Bab 3 Mencari-cari Alasan
"Maa...! Maa...!
Terdengar suara Davin dan Divan memanggil. Aku meninggalkan lantai atas dengan segera. Aku lebih khawatir pada dua buah hatiku.
"Maa, kita mau tidur, ngantuk. Mama habis darimana sih?"
"Nggak kemana-mana, tadi habis ngusir tikus."
Ku tuntun keduanya menuju kamar. Ku temani hingga mereka tertidur. Padahal di hati rasa memburu masih menyala-nyala. Arza, lelaki yang menikahiku delapan tahun silam, sekarang berbalik mengkhianati dengan menjalin hubungan kepada kakak iparku sendiri.
Dan juga Mbak Zorah, yang merupakan istri dari bang Ramond mendiang kakakku, secara sembunyi-sembunyi tega bermain-main dengan suamiku yang merupakan adik iparnya sendiri.
Selisih umurku dan Mbak Zorah terpaut jauh, dia 35tahun dan saya 26 tahun. Namun Mbak Zorah selalu rajin melakukan perawatan mahal yang rutin. Sehingga membuat tubuhnya senantiasa bersih dan terawat. Meskipun aku tidak tahu darimana saja dia mendapatkan uang. Biaya hidupnya saja kami yang menopang.
Dulu Zorah dan Bang Ramon kakakku menikah muda. Karena Mbak Zorah Hamil di luar nikah. Makanya selisih umur Debbie dan anak-anakku beda jauh.
Sedangkan Arza berumur 36 tahun. Selisih 10 tahun denganku. Dulu kukira dengan menikahi pria yang lebih dewasa akan mampu membimbingku. Ternyata tidak juga. Kematangan pikiran tidak bisa di ukur dari umur.
Sedangkan aku, juga biasa melakukan perawatan seperlunya saja. Tidak setiap hari juga pergi kesalon.
"Ma, Papa keluar sebentar ya, ada urusan penting."
Kepala Arza tiba-tiba nongol di pintu kamar. Mendengar Arza ingin keluar, kembali emosiku mulai menanjak ke ubun-ubun.
"Mau kemana lagi, Pa. Ini sudah mulai malam."
"Halaah jangan cerewet Ma, jadi istri. Suami mau keluar sebentar saja udah di serang. Namanya juga punya suami seorang Manajer, sudah pasti di anggap penting sama orang-orang."
"Penting sih penting. Tapi tidak ada juga kali manajer tugas di malam hari."
"Kamu mana tahu urusan pekerjaan seorang Manajer, toh kamu cuma karyawan kecil."
Deggh... Nada bicara Arza seakan menyudutkan profesiku.
"Maksudnya apa, Pa?"
"Maksudku, kamu seharusnya mengerti keadaan suami. Di saat merasa penat, suami butuh hiburan. Disaat capek suami butuh ketenangan."
"Kamu selalu mencari hiburan diluar, hiburan seperti apa yang kamu datangi selama ini? Apakah anak-anak tidak bisa menghibur hatimu?"
"Tidak sepatutnya kamu bicara seperti itu Nadine, anak-anak adalah anak-anak. Tidak usah disangkut pautkan sama hiburan. Tuh kalau aku keluar setiap malam juga, aku nggak minta uang sama kamu kan? Aku pakai uangku sendiri. Aku sama sekali tidak merepotkan kamu. Lalu apa pedulimu? Kamu mau mengekangku di rumah ini? Tidak bisa Nadine. Mau aku keluar mau berada di rumah itu hakku. Rumah ini juga rumahku."
"Aku curiga sama kamu, Pa. Setiap malam kamu keluar. Pulang kerja pun kamu selalu terlambat. Sedikit-sedikit alasanmu pekerjaan. Aku tahu pekerjaanmu di kantor tidak menyita waktumu seperti ini. Sampai-sampai berada di rumah bisa dihitung menitnya. Rumah Hanya seperti tempatmu makan, mandi, dan berganti pakaian saja. Selama ini aku tidak curiga sedikitpun sama kelakuanmu."
"Memang sudah seharusnya kamu tidak usah curiga padaku. Semua kebutuhanmu sudah aku cukupi, kebutuhan anak-anak dan rumah tangga juga demikian. Lalu apalagi yang ingin kamu protes. Seharusnya kamu bersyukur aku sudah cukup baik menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab untuk anak-anak."
"Kamu pikir tanggung jawab hanya untuk uang? kamu pikir anak-anak tidak membutuhkan perhatian?"
"Perhatian seperti apa lagi yang kamu mau? Kamu ingin aku hanya berdiam diri di rumah yang membosankan ini? Kamu bukan ratu yang harus ku patuhi, Nadine. Bahkan kamu yang seharusnya mematuhi ku sebagai kepala keluarga yang sudah bersusah payah menafkahi hidup kalian bertiga. Bisakah kamu sedikit mengerti keadaan suami? Jadilah seorang istri yang mengerti, Nadine. Tidak usah banyak mencampuri urusanku, lagi itu tidak merepotkanmu.
"Lalu kamu pernahkah mengerti akan istri? Atau kalaupun tidak, adakah kamu mengerti untuk anak-anak?"
"Jangan sangkut pautkan anak-anak denganku, Nadine. Kau adalah seorang ibu. Seorang ibu harus merawat dan mengayomi anak-anak. Sedangkan untuk seorang ayah, aku berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka."
"Begitu? Kau pikir semuanya cukup dengan uang yang kau berikan?"
"Sudah tentu."
"Coba kamu hitung Pa, angsuran mobil mu saja berapa sebulan?"
"Oh jadi sekarang kamu sudah pandai main hitung-hitungan begitu?"
"Oke kalau begitu kredit mobilmu biar kamu bayar sendiri. Biar kamu seberapa besar nilai uang yang kamu beri selama ini. Malas aku menutupinya."
"Hahaha.... kamu membanggakan gajimu yang secuil itu? Untuk jajan Davin dan Divan saja tidak cukup. Boro-boro mau nutupi kredit mobil."
"pokoknya aku tidak mau tahu, mulai bulan depan aku tidak akan membayar kredit mobilmu kalau kamu tidak mau membayarnya sendiri biarlah mobilmu ditarik.
"Kalau begitu jatah bulananmu juga harus di kurangi."
"Oke, asalkan jatah makanmu juga hilang."
"Istri tidak bisa membahagiakan hati suami kamu."
"Kamu juga suami tidak bisa membahagiakan hati istri."
"Istri tidak becus kamu. Sudah dikasih uang lebih dari cukup untuk kebutuhan masih saja protes. Mana tahan aku di rumah. Tidak betah. Kamu istri yang tidak berterima kasih, tidak bersyukur, menyesal saya menikahimu dulu. Lebih baik aku pergi sekarang."
Sambil berkata demikian, Arza keluar dengan kemarahan dan membanting pintu.
"Ddaar...!"
Suara bantingan pintu memekakkan telinga. Itu semua hanya alasannya saja. Paling-paling mau menemui mbak Zorah yang nyaris telanjang tadi.
Eh iya tadi aku tidak menyinggung masalah Mbak Zorah ya sama dia. Tapi ada bagusnya juga, dia akan menganggap aku masih belum tahu soal hubungannya dan Mbak Zorah.
Tidak kusangka Mbak Zorah yang selama ini ku tolong ternyata membalas dengan menarik perhatian suamiku. Apa yang harus aku lakukan untuk membalas perbuatan mereka ya?
Bersambung...
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.