"Kamu kenapa Mas?" tanya Linda pada Robi, suaminya. Sejak pulang kerja, suaminya terlihat murung. Tidak seperti biasanya.
"Nggak apa-apa," jawab Robi membohongi istrinya. "Nggak mungkin. Aku kenal kamu. Biasanya pulang kerja, kamu ada saja yang diceritakan. Tumben hari ini, kamu murung begitu," ujar Linda tidak yakin kalau suaminya baik-baik saja. "Badanku lagi nggak enak badan, Sayang," jawab Robi kemudian memilih berbaring dan menjauhi istrinya. Dia sedang tidak mau diganggu dan di interogasi. Kepalanya sudah pusing memikirkan permasalahan yang sedang dia hadapi. "Yasudah kamu istirahat saja," ujar Linda kemudian turun dari kasur. Linda berjalan keluar kamar. Setelah mendengar pintu tertutup, Robi mengambil ponselnya. Banyak sekali pesan dari temannya. [Gimana nih Rob. Alamat, kita pasti di pecat] pesan dari salah satu teman kerja Robi. Banyak juga pesan dari outlet-outlet. Mereka protes kepada Robi, karena ternyata setoran mereka selama ini tidak sampai ke perusahaan. Hari ini di kantornya kedatangan audit dari pusat, dan audit tersebut langsung sidak ke lapangan. Ternyata banyak kejanggalan yang didapat audit, termasuk uang setoran outlet yang tidak sesuai dengan laporan bagian piutang. Audit maupun kepala cabang belum menegur langsung ke sales, tapi perasaan Robi sudah tidak enak. Apalagi sore tadi, isu tentang kejanggalan yang ditemukan Audit sudah menjadi perbincangan hangat antar sales. Robi merasa takut, kalau ternyata dirinya ketahuan bahwa selama ini sudah memakan uang outlet. Robi tidak bisa tidur, kepalanya pusing memikirkan ini semua. [Mending kalau cuma dipecat aja. Kalau dilaporkan polisi dan suruh ganti, gimana?] jawab Robi membalas pesan temannya yang satu tim. Pesan yang Robi kirim langsung dibaca oleh temannya, dan [Jangan lah, masa sampai harus dilaporkan polisi. Suruh ganti? Aku dapat uang dari mana? Kamu mah mending, kemarin baru dapat uang dari mertuamu. Aku? Boro-boro. Mana istriku baru melahirkan kemarin. Sumpah Rob, aku takut beneran] balas teman Robi. [Kita lihat besok sajalah. Aku juga sama takut. Takut ketahuan istriku juga, kalau ternyata selama ini aku main togel. Mampus, kalau istriku tahu] [Malam ini banyak-banyak berdoa deh Rob. Semoga ada keajaiban.] [Aku mau cari tahu dulu lewat supervisor, barangkali dia sudah dapat bocoran siapa orangnya] [Kabar-kabar ya Rob, kalau sudah ada info] [Siap] Robi sudah mengetik pesan yang akan dikirimkan ke supervisor, tapi ia ragu. Sudah jelas-jelas beberapa outlet tiba-tiba komplain tentang setoran. Apalagi kalau bukan memang karena audit yang datang. Meskipun belum semua yang komplain, tapi dari beberapa outlet sudah bisa terbaca bahwa yang di sidak adalah outlet-outlet dibawah tanggung jawabnya. "Nggak mungkin kalau supervisor nggak tahu. Dia pasti sudah tahu," gumam Robi sendiri. "Tapi kenapa dia nggak kasih tahu aku, kalau misalkan ternyata sales yang audit maksud adalah aku ya," lanjutnya. "Pasti dia sengaja, agar aku tetap berangkat kerja besok. Ah sialan!" Robi jadi berpikir kemana-mana. Memikirkan sendiri, apa yang sudah terjadi. Perasaannya benar-benar tidak karuan. Akhirnya ia memilih menon-aktifkan ponselnya dan kembali berbaring. Lelaki itu mencoba memejamkan matanya, tapi tetap saja tidak bisa tidur. "Ah sial!". Pikirannya tidak tenang, terbayang-bayang hari esok saat masuk ke kantor dan dipanggil kepala cabang. Apalagi kalau ternyata dari perusahaan mengkasuskan perkara ini. Pikiran Robi begitu ruwet. Dia menyalakan kembali ponselnya, dan memilih untuk main game untuk menyibukkan diri. Dengan main game, dia tidak akan terlalu fokus dengan masalah yang terjadi. Untuk hari esok, biarlah ia hadapi esok hari. Sedangkan Linda, yang baru saja keluar kamar mendengar suara kakaknya bertengkar dengan istrinya. Andi, kakaknya memang sering sekali bertengkar dengan Anisa, istrinya. Tapi lagi-lagi mereka baikan karena kakaknya, Andi, memang terlalu bucin dengan Anisa. "Mas Andi dan Mbak Anisa kenapa lagi sih Bu?" tanya Linda pada ibunya yang sedang menonton televisi dengan ditemani Hera. Hera, hanya melirik kehadiran Linda. Gadis itu seperti tidak punya mulut. Setiap hari hanya sibuk main ponsel, tidak pernah mengajak ngobrol keluarganya. Bahkan kalau di tanya hanya jawab sebutuhnya saja. "Biasalah mereka. Anisa itu tiap hari shopping-shopping. Paling ribut gara-gara tagihan kartu kredit. Apa lagi," jawab Bu Rodhiah. "Ngapain sih pakai kartu kredit segala. Tinggal bayar cash aja, senang," sahut Linda mengambil cemilan di meja. "Kuliah kamu gimana Hera?" tanya Linda pada adiknya. "Ya begitu saja," jawab Hera singkat. Gadis itu sibuk dengan scrol-scrol media sosialnya. Sesekali terlihat Hera senyum dengan ponselnya. Entah apa yang membuatnya senyum. "Uang yang ibu kasih dari hasil jual tanah kemarin, kamu simpan. Jangan untuk foya-foya, Hera," nasihat Linda pada adiknya. Dia memang tidak tahu adiknya termasuk orang yang boros atau tidak. Tapi seringkali, ibunya mengeluh karena lagi-lagi Linda meminta uang untuk ini itu, dengan alasan kebutuhan kuliah. Linda tidak tahu, adiknya membohongi ibunya atau tidak. Tapi yang pasti, Linda hanya khawatir adiknya terbawa dengan teman-temannya yang tidak beres. "Hmmm." Hera tidak melirik sedetikpun kepada kakaknya. Ia menganggap semua ucapan kakak-kakaknya angin kosong. Entah kenapa Hera, sangat tidak peduli pada kakak-kakaknya. Linda sangat malas ngajak Hera bicara. Niat hati biar nggak terlalu kaku, kakak adek jarang mengobrol. Tapi tetap saja, Hera hanya menjawab sesingkatnya. Tiba-tiba saja Andi datang dengan wajah masam, kemudian duduk di samping Linda. "Kenapa Mas?" tanya Linda pada kakaknya. "Tagihan kartu kredit ku membengkak. Melebihi gaji. Untung saja ada uang yang kemarin ibu kasih. Kalau nggak ada, gimana aku bisa bayar kartu kredit. Pusing aku," keluh Andi sambil memijit pelan keningnya. Istrinya memang sudah berlebihan. Uang gaji sudah Andi serahkan semua ke Anisa, tapi tetap saja masih kurang. Selama ini, Andi hanya memegang uang bonus dan uang insentive saja. Itupun harus Andi irit-irit, karena setiap bulan selalu ada tagihan kartu kredit. "Kamu ajarin lah istrimu untuk irit, Ndi. Jangan shopping, arisan terus kerjanya. Mumpung kalian belum punya anak, menabung lah," nasihat Bu Rodhiah. Wanita tua itu sangat menyayangkan, karena anaknya termasuk berhasil dalam berkarir. Tapi sayangnya, istrinya selalu menghambur-hamburkannya dengan mudah. "Ya susah lah Bu. Mbak Anisa kan memang dari orang berada. Dari dulu hidupnya memang sudah begitu," sahut Linda. Bahkan Linda sendiri kadang iri dengan kecantikan kakak iparnya itu. Anisa begitu rajin perawatan, sehingga wajahnya tidak ada kerutan. Temannya juga banyak, dan cantik-cantik semua. Berbeda dengan Linda, yang tidak punya teman sama sekali. Kesehariannya hanya di rumah. Scroll F******k, nonton televisi, tidur. Begitupun dengan Bu Rodhiah, ia tidak pernah membenci menantunya itu karena cantik. Semua warga kampung terkesima dengan kecantikan Anisa. Bahkan semua selalu menganggap Bu Rodhiah beruntung karena mendapatkan menantu secantik Anisa. "Maksud ibu, ya dikurangin. Beda lah keadaannya. Kalau dulu kan dia masih sendiri, sekarang sudah ada suami. Kalau keluar terus, kapan ngurusin suaminya," ujar Bu Rodhiah mengeluarkan unek-uneknya. Dia nggak benci, hanya agak kesal, karena Anisa termasuk istri yang boros. Anisa jarang sekali masak. Tapi dia tetap mengisi kulkasnya untuk persiapan Ratna yang masak untuk Andi. Anisa pun sama seperti Linda, dia menyuruh Ratna untuk memasak dan mencuci bajunya, dan membayar wanita itu setiap minggunya. Di tengah-tengah obrolan serius, tiba-tiba Hera memilih bangun dari duduknya dan masuk ke kamar. Semuanya hanya menatap Hera yang berjalan menuju kamarnya. Gadis itu sudah biasa, meninggalkan obrolan. Karena mungkin Hera yang belum menikah, sebab itulah dia tidak mau ikut campur. Tak lama, Hera keluar dari kamar dengan memakai jaket, dan celana pendek yang ia kenakan tadi. Gadis itu berjalan dengan santai melewati kakak-kakaknya. "Ibu, aku keluar dulu sebentar ya," pamit Hera pada ibunya. "Mau kemana?" tanya Bu Rodhiah. "Keluar sebentar sama teman. Nggak lama kok Bu," jawab Hera santai. Ibunya terlalu menyayanginya. Jadi dengan yakin, ibunya pasti akan mengizinkan dirinya pergi. "Sudah malam Hera. Memangnya mau ngapain sih pergi malam-malam begini?" tanya Linda pada adiknya. "Ya kumpul-kumpul lah Mbak sama teman. Memangnya Mbak yang nggak punya teman. Tiap hari kerjaannya di rumah saja, numpuk lemak!" sindir Hera terang-terangan. Linda merasa geram mendengar ucapan adiknya. “Apa kamu bilang?” “Sudah lah Lin. Kaya gitu aja marah,” peringatan Bu Rodhiah, takut keduanya ribut. “Sudah sana pergi. Pulangnya jangan malam-malam ya Her,” ujar sang ibu memberikan izin Hera. Keadaan didalam rumah agak panas. Apalagi melihat wajah Linda yang sudah tegang, ia takut kalau anaknya itu akan memukul Hera karena rasa kesalnya. “Terimakasih Bu,” ucap Hera kemudian mencium punggung tangan ibunya. Gadis itu pun berjalan keluar rumah dan mulai terdengar ia menyalakan mesin motor lalu pergi. “Ibu jangan terlalu manjakan Hera Bu. Kalau sudah malam gini, jangan di biasakan diizinkan keluar. Dia kan perempuan,” ucap Andi mengingatkan ibunya. “Ibu nggak manjakan Hera kok. Sudah lah Ndi, Hera juga sudah besar. Dia pasti bisa jaga diri,” jawab Bu Rodhiah tidak mau disalahkan. Sebenarnya dibelakang Andi dan Linda, Bu Rodhiah sudah beberapa kali mengingatkan Hera, agar jangan pergi malam-malam. Tapi anaknya itu keras, dan nggak mau mendengarkan. Justru kalau di tegur, dia akan mendiamkan ibunya. Itulah yang membuat Bu Rodhiah, akhirnya memilih diam. “Percuma Mas ngomongi ibu. Hera kan anak kesayangan. Mau salah apapun, tetap aja di bela. Kalau nanti tiba-tiba hamil di luar nikah, jangan nangis lho Bu!” Linda yang begitu kesal dengan ibunya memilih bangun dari duduknya dan kembali ke kamar. ________ “Hai Sayang,” sapa Alvin pacar Hera ketika melihat Hera masuk ke dalam mobilnya. “Hai juga,” jawab Hera kemudian duduk dan memasang seat belt. “Mau kemana malam-malam gini?” “Aku lagi pusing banget Sayang. Ayah dan Mamahku ribut mulu. Jadi mending keluar. Gimana kalau kita ke laut?” “Ke laut malam-malam gini? Dingin banget lah vin,” protes Hera. “Tenang aja, Sayang. Seperti biasa, aku nggak akan buat kamu dingin. Justru aku malah buat kamu merasa ketagihan terus,” ucap Alvin dengan mata berkedip. “Ih dasar, mesum. Ayolah,” jawab Hera dengan senyuman. Mereka pun pergi ke laut. Sebelum itu, mereka beli makanan Drive thrue untuk cemilan mereka di laut. Hera memang paling nurut dengan pacarnya, Alvin. Apapun keinginan pacarnya selalu ia turutin. Bahkan uang hasil penjualan tanah yang diberikan ibunya juga habis oleh Alvin. Lelaki itu yang tahu pacarnya mendapatkan uang banyak, pura-pura meminjam untuk usaha dan Hera percaya begitu saja. Sesampainya di laut, mobil Alvin parkir tepat di tepi laut. Lelaki itu membuka pintu mobilnya. “Kita makan dulu yuk, Sayang,” ajak Alvin kemudian membuka burger pesanan miliknya. Hera pun membuka burger miliknya. Sebelum memakan burger, Hera meminum terlebih dahulu. “Bagaimana bisnis kamu, Sayang?” Alvin langsung menoleh ke arah pacarnya, ia kaget kenapa tiba-tiba Hera bertanya tentang usaha fiktif. Ya, sebenarnya Alvin tidak membuka usaha. Uang yang dipinjam dari Hera, ia gunakan untuk berfoya-foya dengan teman-temannya. “Belum jalan lah. Baru siap sekitar 80%. Butuh modal yang gede, Sayang. Aku masih mencari tambahannya,” jawab Alvin bohong. “Aku nggak sabar usaha kamu jalan. Biar tiap bulan aku ada pemasukan. Tadi kakakku juga tanya tentang uang itu. Kalau aku sudah punya banyak tabungan, aku akan pergi dari rumah itu. Bosan satu rumah banyak orang, berisik!” keluh Hera. “Kalau nggak, nanti kita ngekos satu kamar aja. Biar bisa bareng terus. Gimana?” “Nggak mau akh. Nanti kamu minta jatah tiap hari lagi,” sindir Hera. “Ya nggak apa-apa lah. Yang penting kan nanti aku nikahnya sama kamu,” jawab Alvin sambil menggoda Hera. Hera pun tersenyum. Ia selalu berbunga-bunga setiap kali Alvin menggombal atau memujinya. Hera begitu bucin dengan Alvin. “Ayo makanannya habiskan Sayang. Soalnya aku sudah nggak sabar, pengin makan kamu,” goda Alvin. “Apaan sih. Nanti ada yang lihat gimana?” tanya Hera mau tapi malu. “Ya nggak apa-apa. Biar langsung disuruh nikah sekalian. Hahhaha,” jawab Alvin.Sementara itu, di tempat lain, Hera menduduki bangku panjang di dalam pegadaian, menunggu antrian namanya dipanggil. Bu Rodhiah tetap setia duduk disamping anaknya."Semoga bisa dapat 10 juta ya," ucap Bu Rodhiah dengan hati penuh harap.“Dapat lah Bu, kalau cuma 10 juta aja mah. Ibu nggak usah khawatir,” jawab Hera dengan santai. Wanita itu begitu yakin, emas miliknya jika digadaikan akan bisa dapat lebih dari 10 juta, mengingat beratnya setiap barang cukup berat.Sambil menunggu namanya dipanggil, Hera sibuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan Bu Rodhiah terus menatap satu-persatu customer yang dipanggil kedepan.Hingga akhirnya nama Hera dipanggil. Bu Rodhiah begitu antusias, hingga tanpa ia sadari ia memukul Hera cukup keras.“Hera! Hera! Nama kamu di panggil,” ucap Bu Rodhiah sambil memukul anaknya yang sedang bermain ponsel.“Ih ibu apaan sih. Kenapa harus pukul-pukul? Aku juga dengar kali,” ke
Andini menatap ibunya yang sedang bersiap di depan cermin. Wajah Ratna tampak muram, sisa kesedihan dari kemarin masih tergurat jelas. Andini tahu betapa hancur hati ibunya ketika tidak diundang ke pernikahan adik ipar mereka. Meskipun Andini sudah mencoba menghibur ibunya, tapi tetap saja sang ibu masih sedikit tersinggung dengan keluarga ayahnya.Selama ini, Ratna lah yang mengurus rumah itu. Tapi sedikitpun tidak ada artinya di mata mereka. Bahkan Bu Rodhiah tidak pernah menganggap Ratna sebagai menantunya.Andini tidak ingin melihat ibunya terus larut dalam kesedihan. Hari ini ia bertekad membuat sang ibu tersenyum. Ia ingin memberikan kejutan untuk ibunya.“Ibu, ayo cepat, sudah hampir jam sepuluh. Athala juga sudah siap,” ujar Andini sambil menuntun adiknya yang sudah bersiap.“Lho, kita mau ke mana sih, Nak?” tanya Ratna, bingung.“Pokoknya ikut saja, Bu. Ini penting,” jawab Andini, tersenyum penuh arti.
“Ada apa sih Sayang, kok terdengar ribut-ribut?” tanya Alvin tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru masuk ke kamar.“Sertifikat rumah ibu nggak ada,” jawab Hera kemudian jalan menuju kasur dan duduk disamping suaminya.Dari semenjak pulang dari rumah orang tuanya, Alvin hanya bermain game di ponsel.“Pasti ada yang curi itu. Sertifikat rumah kan mahal kalau di gadai,” ujar Alvin.“Makanya itu. Kami sih menduga kalau Mbak Ratna yang ambil. Tapi dari tadi aku telepon anaknya, nggak diangkat-angkat,” keluh Hera.“Anaknya masih sekolah kan? Mungkin saja dia nggak bawa ponselnya,” ujar Alvin.Hera menoleh ke arah suaminya. Mungkin juga sih, ucapan Alvin. Kenapa daritadi Hera tidak kepikiran kesitu ya. Atau mungkin sedang pelajaran, makanya nggak di angkat panggilan darinya.“Terus gimana dong Sayang? Aku butuh sertifikat itu sekarang. Biar bisa cair hari ini juga,” ujar Hera meminta pendap
Bu Rodhiah mengacak-acak isi lemari kayu tua di sudut kamarnya, melongok ke dalam setiap laci, membuka setiap kotak, dan menggeledah setiap sudut. Peluh menetes di pelipisnya, sementara napasnya mulai tersengal. Kamar itu kini berantakan, dengan pakaian, 2dokumen, dan barang-barang kecil berserakan di lantai.Padahal, ia yakin betul. Sertifikat rumah itu seharusnya ada di dalam map cokelat, tersimpan rapi di dalam laci ketiga lemari itu. Namun, meskipun sudah memeriksa berkali-kali, benda itu tetap tak ditemukan.Dengan frustasi, Bu Rodhiah keluar dari kamar dan berteriak memanggil Hera. Ia sudah lelah mencari sertifikat dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Bu Rodhiah tidak bisa menemukannya."Hera! Heraaaa! Ke sini sekarang!" teriak Bu Rodhiah dengan suara tinggi, memecahkan keheningan rumah. Wanita itu masih berdiri didepan pintu kamarnya.Hera yang sedang berada di kamar, tergesa-gesa keluar dari kamar, d
“Ibu kenapa sedih?” tanya Andini pada ibunya yang sedari tadi hanya melamun saja.Ratna tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Ia pun tak tahu, kenapa harus sedih. Tapi memang itu yang ia rasakan sekarang.“Kemarin waktu di pasar, ibu ketemu nenek Tamy. Dia cerita kalau Hera akan menikah,” cerita Ratna.“Terus apa yang buat ibu sedih? Karena kita nggak diundang?” tanya Andini.Ratna mengangguk pelan, wajahnya murung mengingatkan itu semua. “Harusnya ibu sadar diri sih, kalau ibu itu bukan siapa-siapa. Tapi ibu sedih aja, kalau ternyata mereka benar-benar tidak pernah menganggap keberadaan ibu. Padahal kan bertahun-tahun ibu bersama mereka, dan selama ibu menjadi menantu nenekmu, ibu selalu menganggap nenekmu seperti orang tua sendiri.”Andini memeluk ibunya yang terlihat begitu sedih. Semua pengorbanan ibunya selama ini, memang tak pernah dianggap di mata mereka. Andini merasa kasihan pada ibunya.“
Setelah pertemuan dua keluarga antara keluarga Alvin dan Hera, akhirnya mereka memutuskan menikah dalam waktu dekat. Hera terus memaksa untuk menikah cepat, mengingat dirinya yang sudah hamil terlebih dulu.Hingga tibalah, hari pernikahan. Rumah Hera sudah diubah menjadi mewah. Dekorasi pengantin yang begitu indah, sengaja Bu Rodhiah pilih agar terlihat mewah di mata para tetangga dan saudara yang datang.Awalnya pihak keluarga Alvin, hanya menginginkan menikah di KUA saja, tapi Bu Rodhiah menolaknya dengan berbagai alasan.Alvin sudah menjanjikan pada Bu Rodhiah, bahwa dirinya akan mengganti uang dapur dengan nominal 20 juta. Tapi uang itu akan diberikan saat acara pernikahan.Singkat cerita, semua acara pernikahan sudah dilalui dengan khidmat. Akad nikah berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, setelah acara akad nikah, kedua orang tua Alvin langsung berpamitan pulang."Orang tua kamu kok langsung pulang sih, Say