Share

Bab 5

Bab 5

"Mau apa kamu, Mas? Lepaskan tanganku!" bentakku dengan tatapan nyalang. Mas Doni malah tersenyum sungging.

"Lepasin, Mas atau aku teriak?" seruku lagi sambil mencoba menarik tangan dati genggaman Mas Doni.

"Teriak aja, paling juga orang-orang akan mengira kamu yang ganggu aku sebab belum bisa move on dari aku." Mas Doni menyeringai nakal membuat emosiku semakin membuncah.

"Mau apa kamu, Mas?" Kuturunkan sedikit nada bicaraku, berharap bisa bicara baik-baik dengannya.

"Gitu, dong. Aku gak mau macem-macem, kok. Dengarkan baik-baik!" Raut wajah Mas Doni sangat serius.

"Aku gak pernah mencintai Rani. Dia yang ngejar-ngejar aku. Aku dijebak sama dia, Fin. Tolong, mengertilah," lanjutnya lagi.

"Dijebak apanya, Mas? Kalian melakukannya, sampai Rani hamil begitu. Kamu harus tanggung jawab dengan apa yang sudah kamu berbuat. Kalau kamu gak punya rasa apa-apa terhadap Rani, gak mungkin kamu dan dia berada dalam satu mobil. Itu mobil kamu, Mas. Bukan mobil Rani."

"Dia yang ajak aku pergi. Dia bilang mau beli kado untuk kamu, Fin."

"Berdua? Indehoy di dalam mobil?" Aku tertawa mendengar kata-kata Mas Doni barusan. Sebuah alasan klise.

"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas, Rani itu pemain. Dia sudah beberapa kali melakukan hal semacam itu," ucap Mas Doni terlihat sangat menyesal.

"Trus, kamu menyesal? Terlambat, Mas. Biar bagaimana pun keadaan Rani, mau dia perawan atau tidak saat bersamamu, aku tak perduli. Kamu sudah berkhianat, Mas. Kalau tidak ada komitmen sama-sama mau, kamu dan dia tidak akan berada dalam satu mobil dalam keadaan setengah bug*il dengan kondisi yang berantakan. Kamu pikir aku bodoh, Mas?" Aku menghela napas kasar. Kutatap tajam mata lelaki yang pernah bersemayam di dalam hatiku. Kini, menatapnya bagaikan melihat tumpukan sampah yang membuat aku jengah dan ingin cepat-cepat melempar pandangan ke tempat lain.

"Sudahlah, Mas. Aku muak dengan semua penjelasanmu. Hubungan kita sudah selesai. Semua uang yang kamu beri, juga sudah kami kembalikan. Kamu ... bukan siapa-siapaku lagi. Jangan ganggu ketentraman hidupku lagi!" Aku hendak beranjak dari tempat itu, tapi, tiba-tiba Mas Doni menarikku dan mendekapku dari belakang.

"Kamu mau teriak? Teriak aja!" Mas Doni tertawa sekuatnya.

"Lepas, Mas. Jangan macam-macam kamu!"

Aku membentak seraya meronta agar bisa lepas dari dekapan Mas Doni. Namun, dia semakin erat mendekapku dan mencoba menarik tubuhku ke dalam area kebun sawit. Malangnya, sejak tadi tak ada seorang pun yang lewat. Mungkin karena belum jam istirahat siang, orang-orang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

"Lepas, Mas. Kamu mau apa?" Mas Doni terus menyeret ke dalam perkebunan.

"Kamu harus jadi milikku, Fin." Mas Doni mendorongku ke tanah, hingga aku tersungkur dan hampir membentur batang pohon sawit. Aku berusaha bangkit, tapi Mas Doni langsung menubruk dan menindihku. Dia duduk di atas perutku, mencoba melepaskan jilbab yang kupakai.

"Kurang aj*r. Aku peringatkan sekali lagi, jangan macam-macam atau kamu akan menyesal, Mas!" Mas Doni tak perduli. Dia terus berusaha melepaskan jilbab itu.

Perbuatan Mas Doni sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kuhayunkan sebelah kakiku dengan kuat ke arah punggung Mas Doni. Lelaki itu tersungkur dan langsung ku dorong ke samping. Gegas, aku bangkit, berdiri dan pasang kuda-kuda.

Mas Doni mendekatiku dengan tatapan yang sangat menyeramkan seolah dia ingin menerkamku.

"Jangan coba-coba melawan, Fin. Kamu begitu mencintaiku. Ayolah ... aku yakin, setelah ini, kedua orang tuamu akan merestui kita. Rani akan kucerai setelah anaknya lahir."

"Gak sesederhana itu, Mas. Aku bukan perempuan murahan!" ucapku geram.

Semua sudah berubah. Mas Doni yang kukenal bukan seperti ini. Dulu dia begitu baik dan penyayang. Tapi sekarang, dia serupa anjing yang kelaparan.

Kedua tangan Mas Doni mencoba menyentuh pundakku, mungkin ingin mendorong tubuhku agar kembali jatuh. Namun, dengan sigap kutendang kaki kiri Mas Doni dan mengakibatkan dia terjatuh.

Tampaknya, dia tak menyerah. Dia bangkit dan langsung ingin menubrukku. Kuhayunkan satu kepalan tinju tepat ke wajahnya. Kutendang perut dan tubuhnya. Mas Doni meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Mau main-main denganku? Kamu salah orang, Mas," ucapku pelan, tapi penuh penegasan. Kuhadiahi dia dengan seutas senyum sungging sambil menepuk pipinya lumayan kuat.

Dia belum tahu ketangkasanku bermain silat. Memang, tak ada siapa pun di kampung ini yang tahu bahwa aku punya keahlian bela diri itu, selain keluargaku. Aku belajar ilmu silat di kegiatan Ekskul yang diadakan di sekolah saat aku masih SMA. Kebetulan, hanya aku dari kampung ini yang bersekolah di tempat itu sedangkan yang lain lebih memilih sekolah yang dekat dari sini.

Mas Doni masih berguling di tanah menahan sakit akibat tendanganku. Kuambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Bukan takut tak mampu melawannya, tapi aku takut khilaf dan menghajarnya lebih parah lagi.

"Dek Fina kenapa? Kok, kayak ketakutan gitu? Ada yang jahatin kamu, Dek?" Mas Adit bertanya dengan raut wajah heran. Posisinya sudah turun dari atas motor. Mungkin, sejak tadi dia berhenti di tempat ini.

"Gak papa, Mas. Udah aman," jawabku sambil melihat ke arah perkebunan.

"Beneran, gak papa? Ini motor siapa?" tanyanya lagi seperti menyelidik.

"Gak tau. Motor pekerja kebun, mungkin," jawabku asal. Aku tak ingin menceritakan kejadian tadi pada Mas Adit, takutnya ceritanya malah menyebar ke mana-mana dan orang-orang mengira, akulah yang ingin mengganggu Mas Doni.

"Oh, ya, sudah. Dek Fina mau pulang? Ayo, Mas antar." Akhirnya, Mas Adit berhenti menginterogasiku. Mungkin, dia juga tidak mau terlalu ikut campur dengan urusanku.

"Gak usah, Mas. Biar Fina jalan kaki, aja." Sebenarnya aku setuju jika Mas Adit mau mengantarku pulang agar Mas Doni tak mengejarku lagi, tapi ada rasa sungkan di hati untuk mengiyakan ajakannya.

"Gak papa. Mas lagi banyak waktu luang. Lagi gak ada kerjaan," sahutnya sambil cengengesan.

Aku tersenyum malu-malu, lalu naik ke atas motor tua milik Mas Adit.

Di sepanjang perjalanan, tak ada percakapan serius, hanya sebatas bertanya dan menjawab kegiatan sehari-hari yang kamu lakukan. Dari cara bicara dan sikapnya, kentara jika Mas Adit lelaki yang tau sopan santun. Sedikit pun dia tak menyinggung masalah lamarannya yang kutolak waktu itu. Mungkin dia malu atau memang tak ingin terlalu memaksa.

Tengah asik ngobrol, tiba-tiba kami dipepet oleh sebuah motor. Mas Doni mensejajari laju motor kami. Tatapannya begitu nyalang pada Mas Adit. Mas Doni yang mengendarai motor KLX itu menarik gas dengan sangat kasar hingga menimbulkan suara bising di telinga. Bahkan, sesekali motornya hampir menabrak motor kami. Entah apa yang ada dipikiran Mas Adit, dia sama sekali tak perduli dengan tingkah Mas Doni.

Tampaknya, sikap Mas Adit yang tenang dan tak perduli itu membuat Mas Doni semakin marah.

"Berhenti! Saya bilang berhenti!" teriak Mas Doni begitu keras.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status