Share

bab 3

SATU PER SATU

πŸ’πŸ’πŸ’

Sepekan sudah Sarah numpang tidur ditempatku, selama itu juga aku tidak pernah memberi kehidupan yang nyaman untuk dirinya.

Bahkan aku tidak pernah membiarkan Mas Rian menemani malamnya.

"Pergilah Mas, jangan pernah kembali kekamar ini lagi!" Mas Rian mengurungkan niatnya membuka pintu, sementara aku menarik selimut menutupi tubuhku berbaring membelakangi Mas Rian yang kembali duduk ditepi ranjang.

"Sayang," aku tau Mas Rian sangat tersiksa sepekan terakhir ini.

Aku tidak pernah membiarkan Mas Rian menyentuhku, namun juga tidak memberi kesempatan untuknya merajut seteguk madu bersama racunnya.

Kejam! iya, memang itu rencanaku, mereka harus merasakan apa itu sakit.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Dek," Mas Rian menghampiriku yang sedang berada ditaman belakang.

Seperti ada hal penting yang ingin dia sampaikan, terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat.

"Ada apa?"

Aku duduk di kursi taman, Mas Rian mengikuti duduk disampingku terhalang meja.

"Ada apa?" Ku ulangi pertanyaan saat Mas Rian masih diam memperhatikanku.

"Ana," Mas Rian menyodorkan ponselnya kehadapanku "Bulan ini Mas hanya menerima segitu," terlihat lesu saat mengatakan nominal yang masuk kerekening pribadinya.

"Lalu?"

"Kartu kredit Sarah juga tidak bisa digunakan katanya."

"Itu bukan urusanku, lagian gaji seorang manager kan memang segitu Mas," enak saja mau mengguankan uang perusahaan Ayahku untuk menghidupi manusia-manusia serakah.

Mas Rian hanya diam mendengar kata-kataku, tidak ada yang bisa dirinya lakukan.

"Masih mempercayakan aku mengelola gajimu, atau mau mengelola sendiri?" Aku berujar lagi saat tidak ada tanggapan dari lelaki yang sudah menemaniku selama lima tahun.

"Tunggu sebentar," aku berkata lalu tak lama kemudian terdengar notif pesan masuk diponsel Mas Rian.

"Itu rincian biaya kebutuhan rumah, belum termasuk belanja bulanan, sisanya kamu bisa bagi empat, untukku, Ibumu, untukmu, dan untuk wanita tak tau diri yang kamu bawa kerumahku," aku berhenti sejenak, "untuk belanja bulanan, biarkan mereka belanja masing-masing."

πŸ’πŸ’πŸ’

Semburat jingga diufuk barat menemani mentari kembali diperaduannya, keindahan sunset begitu memukau bagi setiap mata memandang,

tak terkecuali denganku, aku tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari keindahan ciptaan Tuhan, ketika langit mulai menghitam terdengar panggilan Tuhan kepada setiap hambanya untuk menghadap.

Aku bergegas meninggalkan balkon kamar, aku ingin mengadukan segala gundah yang kurasakan.

"Mas!" aku terkejut mendapati Mas Rian berada dibelakangku, duduk bersimpuh dilantai, mungkin sedang menungguiku selesai berkeluh kesah dengan sang Pencipta.

"Ana," dari nada suaranya aku tau Mas Rian ingin mengatakan sesuatu yang penting, penting baginya, belum tentu penting untukku.

"Katakan!"

"Aku melakukan sesuai saran darimu, tapi Mama dan Sarah tak terima, mereka bilang tidak cukup untuk satu bulan kedepan, karena jumlanya hanya setengah dari nominal biasanya."

Aku tersenyum samar, bahkan hampir tak terlihat, 'ini bagian dari rencanaku Mas.' Aku segera menormalkan kembali ekspresi wajahku sebelum Mas Rian menyadarinya.

"Lalu?"

"Bisakah kamu meberikan jatahmu untuk Mama dan Sarah?" Meski ragu-ragu akhirnya tersampaikan juga kalimat itu dari bibir yang dulu menjadi candu bagiku.

"Apakah menurutmu ini adil?"

"Bukankah kamu sudah mendapatkan dari keuntungan perusahaan, bahkan nominalnya lebih banyak dari gaji bulananku."

Sejak kehadiran makhluk bernama pelakor, Mas Rian jadi sering perhitungan, padahal dulu dia tidak pernah peduli akan hal itu.

"Aku lapar," tidak ingin melanjutkan obrolan unfaedah ini, aku memilih pergi kedapur.

Ternyata disana sudah ada dua perempuan beda usia sedang menikmati makan malamnya, mungkin pesan via food go.

Tidak aku pedulikan mereka yang mentapku dengan pandangan tak suka.

Malam-malam dengan suasana sedikit memanas makan seblak enak mungkin, segera kukeluarkan bahan yang kubutuhkan untuk dieksekusi, tidak butuh waktu lama seblak level durjana sudah siap dinikmati.

Jika nanti ada yang mengusik tinggal siramkan saja kuahnya kedalam mulut yang tidak berakhlak.

"Dasar manusia serakah!" Terdengar suara wanita yang menjabat sebagai Ibu mertuaku, mungkin sedang menyindirku perihal gaji Mas Rian.

Aku mengedikan bahu acuh, meneruskan jalanku menuju wastafel untuk menaruh mangkok kotor.

"Bi Nani, tolong nanti dibersihkan ya, yang ini saja," aku memanggil asisten rumah tanggaku untuk membantu membereskan bekas masak.

"Siap non," dengan cekatan bi Nani membersihkan semuanya.

"Ini sekalian bi!" Tiba- tiba saja Mama memberikan piring bekas makan malamnya," jangan membantah atau saya pecat!"

"Haaaa!" aku tertawa mendengar ancaman mertua kepada bi Nani.

"Yang ada anda yang akan saya pecat menjadi mertua," hilang sudah rasa seganku ditelan kecewa.

"Kamu!" Mama tidak meneruskan kata-katanya ketika melihat Mas Rian masuk kedapur.

"Rian, lihatlah istri tuamu memasak hanya untuk dirinya sendiri, bahkan kamupun tidak diberi sisa." Mama mencoba memberi racun pada Mas Rian.

"Bukankah kalian juga memesan makanan hanya untuk sendiri, tenang saja Ma selama anakmu masih berstatus suami, aku tidak akan pernah memberi makanan sisa." Ku dekati suamiku, "mau makan apa Mas? nanti aku masakin, madumu hanya memikirkan perutnya sendiri," sindirku sambil melirik Sarah.

Yang menjadi objek hanya mendengus membuang muka menahan marah.

Aku segera beralih menuju medan tempur sesaat setelah Mas Rian mengatakan menu makan malam.

"Bi kenapa ini masih berantakan?" Aku bertanya pada bi Nani yang hendak pergi dari dapur saat melihat tumpukan piring masih teronggok diwastafel.

"Saya hanya patuh pada perintah non Diana," setelah mengatakan itu bi Nani berlalu dari dapur.

"Kalian dengar sendiri kan? Sarah jadilah menantu kebanggaan!" kulihat Sarah bangkit dari duduk dengan malas menuju wastafel.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Ana jangan serakah kamu jadi perempuan!" Kulirik Mama sekilas, tanpa ada niatan untuk menjawab.

Saat ini kami sedang berada diruang tengah, melihat siaran televisi, meski sebenarnya kami hanya sibuk dengan gawai masing-masing.

"Mama," Mas Rian berusaha menghentikan Mamanya agar tidak menyinggungku.

"Istrimu ini harus dikasih tau Rian, supaya tidak nglunjak!"

"Sudahlah Ma, aku sudah berusaha adil pada kalian bertiga, jangaan terus mengusik Ana!" Aku yakin Mas Rian paham jika aku tidak akan menyerahkannya. Obrolan dikamar yang tidak ingin aku bahas kelanjutannya sudah membuktikan jika keputusanku mutlak.

"Bagaimana bisa kamu bilang ini adil, Ana memiliki penghasilan sendiri tapi masih merongrong gaji kamu yang tidak seberapa!"

Suara wanita yang melahirkan Mas Rian semakin meninggi.

"Ini memang kewajibanku menafkahi istri."

"Istri mandul tidak wajib kamu nafkahi!"

Sementara Ibu dan anak ini sibuk memperdebatkanku, aku justru sibuk menyusun strategi selanjutnya.

"Ma tolong jangan bicara seperti itu lagi," ku dengar kini suara Mas Rian melemah, sebenarnya aku tau jika Mas Rian tidak sungguh-sungguh mencintai Sarah, semua dirinya lakukan demi baktinya kepada wanita yang telah bertaruh nyawa menghadirkan dia kedunia.

"Berhentilah menjadi budak cintanya Rian!" Mama membentak Mas Rian, bahkan aku sampai memegang dada karena saking terkejutnya.

"Berhentilah menafkahiku Mas, jangan durhaka sama Mama." Aku berujar dengan suara yang sengaja ku buat parau.

"Mak- maksudmu apa dek?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status