"Mama, aku laper!" rengek Firda sambil memegang perutnya.
Mendengar panggilan anaknya, Linda baru sadar kalau sudah siang, dan anaknya harus sarapan sebelum pergi. "Aduh, gimana ya?" Linda kebingungan. "Masak saja sana Lin. Aku ikut makan sekalian. Lapar juga nih," sela Andi yang juga kelaparan. "Aku kan nggak bisa masak, Mas," tutur Linda. "Masak telur atau apalah yang penting jadi makanan," ujar Andi. "Oke. Oke." Linda bergegas ke dapur. Sedangkan Bu Rodhiah sedari tadi duduk sambil melamun, pikirannya tidak tenang memikirkan ucapan cucunya tadi. Andini sudah mengetahui rahasia besar yang ia simpan. Bagaimana kalau ternyata Ratna tahu dan meminta haknya. Bagaimana kalau dia meminta rumah ini di jual? "Aaarrghh, tidak!!" Bu Rodhiah tidak berani membayangkan hal itu. Andi yang sudah selesai memakai sepatu melihat ibunya begitu aneh. Andi segera menghampiri Ibunya. "Kenapa Bu?" tanya Andi. "Andi! Andini kan sudah tahu kalau rumah ini itu milik ayahnya. Terus kalau Ratna nanti minta jual rumah ini gimana?" tanya Bu Rodhiah panik. "Tenang saja Bu, Mbak Ratna nggak akan melakukan itu. Sepertinya dari ucapan Andini yang bisik-bisik, ibunya belum tahu kenyataan kalau rumah ini milik Mas Anto. Buktinya sampai sekarang Mbak Ratna masih nurut kan sama kita, berarti karena dia nggak tahu apa-apa Bu. Yang bahaya itu Andini, Bu," jelas Andi. "Iya Ndi. Andini memang bahaya. Ibu cuma takut rumah ini di jual," panik Bu Rodhiah. "Tenang saja Bu, nggak mungkin dijual." Tiba-tiba terdengar suara Linda memanggil Andi. Linda membawakan dua piring sudah berisi nasi dan lauknya. "Mas Andi! Firda!" teriak Linda. "Apku mau makan dulu ya Bu,” pamit Andi dan meninggalkan ibunya. Firda keluar dari kamarnya dan duduk didepan televisi mengambil satu piring yang sudah disediakan mamanya. "Hoek! Hoek!" Firda memuntahkan suapan pertama yang ia makan. "Kenapa Fir?" tanya Linda dan mengambil piring yang ada dari tangan Firda. Sedangkan Andi yang hendak saja menyuapkan nasi ke mulutnya berhenti dan menatap keponakannya. Ia tiba-tiba saja menjadi ragu untuk makan. "Mama masak apa mau meracuni kita sih Ma?" tanya Firda mengambil tisu dan membersihkan sisa makanan yang ada di mulutnya. "Memangnya kenapa Fir?" tanya Linda. "Mamah cicipi aja sendiri!” jawab Firda. Linda pun sedikit memakan telur yang ia masak. Wanita itu pun memuntahkan makanan tersebut. "Memangnya telurnya kenapa Nda?" tanya Andi. "Telurnya bau busuk Mas, plus asin banget," jawab Linda. Andi meletakkan piring yang masih ia pegang dari tadi. "Lah kamu Lin, nggak bisa diharapkan." Firda dan Andi pun bangun dan memilih untuk langsung berangkat. Linda ke dapur dan meletakkan piring ke wastafel, tapi karena sudah penuh, jadi ia letakkan piring tersebut ke bak dibawah yang sudah disediakan untuk menampung piring kotor. Linda keluar dapur dan menghampiri ibunya. "Bu," panggil Linda. "Hemm," jawab Bu Rodhiah hanya dengan berdehem. Pikirannya lagi kacau, bahkan dari tadi ada orang mau beli ke warungnya saja, Bu Rodhiah enggan melayani. "Bu, piring kotor di belakang banyak banget. Ibu nanti suruh Mbak Ratna mencuci ya Bu," ujar Linda. "Jangan! Awas aja kamu menyuruh Ratna. Dah, kamu aja yang mencuci. Kaya gitu aja repot," sergah Bu Rodhiah. "Masa aku Bu?" tanya Linda tidak percaya. Apalagi piring kotor itu piring 3 hari yang lalu, baunya sudah tidak karuan. "Yasudah sana kamu barengan cuci sama Anisa kalau dia mau," jawab Bu Rodhiah kemudian bangun dari duduknya dan keluar. Linda mendengus kesal. Karena tidak mau mencuci piring itu sendiri. Akhirnya dia memilih untuk mengajak kakak iparnya. Baru saja Linda bangun dari sofa, terlihat Ratna keluar dari kamarnya sambil menggendong anak bungsunya. Linda memandang Ratna dengan tatapan sengit, sambil mengomel. "Senang lah sekarang jadi Ratu. Nggak mengerjakan ini dan itu. Awas aja ya kamu, Mbak." Ratna yang tidak mau ribut, memilih terus berjalan tanpa meladeni ocehan Linda. Linda semakin kesal karena Ratna tidak merespon sindirannya. Ia berjalan dengan emosi menuju ke kamar Anisa. Tok! Tok! Tok! Linda terus mengetuk pintu kamar Anisa. Tetapi tidak juga di buka. Linda terus berusaha mengetuknya lagi. Tak berapa lama, akhirnya pintu kamar pun terbuka. Terlihat sosok Anisa yang sedang menguncir rambut panjangnya dan wajahnya yang terlihat masih mengantuk. "Ada apa Lin?" tanya Anisa. "Mbak, ibu menyuruh aku dan Mbak Anisa mencuci piring yang ada di wastafel.” "Cuci piring?" tanya Anisa sambil melotot matanya tidak percaya. "Iya Mbak." "Nggak mau! Biasanya juga Mbak Ratna. Tunggulah sampai dia pulang nanti, biar dia aja yang cuci," ujar Anisa enteng tanpa beban. "Mbak Ratna sudah pulang semalam," jelas Linda. Baru saja membicarakan Ratna, tiba-tiba wanita itu muncul dengan menggendong Athala yang masih memakai handuk. "Nah itu orangnya. Umur panjang kamu Mbak Ratna," ucap Anisa sambil menunjuk ke arah Ratna yang sedang berjalan. Ratna yang mulai melewati mereka pun masa bodoh. Telinganya mendengar pembicaraan mereka. Ternyata mereka sedang membicarakan tentang dirinya, dan meributkan masalah cucian piring. "Mbak Ratna!" panggil Anisa. Ratna pun berhenti dan menoleh ke arah Anisa. "Kenapa Anisa?" "Setelah ini, Mbak Ratna langsung mencuci piring yang ada di wastafel ya Mbak. Terus jangan lupa, cuci baju juga. Nanti aku beri tambahan deh 20 ribu," ujar Anisa dengan sikap sombongnya. "Maaf ya Anisa. Per hari ini, aku sudah tidak mau mencuci baju kamu lagi. Bukan hanya mencuci saja, memasak pun aku sudah tidak mau. Sekali lagi maaf ya," jelas Ratna dengan tenang. Wanita itu berusaha tenang meskipun jantungnya berdebar cepat. "Sombong sekali kamu Mbak Ratna. Baru saja pergi keluar satu kali, pulang-pulang sudah langsung sombong aja. Memangnya kamu sudah nggak butuh uang lagi?" Tanya Anisa dengan senyum mengejek. "Bukannya aku nggak butuh uang, Anisa. Tapi aku mau fokus ke Athala dulu," jelas Ratna. "Oh begitu. Awas aja kamu. Nanti aku adukan ke ibu, biar kamu tahu rasa!" kesal Anisa. Ratna tidak pedulikan lagi ocehan Anisa. Ia melanjutkan jalannya, sambil mengajak ngobrol Athala. Bu Rodhiah yang kebetulan masuk ke dalam, melihat Ratna sedang berjalan menggendong Athala. "Ibu, lihat tuh Mbak Ratna. Sekarang sudah nggak mau ngapa-ngapain lagi disini. Katanya dia juga nggak mau mencuci dan memasak lagi!" tutur Anisa dengan nada agak keras. Ratna yang mendengar itu semua pura-pura tidak peduli. Bu Rodhiah menatap Ratna dengan tatapan sengit. Ia tidak suka menantunya itu santai-santai. Tapi mau menyuruh-nyuruh Ratna pun, Bu Rodhiah tidak berani. Cucunya, Andini lebih berbahaya. Wanita tua itu melanjutkan berjalan masuk ke dalam. Tujuannya masuk ke dalam rumah, hendak membangunkan anak bungsunya. "Kamu dan Linda sekarang cuci dan masak sendiri. Jangan suruh-suruh Ratna lagi," tegas Bu Rodhiah pada Anisa dan Linda. Anisa masih shock dengan peringatan mertuanya itu. Mulutnya masih terbuka tidak percaya sampai mertuanya itu berlalu. "Mbak Anisa mah nggak percaya ucapanku!” ujar Linda. "Ibu kenapa Lin?" tanya Anisa. "Kenapa Ibu kaya takut gitu sama Mbak Ratna?" Linda pun menceritakan tentang ancaman Andini kepada ibunya pagi tadi. Anisa yang mendengarkan cerita Linda, merasa sesak napas. "Terus sekarang bagaimana dong Lin?" tanya Anisa merasa bingung. "Aku juga nggak tahu Mbak," jawab Linda pasrah. "Aku punya ide Lin. Aku yakin dengan ini semua, Mbak Ratna pasti mau melakukan apa yang kita suruh," ucap Anisa dengan senyuman jahat.Sementara itu, di tempat lain, Hera menduduki bangku panjang di dalam pegadaian, menunggu antrian namanya dipanggil. Bu Rodhiah tetap setia duduk disamping anaknya."Semoga bisa dapat 10 juta ya," ucap Bu Rodhiah dengan hati penuh harap.“Dapat lah Bu, kalau cuma 10 juta aja mah. Ibu nggak usah khawatir,” jawab Hera dengan santai. Wanita itu begitu yakin, emas miliknya jika digadaikan akan bisa dapat lebih dari 10 juta, mengingat beratnya setiap barang cukup berat.Sambil menunggu namanya dipanggil, Hera sibuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan Bu Rodhiah terus menatap satu-persatu customer yang dipanggil kedepan.Hingga akhirnya nama Hera dipanggil. Bu Rodhiah begitu antusias, hingga tanpa ia sadari ia memukul Hera cukup keras.“Hera! Hera! Nama kamu di panggil,” ucap Bu Rodhiah sambil memukul anaknya yang sedang bermain ponsel.“Ih ibu apaan sih. Kenapa harus pukul-pukul? Aku juga dengar kali,” ke
Andini menatap ibunya yang sedang bersiap di depan cermin. Wajah Ratna tampak muram, sisa kesedihan dari kemarin masih tergurat jelas. Andini tahu betapa hancur hati ibunya ketika tidak diundang ke pernikahan adik ipar mereka. Meskipun Andini sudah mencoba menghibur ibunya, tapi tetap saja sang ibu masih sedikit tersinggung dengan keluarga ayahnya.Selama ini, Ratna lah yang mengurus rumah itu. Tapi sedikitpun tidak ada artinya di mata mereka. Bahkan Bu Rodhiah tidak pernah menganggap Ratna sebagai menantunya.Andini tidak ingin melihat ibunya terus larut dalam kesedihan. Hari ini ia bertekad membuat sang ibu tersenyum. Ia ingin memberikan kejutan untuk ibunya.“Ibu, ayo cepat, sudah hampir jam sepuluh. Athala juga sudah siap,” ujar Andini sambil menuntun adiknya yang sudah bersiap.“Lho, kita mau ke mana sih, Nak?” tanya Ratna, bingung.“Pokoknya ikut saja, Bu. Ini penting,” jawab Andini, tersenyum penuh arti.
“Ada apa sih Sayang, kok terdengar ribut-ribut?” tanya Alvin tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru masuk ke kamar.“Sertifikat rumah ibu nggak ada,” jawab Hera kemudian jalan menuju kasur dan duduk disamping suaminya.Dari semenjak pulang dari rumah orang tuanya, Alvin hanya bermain game di ponsel.“Pasti ada yang curi itu. Sertifikat rumah kan mahal kalau di gadai,” ujar Alvin.“Makanya itu. Kami sih menduga kalau Mbak Ratna yang ambil. Tapi dari tadi aku telepon anaknya, nggak diangkat-angkat,” keluh Hera.“Anaknya masih sekolah kan? Mungkin saja dia nggak bawa ponselnya,” ujar Alvin.Hera menoleh ke arah suaminya. Mungkin juga sih, ucapan Alvin. Kenapa daritadi Hera tidak kepikiran kesitu ya. Atau mungkin sedang pelajaran, makanya nggak di angkat panggilan darinya.“Terus gimana dong Sayang? Aku butuh sertifikat itu sekarang. Biar bisa cair hari ini juga,” ujar Hera meminta pendap
Bu Rodhiah mengacak-acak isi lemari kayu tua di sudut kamarnya, melongok ke dalam setiap laci, membuka setiap kotak, dan menggeledah setiap sudut. Peluh menetes di pelipisnya, sementara napasnya mulai tersengal. Kamar itu kini berantakan, dengan pakaian, 2dokumen, dan barang-barang kecil berserakan di lantai.Padahal, ia yakin betul. Sertifikat rumah itu seharusnya ada di dalam map cokelat, tersimpan rapi di dalam laci ketiga lemari itu. Namun, meskipun sudah memeriksa berkali-kali, benda itu tetap tak ditemukan.Dengan frustasi, Bu Rodhiah keluar dari kamar dan berteriak memanggil Hera. Ia sudah lelah mencari sertifikat dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Bu Rodhiah tidak bisa menemukannya."Hera! Heraaaa! Ke sini sekarang!" teriak Bu Rodhiah dengan suara tinggi, memecahkan keheningan rumah. Wanita itu masih berdiri didepan pintu kamarnya.Hera yang sedang berada di kamar, tergesa-gesa keluar dari kamar, d
“Ibu kenapa sedih?” tanya Andini pada ibunya yang sedari tadi hanya melamun saja.Ratna tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Ia pun tak tahu, kenapa harus sedih. Tapi memang itu yang ia rasakan sekarang.“Kemarin waktu di pasar, ibu ketemu nenek Tamy. Dia cerita kalau Hera akan menikah,” cerita Ratna.“Terus apa yang buat ibu sedih? Karena kita nggak diundang?” tanya Andini.Ratna mengangguk pelan, wajahnya murung mengingatkan itu semua. “Harusnya ibu sadar diri sih, kalau ibu itu bukan siapa-siapa. Tapi ibu sedih aja, kalau ternyata mereka benar-benar tidak pernah menganggap keberadaan ibu. Padahal kan bertahun-tahun ibu bersama mereka, dan selama ibu menjadi menantu nenekmu, ibu selalu menganggap nenekmu seperti orang tua sendiri.”Andini memeluk ibunya yang terlihat begitu sedih. Semua pengorbanan ibunya selama ini, memang tak pernah dianggap di mata mereka. Andini merasa kasihan pada ibunya.“
Setelah pertemuan dua keluarga antara keluarga Alvin dan Hera, akhirnya mereka memutuskan menikah dalam waktu dekat. Hera terus memaksa untuk menikah cepat, mengingat dirinya yang sudah hamil terlebih dulu.Hingga tibalah, hari pernikahan. Rumah Hera sudah diubah menjadi mewah. Dekorasi pengantin yang begitu indah, sengaja Bu Rodhiah pilih agar terlihat mewah di mata para tetangga dan saudara yang datang.Awalnya pihak keluarga Alvin, hanya menginginkan menikah di KUA saja, tapi Bu Rodhiah menolaknya dengan berbagai alasan.Alvin sudah menjanjikan pada Bu Rodhiah, bahwa dirinya akan mengganti uang dapur dengan nominal 20 juta. Tapi uang itu akan diberikan saat acara pernikahan.Singkat cerita, semua acara pernikahan sudah dilalui dengan khidmat. Akad nikah berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, setelah acara akad nikah, kedua orang tua Alvin langsung berpamitan pulang."Orang tua kamu kok langsung pulang sih, Say