kau pasti lapar," ucap Yuda sambil membelai rambut anaknya lembut. Arini mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wanita itu menyadari kecerobohan dirinya. Benar sekali, Rafa belum makan dari siang. Hanya roti yang sudah tak berbentuk jatah dari swalayan yang dia bawa untuk anaknya. Pun anak lelaki itu tak berkeluh tentang rasa laparnya. Arini benar-benar merasa tertampar mendapati kenyataan itu. Selain itu pula, kesibukan mengurus administrasi kepulangan Naya membuat Arini lupa mencarikan makanan untuk sulungnya."Terima kasih. Lekas pulanglah, Mas. Tak enak dilihat tetangga." Arini berkata sambil menengok ke arah lain. D
Pemberian YudaArini memejamkan mata. Karena terbakar emosi, dia tidak sadar telah bertengkar di depan kedua anak mereka. Melalui ujung mata, dia dapat melihat Rafa yang memeluk Naya. Kayak beradik itu terlihat ketakutan karena keributan yang mereka sebabkan.“Pergilah, Mas.” Arini berkata lirih. Fisiknya lelah, batinnya lemah. Wanita itu benar-benar sedang penat lahir dan batin. Emosinya seperti sedang dipermainkan. Setelah menghadapi kekhawatiran akan kondisi kesehatan Naya beberapa hari terakhir, kini dia harus berhadapan dengan Yuda lagi yang mau tidak mau membuat luka lama itu berdarah kembali.“Maafkan aku, Rin.” Yuda ikut memelankan suara setelah ikut menyadari Rafa dan Naya menatap mereka dengan sorot mata ketakutan. Hatinya mencelos melihat kedua anak itu tumbuh dengan baik walau serba terbatas.Rafa dan Naya tumbuh dengan tubuh berisi walau tidak gemuk. Setidaknya, dia dapat melihat dua anak itu tidak kekurangan makan. Baju Rafa dan Naya juga bersih dan rapi. Walau warnanya
MELABRAK ARINI“Mama! Ayo, sini makan, ini enak banget. Ayamnya kriuk kriuk, nasinya masih hangat. Supnya juga enak. Makan ini badan jadi tidak dingin lagi.”Arini tertawa mendengar ucapan Rafa. Dia mengangguk dan langsung bergabung dengan dua anaknya setelah menyimpan uang dari Yuda. Entah kapan terakhir kali dia mencicipi makanan cepat saji ini. Rasa-rasanya sudah lama sekali.“Pelan-pelan makannya, Nay. Ini masih banyak, kok. Abang Rafa tidak akan sanggup menghabiskan.” Arini tersenyum sambil merapikan makanan Naya yang sedikit berantakan. Balita itu makan dengan tergesa, takut kehabisan.Sementara Arini menikmati makan sambil bercanda dengan Rafa dan Naya, di sini, Yuda baru saja memasuki halaman rumah. Lelaki itu bergegas berlari setelah keluar dari mobil karena hujan turun semakin deras.“Mas.”Yuda hanya tersenyum tipis melihat Diandra yang sedang ngobrol dengan ibunya di ruang tamu. Lelaki itu melirik jam di dinding. Sudah cukup malam. Sepertinya Diandra memang sengaja menungg