PERGILAH, MAS!"Mas. Pergilah. Kumohon. Jangan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun di masa lalu. Jika bukan kasihan padaku, maka lakukanlah karena kau kasihan pada Naya. Anak perempuan yang sudah lupa bagaimana hangatnya dekapan seorang Ayah.Kau tahu orangtua dan calon istrimu, bukan? Membuat seorang laki-laki melupakan anak dan istrinya saja mereka mampu dan tega, apalagi hanya melakukan balas dendam pada kami atas sikapmu ini? Ingat, kau yang menginginkan semua ini, Mas! Bukan kami yang pergi, tapi kau yang pergi! Jangan bersikap seolah kami jahat karena tak memberimu kesempatan menebus kesalahan, tapi kau sendiri yang sudah melupakan momentum untuk menebus kesalahan itu sendiri. Ingat, Mas. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Kau membuat hidup kami bagai di neraka, lalu kau sekarang datang seolah-olah tak pernah terjadi apapun dan berharap aku bersikap baik-baik saja? Apakah kau sebodoh itu sekarang, Mas?!Mari saling melupakan kalau kita pernah menjadi satu. Lupakan
Widya akhirnya memilih diam. Dia membiarkan Arini menumpahkan sesak sesukanya. Isak tangis wanita dengan alis mata tebal itu memenuhi ruangan. Hidung dan pipi Arini memerah. Sesekali, dia menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa dibendung lagi.Yuda Hadiwijaya, lelaki dengan segala kesempurnaannya sebagai seorang pria. Badannya tegap dengan perut yang berkotak-kotak. Ah … Arini ingat sekali, dia bahkan melotot saking takjubnya saat pertama kali melihat Yuda di malam pertama mereka. Pikirnya, bentuk tubuh seperti itu hanya dimiliki oleh para model di majalah dan televisi.Arini menengadah. Dia berusaha menahan agar air matanya tidak kembali tumpah. Tidak bisa. Keributan yang baru saja terjadi dengan mantan suaminya dan sergapan kenangan masa lalu membuat kesedihan di hatinya kembali membuncah.Arini Dafina, mahasiswa berprestasi yang menjadi kembang kampus. Dia berasal dari keluarga biasa saja. Mereka bahkan bisa dikatakan hidup dalam garis kemiskinan. Golongan orang-orang yang b
Air liur Arini terbit saat kotak bekal dibuka. Telur balado, sawi tumis dengan potongan bakso kecil-kecil serta tahu goreng membuat perutnya yang keroncongan berontak seketika. Sekejap saja, makanan itu tandas. Dia memang kelaparan karena dari pagi tidak sarapan. selama tiga hari ini, Arini makan hanya saat malam. Itu juga makan dari sisa jatah makan Naya yang didapat dari puskesmas.“Mau tambah?” Wulandari senyum-senyum melihat kotak bekal Arini yang habis lebih dulu. Dia mengulurkan makanannya ke hadapan Arini.“Boleh aku ambil jatahmu?”“Yeee, tadi pura-pura menolak sekarang malah tidak tahu diri.”Tawa mereka pecah memenuhi mushola. Arini menatap Wulandari yang masih sibuk dengan bekalnya. Ah … ini pertama kali dia tertawa selepas ini sejak Naya sakit lagi. “Lan, terima kasih.”Wulandari hanya tersenyum melihat mata Arini berkaca-kaca. Dia menepuk pelan bahu sahabatnya yang kini mulai menyusut air mata. Sungguh, Arini adalah salah satu perempuan hebat yang pernah dia kenal. Di usi
TAMU TAK DIUNDANG Arini berlari kecil kecil sambil memastikan Naya tetap aman dari terpaan hujan. Napasnya kepayahan karena tubuh ramping Arini sudah mulai kesusahan menggendong anak bungsunya yang masih tergolek lemah. Sementara Rafa sudah lebih dulu sampai di pintu rumah petak sempit yang disewanya. Anak lelaki itu tengah menunggu sang Ibu membukakan pintu rumah mereka yang hanya terdiri atas kamar tidur dan dapur sempit. Dengan susah payah Arini mengambil kunci dari dalam tasnya yang sudah usang. Pencahayaan yang minim membuat Arini sedikit kesulitan mencari benda yang dicarinya. Rafa memeluk lengannya kuat-kuat. Bibir anak laki-laki berusia enam tahun itu mulai bergetar. Gemeletuk giginya pun tak mampu dia cegah. "Ma," ucap Rafa lirih. Matanya mulai terasa panas. "Sebentar, Sayang. Mama cari kunci." Arini hampir memekik senang saat benda yang dia cari akhirnya tersentuh tangannya. Rafa dengan sigap membantu sang Ibu membuka pintu dan menyalakan lampu ruangan itu. Rafa den
SKAKMAT YUDAYuda berjongkok tepat di hadapan anak laki-lakinya. Diangsurkannya benda itu ke tangan sang anak secara langsung. Rafa tak bisa menolaknya. Aroma itu amat menggiurkan. Entah kapan terakhir kali Arini membawa makanan enak pada anak-anaknya. Segala keterbatasan wanita itu membuat anak-anaknya mulai merasa terbiasa dengan keprihatinan. "Makanlah, Sayang. Kau pasti lapar," ucap Yuda sambil membelai rambut anaknya lembut. Arini mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wanita itu menyadari kecerobohan dirinya. Benar sekali, Rafa belum makan dari siang. Hanya roti yang sudah tak berbentuk jatah dari swalayan yang dia bawa untuk anaknya. Pun anak lelaki itu tak berkeluh tentang rasa laparnya. Arini benar-benar merasa tertampar mendapati kenyataan itu. Selain itu pula, kesibukan mengurus administrasi kepulangan Naya membuat Arini lupa mencarikan makanan untuk sulungnya."Terima kasih. Lekas pulanglah, Mas. Tak enak dilihat tetangga." Arini berkata sambil menengok ke arah lain. D
Pemberian YudaArini memejamkan mata. Karena terbakar emosi, dia tidak sadar telah bertengkar di depan kedua anak mereka. Melalui ujung mata, dia dapat melihat Rafa yang memeluk Naya. Kayak beradik itu terlihat ketakutan karena keributan yang mereka sebabkan.“Pergilah, Mas.” Arini berkata lirih. Fisiknya lelah, batinnya lemah. Wanita itu benar-benar sedang penat lahir dan batin. Emosinya seperti sedang dipermainkan. Setelah menghadapi kekhawatiran akan kondisi kesehatan Naya beberapa hari terakhir, kini dia harus berhadapan dengan Yuda lagi yang mau tidak mau membuat luka lama itu berdarah kembali.“Maafkan aku, Rin.” Yuda ikut memelankan suara setelah ikut menyadari Rafa dan Naya menatap mereka dengan sorot mata ketakutan. Hatinya mencelos melihat kedua anak itu tumbuh dengan baik walau serba terbatas.Rafa dan Naya tumbuh dengan tubuh berisi walau tidak gemuk. Setidaknya, dia dapat melihat dua anak itu tidak kekurangan makan. Baju Rafa dan Naya juga bersih dan rapi. Walau warnanya
MELABRAK ARINI“Mama! Ayo, sini makan, ini enak banget. Ayamnya kriuk kriuk, nasinya masih hangat. Supnya juga enak. Makan ini badan jadi tidak dingin lagi.”Arini tertawa mendengar ucapan Rafa. Dia mengangguk dan langsung bergabung dengan dua anaknya setelah menyimpan uang dari Yuda. Entah kapan terakhir kali dia mencicipi makanan cepat saji ini. Rasa-rasanya sudah lama sekali.“Pelan-pelan makannya, Nay. Ini masih banyak, kok. Abang Rafa tidak akan sanggup menghabiskan.” Arini tersenyum sambil merapikan makanan Naya yang sedikit berantakan. Balita itu makan dengan tergesa, takut kehabisan.Sementara Arini menikmati makan sambil bercanda dengan Rafa dan Naya, di sini, Yuda baru saja memasuki halaman rumah. Lelaki itu bergegas berlari setelah keluar dari mobil karena hujan turun semakin deras.“Mas.”Yuda hanya tersenyum tipis melihat Diandra yang sedang ngobrol dengan ibunya di ruang tamu. Lelaki itu melirik jam di dinding. Sudah cukup malam. Sepertinya Diandra memang sengaja menungg
Diandra Membuat KeributanArini yang kalah sigap terpaksa mundur beberapa langkah akibat dorongan dari Diandra. Pintu rumah petak itu akhirnya terbuka sempurna, menampilkan seluruh kondisi ruangan yang amat sederhana. "Wanita munafik, tak tahu diri, gatal, apalagi yang pantas kusematkan pada dirimu?" Diandra menatap Arini seolah dia musuh bebuyutan yang lagi-lagi harus bertempur di tengah-tengah Medan laga. Diandra mencekal lengan Arini hingga membuat kedua anak wanita itu tersudut di kasur lu;suhnya. Anak-anak itu harus melihat sang Ibu diperlakukan buruk oleh orang yang baru mereka lihat. "Apakah kau tak ingat pernah mengatakan meminta calon suamiku itu pergi dari hidupmu?" Diandra mengeratkan cengkraman di tangan Arini. Matanya bengis melihat Arini yang sedang berusaha mengontrol emosinya. "Lalu kenapa kau sekarang bertingkah seperti parasit yang menggerogoti Mas Yuda tanpa rasa malu? Kau sedang menjilat ludahmu sendiri?" Arini menarik tangannya kasar hingga cengkeraman Diand