Masa-masa berlibur di Jakarta sudah berlalu. Andini mendapatkan kontrak dan bekerja sama dengan sebuah brand. Dia dijadikan brand ambassador produk kecantikan. Andini pun tidak menyangka, orang kampung seperti dia akan dijadikan brand ambassador. Hal yang sangat sulit untuk dijangkau. Tapi balik lagi, jika Allah sudah berkehendak kita bisa apa.
Andini dan Ratna sampai rumah jam 11 malam. Mereka memegang kunci rumah, jadi tidak perlu membangunkan orang rumah saat pulang. Sesampainya di rumah, mereka langsung masuk ke kamar. Andini yang kebelet pipis, meminta izin ke ibunya untuk pergi ke kamar mandi. Ratna pun hanya menganggukkan karena posisinya sedang menidurkan Athala yang tadi terbangun saat turun dari travel. Andini melihat tumpukan piring di wastafel, bahkan karena tidak muat di wastafel. Ada bak buat tempat piring kotor di bawah. "Ya Allah, apa mereka nggak mencuci piring berhari-hari?" tanya Andini sendiri. Semua penghuni rumah ini memang pemalas semua. Hanya karena ibunya pergi, mereka pun makan dan meletakkan piring diatas wastafel tanpa mencucinya berhari-hari. "Eh Andini sudah pulang? Memang kita nggak ada cuci piring. Biar menjadi tugas ibu mu. Enak aja setiap Minggu kita kasih uang, nggak kerjakan tugas sama sekali," jawab Linda atas pertanyaan Andini yang sempat ia dengar. Linda yang baru datang dan melihat Andini yang sedang berdiri dekat wastafel sambil mengomel karena melihat tumpukan piring kotor. Linda langsung berlalu meninggalkan Andini, dan pergi ke kamar mandi. Andini yang melihat tantenya ke kamar mandi dulu, memilih duduk di kursi makan. Gadis kelas 2 SMA tersebut melihat ruangan dapur, begitu berantakan. Ibunya tidak di rumah, semua kacau. Dan parahnya mereka mengandalkan ibunya untuk membereskan ini semua. Andini tidak menanggapi ucapan Linda bukan karena dia mengiyakan apa yang di ucapkan tantenya tersebut. Tetapi karena ia tidak mau ribut. Andini capek baru saja sampai, dia ingin istirahat. Tak berapa lama, Linda sudah keluar dari kamar mandi. Wanita itu hendak berjalan keluar, tapi ia berhenti tepat di depan Andini. "Andini, nanti ngomong ke ibu kamu ya. Jangan lupa cuci baju-baju punya keluargaku. Bangun pagi-pagi," ucap Linda terus berlalu. Andini hanya melirik dengan tatapan tajam kepada tantenya, kemudian ia pergi ke kamar mandi. Andini sudah tidak tahan pengin pipis, langsung berlari. Setelah buang air kecil, Andini langsung masuk ke kamarnya. Tidak lupa mengunci pintu kamar sebelum tidur. Terlihat ibunya sedang mengeluarkan isi tas, dan memisahkan baju kotor dan baju yang bersih. Serta beberapa oleh-oleh yang Andini beli dari Jakarta. "Ibu tidur dulu saja," ucap Andini kemudian langsung naik ke atas kasur. Andini duduk bersandar ke sandaran ranjang, sambil membuka ponselnya. "Nanti lah Kak, setelah bereskan ini. Jadi nggak berantakan," jawab Ratna sambil terus membereskan isi tas. "Ibu, tadi aku lihat wastafel penuh. Sepertinya mereka tidak mencuci piring selama 3 hari," cerita Andini menatap sang ibu yang masih sibuk dengan barang-barangnya. "Besok lah Ibu cuci," jawab Ratna santai. "Jangan Bu! Ibu bukan pembantu di rumah ini. Aku sudah bilang kan ke ibu. Mulai sekarang ibu tidak boleh memasakkan untuk mereka, mencuci baju mereka dan yang lain-lain," tegas Andini. Saat di Jakarta, Andini sudah meminta ibunya untuk bersikap tegas. Andini tidak ingin ibunya selalu dianggap babu di rumahnya sendiri. Cukup selama ini mereka melakukan ibunya semena-mena. "Tapi Kak, ibu takut! Kita kan masih menumpang di rumah ini," ujar Ratna dengan nada lirih. "Ibu percaya sama aku kan? Ibu jangan mau di injak-injak terus. Kalau ibu masih seperti itu, berarti ibu nggak menghargai perjuanganku. Aku bekerja keras, tidur shubuh mencari uang agar ibu tidak dihina, tapi ibu dengan senang hati merelakan diri untuk dihina." Ratna pun bangun dan menghampiri anaknya. Dengan senyuman, ia memeluk lengan anaknya yang sudah lebih besar darinya. "Maafkan Ibu ya Kak. Ibu janji mulai sekarang, ibu akan melawan." "Kalau mereka usir kita, ibu ngomong ke aku. Biar aku yang menghadapi mereka. Ibu nggak perlu takut. Dari dulu kita diam diperlakukan seperti binatang oleh mereka, tapi sekarang kita harus bangkit Bu. Jangan seperti ini terus," tegas Andini. Ia tidak akan lelah mengingatkan ibunya untuk bersikap tegas. "Iya Kak. Ibu janji akan melawan mereka." Keduanya pun berpelukan. Andini yang sudah punya pekerjaan, meskipun hanya seorang konten kreator dan Brand Ambassador tapi ia yakin jika dirinya selalu semangat dan tidak malas akan menghasilkan. Dia berjanji akan melindungi ibunya, dan tujuannya sekarang adalah merebut rumah milik ayahnya yang ditempati nenek dan anak-anaknya. Andini merasa kasihan pada ibunya. Bertahun-tahun, mereka memanfaatkan kepolosan ibunya. Rumah yang mereka tempati adalah hak ibunya. Sedangkan mereka yang selalu menganggap ibunya hanya menumpang, justru mereka lah yang selama ini menumpang. _______ Pagi hari Ratna masak hanya untuk kedua anaknya. Lauknya pun tidak ia letakkan di lemari makan miliknya tetapi ia masukkan ke kamar. Andini sudah membeli tempat penyimpan makanan bersusun sehingga tidak menghabiskan banyak tempat, dan tertutup rapat. Ratna juga sudah mencuci baju milik keluarganya saja. Semua pekerjaannya hari ini sudah beres. Biarkan wastafel menumpuk dan tumpukan cucian milik adik iparnya menumpuk. Ratna tidak akan peduli. “Kak, Sarapan dulu,” ucap Ratna membawakan piring berisi nasi. “Iya Bu,” jawab Andini. Mereka pun makan di kamar, dengan lauk yang sudah Ratna masak. Andini begitu menikmati setiap masakan ibunya. Semua orang mengakui, kalau masakan Ratna memang enak. “Masakan ibu memang selalu enak,” puji Andini sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Alhamdulillah kalau Kakak suka,” jawab Ratna dengan rendah hati. “Kalau aku sudah punya modal. Kita buka warung makan ya Bu,” ucap Andini. “Aamiin. Semoga di mudahkan ya Sayang.” Tak berapa lama, makanan di piring Andini pun sudah habis. Ratna segera membawa piring kotor, dan mencucinya di kamar mandi. Karena wastafelnya penuh dengan piring kotor. Setelah mencuci piring, Ratna bergegas kembali ke kamarnya sebelum ada yang melihat dirinya. Andini yang selalu berangkat pagi dengan sepedanya sudah bersiap untuk berangkat. Tidak lupa mencium punggung tangan ibunya, dan mencium kening sang ibu. Gadis itu mengambil uang 50 ribu 1 lembar kepada ibunya. "Ibu, ini untuk jajan Athala. Dan beli lauk nanti siang. Ibu nggak usah masak, beli lauk matang saja," ujar Andini sambil memberikan uang satu lembar tersebut. "Ya Allah Kak, apa nggak kebanyakan?" tanya Ratna ragu untuk mengambil uang pemberian anaknya. "Nggak Bu. Sekarang per hari aku akan kasih uang ibu 50 ribu. Kalau lebih, ibu simpan. Kalau kurang, ibu ngomong aku ya," ucap Andini. Ratna pun mengambil uang yang diberikan anaknya tersebut. Ia bangga, bahagia, terharu, campur aduk perasaannya. "Terimakasih Kak. Semoga rejeki kamu bertambah banyak," doa Ratna tulus. "Aamiin. Aku berangkat dulu ya Bu." “Ya,” jawab Ratna. Wanita itu hendak mengantar anaknya keluar. Baru saja melangkah, terdengar suara teriakan Linda memanggil namanya. "Mbak Ratna! Mbak Ratna!" teriak Linda dari luar. Andini dan Ratna saling berpandangan mendengar teriakan wanita itu yang memanggil nama ibunya. "Nenek lampir sudah beraksi Bu," ucap Andini memandang wajah ibunya. "Iya Kak. Ibu harus gimana?" tanya Ratna dengan wajah panik. "Jangan takut Bu. Kita harus berani melawan. Ibu percaya kan sama aku?” Ratna pun mengangguk. Tiba-tiba pintu kamar pun terbuka dengan kasar. "Mbak Ratna! Kenapa kamu belum memasak? Firda kan harus berangkat tapi belum ada masakan. Gimana sih?!" tanya Linda dengan nada membentak. "Maaf ya Tante Linda, per hari ini Ibu sudah tidak memasakkan lagi untuk Tante Linda dan yang lain," jawab Andini dengan nada lembut. Linda mengernyitkan dahinya mendengar jawaban anak tersebut. "Heh! Anak bau kencur! Jangan sok-sokan deh. Kamu dan ibumu itu menumpang disini. Enak saja nggak mau masakkan buat kami. Emangnya kalian mampu bayar sewa menumpang tinggal di rumah ini?" tanya Linda dengan nada merendahkan. "Kita menumpang? Menumpang di rumah siapa?" tanya Andini dengan berani. Dia yang sudah bersiap, tinggal berangkat saja akhirnya terhalang karena harus meladeni wanita iblis, adik almarhum ayahnya itu. Tiba-tiba Bu Rodhiah muncul dan berdiri di pintu, disamping Linda. "Di rumahku! Kalian menumpang di rumahku. Dan itu tidak gratis! Paham!" pekik Bu Rodhiah dengan tatapan melotot. Tidak lama, muncullah Andi yang sudah berseragam. Bersiap untuk bekerja, bertanya kepada adik dan ibunya. "Ada apa sih Bu, pagi-pagi sudah ribut begini." Athala yang masih tertidur, terusik tidurnya dan hampir bangun. Ratna langsung naik ke atas kasur, dan menepuk-nepuk halus punggung anaknya agar tidur lagi. Andini yang melihat adiknya terganggu, akhirnya mengusir mereka semua dari kamarnya. "Keluar! Keluar semua dari kamarku. Kalau kalian mau mengajak ribut, di luar. Jangan disini!" usir Andini sambil berjalan menggiring semuanya agar keluar dan menutup pintu kamarnya dari luar. Semua terkejut dengan sikap Andini yang begitu berani mengusir mereka dari kamar Ratna. "Aku mau berangkat sekolah, kalau aku meladeni kalian, nanti aku terlambat," ucap Andini santai. "Kamu ini memang songong Andini. Persis kaya ibumu!" nyinyir Bu Rodhiah. "Ingat ya Nek, Tante Linda, Om Andi, mulai sekarang Ibuku tidak akan mencuci baju kalian lagi, dan juga tidak akan memasak untuk kalian lagi. Sampai sini paham kan ya," ujar Andini menatap satu persatu orang tua yang ada didepannya. "Enak aja, kamu dan ibumu tinggal di sini gra..." ucapan Linda terpotong, karena Andini langsung menyela ucapan Linda. "Gratis?" tanya Andini memotong pembicaraan Linda. "Ya iyalah gratis, aku dan ibuku kan tinggal di rumah ayahku' sendiri. Barangkali Tante Linda tidak percaya, bisa tanyakan langsung sama Nenek. Iyakan Nek, rumah ini rumah ayah? Ayahku yang beli rumah ini?" Bu Rodhiah langsung menganga mendengar ucapan cucunya. Bagaimana mungkin cucunya yang satu ini tahu kebenarannya, kalau rumah ini memang milik ayahnya. Linda dan Andi yang juga tahu kebenarannya pun hanya diam. Semua yang diucapkan keponakannya memang benar. Sertifikat rumah yang mereka tempati memang masih atas nama kakaknya, ayah dari Andini. “Apa buktinya, kalau rumah ini milik ayahmu?” tanya Andi pura-pura tidak tahu. “Mau bukti? Tunjukkan sekarang sertifikat rumah ini. Kita buktikan apakah rumah ini atas nama nenek atau nama ayahku.” Andini sengaja menantang semua yang ada di rumah ini. Meskipun dia masih terbilang muda, tapi Andini bukanlah anak bodoh. Rodhiah hanya diam, tidak berani menjawab tantangan cucunya. Jika ia menunjukkan sertifikat, jelas-jelas dia akan kalah. Jadi lebih baik diam saja, daripada berkepanjangan. Melihat semuanya hanya berdiam, tidak ada yang merespon. Andini berdecik, seakan meledek mereka. "Sampai sini paham kan? Jadi kalian tidak boleh memperlakukan ibuku seperti pembantu lagi. Seharusnya dia lah ratu di rumah ini." Andini berlalu meninggalkan ketiga orang tua tersebut. Dan keluar rumah. Ia harus berangkat sekolah.Sementara itu, di tempat lain, Hera menduduki bangku panjang di dalam pegadaian, menunggu antrian namanya dipanggil. Bu Rodhiah tetap setia duduk disamping anaknya."Semoga bisa dapat 10 juta ya," ucap Bu Rodhiah dengan hati penuh harap.“Dapat lah Bu, kalau cuma 10 juta aja mah. Ibu nggak usah khawatir,” jawab Hera dengan santai. Wanita itu begitu yakin, emas miliknya jika digadaikan akan bisa dapat lebih dari 10 juta, mengingat beratnya setiap barang cukup berat.Sambil menunggu namanya dipanggil, Hera sibuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan Bu Rodhiah terus menatap satu-persatu customer yang dipanggil kedepan.Hingga akhirnya nama Hera dipanggil. Bu Rodhiah begitu antusias, hingga tanpa ia sadari ia memukul Hera cukup keras.“Hera! Hera! Nama kamu di panggil,” ucap Bu Rodhiah sambil memukul anaknya yang sedang bermain ponsel.“Ih ibu apaan sih. Kenapa harus pukul-pukul? Aku juga dengar kali,” ke
Andini menatap ibunya yang sedang bersiap di depan cermin. Wajah Ratna tampak muram, sisa kesedihan dari kemarin masih tergurat jelas. Andini tahu betapa hancur hati ibunya ketika tidak diundang ke pernikahan adik ipar mereka. Meskipun Andini sudah mencoba menghibur ibunya, tapi tetap saja sang ibu masih sedikit tersinggung dengan keluarga ayahnya.Selama ini, Ratna lah yang mengurus rumah itu. Tapi sedikitpun tidak ada artinya di mata mereka. Bahkan Bu Rodhiah tidak pernah menganggap Ratna sebagai menantunya.Andini tidak ingin melihat ibunya terus larut dalam kesedihan. Hari ini ia bertekad membuat sang ibu tersenyum. Ia ingin memberikan kejutan untuk ibunya.“Ibu, ayo cepat, sudah hampir jam sepuluh. Athala juga sudah siap,” ujar Andini sambil menuntun adiknya yang sudah bersiap.“Lho, kita mau ke mana sih, Nak?” tanya Ratna, bingung.“Pokoknya ikut saja, Bu. Ini penting,” jawab Andini, tersenyum penuh arti.
“Ada apa sih Sayang, kok terdengar ribut-ribut?” tanya Alvin tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru masuk ke kamar.“Sertifikat rumah ibu nggak ada,” jawab Hera kemudian jalan menuju kasur dan duduk disamping suaminya.Dari semenjak pulang dari rumah orang tuanya, Alvin hanya bermain game di ponsel.“Pasti ada yang curi itu. Sertifikat rumah kan mahal kalau di gadai,” ujar Alvin.“Makanya itu. Kami sih menduga kalau Mbak Ratna yang ambil. Tapi dari tadi aku telepon anaknya, nggak diangkat-angkat,” keluh Hera.“Anaknya masih sekolah kan? Mungkin saja dia nggak bawa ponselnya,” ujar Alvin.Hera menoleh ke arah suaminya. Mungkin juga sih, ucapan Alvin. Kenapa daritadi Hera tidak kepikiran kesitu ya. Atau mungkin sedang pelajaran, makanya nggak di angkat panggilan darinya.“Terus gimana dong Sayang? Aku butuh sertifikat itu sekarang. Biar bisa cair hari ini juga,” ujar Hera meminta pendap
Bu Rodhiah mengacak-acak isi lemari kayu tua di sudut kamarnya, melongok ke dalam setiap laci, membuka setiap kotak, dan menggeledah setiap sudut. Peluh menetes di pelipisnya, sementara napasnya mulai tersengal. Kamar itu kini berantakan, dengan pakaian, 2dokumen, dan barang-barang kecil berserakan di lantai.Padahal, ia yakin betul. Sertifikat rumah itu seharusnya ada di dalam map cokelat, tersimpan rapi di dalam laci ketiga lemari itu. Namun, meskipun sudah memeriksa berkali-kali, benda itu tetap tak ditemukan.Dengan frustasi, Bu Rodhiah keluar dari kamar dan berteriak memanggil Hera. Ia sudah lelah mencari sertifikat dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Bu Rodhiah tidak bisa menemukannya."Hera! Heraaaa! Ke sini sekarang!" teriak Bu Rodhiah dengan suara tinggi, memecahkan keheningan rumah. Wanita itu masih berdiri didepan pintu kamarnya.Hera yang sedang berada di kamar, tergesa-gesa keluar dari kamar, d
“Ibu kenapa sedih?” tanya Andini pada ibunya yang sedari tadi hanya melamun saja.Ratna tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Ia pun tak tahu, kenapa harus sedih. Tapi memang itu yang ia rasakan sekarang.“Kemarin waktu di pasar, ibu ketemu nenek Tamy. Dia cerita kalau Hera akan menikah,” cerita Ratna.“Terus apa yang buat ibu sedih? Karena kita nggak diundang?” tanya Andini.Ratna mengangguk pelan, wajahnya murung mengingatkan itu semua. “Harusnya ibu sadar diri sih, kalau ibu itu bukan siapa-siapa. Tapi ibu sedih aja, kalau ternyata mereka benar-benar tidak pernah menganggap keberadaan ibu. Padahal kan bertahun-tahun ibu bersama mereka, dan selama ibu menjadi menantu nenekmu, ibu selalu menganggap nenekmu seperti orang tua sendiri.”Andini memeluk ibunya yang terlihat begitu sedih. Semua pengorbanan ibunya selama ini, memang tak pernah dianggap di mata mereka. Andini merasa kasihan pada ibunya.“
Setelah pertemuan dua keluarga antara keluarga Alvin dan Hera, akhirnya mereka memutuskan menikah dalam waktu dekat. Hera terus memaksa untuk menikah cepat, mengingat dirinya yang sudah hamil terlebih dulu.Hingga tibalah, hari pernikahan. Rumah Hera sudah diubah menjadi mewah. Dekorasi pengantin yang begitu indah, sengaja Bu Rodhiah pilih agar terlihat mewah di mata para tetangga dan saudara yang datang.Awalnya pihak keluarga Alvin, hanya menginginkan menikah di KUA saja, tapi Bu Rodhiah menolaknya dengan berbagai alasan.Alvin sudah menjanjikan pada Bu Rodhiah, bahwa dirinya akan mengganti uang dapur dengan nominal 20 juta. Tapi uang itu akan diberikan saat acara pernikahan.Singkat cerita, semua acara pernikahan sudah dilalui dengan khidmat. Akad nikah berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, setelah acara akad nikah, kedua orang tua Alvin langsung berpamitan pulang."Orang tua kamu kok langsung pulang sih, Say