Share

Bab 6

Bab 6

Mungkin, karena merasa berbahaya, takut kalau motor yang kami tumpangi oleng dan jatuh sebab kaki Mas Doni berulang kali menendang ke arah motor, Mas Adit memperlambat laju motornya.

"Kita berhenti dulu, ya, Dek," ucapnya sebelum motor benar-benar berhenti.

"Untuk apa, Mas? Jangan pedulikan dia," sahutku panik. Aku takut terjadi perkelahian antara Mas Adit dan Mas Doni. Bisa berabe urusannya. Aku tak mau berurusan lagi dengan Mas Doni.

"Tapi, kalau begini terus, bisa bahaya, Dek. Kita bisa jatuh dari motor." Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mas Adit benar. Kami bisa babak belur kalau jatuh dari motor.

Mas Adit mengerem mendadak saat motor yang kami tumpangi sedikit oleng akibat tendangan kaki Mas Doni. Kami segera menepi lalu lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan motornya dan turun, lalu berjalan menghampiri Mas Doni. Tatapan matanya tampak tajam menatap lelaki yang hampir saja membuatku celaka, tadi.

"Ada masalah apa, anda menendang motor saya?" Begitu tenangnya Mas Adit bertanya pada Mas Doni.

"Aku gak punya urusan denganmu. Silakan pergi. Urusanku dengan Fina. Jangan ikut campur," sahut Mas Doni dengan suara bernada tinggi. Matanya nyalang menatap Mas Doni.

"Urusan kita sudah selesai, Mas. Jangan ganggu aku lagi." Aku membentak Mas Doni. Ingin saja aku menendang wajahnya agar dia sadar diri. Dia bukan siapa-siapaku lagi dan baru saja dia berbuat tak sopan padaku.

"Fin ... tolonglah. Beri aku kesempatan sekali ... saja. Aku akan buktikan semuanya, Fin. Please!" Mas Doni berlutut dengan kedua tangan menangkup di depan dada. Aku mencibir tingkah konyolnya itu.

"Kita pergi, Mas!" ajakku pada Mas Adit. Tak kuperdulikan bagaimana memelas dan menghibanya Mas Doni. Semua yang dia lakukan benar-benar membuatku mual. Muak. Benci.

Aku menarik tangan Mas Adit agar kembali ke motor dan melanjutkan perjalanan. Awalnya, dia tak mau, mungkin emosinya masih terpancing dengan tingkah Mas Doni. Namun, setelah kupaksa, akhirnya, lelaki yang terlihat pendiam itu nurut dan segera naik ke motor.

"Jangan pergi, Fin, aku masih mau ngomong sama kamu!" Mas Doni bangkit dan mengejarku, lalu menarik tanganku begitu kuat. Hampir saja aku jatuh dari motor.

"Hei ... Bung, kalau anda laki-laki kita duel satu lawan satu. Jangan beraninya sama perempuan!" Mas Adit berseru dengan begitu lantang pada Mas Doni seraya menunjuk tepat ke wajah lelaki tak tahu malu itu. Sepertinya, Mas Adit sudah hilang kesabarannya.

"Anda mau apa? Jangan ikut campur urusan orang!" Mas Doni langsung mengayunkan tinjunya ke wajah Mas Adit. Namun, dengan cepat Mas Adit menepis tangan itu. Punya bakat terpendam juga, rupanya.

Mas Adit turun lagi dari motor, lalu bersiap menghadapi serangan Mas Doni. Mas Doni kembali menyerang Mas Adit. Kali ini, dia mencoba mengayunkan kakinya untuk menendang Mas Adit. Namun, kaki itu ditangkap oleh Mas Adit dan membuat lelaki sampah itu jatuh terjerembab ke tanah.

Baru saja Mas Adit ingin memukul Mas Doni, tiba-tiba terdengar suara teriakan.

"Hei ... berhenti! Jangan sakiti Mas Doni!"

Rani yang sedang dibonceng oleh Tante Marni menunjuk-nunjuk ke arah kami. Begitu motor mereka berhenti, Rani segera melompat dari atas motor dan langsung berlari mendekati Mas Doni.

"Kamu gak papa, Sayang? Apanya yang sakit?" tanya Rani penuh perhatian. Dia mengusap wajah Mas Doni seraya memeriksa wajah dan bagian tubuh calon suaminya itu dengan raut panik.

"Seenaknya menghajar orang. Laporkan ke polisi, aja, Don. Biar dia tau rasa." Tante Marni ikut menimpali. Anak dan Ibu memang setali tiga uang. Sama-sama telat mikir. Belum tahu duduk persoalannya bagaimana, main lapor polisi, aja. Yang ada, calon menantunya yang akan dipenjara, nantinya.

Kemudian, Rani berdiri dan mendekatiku. Sorot matanya begitu tajam menatapku. Seolah aku ini semangkuk rendang yang ingin dia lahap.

"Kurang aj*r kamu, Fin. Pakai minta bantuan orang lain untuk mukulin Mas Doni. Kamu pikir, dengan menghajar Mas Doni seperti ini, dia akan berubah pikiran? Kamu paksa kayak gimana pun, Mas Doni gak akan balik sama kamu, Fin. Kita mau nikah loh, bentar lagi! Buka, dong mata kamu. Terima kenyataan. Mas Doni sudah jadi milikku. Ada janinnya di sini. Dasar, gak punya malu." Rani menunjuk perutnya yang belum kentara kalau sedang hamil.

"Idih ... somplak. Siapa juga yang memaksa Mas Doni untuk balikan sama aku. Yang ada, akunya yang takut sama laki-laki itu, Ran," sahutku sembari tertawa.

Tiba-tiba, Mas Doni berdiri dan langsung naik ke motornya. Tanpa basa-basi, dia menghidupkan mesin motor itu lalu tancap gas meninggalkan kami.

"Mas ... Mas Doni mau ke mana, Mas?" teriak Rani dengan suara cemprengnya. Dia tampak kesal sekali sebab Mas Doni yang dia bela ternyata pergi begitu saja.

"Lihat tuh, Mas Doni udah beneran gak suka sama kamu, Fin. Buktinya, dia langsung pergi, kan. Jangan ganggu dia lagilah! Apa kamu gak malu? Udah jelas-jelas dia mau nikah sama aku, kok, masih kamu kejar terus, sih. Awas, aja, kalau sampai kamu ganggu Mas Doni lagi, aku gak akan segan-segan kasih pelajaran buat kamu," lanjutnya lagi.

"Aku ... ganggu Mas Doni? Untuk apa? Gak ada untungnya sama aku, Ran. Sesuatu yang udah gak berguna, itu aku sebut sampah. Aku gak akan pernah mungut sampah untuk aku bawa pulang. Paham?"

"Eh ... sembarangan. Enak aja kamu ngatain Mas Doni sampah."

"Kenyataannya begitu, kan? Lagi pula kalian memang cocok. Sampah tempatnya pasti lobang sampah, kan?" Aku tersenyum sungging. "Ayo, Mas kita pergi. Gak ada gunanya meladeni mereka. Buang-buang waktu, aja." Kuajak Mas Adit segera beranjak dari tempat itu.

"Mama yakin, dia masih suka sama Doni, Ran. Kamu harus hati-hati." Tante Marni mencoba mempengaruhi Rani. Namun, aku enggan membalas mereka.

Aku naik ke motor Mas Adit. Lalu, kami beranjak meninggalkan Rani dan ibunya yang masih ngomel-ngomel tak jelas.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status