Bu Rodhiah mengacak-acak isi lemari kayu tua di sudut kamarnya, melongok ke dalam setiap laci, membuka setiap kotak, dan menggeledah setiap sudut. Peluh menetes di pelipisnya, sementara napasnya mulai tersengal. Kamar itu kini berantakan, dengan pakaian, 2dokumen, dan barang-barang kecil berserakan di lantai.
Padahal, ia yakin betul. Sertifikat rumah itu seharusnya ada di dalam map cokelat, tersimpan rapi di dalam laci ketiga lemari itu. Namun, meskipun sudah memeriksa berkali-kali, benda itu tetap tak ditemukan.Dengan frustasi, Bu Rodhiah keluar dari kamar dan berteriak memanggil Hera. Ia sudah lelah mencari sertifikat dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Bu Rodhiah tidak bisa menemukannya."Hera! Heraaaa! Ke sini sekarang!" teriak Bu Rodhiah dengan suara tinggi, memecahkan keheningan rumah. Wanita itu masih berdiri didepan pintu kamarnya.Hera yang sedang berada di kamar, tergesa-gesa keluar dari kamar, dAlvin memutuskan untuk berhenti kuliah. Dia akan mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Dia pun menelepon teman SMP nya dulu, sudah lama nggak bertemu. Tapi keduanya masih sering komunikasi.Alvin datang ke toko sparepart mobil milik temannya itu. Dia sudah membuat janji dengan temannya itu."Hai Rio," sapa Alvin pada pemuda yang sedang menghitung barang-barang di etalase."Hai Vin," balas Rio kemudian meminta Alvin untuk masuk kedalam, dan duduk di ruang tamu.Toko sparepart milik Rio adalah salah satu toko sparepart mobil terbesar di kota tersebut. Tokonya pun begitu luas, dan didalamnya lengkap dengan ruang tamu, kamar, dapur dan kamar mandi."Apa kabar?" tanya Rio pada sahabat kecilnya itu. Alvin adalah sahabat kecil Rio. Dulu saat SMP, keluarga Alvin mengontrak di kontrakan milik orang tua Rio. Alvin pun pindah sekolah, menjadi satu sekolah dengan Rio. Dari situlah mereka berteman.
"Vin, aku minta uang buat benerin ponsel dong," pinta Hera pada suaminya."Aku nggak punya uang," jawab Alvin singkat. "Kamu kan masih punya ponsel satu lagi. Ngapain sih dibenerin segala.""Iya. Tapi yang rusak itu, yang kameranya bagus. Buat foto-foto dan ambil video," ujar Hera."Pakai ponsel seadanya aja lah Her. Nanti kalau sudah ada uang, baru di betulkan," ucap Alvin."Ya sudahlah," jawab Hera lirih. Hera memilih untuk mengalah agar tidak berdebat dengan suaminya. Mungkin saja suaminya memang sedang tidak punya uang, makanya tidak memberikan apa yang Hera minta.Hera melanjutkan menyisir rambutnya didepan cermin. Wanita muda yang baru saja menikah itu, merasa sedikit kecewa dengan sikap Alvin yang semakin kesini semakin cuek dan terang-terangan mengatakan tidak punya uang."Oh ya Vin, sekarang kan aku sudah jadi istri kamu. Berarti segala kebutuhanku itu menjadi tanggung jawab mu, bukan tanggu
"Ada apa Nek?" tanya Andini yang sudah berdiri didepan neneknya. "Aku nggak ada urusan sama kamu! Minggir!"Andini langsung mengejar neneknya dan Hera yang sudah jalan terlebih dulu menuju parkiran."Heh Ratna!" panggil Bu Rodhiah sambil menunjuk ke Ratna."Ada apa Bu?" tanya Ratna lembut."Nggak usah sok lembut gitu deh. Kamu kan yang ambil sertifikat rumahku?""Sertifikat apa Bu?" tanya Ratna bingung dengan arah pembicaraan mertuanya."Nggak usah pura-pura nggak tahu deh Mbak Ratna. Kamu pasti yang sudah mencuri sertifikat rumah kan? Karena kamu sudah tahu rumah itu milik Mas Anto. Ngaku aja deh!" desak Hera."Astaghfirullah hal adziim.”"Nggak usah sok polos deh Mbak!" bentak Hera."Aku memang sudah tahu kalau itu rumah ternyata milik Mas Anto, tapi bukan berarti aku juga yang ambil sertifikat rumah itu Bu, Her! Buat apa?" Ratna mencoba membela diri.Andini yang sudah berdiri dekat ibunya memilih diam, membiarkan ibunya membela dirinya sendiri."Lihat sekarang, kamu bisa beli emas
Sementara itu, di tempat lain, Hera menduduki bangku panjang di dalam pegadaian, menunggu antrian namanya dipanggil. Bu Rodhiah tetap setia duduk disamping anaknya."Semoga bisa dapat 10 juta ya," ucap Bu Rodhiah dengan hati penuh harap.“Dapat lah Bu, kalau cuma 10 juta aja mah. Ibu nggak usah khawatir,” jawab Hera dengan santai. Wanita itu begitu yakin, emas miliknya jika digadaikan akan bisa dapat lebih dari 10 juta, mengingat beratnya setiap barang cukup berat.Sambil menunggu namanya dipanggil, Hera sibuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan Bu Rodhiah terus menatap satu-persatu customer yang dipanggil kedepan.Hingga akhirnya nama Hera dipanggil. Bu Rodhiah begitu antusias, hingga tanpa ia sadari ia memukul Hera cukup keras.“Hera! Hera! Nama kamu di panggil,” ucap Bu Rodhiah sambil memukul anaknya yang sedang bermain ponsel.“Ih ibu apaan sih. Kenapa harus pukul-pukul? Aku juga dengar kali,” ke
Andini menatap ibunya yang sedang bersiap di depan cermin. Wajah Ratna tampak muram, sisa kesedihan dari kemarin masih tergurat jelas. Andini tahu betapa hancur hati ibunya ketika tidak diundang ke pernikahan adik ipar mereka. Meskipun Andini sudah mencoba menghibur ibunya, tapi tetap saja sang ibu masih sedikit tersinggung dengan keluarga ayahnya.Selama ini, Ratna lah yang mengurus rumah itu. Tapi sedikitpun tidak ada artinya di mata mereka. Bahkan Bu Rodhiah tidak pernah menganggap Ratna sebagai menantunya.Andini tidak ingin melihat ibunya terus larut dalam kesedihan. Hari ini ia bertekad membuat sang ibu tersenyum. Ia ingin memberikan kejutan untuk ibunya.“Ibu, ayo cepat, sudah hampir jam sepuluh. Athala juga sudah siap,” ujar Andini sambil menuntun adiknya yang sudah bersiap.“Lho, kita mau ke mana sih, Nak?” tanya Ratna, bingung.“Pokoknya ikut saja, Bu. Ini penting,” jawab Andini, tersenyum penuh arti.
“Ada apa sih Sayang, kok terdengar ribut-ribut?” tanya Alvin tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru masuk ke kamar.“Sertifikat rumah ibu nggak ada,” jawab Hera kemudian jalan menuju kasur dan duduk disamping suaminya.Dari semenjak pulang dari rumah orang tuanya, Alvin hanya bermain game di ponsel.“Pasti ada yang curi itu. Sertifikat rumah kan mahal kalau di gadai,” ujar Alvin.“Makanya itu. Kami sih menduga kalau Mbak Ratna yang ambil. Tapi dari tadi aku telepon anaknya, nggak diangkat-angkat,” keluh Hera.“Anaknya masih sekolah kan? Mungkin saja dia nggak bawa ponselnya,” ujar Alvin.Hera menoleh ke arah suaminya. Mungkin juga sih, ucapan Alvin. Kenapa daritadi Hera tidak kepikiran kesitu ya. Atau mungkin sedang pelajaran, makanya nggak di angkat panggilan darinya.“Terus gimana dong Sayang? Aku butuh sertifikat itu sekarang. Biar bisa cair hari ini juga,” ujar Hera meminta pendap