Share

Bab 7

Bab 7

Beberapa hari lagi, resepsi pernikahan Rani dan Mas Doni akan digelar. Hampir setiap hari Tante Marni datang ke rumah untuk menceritakan persiapan pernikahan putrinya tanpa rasa sungkan dan malu sedikit pun.

"Minggu depan Rani akan menikah dengan Doni. Kalian bantu-bantu, ya, Mbak. Fina harus datang. Harus lihat Rani dan Doni menikah. Biar gak kepikiran Doni terus, jadi gak ganggu-ganggu dia lagi. Tapi, Jangan bikin malu. Jangan sampai kamu curi-curi kesempatan untuk mendekati Doni. Kalian di belakang saja, bantu-bantu tukang masak sebab ini acara besar dan mewah, jadi gak bisa sembarangan. Tamunya juga orang-orang kaya," jelas Tante Marni dengan penuh semangat.

Aku hanya tersenyum sungging mendengar penuturan adik ipar Bapak itu. Kentara sekali bahwa Tante Marni memang sangat ingin menjadi besan keluarga Mas Doni.

"Tante gak takut Mas Doni akan melakukan hal yang sama dengan wanita lain seperti yang Mas Doni lakukan dengan Rani waktu itu?" tanyaku pura-pura serius.

Seketika wajah Tante Marni jadi merah padam.

"Jangan samakan nasib Rani sama kamu, Fin. Rani itu cantik, putih, glowing. Beda jauh sama kamu yang hitam, kucel bin dekil. Mana mungkin Doni tergoda pada wanita lain. Kalau iri, bilang aja. Kenapa? Kamu frustasi karena gagal nikah sama Doni? Kasian deh kamu, Fin," sahut Tante Marni sembari mencebikkan bibirnya. Kata-katanya membuatku tercengang. Seenaknya dia berkata begitu.

"Siapa yang iri, Tante? Aku malah bersyukur batal nikah sama Mas Doni. Dia gak pantas jadi suamiku. Dia pantasnya memang sama Rani. Mereka sama-sama ...." Tak kulanjutkan kata-kataku sebab Ibu mengerling tajam padaku. Aku menunduk sembari tersenyum.

"Sama-sama apa, Fin? Kamu mau bilang apa?" tanya Tante Marni penasaran.

"Sama-sama murahan!"

Seketika Tante Marni menjadi berang. Dia ngomel sambil mencaci makiku, lalu pergi begitu saja.

Aku muak mendengar ceritanya membangga-banggakan Rani yang akhirnya bisa menikah dengan mantan tunanganku itu. Jika dari awal aku tahu bahwa Mas Doni bukan lelaki setia, bahkan aku tak akan pernah mau menjalin hubungan dengannya.

Aku akan buktikan jika aku benar-benar sudah tak mengharapkan Mas Doni lagi.

*

Hari pernikahan Rani dan Mas Doni pun tiba. Sebagai tetangga dan masih terkait ikatan keluarga, kami sekeluarga turut serta membantu acara yang diadakan oleh Tante Marni. Lagi pula, aku ingin menunjukkan pada Rani dan para warga di kampung ini bahwa aku tak sedikit pun iri jika kini, Ranilah yang akhirnya menikah dengan Mas Doni.

Aku mencoba menguatkan hati dan bersikap biasa saja, walau sebenarnya ada luka yang menganga di dalam hati melihat lelaki yang seharusnya menjabat tangan Bapak, kini, menjadi suami adik sepupuku. Namun, semua sudah kuikhlaskan. Mungkin, ini yang terbaik bagiku. Mas Doni bukanlah jodohku.

"Yang sabar, Fin. Orang sabar disayang Allah. Suatu saat pasti kamu dapat lelaki yang lebih baik dari si Doni itu." Kata-kata Bu Endang—tetangga yang tinggal di rumah kontrakan milik Pak RT di samping rumah kami—membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum menanggapi ucapannya.

"Iya, Bu. Fina ikhlas, kok. Kalau gak jodoh, kita mau bilang apa?" sahutku disertai tawa seadanya. Bu Endang ikut tertawa.

Sebenarnya, aku merasa risih jadi gunjingan ibu-ibu yang ada di rumah tante Marni ini. Walaupun sebagian besar dari mereka memihak padaku, tapi tetap saja aku jadi serba salah. Sebagian dari mereka menatapku, lalu berbisik-bisik. Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini.

"Semuanya harap tenang, ya! Acara ijab qabul akan segera dimulai," ucap seorang wanita yang mirip dengan Tante Marni. Mungkin, adik atau kakaknya.

Ruangan dapur yang tak terlalu luas seketika hening. Semuanya fokus memasang telinga untuk mendengarkan ijab qabul melalui pengeras suara itu.

Berdesir darahku ketika mendengar kalimat sakral yang diucapkan oleh seorang lelaki paruh baya. Kalimat itu seharusnya diucapkan oleh Bapak sembari menjabat erat tangan Mas Doni beberapa waktu lalu.

Kutahan bulir bening yang hampir meluncur di sudut mata. Bukannya aku menyesali pernikahanku yang gagal dengan Mas Doni. Namun, biar bagaimana pun, dia pernah bersemayam dalam relung hatiku. Tak gampang menghapus semua kenangan indah yang pernah kami ukir bersama.

Kini, resmi sudah Mas Doni menjadi suami Rani. Aku cemburu? Tentu tidak. Justru, aku bersyukur tak jadi menikah dengannya setelah tahu bagaimana sifat asli lelaki itu.

"Fin ... ngelamun, aja." Aku terkesiap ketika Bu Neneng menyikut lenganku.

"Dengerin itu! Namamu yang disebut sama si Doni," ucap Bu Neneng sembari tertawa geli membuatku jadi bingung.

Orang-orang di sekeliling kami kembali berbisik-bisik sembari menatapku dengan tatapan aneh.

Kembali, kalimat sakral itu terdengar. Kali ini, aku fokus mendengarkan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Finaya binti ...."

Mas Doni kembali menyebut namaku. Sontak orang-orang di sini menatapku curiga membuatku jadi serba salah.

"Astagfirullah ... kamu serius mau nikahi Rani apa gak, sih, Don? Atau jangan-jangan kamu cuma mau mainin anak saya, aja!" Terdengar suara Tante Marni marah-marah.

"Sekali lagi kita ulang, ya. Kamu harus fokus, Don. Yang kamu nikahi namanya Rani bukan Fina," ucap suara seorang lelaki.

Ruangan kembali riuh dan ramai dengan suara-orang yang mungkin sedang membicarakan aku. Terserah, apa yang mereka pikirkan tentangku. Toh, bukan aku yang membuat masalah dalam hal ini.

Tak mau mendengar dan ikut dalam pergulatan gosip yang sedang beredar, aku bergegas bangkit dari tempat dudukku, lalu beranjak keluar dan pulang ke rumah.

*

Setelah acara resepsi selesai, rumah Tante Marni kembali lengang. Satu per satu para tamu dan tetangga pulang ke rumah. Namun, Ibu belum juga pulang. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Kulangkahkan kembali kakiku ke rumah itu. Atas perintah Bapak, aku harus menjemput Ibu.

Sesampainya di rumah Tante Marni, keadaan benar-benar sepi. Entah ke mana perginya semua kerabat Tante Marni. Yang tersisa hanyalah dua orang petugas cuci piring yang sedang merapikan piring-piring yang sudah dicuci.

Aku masuk ke rumah Tante Marni lewat pintu belakang yang masih tersisa. Ternyata, Ibu sedang memanaskan lauk pauk yang masih tersisa.

Tak ada tempat duduk di ruangan dapur ini, jadi aku beranjak menuju ruang makan. Lalu, aku duduk di salah satu kursi di sana. Kumainkan jari di atas layar gawai untuk menghilangkan rasa kantuk. Satu persatu tayangan video pada aplikasi tik tok kutonton untuk membuang rasa jenuh. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang pria yang berdiri di belakangku.

"Masih di sini, Fin? Nungguin Mas, ya?"

Berdebar dadaku, bukan debaran kasmaran, tapi karena terkejut. Mas Doni langsung duduk di sebuah kursi di sebelahku. Spontan aku bangkit dan ingin cepat-cepat pergi meninggalkannya. Aku takut akan menimbulkan masalah jika ada yang melihat kami berdua seperti ini.

"Mau ke mana, Fin?" Mas Doni mencekal tanganku. "Mas mau ngomong sesuatu sama kamu," ucapnya lagi.

"Lepas, Mas. Aku gak mau Rani salah sangka sama aku." Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Mas Doni. Namun, tenaga laki-laki itu terlalu kuat. Jika kupaksakan malah akan menimbulkan keributan.

"Fin, Mas masih sangat mencintaimu. Mas mohon kamu bisa terima Mas lagi seperti dulu. Jika kamu mau, Mas akan tinggalkan Rani, detik ini juga," ucapnya pelan. Memelas.

"Sekali nggak, tetap nggak, Mas. Lepaskan tanganku. Aku mau pulang!" Aku membelak sembari terus berusaha melepaskan tangan Mas Doni.

"Tolong, jangan siksa Mas seperti ini, Fin. Mas benar-benar memohon maafmu. Mas khilaf, Fin. Mas gak ada niat sedikit pun untuk menikahi Rani. Entah setan apa yang merasuki Mas waktu itu. Mas benar-benar menyesal."

Mata Mas Doni berkaca-kaca. Kelihatannya, dia memang sangat menyesal. Namun, semua sudah terjadi, bahkan jika dia mengeluarkan air mata darah sekali pun, aku tetap tak akan menerimanya kembali.

Aku menggeleng sembari terus berusaha melepaskan tanganku.

"Hei! Apa-apaan kalian?" Terdengar teriakan Rani dari arah ruang tengah.

Bersambung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status