Linda menghampiri ibunya yang sedang di warung. Ibunya sedang melayani pelanggan. Sambil menunggu ibunya melayani pelanggan, Linda duduk dekat pintu. Ia melihat warung ibunya ternyata cukup lengkap.
Linda jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah masuk ke warung ibunya. Kalaupun ia butuh apa-apa, biasanya Linda menyuruh Ratna untuk mengambilnya. Mata Linda terus menelusuri isi warung ibunya. Beras bertumpuk berkarung-karung, dan juga stock mie yang berkarton-karton. Linda hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat itu semua. Pantesan ibunya sanggup membiayai kuliah Hera, dan memberi uang jajan Hera cukup besar. Ternyata warungnya sudah lumayan. "Ada apa Lin? Tumben kamu kesini?" tanya Bu Rodhiah sambil berjalan mendekat ke arah dimana Linda duduk. Warungnya sudah sepi karena pelanggan sudah terlayani semua. "Anu Bu, aku mau ngomong sesuatu," jawab Linda ragu. Meskipun dia tidak pernah memberi ibunya, tapi Linda jarang sekali minta tolong ibunya apalagi soal keuangan. Selama ini suaminya sudah mencukupi kebutuhannya, jadi Linda tidak pernah meminta tolong apapun ke ibunya. Kecuali kalau ibunya punya sesuatu yang lebih, Linda akan meminta bukannya meminjam. "Ngomong apa?" tanya Bu Rodhiah sambil mengambil kursi dan duduk tak jauh dari Linda. "Anu Bu, aku mau pinjam uang," jawab Linda ragu. Wanita itupun tidak berani menatap ibunya. Sebenarnya Linda malu karna harus meminjam uang pada ibunya. Tapi karena suaminya yang memaksa, Linda terpaksa melakukannya. "Pinjam uang? Berapa?" tanya Bu Rodhiah menatap lekat anaknya. "Aku mau pinjam 55 juta Bu," jawab Linda dengan ragu. Ia masih belum berani menatap ibunya. Ada rasa takut juga, karena ini pertama kalinya Linda meminjam sebanyak itu. "Banyak sekali Lin. Memangnya mau buat apa?" tanya Bu Rodhiah dengan menatap tajam anaknya. Terlihat anaknya begitu takut sampai tidak berani menatapnya. Linda bingung akan menjawab apa. Kalau jujur suaminya yang butuh, dia malu. Apalagi kalau nanti ibunya cerita ke kakaknya, Andi, atau ke Hera. Nampak sekali rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. "Aku pengin buka usaha Bu, dari pada aku duduk-duduk saja di rumah. Temanku ajak bisnis bareng," ujar Linda bohong. Mungkin dengan alasan bisnis, ibunya akan membantunya. Berbeda jika alasan karena suaminya butuh, ibunya pasti akan bertanya-tanya terus. "Kamu yakin sama teman kamu itu? 55 juta bukan uang yang sedikit lho Lin," tanya Bu Rodhiah memastikan. Apalagi zaman sekarang banyak sekali penipuan bermodus bisnis. "Ibu tenang saja. Temanku yang satu ini sudah banyak usaha. Dan sekarang dia mau buka lagi, tapi di bidang lain. Terus dia mengajakku untuk kerja sama," jawab Linda meyakinkan Bu Rodhiah. Kali ini Linda sudah berani menatap ibunya. Ia harus meyakinkan ibunya agar wanita itu percaya dengan kebohongannya. "Terus kira-kira kamu kembalikannya kapan?" tanya Bu Rodhiah mencari kepastian. "Aku nggak bisa janji, Bu. Tapi aku usahakan sebelum 6 bulan, aku sudah bayar semua ke Ibu," jawab Linda menatap ibunya. "Tabungan ibu nggak banyak Lin, itu juga tabungan dulu karena alamarhum kakakmu setiap bulan selalu ngasih uang ke Ibu. Ibu tabung, dan ditambah jual tanah kemarin. Tapi kalau segitu ibu ada. Ibu buat persiapan Hera bayar semesteran, kalau cuma ngandelin warung ibu nggak bisa," cerita Bu Rodhiah. Linda tidak percaya, apalagi melihat warung ibunya yang penuh. Tidak mungkin tabungan ibunya tidak banyak. Kalau untuk Hera, ibunya selalu usahakan. Sedangkan Linda setelah lulus SMA, langsung bekerja dengan alasan Linda cewek nggak perlu sekolah tinggi-tinggi. "Nanti ibu transfer ke rekening aku aja ya Bu," ujar Linda. "Iya. Nanti ibu transfer. Tapi kamu jangan cerita ke Andi atau Hera ya. Nanti mereka iri." "Iya Bu. Ya udah aku masuk dulu." Linda pun bangun dari duduknya dan keluar meninggalkan warung ibunya. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah, dan melihat suaminya masih terbaring di sofa. Mendengar suara kaki masuk, Robi segera membuka matanya. Tak berapa lama, terlihat istrinya duduk tak jauh darinya. Robi pun segera bangun, karena penasaran dengan hasil pinjaman istrinya. "Gimana Sayang?" tanya Robi pada istrinya. "Ibu meminjamkan atau tidak?" Linda mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Ibu me___". Ucapan Linda terhenti karena tiba-tiba kamar kakaknya terbuka. Terlihat Anisa, kakak iparnya keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan. Wanita itu baru bangun tidur, dan hendak pergi ke kamar mandi. Linda hanya melirik Anisa yang lewat begitu saja tanpa menyapa Linda dan suaminya. "Istri apaan, bangunnya siang amat," nyinyir Linda lirih. Linda tidak suka melihat Anisa yang semakin lama, bertingkah seperti ratu. Bangun selalu siang, tidak pernah menyiapkan makan untuk suami. Bahkan belanja bulanan atau belanja sayuran saja selalu nitip ke Linda. Meskipun begitu, Linda juga iri dengan kakak iparnya tersebut. Anisa cantik, dan punya pertemanan yang bagus. Tidak seperti dirinya, yang setiap hari di rumah. “Sudah, nggak usah urusin orang lain. Kamu belum jawab pertanyaan ku,” ujar Robi penasaran. “Oh iya. Ibu mau meminjamkan uang. Kebetulan aku ada simpanan 25 juta Mas. Aku pinjam ibu 55 juta. Tapi aku nggak bilang kamu yang pinjam. Aku malu, Mas,” ungkap Linda. “Terus kamu beri alasan apa ke Ibu?” tanya Robi. “Aku bilang ke Ibu, uang itu untuk usaha. Dan aku mengembalikan sebelum 6 bulan,” jawab Linda. “Aduh Sayang. Kenapa kamu menjanjikan secepat itu. Kita dapat uang sebanyak itu dalam waktu 6 bulan, darimana?” Robi merasa kesal dengan istrinya. “Ya mau gimana lagi. Kalau aku janjikan lama, takutnya ibu nggak mau pinjamkan. Nanti dari gaji kamu, aku simpan sedikit-sedikitlah.” “Haduh pusing.” Robi menepuk jidatnya. Masalah yang ini selesai, muncul masalah baru lagi. Robi juga tidak tahu, dirinya akan di tetap diperbolehkan bekerja lagi di perusahaan itu atau tidak. Mengingat kasusnya cukup berat. Lolos, tidak mau masuk penjara saja sudah bonus bagi Robi saat ini. “Terus gimana dong Mas?” tanya Linda ikut bingung juga. Dirinya tidak bisa membantu suaminya. Selama ini ia hanya bisa menerima uang dari suaminya, dan mengatur sebisa mungkin. “Pikir nanti sajalah. Yang penting sekarang sudah lega. Aku nggak masuk penjara, karena sudah ada uang.” “Memangnya kamu kenapa Mas? Kenapa harus membayar uang sebanyak itu?” tanya Linda pada suaminya. “Itu Sayang, aku di fitnah temanku. Dia kan bantuin aku narikin setoran outlet, aku kira selama ini dia setorkan ke perusahaan. Ternyata tidak. Bodohnya aku, percaya aja gitu sama dia. Dan kemarin ada audit, ketahuan semua. Tapi perusahaan mengira aku yang makan uangnya, padahal bukan aku,” cerita Robi dengan nada dan wajah memelas. “Harusnya kamu ngomong apa adanya dong Mas. Masa kamu nggak ada pembelaan sama sekali,” protes Linda. “Sudah Sayang. Tapi percuma saja. Di dalam kontrak, area itu yang megang aku. Jadi akulah yang kena.” “Ya bukan gitu. Kamu masa nggak pernah chat an sama teman kamu gitu, atau bukti yang lain. Kamu tunjukkan saja bukti itu, mungkin dengan itu perusahaan akan memberi keringanan. Nggak sampai 75 juta.” “Sudah Sayang. Percuma saja. Mereka nggak mau tahu. Intinya aku harus ganti segitu. Kalau tidak, mereka akan proses kasus ini ke kantor polisi,” cerita Robi. “Nanti aku yang ke perusahaan kamu, biar aku yang ngomong.” “Jangan gitu dong Sayang. Takutnya nanti malah merembet kemana-mana. Sudahlah, nggak usah perpanjang. Yang penting sekarang sudah dapat uangnya. Aku janji bakal mengembalikan secepatnya. Toh katanya nanti, kalau terbukti bukan aku yang pakai, uangnya akan dikembalikan lagi kok,” lanjut Robi. Ia sengaja berbohong untuk menenangkan sang istri. Kalau tidak, pasti istrinya akan nekat datang ke kantor. Yang ada malah ketahuan, kalau selama ini Robi sudah sering makan setoran. “Oh, serius? Begitu kata perusahaan. Kalau begitu sih nggak apa-apa. Toh kamu nggak pakai, berarti nanti uangnya kembali,” ucap Linda dengan senyum bahagia. Akhirnya masalah uang selesai. Dia bisa bantu suami, tapi juga tidak akan lama berurusan dengan ibunya. Ia tahu ibunya itu kalau ada anaknya yang hutang, akan cerita-cerita kemana-mana. Dan di tagih terus. _____ Athala begitu bahagia di dalam kereta. Selama ini, ia hanya bisa melihat kereta dari ponsel kakaknya. Bahkan mainan kereta pun Athala tidak punya. Saat Andini kecil, ayahnya selalu membelikan apa yang anaknya mau. Sedangkan saat Athala, ayahnya meninggal. Jadi dia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang Andini rasakan. “Kakak, Athala seneng banget. Dari tadi sibuk lihat pemandangan sambil nggak berhenti ngoceh,” ucap Ratna dengan tersenyum. “Ia Bu. Kita tidak pernah ngajak dia jalan-jalan. Jadi sekalinya jalan, dia seneng banget,” ujar Linda ikut bahagia melihat adiknya seperti itu. “Alhamdulillah ya Sayang. Allah kasih rejeki buat kita jalan.” “Iya Bu. Alhamdulillah. Kalau misal kontrak ini sudah deal, nanti ibu bantu aku buatkan nasi kuning ya. Kita bagi-bagi ke tetangga. Ngomong aja sukuran, nggak usah diucapkan secara detail.” “Iya sayang, nanti ibu masakkan.” Keduanya menikmati kebahagiaan diatas kereta. Melihat Athala yang begitu antusias melihat pemandangan sekitar. Andini menatap ibunya yang duduk disampingnya. Nampak sekali wajah ibunya banyak kerutan, meskipun masih terlihat cantik. Ibunya memang cantik. Tua pun tetap cantik. Matanya menhitam, nampak sekali ibunya lelah. Andini memegang erat lengan ibunya, Ratna pun menoleh ke arah anaknya. “Kenapa Kak?” “Aku ingin bareng ibu terus sampai kapanpun. Aku akan mengajak Ibu dan Athala bahagia bareng denganku,” jawab gadis itu. “Masa sama ibu terus? Kalau kamu sudah menikah ya kamu harus sama suami kamu lah. Nggak boleh sama ibu,” ucap Ratna. “Aku belum kepikiran menikah Bu. Sepertinya kalau lulus nanti, aku mau kerja dulu sampai aku kaya. Aku mau memastikan kehidupan Ibu dan Athala terjamin dulu.” “Terimakasih Sayang.” Andini pun memeluk ibunya. Di dunia ini hanya ibunya yang ia punya. Wanita itu berjuang sendiri, mengabaikan kewarasan mentalnya demi kedua anaknya. Ia memilih bertahan di rumah mertuanya yang seperti harimau, demi anak-anaknya bisa berteduh. Meskipun dirinya tersakiti.Sementara itu, di tempat lain, Hera menduduki bangku panjang di dalam pegadaian, menunggu antrian namanya dipanggil. Bu Rodhiah tetap setia duduk disamping anaknya."Semoga bisa dapat 10 juta ya," ucap Bu Rodhiah dengan hati penuh harap.“Dapat lah Bu, kalau cuma 10 juta aja mah. Ibu nggak usah khawatir,” jawab Hera dengan santai. Wanita itu begitu yakin, emas miliknya jika digadaikan akan bisa dapat lebih dari 10 juta, mengingat beratnya setiap barang cukup berat.Sambil menunggu namanya dipanggil, Hera sibuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan Bu Rodhiah terus menatap satu-persatu customer yang dipanggil kedepan.Hingga akhirnya nama Hera dipanggil. Bu Rodhiah begitu antusias, hingga tanpa ia sadari ia memukul Hera cukup keras.“Hera! Hera! Nama kamu di panggil,” ucap Bu Rodhiah sambil memukul anaknya yang sedang bermain ponsel.“Ih ibu apaan sih. Kenapa harus pukul-pukul? Aku juga dengar kali,” ke
Andini menatap ibunya yang sedang bersiap di depan cermin. Wajah Ratna tampak muram, sisa kesedihan dari kemarin masih tergurat jelas. Andini tahu betapa hancur hati ibunya ketika tidak diundang ke pernikahan adik ipar mereka. Meskipun Andini sudah mencoba menghibur ibunya, tapi tetap saja sang ibu masih sedikit tersinggung dengan keluarga ayahnya.Selama ini, Ratna lah yang mengurus rumah itu. Tapi sedikitpun tidak ada artinya di mata mereka. Bahkan Bu Rodhiah tidak pernah menganggap Ratna sebagai menantunya.Andini tidak ingin melihat ibunya terus larut dalam kesedihan. Hari ini ia bertekad membuat sang ibu tersenyum. Ia ingin memberikan kejutan untuk ibunya.“Ibu, ayo cepat, sudah hampir jam sepuluh. Athala juga sudah siap,” ujar Andini sambil menuntun adiknya yang sudah bersiap.“Lho, kita mau ke mana sih, Nak?” tanya Ratna, bingung.“Pokoknya ikut saja, Bu. Ini penting,” jawab Andini, tersenyum penuh arti.
“Ada apa sih Sayang, kok terdengar ribut-ribut?” tanya Alvin tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru masuk ke kamar.“Sertifikat rumah ibu nggak ada,” jawab Hera kemudian jalan menuju kasur dan duduk disamping suaminya.Dari semenjak pulang dari rumah orang tuanya, Alvin hanya bermain game di ponsel.“Pasti ada yang curi itu. Sertifikat rumah kan mahal kalau di gadai,” ujar Alvin.“Makanya itu. Kami sih menduga kalau Mbak Ratna yang ambil. Tapi dari tadi aku telepon anaknya, nggak diangkat-angkat,” keluh Hera.“Anaknya masih sekolah kan? Mungkin saja dia nggak bawa ponselnya,” ujar Alvin.Hera menoleh ke arah suaminya. Mungkin juga sih, ucapan Alvin. Kenapa daritadi Hera tidak kepikiran kesitu ya. Atau mungkin sedang pelajaran, makanya nggak di angkat panggilan darinya.“Terus gimana dong Sayang? Aku butuh sertifikat itu sekarang. Biar bisa cair hari ini juga,” ujar Hera meminta pendap
Bu Rodhiah mengacak-acak isi lemari kayu tua di sudut kamarnya, melongok ke dalam setiap laci, membuka setiap kotak, dan menggeledah setiap sudut. Peluh menetes di pelipisnya, sementara napasnya mulai tersengal. Kamar itu kini berantakan, dengan pakaian, 2dokumen, dan barang-barang kecil berserakan di lantai.Padahal, ia yakin betul. Sertifikat rumah itu seharusnya ada di dalam map cokelat, tersimpan rapi di dalam laci ketiga lemari itu. Namun, meskipun sudah memeriksa berkali-kali, benda itu tetap tak ditemukan.Dengan frustasi, Bu Rodhiah keluar dari kamar dan berteriak memanggil Hera. Ia sudah lelah mencari sertifikat dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Bu Rodhiah tidak bisa menemukannya."Hera! Heraaaa! Ke sini sekarang!" teriak Bu Rodhiah dengan suara tinggi, memecahkan keheningan rumah. Wanita itu masih berdiri didepan pintu kamarnya.Hera yang sedang berada di kamar, tergesa-gesa keluar dari kamar, d
“Ibu kenapa sedih?” tanya Andini pada ibunya yang sedari tadi hanya melamun saja.Ratna tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Ia pun tak tahu, kenapa harus sedih. Tapi memang itu yang ia rasakan sekarang.“Kemarin waktu di pasar, ibu ketemu nenek Tamy. Dia cerita kalau Hera akan menikah,” cerita Ratna.“Terus apa yang buat ibu sedih? Karena kita nggak diundang?” tanya Andini.Ratna mengangguk pelan, wajahnya murung mengingatkan itu semua. “Harusnya ibu sadar diri sih, kalau ibu itu bukan siapa-siapa. Tapi ibu sedih aja, kalau ternyata mereka benar-benar tidak pernah menganggap keberadaan ibu. Padahal kan bertahun-tahun ibu bersama mereka, dan selama ibu menjadi menantu nenekmu, ibu selalu menganggap nenekmu seperti orang tua sendiri.”Andini memeluk ibunya yang terlihat begitu sedih. Semua pengorbanan ibunya selama ini, memang tak pernah dianggap di mata mereka. Andini merasa kasihan pada ibunya.“
Setelah pertemuan dua keluarga antara keluarga Alvin dan Hera, akhirnya mereka memutuskan menikah dalam waktu dekat. Hera terus memaksa untuk menikah cepat, mengingat dirinya yang sudah hamil terlebih dulu.Hingga tibalah, hari pernikahan. Rumah Hera sudah diubah menjadi mewah. Dekorasi pengantin yang begitu indah, sengaja Bu Rodhiah pilih agar terlihat mewah di mata para tetangga dan saudara yang datang.Awalnya pihak keluarga Alvin, hanya menginginkan menikah di KUA saja, tapi Bu Rodhiah menolaknya dengan berbagai alasan.Alvin sudah menjanjikan pada Bu Rodhiah, bahwa dirinya akan mengganti uang dapur dengan nominal 20 juta. Tapi uang itu akan diberikan saat acara pernikahan.Singkat cerita, semua acara pernikahan sudah dilalui dengan khidmat. Akad nikah berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, setelah acara akad nikah, kedua orang tua Alvin langsung berpamitan pulang."Orang tua kamu kok langsung pulang sih, Say