Share

Bab 4

Bab 4

Kuatur napas sedemikian rupa untuk menetralisir degup jantung yang tak karuan. Kupejamkan mata sembari mengucap bismillah.

"Mohon maaf sebelumnya. Untuk saat ini, Fina belum bisa membuka hati untuk siapa pun, Pak. Kejadian kemarin, benar-benar bikin Fina trauma," jawabku lirih. Aku berbalik, lalu beranjak menuju kamarku.

"Owalah, Fin ... Fin! Sudah untung ada yang mau. Malah sombong. Sok nolak segala. Belagu kamu, Fin. Jangan jual mahal ... tar Jangan-jangan, si Fina masih mengharapkan Doni. Wah ... gak bisa dibiarkan ini." Terdengar suara Tante Marni mengataiku yang tidak-tidak. Kalau saja tidak ada tamu Bapak, sudah kuberi hadiah mulut lemesnya itu.

"Mar, sebaiknya kamu pulang saja, ya. Ini urusan keluarga kami. Gak baik kamu ikut campur. Langkah, rezeki, jodoh dan maut seseorang, itu urusan Allah. Kita gak bisa memaksa. Sebaiknya, kamu urus, aja si Rani, bentar lagi mau nikah, kan?" Jawaban Ibu benar-benar mewakili isi hatiku.

"Ya, sudah, kalau gak mau terima saranku. Aku pamit."

Terdengar suara hentakan kaki lumayan keras beradu dengan lantai rumah kami yang terbuat dari semen. Akhirnya, si tukang kepo pergi juga dari rumah ini.

Beberapa saat setelah kepergian Tante Marni, kedua tamu Bapak mohon pamit. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, aku tak dapat mendengarnya sebab mereka berbicara seperti orang berbisik-bisik.

"Fin, Pak Bagio mau pulang, nih. Ayo, salim dulu!" seru Ibu. Mau tak mau, aku keluar juga dari kamar untuk menemui mereka kembali.

"Mas pulang, ya, Fin. Semoga kita bisa ketemu lagi." Mas Adit mengulurkan tangan dengan tatapan yang membuatku salah tingkah.

"I—iya, Mas." Malu-malu, aku menyambut uluran tangan itu sembari melemparkan seutas senyum simpul.

Kedua laki-laki itu naik ke atas motor lalu pergi meninggalkan rumah kami.

"Pak Bagio itu sahabat Bapak dari kampung? Jadi, mereka naik motor itu dari sana? Kok, sanggup, ya?" tanyaku heran.

Setahuku, kampung halaman Bapak itu cukup jauh dari sini. Waktu aku masih kecil, Bapak sering memboyong kami pulang ke kampungnya. Namun, setelah Nenek dan meninggal dunia, kami tak pernah lagi ke sana. Butuh waktu sekitar dua hari naik bus ke kampung itu.

"Ya nggaklah. Dua hari yang lalu, ada keluarga mereka mengadakan resepsi pernikahan di kampung sebelah. Jadi, mereka sekeluarga berkumpul di sana. Sekalian, mereka mampir ke sini," terang Bapak, lalu kutanggapi dengan menyebut huruf 'O' agak panjang seraya mengangguk-angguk.

"Jadi, kapan kita pindah dari sini, Pak?" tanyaku lagi.

Bapak menghela napas, dalam, lalu berkata:

"Kita tunggu sampai Raka tamat. Tinggal setengah tahun lagi, kan? Kata Pak Bagio, orang yang beli rumah ini meminta kita untuk tetap tinggal di sini selama dia belum membutuhkan rumah ini. Tapi, Bapak segan. Jadi, Bapak bilang ke Pak Bagio, setelah Raka tamat, kita langsung mengosongkan rumah ini."

"Iya, Bapak benar," sahutku pelan.

*

Hari ini, kumulai kegiatan seperti biasanya, setelah satu minggu, aku hanya mengurung diri di rumah.

Aku adalah guru di sebuah PAUD yang ada di kampungku. Berbekal ijazah SMA yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis seusiaku di sini, aku diterima sebagai salah seorang pengajar di sekolah itu. Jangan ditanya seberapa besar gajinya, tak mencukupi, tapi aku sangat suka mengajar di sana sebab tingkah anak-anak seusia PAUD memberikan kebahagiaan tersendiri.

Setelah selesai mengajar, biasanya aku pulang bersama Bapak. Namun, hari ini, Bapak ada urusan penting, jadi tak bisa menjemputku.

Aku pulang dengan berjalan kaki. Lumayan jauh, sih, karena lokasi sekolah ada di ujung kampung, berbatasan dengan kampung tetangga, tapi tak apa, pelan-pelan pasti akan sampai juga. Lagi pula, aku harus mampir di warung Bu Siti yang tak begitu jauh dari sini. Ibu titip beberapa barang untuk dibeli.

Aku berhenti tepat di depan warung Bu Nining. Ragu, aku melangkah ke dalam warung itu. Ada Tante Marni dan Rani serta Ibu-Ibu lainnya. Aku takut, Tante Marni atau pun Ibu-ibu yang lain akan bertanya macam-macam padaku atau bahkan meledekku.

Kuatur napasku, lalu dengan penuh percaya diri, aku melangkah memasuki warung Bu Nining. Namun, baru saja aku berjalan, sebuah motor bebek model lama berhenti di belakangku. Refleks, aku menoleh ke belakang.

"Dek Fina ... mau belanja?" ucap lelaki yang mengendarai motor itu. Dia Adit, yang kemarin datang ke rumah.

"Iya, Mas," sahutku sembari tersenyum simpul.

"Duh ... yang dikawal calon suami. Kok, kayak malu-malu gitu."

Tiba-tiba terdengar suara ledekan dari dalam warung. Suara Tante Marni.

"Calon suami? Masak? Kasihan sekali nasibmu, Fin. Gagal nikah sama orang kaya, dapet ganti orang kere!" sahut Vera, sahabat Rani diikuti suara gelak tawa orang-orang di dalam warung itu.

"Gak papa kere, yang penting setia, ya, kan, Fin?" ucap Bu Nining membelaku.

"Emang bisa makan setia? Hidup itu butuh uang, Bu. Kalau sama-sama kere, ujung-ujungnya hidup susah, beli apa-apa gak bisa. Bertengkar tiap hari. Akhirnya, apa? Pisah ... cerai!" Rani menimpali dengan sombongnya. Anak itu, benar-benar sudah hilang rasa malunya.

Tiba-tiba, Mas Doni menghidupkan mesin motornya dan langsung tancap gas. Mungkin, dia malu jadi bahan omongan orang-orang di warung ini.

"Kalian ngomongin apa, sih? Tante Marni, Tante jangan nyebar fitnah yang bukan-bukan, ya! Urusin aja anak Tante yang sebentar lagi akan menikah dan langsung punya anak," sahutku kesal. Padahal, aku tak pernah berniat membicarakan soal kehamilan Rani, tapi kata-kata mereka membuat kesabaranku hilang seketika.

"Jaga mulutmu, ya, Fin. Apa maksud kamu ngomong gitu?

Kamu belum bisa terima kenyataan kalau ternyata Mas Doni lebih milih aku? Asal kamu tau, ya. Kamu tuh gak akan bisa bersaing denganku." Rani berkata dengan suara bernada sangat tinggi sembari berkacak pinggang dan sesekali menunjuk tepat di wajahku.

Betapa angkuhnya dia. Padahal, semua orang tahu bagaimana caranya dia merampas Mas Donu dariku. Tentu, aku tak akan bisa bersaing dengannya sebab aku bukan perempuan murahan seperti dia.

Kutanggapi kata-kata Rani dengan senyuman saja. Dasar, tak tahu malu.

Kuminta Bu Nining untuk segera mengemas barang-barang belanjaanku. Muak rasanya lama-lama berada di antara manusia-manusia julid dan tak tahu malu seperti Tante Marni dan anaknya. Sebaiknya, aku cepat-cepat pulang saja.

Gegas, aku melangkah meninggalkan warung Bu Nining. Tak kuperdulikan lagi kata-kata bernada meledek yang keluar dari mulut Tante Marni dan Rani. Aku mempercepat langkah agar segera menjauh dari mereka.

Aku terus berjalan menuju pulang. Aku melewati jalanan yang di kanan dan kirinya berjajar pohon sawit milik keluarga Mas Doni. Jalanan ini cukup sunyi, hanya sesekali ada orang yang lewat. Maklumlah, jalanan di kampung.

Sambil berjalan, aku terus memikirkan kejadian di warung tadi, tanpa sadar ada sebuah sepeda motor berhenti di depanku. Aku mengangkat wajah dan ternyata itu motor Mas Doni.

Berdesir darahku. Perasaanku jadi tak menentu. Mau apa Mas Doni menghentikanku di sini? Jangan-jangan ....

Aku mengedar pandangan ke sekeliling. Sayangnya tak tampak ada orang yang akan melewati jalanan ini. Aku mencoba menghindari Mas Doni, kulanjutkan langkahku. Namun, tiba-tiba dia mencekal tanganku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status