Share

Bab 7

Author: HierzhaThree
last update Last Updated: 2025-05-26 20:30:52

Masa-masa berlibur di Jakarta sudah berlalu. Andini mendapatkan kontrak dan bekerja sama dengan sebuah brand. Dia dijadikan brand ambassador produk kecantikan. Andini pun tidak menyangka, orang kampung seperti dia akan dijadikan brand ambassador. Hal yang sangat sulit untuk dijangkau. Tapi balik lagi, jika Allah sudah berkehendak kita bisa apa.

Andini dan Ratna sampai rumah jam 11 malam. Mereka memegang kunci rumah, jadi tidak perlu membangunkan orang rumah saat pulang. Sesampainya di rumah, mereka langsung masuk ke kamar.

Andini yang kebelet pipis, meminta izin ke ibunya untuk pergi ke kamar mandi. Ratna pun hanya menganggukkan karena posisinya sedang menidurkan Athala yang tadi terbangun saat turun dari travel.

Andini melihat tumpukan piring di wastafel, bahkan karena tidak muat di wastafel. Ada bak buat tempat piring kotor di bawah.

"Ya Allah, apa mereka nggak mencuci piring berhari-hari?" tanya Andini sendiri. Semua penghuni rumah ini memang pemalas semua. Hanya karena ibunya pergi, mereka pun makan dan meletakkan piring diatas wastafel tanpa mencucinya berhari-hari.

"Eh Andini sudah pulang? Memang kita nggak ada cuci piring. Biar menjadi tugas ibu mu. Enak aja setiap Minggu kita kasih uang, nggak kerjakan tugas sama sekali," jawab Linda atas pertanyaan Andini yang sempat ia dengar. Linda yang baru datang dan melihat Andini yang sedang berdiri dekat wastafel sambil mengomel karena melihat tumpukan piring kotor.

Linda langsung berlalu meninggalkan Andini, dan pergi ke kamar mandi. Andini yang melihat tantenya ke kamar mandi dulu, memilih duduk di kursi makan.

Gadis kelas 2 SMA tersebut melihat ruangan dapur, begitu berantakan. Ibunya tidak di rumah, semua kacau. Dan parahnya mereka mengandalkan ibunya untuk membereskan ini semua.

Andini tidak menanggapi ucapan Linda bukan karena dia mengiyakan apa yang di ucapkan tantenya tersebut. Tetapi karena ia tidak mau ribut. Andini capek baru saja sampai, dia ingin istirahat.

Tak berapa lama, Linda sudah keluar dari kamar mandi. Wanita itu hendak berjalan keluar, tapi ia berhenti tepat di depan Andini.

"Andini, nanti ngomong ke ibu kamu ya. Jangan lupa cuci baju-baju punya keluargaku. Bangun pagi-pagi," ucap Linda terus berlalu.

Andini hanya melirik dengan tatapan tajam kepada tantenya, kemudian ia pergi ke kamar mandi. Andini sudah tidak tahan pengin pipis, langsung berlari.

Setelah buang air kecil, Andini langsung masuk ke kamarnya. Tidak lupa mengunci pintu kamar sebelum tidur. Terlihat ibunya sedang mengeluarkan isi tas, dan memisahkan baju kotor dan baju yang bersih. Serta beberapa oleh-oleh yang Andini beli dari Jakarta.

"Ibu tidur dulu saja," ucap Andini kemudian langsung naik ke atas kasur. Andini duduk bersandar ke sandaran ranjang, sambil membuka ponselnya.

"Nanti lah Kak, setelah bereskan ini. Jadi nggak berantakan," jawab Ratna sambil terus membereskan isi tas.

"Ibu, tadi aku lihat wastafel penuh. Sepertinya mereka tidak mencuci piring selama 3 hari," cerita Andini menatap sang ibu yang masih sibuk dengan barang-barangnya.

"Besok lah Ibu cuci," jawab Ratna santai.

"Jangan Bu! Ibu bukan pembantu di rumah ini. Aku sudah bilang kan ke ibu. Mulai sekarang ibu tidak boleh memasakkan untuk mereka, mencuci baju mereka dan yang lain-lain," tegas Andini. Saat di Jakarta, Andini sudah meminta ibunya untuk bersikap tegas. Andini tidak ingin ibunya selalu dianggap babu di rumahnya sendiri. Cukup selama ini mereka melakukan ibunya semena-mena. 

"Tapi Kak, ibu takut! Kita kan masih menumpang di rumah ini," ujar Ratna dengan nada lirih.

"Ibu percaya sama aku kan? Ibu jangan mau di injak-injak terus. Kalau ibu masih seperti itu, berarti ibu nggak menghargai perjuanganku. Aku bekerja keras, tidur shubuh mencari uang agar ibu tidak dihina, tapi ibu dengan senang hati merelakan diri untuk dihina."

Ratna pun bangun dan menghampiri anaknya. Dengan senyuman, ia memeluk lengan anaknya yang sudah lebih besar darinya. "Maafkan Ibu ya Kak. Ibu janji mulai sekarang, ibu akan melawan."

"Kalau mereka usir kita, ibu ngomong ke aku. Biar aku yang menghadapi mereka. Ibu nggak perlu takut. Dari dulu kita diam diperlakukan seperti binatang oleh mereka, tapi sekarang kita harus bangkit Bu. Jangan seperti ini terus," tegas Andini. Ia tidak akan lelah mengingatkan ibunya untuk bersikap tegas.

"Iya Kak. Ibu janji akan melawan mereka."

Keduanya pun berpelukan. Andini yang sudah punya pekerjaan, meskipun hanya seorang konten kreator dan Brand Ambassador tapi ia yakin jika dirinya selalu semangat dan tidak malas akan menghasilkan. Dia berjanji akan melindungi ibunya, dan tujuannya sekarang adalah merebut rumah milik ayahnya yang ditempati nenek dan anak-anaknya.

Andini merasa kasihan pada ibunya. Bertahun-tahun, mereka memanfaatkan kepolosan ibunya. Rumah yang mereka tempati adalah hak ibunya. Sedangkan mereka yang selalu menganggap ibunya hanya menumpang, justru mereka lah yang selama ini menumpang.

_______

Pagi hari Ratna masak hanya untuk kedua anaknya. Lauknya pun tidak ia letakkan di lemari makan miliknya tetapi ia masukkan ke kamar. Andini sudah membeli tempat penyimpan makanan bersusun sehingga tidak menghabiskan banyak tempat, dan tertutup rapat.

Ratna juga sudah mencuci baju milik keluarganya saja. Semua pekerjaannya hari ini sudah beres. Biarkan wastafel menumpuk dan tumpukan cucian milik adik iparnya menumpuk. Ratna tidak akan peduli.

“Kak, Sarapan dulu,” ucap Ratna membawakan piring berisi nasi.

“Iya Bu,” jawab Andini.

Mereka pun makan di kamar, dengan lauk yang sudah Ratna masak. Andini begitu menikmati setiap masakan ibunya. Semua orang mengakui, kalau masakan Ratna memang enak.

“Masakan ibu memang selalu enak,” puji Andini sambil mengunyah makanan di mulutnya.

“Alhamdulillah kalau Kakak suka,” jawab Ratna dengan rendah hati.

“Kalau aku sudah punya modal. Kita buka warung makan ya Bu,” ucap Andini.

“Aamiin. Semoga di mudahkan ya Sayang.”

Tak berapa lama, makanan di piring Andini pun sudah habis. Ratna segera membawa piring kotor, dan mencucinya di kamar mandi. Karena wastafelnya penuh dengan piring kotor.

Setelah mencuci piring, Ratna bergegas kembali ke kamarnya sebelum ada yang melihat dirinya.

Andini yang selalu berangkat pagi dengan sepedanya sudah bersiap untuk berangkat. Tidak lupa mencium punggung tangan ibunya, dan mencium kening sang ibu. Gadis itu mengambil uang 50 ribu 1 lembar kepada ibunya.

"Ibu, ini untuk jajan Athala. Dan beli lauk nanti siang. Ibu nggak usah masak, beli lauk matang saja," ujar Andini sambil memberikan uang satu lembar tersebut.

"Ya Allah Kak, apa nggak kebanyakan?" tanya Ratna ragu untuk mengambil uang pemberian anaknya.

"Nggak Bu. Sekarang per hari aku akan kasih uang ibu 50 ribu. Kalau lebih, ibu simpan. Kalau kurang, ibu ngomong aku ya," ucap Andini.

Ratna pun mengambil uang yang diberikan anaknya tersebut. Ia bangga, bahagia, terharu, campur aduk perasaannya.

"Terimakasih Kak. Semoga rejeki kamu bertambah banyak," doa Ratna tulus.

"Aamiin. Aku berangkat dulu ya Bu."

“Ya,” jawab Ratna.

Wanita itu hendak mengantar anaknya keluar. Baru saja melangkah, terdengar suara teriakan Linda memanggil namanya.

"Mbak Ratna! Mbak Ratna!" teriak Linda dari luar.

Andini dan Ratna saling berpandangan mendengar teriakan wanita itu yang memanggil nama ibunya.

"Nenek lampir sudah beraksi Bu," ucap Andini memandang wajah ibunya.

"Iya Kak. Ibu harus gimana?" tanya Ratna dengan wajah panik.

"Jangan takut Bu. Kita harus berani melawan. Ibu percaya kan sama aku?”

Ratna pun mengangguk. Tiba-tiba pintu kamar pun terbuka dengan kasar.

"Mbak Ratna! Kenapa kamu belum memasak? Firda kan harus berangkat tapi belum ada masakan. Gimana sih?!" tanya Linda dengan nada membentak.

"Maaf ya Tante Linda, per hari ini Ibu sudah tidak memasakkan lagi untuk Tante Linda dan yang lain," jawab Andini dengan nada lembut.

Linda mengernyitkan dahinya mendengar jawaban anak tersebut. "Heh! Anak bau kencur! Jangan sok-sokan deh. Kamu dan ibumu itu menumpang disini. Enak saja nggak mau masakkan buat kami. Emangnya kalian mampu bayar sewa menumpang tinggal di rumah ini?" tanya Linda dengan nada merendahkan.

"Kita menumpang? Menumpang di rumah siapa?" tanya Andini dengan berani. Dia yang sudah bersiap, tinggal berangkat saja akhirnya terhalang karena harus meladeni wanita iblis, adik almarhum ayahnya itu.

Tiba-tiba Bu Rodhiah muncul dan berdiri di pintu, disamping Linda.

"Di rumahku! Kalian menumpang di rumahku. Dan itu tidak gratis! Paham!" pekik Bu Rodhiah dengan tatapan melotot.

Tidak lama, muncullah Andi yang sudah berseragam. Bersiap untuk bekerja, bertanya kepada adik dan ibunya. "Ada apa sih Bu, pagi-pagi sudah ribut begini."

Athala yang masih tertidur, terusik tidurnya dan hampir bangun. Ratna langsung naik ke atas kasur, dan menepuk-nepuk halus punggung anaknya agar tidur lagi.

Andini yang melihat adiknya terganggu, akhirnya mengusir mereka semua dari kamarnya.

"Keluar! Keluar semua dari kamarku. Kalau kalian mau mengajak ribut, di luar. Jangan disini!" usir Andini sambil berjalan menggiring semuanya agar keluar dan menutup pintu kamarnya dari luar.

Semua terkejut dengan sikap Andini yang begitu berani mengusir mereka dari kamar Ratna.

"Aku mau berangkat sekolah, kalau aku meladeni kalian, nanti aku terlambat," ucap Andini santai.

"Kamu ini memang songong Andini. Persis kaya ibumu!" nyinyir Bu Rodhiah.

"Ingat ya Nek, Tante Linda, Om Andi, mulai sekarang Ibuku tidak akan mencuci baju kalian lagi, dan juga tidak akan memasak untuk kalian lagi. Sampai sini paham kan ya," ujar Andini menatap satu persatu orang tua yang ada didepannya.

"Enak aja, kamu dan ibumu tinggal di sini gra..." ucapan Linda terpotong, karena Andini langsung menyela ucapan Linda.

"Gratis?" tanya Andini memotong pembicaraan Linda. "Ya iyalah gratis, aku dan ibuku kan tinggal di rumah ayahku' sendiri. Barangkali Tante Linda tidak percaya, bisa tanyakan langsung sama Nenek. Iyakan Nek, rumah ini rumah ayah? Ayahku yang beli rumah ini?"

Bu Rodhiah langsung menganga mendengar ucapan cucunya. Bagaimana mungkin cucunya yang satu ini tahu kebenarannya, kalau rumah ini memang milik ayahnya.

Linda dan Andi yang juga tahu kebenarannya pun hanya diam. Semua yang diucapkan keponakannya memang benar. Sertifikat rumah yang mereka tempati memang masih atas nama kakaknya, ayah dari Andini.

“Apa buktinya, kalau rumah ini milik ayahmu?” tanya Andi pura-pura tidak tahu.

“Mau bukti? Tunjukkan sekarang sertifikat rumah ini. Kita buktikan apakah rumah ini atas nama nenek atau nama ayahku.” Andini sengaja menantang semua yang ada di rumah ini. Meskipun dia masih terbilang muda, tapi Andini bukanlah anak bodoh.

Rodhiah hanya diam, tidak berani menjawab tantangan cucunya. Jika ia menunjukkan sertifikat, jelas-jelas dia akan kalah. Jadi lebih baik diam saja, daripada berkepanjangan.

Melihat semuanya hanya berdiam, tidak ada yang merespon. Andini berdecik, seakan meledek mereka.

"Sampai sini paham kan? Jadi kalian tidak boleh memperlakukan ibuku seperti pembantu lagi. Seharusnya dia lah ratu di rumah ini."

Andini berlalu meninggalkan ketiga orang tua tersebut. Dan keluar rumah. Ia harus berangkat sekolah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 76

    Kepala Bu Rodhiah terasa berdenyut saat mendengar bahwa bangunan kontrakan yang sedang dibangun di tanah sebelah tanah miliknya adalah milik Ratna dan Andini. Dadanya terasa sesak. Ia sulit mempercayainya.Menantu yang dulu miskin, yang sering ia pandang sebelah mata, kini benar-benar menjadi kaya raya? Tidak masuk akal! Lebih tepatnya, Bu Rodhiah tidak terima kenyataan itu.Ia duduk di kursi kayu di teras rumahnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke lengan kursi dengan wajah muram. Pikirannya kalut. Bisa saja ini hanya akal-akalan Ratna, batinnya. Mungkin saja wanita itu membayar laki-laki tadi untuk berbohong dan mengatakan kalau Ratna lah sebagai pemilik bangunan itu, hanya agar dirinya merasa iri dan tak bisa tidur nyenyak."Tidak, ini tidak mungkin!" gumamnya lirih.Hatinya terus bergejolak. Semakin dipikirkan, semakin ia merasa curiga. Jika benar Ratna membeli tanah itu, pasti kakaknya memberitahunya. Tapi ini tidak ada pun yang memberitahunya? Ia tak akan diam."Hera, ayo kita ke ru

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 75

    Matahari bersinar terik di langit siang, menyorot tanah yang berdebu dan panas. Suara palu berdentam bersahutan dengan deru mesin bor yang menggema di area pembangunan kontrakan. Ratna dan putrinya, Andini, berjalan menyusuri tanah yang masih setengah rata, membawa beberapa kantong plastik besar berisi makanan dan minuman. Keringat mulai mengalir di pelipis mereka, tetapi senyum tetap menghiasi wajah keduanya.Ketika mereka mendekat, seorang pria berbadan tegap dengan kaus lusuh yang basah oleh keringat menoleh. Wajahnya langsung berbinar begitu melihat mereka."Wah, Bu Ratna dan Mbak Andini datang!" serunya, mengusap tangannya yang berdebu ke celananya sebelum melangkah mendekat.Pria itu adalah Pak Sarman, mandor proyek yang mengawasi pembangunan. Para pekerja lain yang tengah sibuk memasang bata dan mengangkat semen menoleh, lalu menghentikan pekerjaan mereka sejenak.Ratna tersenyum hangat. "Iya, Pak Sarman. Saya bawakan makanan buat bapak-bapak semua. Capek, kan, kerja di bawah p

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 74

    Bu Rodhiah baru saja pulang dari rumah sakit ketika Hera menyambutnya dengan penuh semangat. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih, matanya sayu, dan langkahnya sedikit terseret. Beberapa jam di rumah sakit membuatnya kelelahan, terutama karena harus bergantian dengan Linda mengurus cucunya yang baru lahir, sementara Andi sedang keluar."Ibu capek banget ya?" tanya Hera, membawakan segelas air putih.Bu Rodhiah hanya mendesah panjang. Ia melepas kerudungnya dengan gerakan malas, lalu menghempaskannya ke kursi sebelum duduk dengan lemas. Setelah meneguk air, ia akhirnya membuka suara."Anisa baik-baik saja, bayinya juga sehat," katanya, suaranya terdengar lemah namun tetap mengandung nada kesal. "Tapi kamu tahu sendiri Anisa itu. Baru melahirkan saja sudah banyak maunya. Minta dirawat di ruang VVIP, katanya capek habis melahirkan. Habis itu, dia nyuruh-nyuruh Ibu dan Linda ini-itu, rempong sekali!"“Ya kan Lin?” tanya Bu Rodhiah pada Linda yang sedang berjalan menuju kamarnya.“Iya.

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 73

    Andi menundukkan kepala, menahan rasa gengsi yang sejak tadi bergolak dalam dadanya. Tangannya mengepal di atas pahanya, lalu membuka dan mengepal lagi, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.“Mbak…” suaranya terdengar ragu, hampir berbisik.Ratna menghela napas pelan, tetap duduk tenang di kursinya. Ada firasat tidak enak yang menyelinap di benaknya. Tatapannya mengamati Andi, adik iparnya yang kini tampak gelisah.“Ada apa?” tanyanya akhirnya.Andi menelan ludah, mengangkat wajah sekilas sebelum menunduk lagi. Ia mengatur kata-kata dalam kepalanya, takut terdengar memalukan.“Aku, ingin meminjam uang, Mbak.”Ratna mengangkat alisnya sedikit, meski ekspresinya tetap datar. “Untuk apa?”Adik iparnya itu tidak termasuk orang yang kekurangan. Ia tahu Andi memiliki pekerjaan tetap di sebuah bank, gajinya pun lumayan dibanding suami Hera dan Linda. Jadi, kenapa sampai harus meminjam uang? Atau memang ada sesuatu yang benar-benar urgent?“Anisa baru saja melahirkan,” jawab Andi pelan.Ra

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 72

    Andi menghela napas panjang, matanya menatap lekat istrinya yang duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Di sudut ruangan, beberapa kantong belanjaan berisi perlengkapan bayi berjejer rapi—baju-baju mungil, selimut lembut, box bayi, ayunan, hingga stroller mahal yang harganya pasti tidak murah.Jantungnya berdebar tak nyaman. Dari mana Anisa mendapatkan uang untuk membeli semua ini? Seingatnya, setiap bulan uang yang ia berikan selalu habis tanpa sisa."Dari mana kamu dapat uang buat beli semua ini, Nis?" tanyanya dengan suara yang berusaha ia tahan agar tetap tenang. Namun, gejolak dalam dadanya sudah tidak bisa dibendung.Anisa masih menunduk. “Uangku,” jawabnya pelan.Andi mengernyit. “Uang dari mana? Bukankah uang yang aku kasih tiap bulan langsung habis?”Anisa menggigit bibirnya. Tangannya meremas kain dress yang ia pakai, seolah mencari pegangan agar dirinya tetap kuat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tetap diam. Ia takut Andi curiga, dan mencari tahu darima

  • Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu   Bab 71

    Tok! Tok! Tok!Terdengar suara ketukan dari luar. Ratna yang sedang menggoreng pisang, segera mematikan kompor dan keluar. Ia membuka pintu, dan terlihat Erwin ada di depan pintu.“Assalamu alaikum Bu,” ucap Erwin kemudian mencium punggung tangan Ratna.“Wa alaikum salam. Duduk dulu Nak Erwin. Ibu lagi goreng gorengan pisang, sebentar ya,” ucap Ratna mempersilakan kemudian masuk ke dalam.Tak berapa lama, Ratna keluar dengan membawakan minuman dan gorengan pisang. Ia letakkan di atas meja tepat didepan Erwin.“Athala kemana, kok nggak ada suaranya,” ucap Erwin.“Dia sudah tidur dari sore. Sepertinya kelelahan.”“Athala sekarang setiap hari yang jemput Rio ya Bu.”“Iya. Andini sekarang ada tambahan pelajaran sampai sore, makanya yang jemput Rio. Tapi kalau Andini pulang cepat, selalunya Andini kok yang jemput.”“Andini nya sekarang mana Bu?” tanya Erwin.“Dia belum pulang. Biasanya dia pulang jam 9,” jawab Ratna."Setiap aku ke sini, kok Andini nggak pernah ada sih, Bu?" tanyanya, sedi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status