Pagi hari, Andini dan Ibunya sudah bangun. Mereka sudah menyiapkan semua keperluan dari malam. Hanya saja mereka memang belum mengatakan ada orang rumah, kalau mereka akan pergi.
Bukan hanya Andidi dan ibunya, yang sudah banhu. Begitupun dengan Athala yang sudah dibangunkan dan ganti dengan baju. Sebelum pergi, mereka akan berpamitan dulu kepada Bu Rodhiah sebagai bentuk rasa hormat mereka kepada orang yang lebih tua dan kepala rumah tangga di rumah itu. Tok! Tok! Tok! Ratna mengetuk pintu kamar mertuanya. Baru saja mengetuk, pintu tersebut langsung terbuka. Ibu mertuanya memang sudah bangun tadi pas adzan shubuh. Berbeda dengan yang lain, yang memang bangun saat jam menunjukkan jam 6 pagi. "Kenapa Ratna?" tanya Bu Rodhiah dengan nada ketus. Melihat wajah menantunya yang satu ini, Bu Rodhiah memang tidak bisa tersenyum. Selaunya berkata kasar, dan ketua. "Bu, saya dan Andini mau pergi, ada keperluan. Andini minta di temankan ke rumah temannya," izin Ratna pada mertuanya. "Memangnya mau kemana?" tanya Bu Rodhiah dengan nada tidak suka. Langit di luar saja masih gelap, sudah meminta izin mau keluar. "Aku kurang tahu Bu. Tapi katanya harus menginap, karena jauh," jawab Ratna. Ia sengaja tidak berkata jujur pada mertuanya, untuk mencegah terjadinya keributan. Andini yang baru keluar kamar, melihat ibunya sedang mengobrol di depan kamar neneknya. Andini segera menghampiri ibunya, takut sang nenek berkata yang tidak-tidak pada ibunya. "Kamu memangnya mau pergi kemana Andini?" tanya sang Nenek tiba-tiba kepada Andini yang sedang berjalan menuju pintu kamarnya. "Aku mau ke rumah temanku. Aku mau ajak ibu. Karena biar aku ada teman di jalan. Aku juga takut nyasar," jawab Andini. Gadis itu dan ibunya sudah sepakat untuk memberi alasan pergi ke rumah teman Andini. "Memangnya kamu pergi sendiri nggak bisa. Sudah besar juga, masih aja minta di temankan," ujar Bu Rodiah dengan tatapan sinis. Kalau menantunya pergi, siapa yang akan membantunya membereskan rumah dan di warungnya. Sedangkan semua orang di rumah ini, semuanya pemalas dan selalu mengandalkan Ratna. "Aku nggak berani. Maaf banget Nek, aku harus tetap bawa ibu. Ayo Bu, nanti keburu siang," ucap Andini menggandeng ibunya, tanpa memperdulikan neneknya yang terlihat kesal. "Aku pamit dulu ya Nek." Andini berpamitan tanpa mencium punggung tangan neneknya. Neneknya memang tidak mau Ratna dan kedua anaknya mencium punggung tangannya. Andini menarik tangan ibunya untuk kembali ke kamar. "Ratna! Ratna! Kamu harus masak dulu sebelum pergi!" Teriak Bu Rodhiah ketika melihat menantunya sudah berjalan menuju kamarnya. Ratna menoleh ke arah ibu mertuanya, tapi tangannya terus di tarik oleh Andini. "Kakak, nenekmu meminta ibu untuk masak terlebih dulu." "Sudah Bu, jangan dengarkan. Yang penting kita sudah pamit." Andini terus menarik tangan ibunya, tanpa memperdulikan suara neneknya. Biarkan neneknya teriak-teriak. Pintu kamar Linda terbuka, dan muncul lah Linda dibalik pintu dengan rambut masih berantakan dan muka masih kusut. Wanita itu terbangun karena mendengar suara ibunya yang teriak-teriak. "Ada apa sih Bu, pagi-pagi sudah teriak-teriak?" "Itu si Ratna mau pergi sama Andini," jawab Bu Rodhiah masih menatap Ratna yang sudah hampir memasuki kamarnya. "Memangnya mereka mau pergi kemana?" tanya Linda sambil mengucek matanya. Wanita itu masih belum terlalu sadar, dan menahan kantuknya. "Ibu juga nggak tahu. Katanya mau mengantar Andini ke temannya. Kalau Ratna pergi, terus siapa yang masak dan bantu ibu di warung?" tanya Bu Rodhiah dengan nada kesal. Tenaga Ratna itu sangat berguna bagi Bu Rodhiah. Kalau menyuruh orang lain pasti bayarnya lumayan, sedangkan kalau menyuruh Ratna dibayar dengan bahan lauk saja dia sudah senang. "Ya udah, ibu nggak usah izinkan dia pergi," ujar Linda dengan enteng. "Dia nggak mau dengarkan ibu. Ibu sudah bilang dia harus masak dulu sebelum pergi, eh malah terus jalan. Kurang ajar banget itu memang si Ratna," kesal Bu Rodhiah. Linda menutup pintu kamarnya dan memilih keluar, "Biar aku yang ngomong dengan Mbak Ratna." Linda langsung berjalan menuju kamar Ratna. Belum juga sampai di kamar Ratna, Andini dan ibunya beserta adiknya sudah keluar kamar. Mereka membawa dua tas ransel dan satu tas kresek. "Mbak Ratna!" Panggil Linda sambil berjalan menuju dimana Ratna berdiri. "Kamu mau pergi kemana, Mbak? Enak aja pergi. Tugasmu di rumah ini masih banyak! Kalau kamu pergi, siapa yang mau masak untuk kita semua?" Sambung Linda dengan nada nyolot sambil menguncir rambutnya yang masih berantakan. Ratna yang hendak mengunci pintu langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Linda sedang berjalan kearahnya. Ratna pun menatap anaknya, bingung hendak berbuat apa. Andini mengedipkan mata, memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Andini melangkah mendekat ke arah tantenya yang sebentar lagi sampai di depan kamarnya. "Kenapa Tante?" "Heh Andini! Kamu kalau pergi, tinggal pergi saja. Nggak usah bawa ibumu itu. Dia itu disini masih banyak tugas!" Pekik Linda dengan jari menunjuk ke arah Ratna. "Apa? Tugas? Memangnya ibuku pembantu kalian? Maaf ya Tante, aku nggak butuh izin Tante untuk membawa ibuku pergi," jawab Linda tanpa rasa takut. Plak! Linda langsung menampar Andini yang dirasakan begitu kurangajar padanya. "Dasar nggak punya sopan santun. Sama orang tua berani!" pekik Linda tidak terima karena anak kecil itu terus menjawab. Ratna yang berdiri didepan pintu begitu kaget anaknya di tampar. Ia segera berjalan menghampiri anaknya. "Ya Allah Andini, kamu nggak apa-apa Kak?" tanya Ratna sambil mengusap lembut pipi anaknya. Pipi Andini terlihat merah. "Sudah, ayo kita pergi. Mobilnya sudah menunggu di depan." Ratna langsung menggandeng Andini. Di depan pintu, Ratna menenteng tas kresek sambil menggandeng Athala. Mereka keluar tanpa memperdulikan ocehan Linda dan Bu Rodhiah. "Kalau kamu tetap pergi hari ini. Kamu tidak boleh kembali ke rumah ini Mbak Ratna!" ancam Linda dengan suara yang keras. Ratna terus menggandeng Andini dan Athala untuk memasuki mobil yang sudah dipesan Andini. Mereka harus sampai di stasiun sebelum jam 6 pagi. Tidak ada waktu untuk meladeni Linda dan mertuanya itu. Setelah masuk di dalam mobil, Ratna mengambil minyak kayu putih dari tas nya. Lalu dioleskan ke pipi Andini. "Nggak usah Bu," tolak Andini lembut. Rasa sakit di pipinya tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya. Mereka dengan entengnya menganggap ibunya seperti pembantu. Bahkan sebelum pergi pun, mereka masih menyuruh ibunya untuk masak, seakan mereka itu majikan yang harus diladeni. "Biar mendingan Kak, jadi nggak bengkak," ucap Ratna sambil terus memaksa mengoleskan minyak kayu putih ke pipi anaknya. "Maafkan aku ya Bu," ucap Ratna merasa tidak enak dengan ibunya. "Nggak apa-apa Sayang. Ibu malah senang kamu berani begitu. Jangan seperti ibu yang selalu lemah meskipun mereka injak-injak. Ibu nggak punya power untuk melawan mereka," ujar Ratna dengan nada sedih. "Aku juga sebenarnya agak takut Bu, apalagi mereka kan lebih tua. Tapi orang kaya mereka juga nggak pantas di hormati. Kita mau cium tangan mereka aja, mereka selalu menolak seakan kita ini kotoran." Ratna memegang kedua telapak tangan putrinya dengan erat. "Maafkan Ibu ya Kak. Ibu belum bisa buat Kakak bahagia." "Aku yang akan buat Ibu bahagia. Ibu doakan ya semoga Allah mudahkan jalanku untuk sukses," ujar Andini dengan senyuman. Ia berjanji akan membahagiakan ibu dan adiknya. Hidupnya hanya untuk ibu dan adiknya. "Aamiin. Semoga Allah mudahkan jalan untukmu Sayang." "Aamiin, terimakasih Bu." Keduanya pun pelukan. Athala yang duduk di pinggir tertidur lagi didalam mobil. Anak kecil itu masih mengantuk. Sebab itulah saat memasuki mobil yang begitu sejuk, matanya langsung terpejam, melanjutkan tidurnya. Sedangkan Andini dan Ratna mereka saling berpelukan. Bersukur dengan apa yang mereka punya sekarang. Kasih sayang diantara keduanya. ______ "Mana nih sarapannya?" keluh Andi saat melihat lemari makan miliknya kosong tidak ada lauk. "Mbak Ratna! Mbak Ratna!" panggil Andi dengan teriak-teriak. Ia berjalan keluar menuju ruang tengah mencari istri dari almarhum kakaknya. "Apa sih Mas? Teriak-teriak segala," kesal Linda pada pada kakaknya tersebut. "Ini lemari makanku kok kosong. Nggak ada makanan. Mana sudah siang lagi," protes Andi. "Mbak Ratna nggak ada. Dia lagi liburan bareng kedua anaknya. Jadi pagi ini nggak ada yang masak," jelas Linda tanpa menoleh. Sibuk dengan ponselnya. "Liburan? Punya uang dari mana dia?" tanya Andi tidak terlalu percaya. Selama ini kakak iparnya tersebut hanya bisa mengandalkan kerjanya sebagai serabutan. "Mana aku tahu. Ngepet kali," jawab Linda asal. Wanita itu masih sibuk dengan ponselnya. "Mana aku lapar lagi. Kamu punya makanan nggak Lin?" tanya Andi memelas pada adiknya. "Nggak ada. Tadi aku beli nasi campur tapi pas. Cuma untuk suami, anakku dan untukku. Sudah habis kami makan," jawab Linda enteng. "Kenapa aku nggak dibelikan sekali?" protes Andi. "Mas Andi nggak ngomong," jawab Linda enteng. "Mana aku tahu kamu beli makanan. Aku juga nggak tahu Mbak Ratna nggak masak. Ah sial!" Andi berjalan menuju kamarnya dan mengambil tas kerjanya. Istrinya masih tertidur pulas. Andi langsung pergi tanpa berpamitan pada istrinya. Dengan menahan rasa lapar, lelaki itu pun pergi berangkat kerja. Linda yang melihat kakaknya yang akhirnya memilih langsung berangkat kerja hanya menggeleng-geleng kepala, kemudian bergumam "Makanya punya istri itu yang bener. Lapar begitupun, nggak ada yang ngurus. Kasihan betul Mas Andi." Keadaan rumah sekarang sepi. Suami dan anaknya sudah berangkat kerjanya. Ibunya juga sudah di warung, sedangkan kakak iparnya yang cantik masih tidur. Satu jam berlalu, tiba-tiba Linda mendengar suara motor suaminya. Ia menajamkan telinganya memastikan apakah itu motor suaminya atau bukan. Tapi suaranya begitu jelas, dan itu memang suara motor suaminya. Linda bangun dari kursi dan berjalan keluar. Belum saja sampai di pintu, terlihat sosok lelaki yang selama bertahun-tahun menemaninya sedang berjalan masuk ke dalam. “Kok tumben jam segini pulang Mas?” tanya Linda pada Robi. Robi yang terus berjalan masuk, tidak mendengarkan pertanyaan istrinya. Sedangkan Linda terus berjalan mengekori suaminya masuk. Robi tidak menjawab. Ia hanya melepaskan tasnya dan berbaring di sofa. “Kenapa Mas?” tanya Linda penasaran. Tidak biasanya suaminya pulang pagi-pagi seperti ini. “Sayang, Mas mau pinjam uang 75 juta ada?” tanya Robi pada Linda. Cuma Linda harapan Robi satu-satunya. Tidak mungkin Robi meminta tolong ke orang tuanya. Mengingat orang tuanya juga bukan orang yang kaya. Bahkan setiap bulan, Robi yang harus menafkahi mereka karena sudah tua. “75 juta? Banyak banget. Uang dari mana aku?” tanya Linda dengan mengerutkan dahinya. Linda kaget mendengar nominal yang begitu banyaknya. “Tolong dong Sayang bantu aku. Pinjamkan ke ibu. Kalau aku nggak dapat uang itu dalam waktu satu minggu, aku akan masuk penjara,” jelas Robi dengan wajah memelas agar istrinya kasihan. “Lho kenapa kamu masuk penjara? Memangnya kamu salah apa?” tanya Linda merasa bingung. Suaminya pagi ini terlihat begitu aneh. Pulang pagi, sekarang mau pinjam uang, dan malah ngomongin penjara. “Nanti deh aku ceritakan. Yang penting sekarang, bantu aku Carikan uang 75 juta. Kamu mau aku masuk penjara?” desak Robi. Bagaimanapun istrinya harus membantunya mencarikan uang untuknya. “Nanti aku tanya ke ibu deh. Semoga ibu punya simpanan segitu,” ucap Linda kemudian bangun dan berjalan ke warung. Robi melihat istrinya keluar, sedangkan lelaki itu memejamkan mata sambil memikirkan alasan yang akan diberikan kepada istrinya. Tidak mungkin Robi akan jujur, kalau dia sudah makan uang perusahaan. Linda pasti bakal ngamuk. Toh selama ini uang itu juga tidak pernah Linda terima. Istrinya hanya menerima uang gaji Robi saja.Kepala Bu Rodhiah terasa berdenyut saat mendengar bahwa bangunan kontrakan yang sedang dibangun di tanah sebelah tanah miliknya adalah milik Ratna dan Andini. Dadanya terasa sesak. Ia sulit mempercayainya.Menantu yang dulu miskin, yang sering ia pandang sebelah mata, kini benar-benar menjadi kaya raya? Tidak masuk akal! Lebih tepatnya, Bu Rodhiah tidak terima kenyataan itu.Ia duduk di kursi kayu di teras rumahnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke lengan kursi dengan wajah muram. Pikirannya kalut. Bisa saja ini hanya akal-akalan Ratna, batinnya. Mungkin saja wanita itu membayar laki-laki tadi untuk berbohong dan mengatakan kalau Ratna lah sebagai pemilik bangunan itu, hanya agar dirinya merasa iri dan tak bisa tidur nyenyak."Tidak, ini tidak mungkin!" gumamnya lirih.Hatinya terus bergejolak. Semakin dipikirkan, semakin ia merasa curiga. Jika benar Ratna membeli tanah itu, pasti kakaknya memberitahunya. Tapi ini tidak ada pun yang memberitahunya? Ia tak akan diam."Hera, ayo kita ke ru
Matahari bersinar terik di langit siang, menyorot tanah yang berdebu dan panas. Suara palu berdentam bersahutan dengan deru mesin bor yang menggema di area pembangunan kontrakan. Ratna dan putrinya, Andini, berjalan menyusuri tanah yang masih setengah rata, membawa beberapa kantong plastik besar berisi makanan dan minuman. Keringat mulai mengalir di pelipis mereka, tetapi senyum tetap menghiasi wajah keduanya.Ketika mereka mendekat, seorang pria berbadan tegap dengan kaus lusuh yang basah oleh keringat menoleh. Wajahnya langsung berbinar begitu melihat mereka."Wah, Bu Ratna dan Mbak Andini datang!" serunya, mengusap tangannya yang berdebu ke celananya sebelum melangkah mendekat.Pria itu adalah Pak Sarman, mandor proyek yang mengawasi pembangunan. Para pekerja lain yang tengah sibuk memasang bata dan mengangkat semen menoleh, lalu menghentikan pekerjaan mereka sejenak.Ratna tersenyum hangat. "Iya, Pak Sarman. Saya bawakan makanan buat bapak-bapak semua. Capek, kan, kerja di bawah p
Bu Rodhiah baru saja pulang dari rumah sakit ketika Hera menyambutnya dengan penuh semangat. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih, matanya sayu, dan langkahnya sedikit terseret. Beberapa jam di rumah sakit membuatnya kelelahan, terutama karena harus bergantian dengan Linda mengurus cucunya yang baru lahir, sementara Andi sedang keluar."Ibu capek banget ya?" tanya Hera, membawakan segelas air putih.Bu Rodhiah hanya mendesah panjang. Ia melepas kerudungnya dengan gerakan malas, lalu menghempaskannya ke kursi sebelum duduk dengan lemas. Setelah meneguk air, ia akhirnya membuka suara."Anisa baik-baik saja, bayinya juga sehat," katanya, suaranya terdengar lemah namun tetap mengandung nada kesal. "Tapi kamu tahu sendiri Anisa itu. Baru melahirkan saja sudah banyak maunya. Minta dirawat di ruang VVIP, katanya capek habis melahirkan. Habis itu, dia nyuruh-nyuruh Ibu dan Linda ini-itu, rempong sekali!"“Ya kan Lin?” tanya Bu Rodhiah pada Linda yang sedang berjalan menuju kamarnya.“Iya.
Andi menundukkan kepala, menahan rasa gengsi yang sejak tadi bergolak dalam dadanya. Tangannya mengepal di atas pahanya, lalu membuka dan mengepal lagi, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.“Mbak…” suaranya terdengar ragu, hampir berbisik.Ratna menghela napas pelan, tetap duduk tenang di kursinya. Ada firasat tidak enak yang menyelinap di benaknya. Tatapannya mengamati Andi, adik iparnya yang kini tampak gelisah.“Ada apa?” tanyanya akhirnya.Andi menelan ludah, mengangkat wajah sekilas sebelum menunduk lagi. Ia mengatur kata-kata dalam kepalanya, takut terdengar memalukan.“Aku, ingin meminjam uang, Mbak.”Ratna mengangkat alisnya sedikit, meski ekspresinya tetap datar. “Untuk apa?”Adik iparnya itu tidak termasuk orang yang kekurangan. Ia tahu Andi memiliki pekerjaan tetap di sebuah bank, gajinya pun lumayan dibanding suami Hera dan Linda. Jadi, kenapa sampai harus meminjam uang? Atau memang ada sesuatu yang benar-benar urgent?“Anisa baru saja melahirkan,” jawab Andi pelan.Ra
Andi menghela napas panjang, matanya menatap lekat istrinya yang duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Di sudut ruangan, beberapa kantong belanjaan berisi perlengkapan bayi berjejer rapi—baju-baju mungil, selimut lembut, box bayi, ayunan, hingga stroller mahal yang harganya pasti tidak murah.Jantungnya berdebar tak nyaman. Dari mana Anisa mendapatkan uang untuk membeli semua ini? Seingatnya, setiap bulan uang yang ia berikan selalu habis tanpa sisa."Dari mana kamu dapat uang buat beli semua ini, Nis?" tanyanya dengan suara yang berusaha ia tahan agar tetap tenang. Namun, gejolak dalam dadanya sudah tidak bisa dibendung.Anisa masih menunduk. “Uangku,” jawabnya pelan.Andi mengernyit. “Uang dari mana? Bukankah uang yang aku kasih tiap bulan langsung habis?”Anisa menggigit bibirnya. Tangannya meremas kain dress yang ia pakai, seolah mencari pegangan agar dirinya tetap kuat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tetap diam. Ia takut Andi curiga, dan mencari tahu darima
Tok! Tok! Tok!Terdengar suara ketukan dari luar. Ratna yang sedang menggoreng pisang, segera mematikan kompor dan keluar. Ia membuka pintu, dan terlihat Erwin ada di depan pintu.“Assalamu alaikum Bu,” ucap Erwin kemudian mencium punggung tangan Ratna.“Wa alaikum salam. Duduk dulu Nak Erwin. Ibu lagi goreng gorengan pisang, sebentar ya,” ucap Ratna mempersilakan kemudian masuk ke dalam.Tak berapa lama, Ratna keluar dengan membawakan minuman dan gorengan pisang. Ia letakkan di atas meja tepat didepan Erwin.“Athala kemana, kok nggak ada suaranya,” ucap Erwin.“Dia sudah tidur dari sore. Sepertinya kelelahan.”“Athala sekarang setiap hari yang jemput Rio ya Bu.”“Iya. Andini sekarang ada tambahan pelajaran sampai sore, makanya yang jemput Rio. Tapi kalau Andini pulang cepat, selalunya Andini kok yang jemput.”“Andini nya sekarang mana Bu?” tanya Erwin.“Dia belum pulang. Biasanya dia pulang jam 9,” jawab Ratna."Setiap aku ke sini, kok Andini nggak pernah ada sih, Bu?" tanyanya, sedi