Share

bab 3

Author: May za
last update Last Updated: 2022-07-08 11:35:00

SATU PER SATU

πŸ’πŸ’πŸ’

Sepekan sudah Sarah numpang tidur ditempatku, selama itu juga aku tidak pernah memberi kehidupan yang nyaman untuk dirinya.

Bahkan aku tidak pernah membiarkan Mas Rian menemani malamnya.

"Pergilah Mas, jangan pernah kembali kekamar ini lagi!" Mas Rian mengurungkan niatnya membuka pintu, sementara aku menarik selimut menutupi tubuhku berbaring membelakangi Mas Rian yang kembali duduk ditepi ranjang.

"Sayang," aku tau Mas Rian sangat tersiksa sepekan terakhir ini.

Aku tidak pernah membiarkan Mas Rian menyentuhku, namun juga tidak memberi kesempatan untuknya merajut seteguk madu bersama racunnya.

Kejam! iya, memang itu rencanaku, mereka harus merasakan apa itu sakit.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Dek," Mas Rian menghampiriku yang sedang berada ditaman belakang.

Seperti ada hal penting yang ingin dia sampaikan, terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat.

"Ada apa?"

Aku duduk di kursi taman, Mas Rian mengikuti duduk disampingku terhalang meja.

"Ada apa?" Ku ulangi pertanyaan saat Mas Rian masih diam memperhatikanku.

"Ana," Mas Rian menyodorkan ponselnya kehadapanku "Bulan ini Mas hanya menerima segitu," terlihat lesu saat mengatakan nominal yang masuk kerekening pribadinya.

"Lalu?"

"Kartu kredit Sarah juga tidak bisa digunakan katanya."

"Itu bukan urusanku, lagian gaji seorang manager kan memang segitu Mas," enak saja mau mengguankan uang perusahaan Ayahku untuk menghidupi manusia-manusia serakah.

Mas Rian hanya diam mendengar kata-kataku, tidak ada yang bisa dirinya lakukan.

"Masih mempercayakan aku mengelola gajimu, atau mau mengelola sendiri?" Aku berujar lagi saat tidak ada tanggapan dari lelaki yang sudah menemaniku selama lima tahun.

"Tunggu sebentar," aku berkata lalu tak lama kemudian terdengar notif pesan masuk diponsel Mas Rian.

"Itu rincian biaya kebutuhan rumah, belum termasuk belanja bulanan, sisanya kamu bisa bagi empat, untukku, Ibumu, untukmu, dan untuk wanita tak tau diri yang kamu bawa kerumahku," aku berhenti sejenak, "untuk belanja bulanan, biarkan mereka belanja masing-masing."

πŸ’πŸ’πŸ’

Semburat jingga diufuk barat menemani mentari kembali diperaduannya, keindahan sunset begitu memukau bagi setiap mata memandang,

tak terkecuali denganku, aku tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari keindahan ciptaan Tuhan, ketika langit mulai menghitam terdengar panggilan Tuhan kepada setiap hambanya untuk menghadap.

Aku bergegas meninggalkan balkon kamar, aku ingin mengadukan segala gundah yang kurasakan.

"Mas!" aku terkejut mendapati Mas Rian berada dibelakangku, duduk bersimpuh dilantai, mungkin sedang menungguiku selesai berkeluh kesah dengan sang Pencipta.

"Ana," dari nada suaranya aku tau Mas Rian ingin mengatakan sesuatu yang penting, penting baginya, belum tentu penting untukku.

"Katakan!"

"Aku melakukan sesuai saran darimu, tapi Mama dan Sarah tak terima, mereka bilang tidak cukup untuk satu bulan kedepan, karena jumlanya hanya setengah dari nominal biasanya."

Aku tersenyum samar, bahkan hampir tak terlihat, 'ini bagian dari rencanaku Mas.' Aku segera menormalkan kembali ekspresi wajahku sebelum Mas Rian menyadarinya.

"Lalu?"

"Bisakah kamu meberikan jatahmu untuk Mama dan Sarah?" Meski ragu-ragu akhirnya tersampaikan juga kalimat itu dari bibir yang dulu menjadi candu bagiku.

"Apakah menurutmu ini adil?"

"Bukankah kamu sudah mendapatkan dari keuntungan perusahaan, bahkan nominalnya lebih banyak dari gaji bulananku."

Sejak kehadiran makhluk bernama pelakor, Mas Rian jadi sering perhitungan, padahal dulu dia tidak pernah peduli akan hal itu.

"Aku lapar," tidak ingin melanjutkan obrolan unfaedah ini, aku memilih pergi kedapur.

Ternyata disana sudah ada dua perempuan beda usia sedang menikmati makan malamnya, mungkin pesan via food go.

Tidak aku pedulikan mereka yang mentapku dengan pandangan tak suka.

Malam-malam dengan suasana sedikit memanas makan seblak enak mungkin, segera kukeluarkan bahan yang kubutuhkan untuk dieksekusi, tidak butuh waktu lama seblak level durjana sudah siap dinikmati.

Jika nanti ada yang mengusik tinggal siramkan saja kuahnya kedalam mulut yang tidak berakhlak.

"Dasar manusia serakah!" Terdengar suara wanita yang menjabat sebagai Ibu mertuaku, mungkin sedang menyindirku perihal gaji Mas Rian.

Aku mengedikan bahu acuh, meneruskan jalanku menuju wastafel untuk menaruh mangkok kotor.

"Bi Nani, tolong nanti dibersihkan ya, yang ini saja," aku memanggil asisten rumah tanggaku untuk membantu membereskan bekas masak.

"Siap non," dengan cekatan bi Nani membersihkan semuanya.

"Ini sekalian bi!" Tiba- tiba saja Mama memberikan piring bekas makan malamnya," jangan membantah atau saya pecat!"

"Haaaa!" aku tertawa mendengar ancaman mertua kepada bi Nani.

"Yang ada anda yang akan saya pecat menjadi mertua," hilang sudah rasa seganku ditelan kecewa.

"Kamu!" Mama tidak meneruskan kata-katanya ketika melihat Mas Rian masuk kedapur.

"Rian, lihatlah istri tuamu memasak hanya untuk dirinya sendiri, bahkan kamupun tidak diberi sisa." Mama mencoba memberi racun pada Mas Rian.

"Bukankah kalian juga memesan makanan hanya untuk sendiri, tenang saja Ma selama anakmu masih berstatus suami, aku tidak akan pernah memberi makanan sisa." Ku dekati suamiku, "mau makan apa Mas? nanti aku masakin, madumu hanya memikirkan perutnya sendiri," sindirku sambil melirik Sarah.

Yang menjadi objek hanya mendengus membuang muka menahan marah.

Aku segera beralih menuju medan tempur sesaat setelah Mas Rian mengatakan menu makan malam.

"Bi kenapa ini masih berantakan?" Aku bertanya pada bi Nani yang hendak pergi dari dapur saat melihat tumpukan piring masih teronggok diwastafel.

"Saya hanya patuh pada perintah non Diana," setelah mengatakan itu bi Nani berlalu dari dapur.

"Kalian dengar sendiri kan? Sarah jadilah menantu kebanggaan!" kulihat Sarah bangkit dari duduk dengan malas menuju wastafel.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Ana jangan serakah kamu jadi perempuan!" Kulirik Mama sekilas, tanpa ada niatan untuk menjawab.

Saat ini kami sedang berada diruang tengah, melihat siaran televisi, meski sebenarnya kami hanya sibuk dengan gawai masing-masing.

"Mama," Mas Rian berusaha menghentikan Mamanya agar tidak menyinggungku.

"Istrimu ini harus dikasih tau Rian, supaya tidak nglunjak!"

"Sudahlah Ma, aku sudah berusaha adil pada kalian bertiga, jangaan terus mengusik Ana!" Aku yakin Mas Rian paham jika aku tidak akan menyerahkannya. Obrolan dikamar yang tidak ingin aku bahas kelanjutannya sudah membuktikan jika keputusanku mutlak.

"Bagaimana bisa kamu bilang ini adil, Ana memiliki penghasilan sendiri tapi masih merongrong gaji kamu yang tidak seberapa!"

Suara wanita yang melahirkan Mas Rian semakin meninggi.

"Ini memang kewajibanku menafkahi istri."

"Istri mandul tidak wajib kamu nafkahi!"

Sementara Ibu dan anak ini sibuk memperdebatkanku, aku justru sibuk menyusun strategi selanjutnya.

"Ma tolong jangan bicara seperti itu lagi," ku dengar kini suara Mas Rian melemah, sebenarnya aku tau jika Mas Rian tidak sungguh-sungguh mencintai Sarah, semua dirinya lakukan demi baktinya kepada wanita yang telah bertaruh nyawa menghadirkan dia kedunia.

"Berhentilah menjadi budak cintanya Rian!" Mama membentak Mas Rian, bahkan aku sampai memegang dada karena saking terkejutnya.

"Berhentilah menafkahiku Mas, jangan durhaka sama Mama." Aku berujar dengan suara yang sengaja ku buat parau.

"Mak- maksudmu apa dek?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 19

    "Brengsek kamu!" Teriak seorang wanita, aku yang hendak bangkit mengurungkan niatnya. Kembali duduk dan melihat, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."Ma-maya?" Lelaki itu tergagap menyebut nama wanita yang baru saja datang dengan sejuta kemarahan yang siap ia luapkan."Kenapa? Kaget?" Wanita itu tersenyum sinis dengan seringai diwajahnya. "Kamu memang tidak pantas membersamaiku." Lanjutnya lagi."May maafkan aku, aku janji tidak akan mengulanginya lagi, aku dijebak may, percayalah perempuan licik ini yang menggodaku."Elak lelaki yang tidak aku tahu namanya."Mas!" Teriak Sarah tidak terima. "Bukannya kamu janji akan menikahiku setelah berhasil menguasai harta wanita tua itu." Sarah menunjukan jarinya kearah perempuan bernama Maya.Sepertinya pertunjukkan semakin menarik, dan sarah juga belum menyadari keberadaanku."Jaga ucapanmu perempuan murahan!" Kata Maya sambil melirik kearah perut Sarah. "Mungkin kamu bisa dengan mudah menipu pria bodoh ini, tapi tidak denganku.""Ma

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 18

    KESIALAN SARAHπŸ¦‹πŸ¦‹πŸ¦‹Saat beralih dari buku menu menghadap pintu masuk, aku melihat sosok yang sangat aku kenal sedang menggandeng pria dengan mesra."sarah!" Teriakku dalam hati, kalau teriak beneran bisa disangka orang gila, dan juga bisa menyebabkan target buronan kabur.Jiwa kepoku meronta-ronta ingin segera dituntaskan, tentang bagaimana sarah bisa kabur padahal aku sudah meminta Pak Roni untuk berjaga dengan siaga.Pasti ada yang tidak beres dengan kelakuannya."Liatin apa sih?" Bunda mengagetkanku. Tiba-tiba saja sudah ada didepanku mengikuti arah pandanganku."Owh sahabat laknat?" Tanya Bunda lagi sebelum aku menjawab pertanyaan sebelumnya. Sebenarnya ini bukan pertanyaan lebih tepatnya pernyataan."Tidak usah heran dia memang seperti itu abaikan saja." Bunda berkata lagi setelah tidak ada jawaban terdengar dari bibirku.Apa tadi Bunda bilang, dia memang seperti itu? Artinya Bunda tahu kelakuan sarah yang sebenarnya? Atau Bahkan tahu lebih banyak dari sekedar yang aku tahu..

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 17

    "Apa!"Aku dan Alea berteriak bersama, dan Pak Arfa yang katanya manager jangan ditanya, mengangkat kepala saja tidak berani.Bagaimana bisa aku yang notabene anak Bunda Lisa tidak tahu jika butik ini milik Bundaku.Kemana saja aku selama ini? Bahkan masuk butik ini saja baru pertama kali, aku memiliki butik langgananku sendiri yang memang milik Bunda juga. Tapi tentang butik ini aku sama sekali tidak mengetahuinya.Bahkan saat opening saja aku tidak diundang, benar-benar Bunda durhaka sama anak."Biasa aja kali beb," kata Bundaku santai. Apa katanya tadi, biasa? Bagaimana bisa aku bersikap biasa dengan keterkejutan ini, seberapa banyak aset yang Bunda miliki, apakah ini butik terakhir yang tidak aku ketahui setelah beberapa waktu lalu restoran tempat aku dipermalukan karena lupa bawa dompet saat makan bersama teman-teman ternyata juga milik Bundaku dan parahnya awalnya aku juga tidak mengetahui jika restoran itu milik Bunda.Yang aku tahu Ayah hanya seorang pengusaha tekstil tempat

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 16

    "Mba Aku mau gaun itu!" Kata seorang wanita dimeja kasir ketika melihat gaun yang akan aku beli belum dimasukan papperbag.Enak saja katanya, mau ini. Padahal aku dulu yang menginginkannya."Maaf Nona tapi baju ini milik Nona yang ada dibelakang anda," kata pelayan itu ramah, yang aku tau dari nametagnya bernama Rina, sambil menunjuk kearahku."Tapi aku menginginkannya." Kata perempuan yang aku belum tau wajahnya seperti apa, karena meskipun mbak pelayan sudah memberitahu itu milikku yang ada dibelakangnya, perempuan itu tetap tidak mau menengok kebelakang."Sekali lagi mohon maaf nona, tapi ini memang sudah dibeli, Nona bisa memilih model dan warna lain." Mbak pelayan masih bersikap ramah dan mencoba sabar menghadapi pembeli tak ada akhlak model perempuan begitu.Mau tidak mau akhirnya perempuan itu menghadap kearahku, kemudian tersenyum sinis."Dia tidak akan pernah bisa membayar, lihat saja penampilannya." Katanya sambil memandang remeh kearahku.Aku yang memakai kacamata hitam mem

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 15

    "Kalian mau kemana?" Begitu sampai diujung tangga paling bawah, Lagi-lagi Mama mengganggu momen romantisku."Mengantar Ana kedepan." Jawab Mas Rian singkat.Kami berjalan beriringan menuju pintu."Mengantar!" Tanya Mama namun dengan suara yang sedikit keras, lebih seperti bentakan, ah entahlah, bertanya tapi dengan sebuah penekanan.Kami menghentikan langkah yang memang belum benar-benar keluar pintu."Iya ma, Ana akan pergi," Mas Rian menjawab.Biarkan saja Mama menjadi urusan Mas Rian aku malas meladeninya."Sendiri? Benar-benar istri urakan, malam-malam keluyuran sendiri padahal ada suami, dan suami hanya mengantar sampai depan, kasihan sekali kamu Rian dapat istri tidak punya moral." Panjang lebar Mama memberi ceramah, lebih tepatnya cacian."Sudah selesai ma? Tanyaku, "bukankah itu baik jika Ana pergi sendiri, artinya Mas Rian ada dirumah tanpa aku, dan Mama bisa melaksanakan aksinya untuk mendekatkan Mas Rian dengan Sarah?" Aku berkata dengan pelan."Bagus lah jika kamu sadar di

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 14

    RASA YANG SAMAπŸ’πŸ’πŸ’"Ma, itu punya Ana!" Teriak Mas Rian, Baru kali ini aku melihat Mas Rian berani berkata dengan menaikan nada beberapa oktaf, biasanya dirinya akan berbicara dengan lembut."Ka-kamu berani membentak Mama?" Mama juga sepertinya shok mendengar perkataan Mas Rian.Sebenarnya ini belum bisa dibilang membentak.Hanya karena Mas Rian selalu berbicara lembut setiap harinya, sekalinya berkata sedikit keras sudah terasa seperti membentak."Maaf Ma, bukan maksud Rian membentak Mama," Raut bersalah jelas terlihat diwajah Mas Rian."Memang wanita mandul itu bukan wanita baik-baik, membawa pengaruh buruk sama kamu!" Mama menatap kearahku.Selalu seperti itu, apapun yang terjadi aku selalu menjadi kambing hitamnya.Tidak pernah sekalipun wanita itu menghargaiku, aku memang tidak pernah peduli akan hal itu, dulu aku hanya ingin berbakti, tapi sekarang? entahlah, apakah aku masih kuat bersandiwara atau tidak.Terlalu sakit jika terus mendapat hinaan seperti ini, ingin rasanya mem

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 13

    POV DIANAπŸ’πŸ’πŸ’SUAMI IDAMANπŸ’πŸ’πŸ’"Bibi!" Teriakku, betapa terkejutnya aku begitu keluar kamar melihat Bi Nani sedang berguling ditangga.Aku berlari kearah Bi Nani, beruntung Bi Nani masih berada ditangga bagian bawah sehingga lukanya tidak terlalu serius."Bi, apa yang sakit?" Tanyaku, aku memeriksa seluruh tubuh Bi Nani."Bibi tidak apa-apa non, hanya kakinya yang terkilir," aku sedikit lega mendengar penuturan Bi Nani.Jika terjadi apa-apa dengannya, aku tidak bisa memaafkan Mama mertuaku."Kita ke Dokter Bi!" Aku tidak bisa diam saja melihat keadaan Bi Nani yang untuk berdiri saja merasa kesakitan."Tidak perlu Non, nanti diurut juga baikan."Bi Nani memang tidak pernah mau merepotkan siapapun, termasuk aku."Tidak! pokoknya Bibi harus ke Dokter! Ini perintah, tidak menerima penolakan!" Tegasku.Aku memapah Bibi menuju mobil, sebelum benar-benar keluar aku memandang Mama dengan tajam "Jika terjadi apa-apa dengan Bi Nani, Mama harus tanggung jawab."Mama tidak bergeming, masih m

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 12

    POV AUTHORπŸ’πŸ’πŸ’BUAH SIMALAKAMAπŸ’πŸ’πŸ’"Sarah mau kemana?" Ana sedang duduk diruang televisi, mendapati Sarah sudah berpakaian rapih."Bukan urusanmu!" Ketus Sarah."Aku tanya mau kemana?" Tanya Ana lagi dengan santai kaki disilangkan duduk dengan anggun bak seorang nyonya besar."Sudah aku bilang bukan urusanmu!"Sarah tidak terima ketika Ana ikut campur urusan pribadinya.Sarah berlalu meninggalkan Ana yang masih duduk santai disofa empuknya.Namun bukan Ana namanya jika membiarkan mangsa lari begitu saja."Pak jangan biarkan siapapun keluar dari rumah ini tanpa ijinku!" Ana menelpon security yang bertugas menjaga rumah Ana.Dengan patuh Pak Dirman yang mendapat sift jaga siang segera mengunci pintu gerbang."Pak Dirman buka gerbangnya saya mau keluar!" Teriak Sarah.Pak Dirman menulikan telinga, seolah-olah tidak mendengar apapun.Semua pekerja berada dipihak Bos mereka, sekalipun kepada Fatma yang notabene mertua dari Nona mereka, nyatanya tetap mereka tidak ingin patuh."Pak tu

  • Kubalas Madu dengan Manisnya RacunΒ Β Β Bab 11

    TENTANG DENDAMπŸ’πŸ’πŸ’"Bukannya kamu yang mandul, jangan memutar balikan fakta!" hebat secepat itu bisa menguasai keadaan."Faktanya akan kamu lihat, jika kamu sudah lelah dengan rencanamu yang tidak akan ada hasilnya."Aku berdiri dari dudukku, berjalan menuju pintu keluar."Ingat, jangan katakan kepada siapapun tentang keadaan Mas Rian jika masih ingin diberi nafkah."Aku berkaa lagi sebelum benar- benar keluar pintu."Apa yang kamu lakukan dikamar sarah?" Saat baru menutup pintu kamar yang ditempati Sarah, Mama keluar dari Singgasana ternyamannya."Sejak kapan kamar itu menjadi kamar sarah? aku hanya meminjamkannya, tidak memberikan, jadi kapanpun aku mau aku bisa mengambilnya kembali."Salahkah aku jika berani melawan kata-kata mertua."Ana, Mama butuh uang!" Katanya dengan nada sombongnya, memangnya aku peduli dengan apa yang Mama butuhkan.Dulu aku pasti akan menjawab 'berapa?' sekarang, masa bodo."Terus? Apa peduliku?" Kataku dengan santai sambil berlalu menuju lemari pendingi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status