"Ah, Jeng Wulan siapa yang bilang? Si Nia itu bisanya cuma nyusahin saja, ini murni rumah hasil kerja keras anak saya, eh kok malah di luar begini, ayo masuk, kita makan dulu, kebetulan sudah saya pesankan di restoran yang terkenal itu lho, bahkan bungkusnya saja belum saya buka, karena gak keburu waktunya, yuk masuk, o iya tapi maaf ya Jeng semua, sofanya tidak ada, yang lama sudah saya buang soalnya sudah jelek, saya udah pesan yang baru tapi katanya baru ada minggu depan. "
"Ah Jeng Nita, santai aja gak masalah lagian gak usah repot-repot,"
"Gak ngerepotin kok Jeng Sari, kan sesekali saja, " jawab Bu Nita sembari menaikkan lengan bajunya sedikit ke atas sehingga menampakkan kilauan gelang emas yang digunakannya.
"Duh, duh, duh, emas baru nih ye, perasaan pas reunian di rumah Jeng Sari kemarin gak pake yang ini kan ya, " ucap Bu Neni saat melihat gelang besar yang digunakan Bu Nita.
"Hehehe biasalah, Jeng, jatah wajib tiap bulan dari anak kebanggaanku, ayo kita makan, tapi saya minta bantuannya tolong bantu bukain bungkus nya ya. "
"Oke deh Jeng, duh pasti enak banget nih masakannya. "
"Iya dong, saya sudah pesan menu istimewa lho, ada ikan gurame bakar, udang cumi dan capcay lho. "
Mereka pun serempak membuka bungkus makanan yang bertuliskan Niajib Restaurant. Tapi mata para wanita kadaluarsa itu seketika membulat saat melihat isi dalam bungkusan tersebut, tak terkecuali juga Bu Nita, bahkan matanya hampir keluar karena terkejut melihat isinya.
"Lho, Jeng Nita, mana nih makanan yang tadi Jeng sebutkan? " ucap Bu Sari.
"Iya, kok cuma ini, makanan apaan nih, " timpal Bu Neni sembari menatap malas hidangan di depannya. Mereka menatap tak percaya hidangan yang Bu Nita sajikan. Kotak pembungkus makanan nya sih memang bertuliskan Niajib Restaurant, dan mereka memang tau itu adalah restoran terkenal di kota mereka, dan mereka juga tau jika restaurant itu adalah milik menantu Bu Neni, tapi kenapa isinya hanya, tumis tauge, telur ceplok, lalapan jengkol dan pete, sayur asam juga ikan asin, menurut teman-teman Bu Nita makanan itu adalah makanan kampung, tentu saja itu tak selevel dengan lidah mereka.
"Jeng Nita, kamu mau menghina kami ya! " sentak Bu Wulan, ia merasa tak terima dengan jamuan yang di suguhkan oleh Bu Nita pada mereka.
"Eng, enggak kok jeng-jeng, mana mungkin saya pesenin semua makanan kampung itu buat jeng-jeng semua, tadi beneran kok saya pesannya makanan mahal semua."
"Alah, tapi mana buktinya, sekarang yang ada di meja makanan kampung, udah ah yuk jeng semua kita pulang aja, " ajak Bu Asri.
"Duh Jeng semua, jangan pulang dong, saya beneran gak tau kalau isi makanannya begituan, ini pasti kerjaannya menantu saya, kan itu restaurant miliknya. "
"Kurang ajar banget sih menantu Jeng Nita itu, kalay saya yang punya menantu begitu udah saya pecat jadi menantu, " sungut Bu Wulan.
"Yah mau gimana lagi Jeng Wulan, anak saya cintanya sama itu perempuan, sebenarnya saya juga sudah malas, hidup nya udah kayak benalu bagi anak saya. " ucap Bu Nita dengan memainkan drama nya.
"Yaudahlah kali ini kita maafin, tapi nggak untuk besok-besok, yaudah yuk mending kita keluar aja, kita cari cafe atau resto gitu buat nongkrong ," ajak Jeng Neni.
Keempat teman Bu Nita pun bergegas melangkah meninggalkan rumah Nia, tapi mereka kembali menoleh kebelakang saat mendapati Bu Nita masih terdiam di tempatnya.
"Lho, Jeng Nita kenapa diam aja? Gak mau ikut kita-kita? " tanya Bu Asri.
"Maaf Jeng semua, bukannya tak mau, tapi em, anu, uang saya sudah habis, semua keuangan di pegang sama menantu saya, dan jatah saya sudah habis untuk dibelikan makanan yang tadi saya pesan untuk jeng semua. "
"Lho, jadi makanan yang jeng sediakan tadi beli sama menantu jeng? "
"Iya jeng, mana mau menantu saya itu diminta barang sedikit saja, takut rugi, " kembali Bu Nita membuat fitnah murahan untuk menantunya.
"Duh, miris banget ya masa tua Jeng Nita, punya anak tampan dan mapan tapi naas, karena punya menantu model begitu, " cibir Bu Neni.
"Udah gak usah pikirin soal bayar makanan, nanti kita-kita yang bayarin, sesekali kan gak apa, ya kan jeng semua," ucap Bu Asri yang di angguki teman-temannya.
"Tapi saya gak enak lho Jeng, "
"Udah ayo ah, keburu sore. '
Saat mereka akan beranjak dari tempat mereka berdiri tiba-tiba dua orang suruhan Nia kembali datang untuk membawa barang-barang yang ada di kamar Indra dan Nia yang memang belum sempat diambil karena di kunci sewaktu Indra pergi .
"Lho, lho, lho, kalian mau apa lagi kesini? " tanya Bu Nita dengan wajah pucat pasi, bagaimana tidak, kedatangan orang suruhan Nia tepat disaat teman-teman Bu Nita sedang berkumpul.
"Lho, Jeng, mereka siapa? "
"Kita kembali lagi mau ambil barang yang ada di kamar atas, kan tadi pas kami datang ngambil sofa dan yang lainnya kamar atas dikunci. "
"Lho, jadi sofa Jeng Neti disita? Tapi tadi Jeng Neti bilangnya dibuang karena mau ganti yang baru?" tanya Bu Wulan.
"Ah, ini, anu kok Jeng, memang saya buang, dan mereka ini memang saya suruh buat ambip barang-barang yang sudah gak layak, karena kita mau ganti semuanya. "
"Enak aja ngatain kita orang suruhanmu, kita ini debt collector kesini mau menyita barang-barang dirumah ini karena sudah menunggak cicilan," ucap salah satu orang suruhan Nia. Sementara itu Bu Nita semakin pucat karena kedoknya terbongkar didepan teman-temannya.
"Apa? Cicilan? Maksudnya jeng Nita punya hutang dan gak bisa bayar gitu? "
"Ya, seperti itu."
"Bukan saya yang hutang Jeng semua, tapi menantu gila saya yang hutang. "
"Terus kenapa barang di rumah Jeng Nita yang diambil kalau menantu Jeng yang hutang? "
"Karena memang rumah ini atas nama Bu Nia, dan Bu Nia sudah menjaminkan sertifikat rumah ini beserta isinya kalau dia tak sanggup bayar, makanya kami kemari may ambil barang-barangnya misal nanti belum cukup juga ya terpaksa mau sita rumahnya. "
"Lho, Jeng, bukannya ini rumah milik anakmu? Kenapa jadi atas nama Nia? Jadi benar apa yang aku bilang kalau sebenarnya ini tuh rumah menantu jeng Nita? "
Saat itu juga darah mengalir dari kedua pangkal pahaku hingga aku berteriak kesakitan. Saat itulah para penjaga bergegas membawaku ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit aku segera dibawa ke ugd, tapi karena aku merasa sudah tidak kuat menahan sakit yang menjalar di sekitar tubuhku tiba-tiba saja pandanganku berubah menjadi gelap.Saat aku terbangun, aku sudah mendapati diriku di ruangan perawatan dan ada dua orang penjaga yang menungguku disana. Waktu kuraba perutku aku mulai gusar karena mendapati perut yang sudah rata."Bu, bayiku mana?" ucapku kala itu pada penjaga yang belum menyadari kalau aku sudah sadar."Bu Risa sudah sadar? Tunggu sebentar ya, biar saya panggilkan do
Selama ini pun aku tak pernah mencari dimana keberadaan Risa, jujur hingga saat ini apa yang Risa perbuat masih belum bisa kumaafkan, saat ini aku hanya fokus untuk kerja dan mencari uang, rencananya aku ingin meminta Mimi untuk kembali melanjutkan kuliahnya yang sempat terputus karena keterbatasan biaya."Ndra, ini surat apa?" ucapan Ibu membuyarkan lamunanku tentang kehidupan masa laluku. Saat ini aku baru saja pulang dari tempatku bekerja."Oh, ini undangan pernikahan Nia dengan Pak Angga, Bu.""Maksud kamu Nia mantan istri kamu?" ucap Ibu sembari meletakkan teh hangat di depanku, Ibu memang selalu membuatkanku teh atau kopi setiap aku baru pulang kerja."Iya, Bu, Nia mantan istriku
Flashback onSeperti biasa jika pagi sudah menyapa, seorang penjaga yang ditugaskan Tedi untuk bersih-bersih rumah atau markas Tedi dan teman-temannya akan datang untuk membersihkan rumah tersebut, mulai dari menyapu, mengepel, serta mencabuti rumput jika dirasa sudah panjang. Tapi pagi itu si penjaga rumah dikejutkan dengan sosok Tedi yang sudah terbujur kaku tanpa mengenakan busana, dengan mata melotot bibir mengeluarkan busa putih, serta warna kulit yang sudah mulai membiru pucat."Allahu Akbar! Mas Tedi, kenapa, Mas!" pekik si penjaga tersebut. Usahanya membangunkan Tedi sia-sia, karena Tedi sudah tak lagi bernyawa.Tak mau dijadikan salah tuduhan si penjaga itu pun bergegas untuk menghubungi pihak kepolisian. Tak berselang lama, para polisi yang di tel
Sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi, aku bergegas memakai pakaian ku, lalu dengan setengah berlari aku masuk kedalam mobil Tedi dan menghidupkan mesinnya lantas segera pergi dari rumah terkutuk itu.***Aku berhenti di jalanan yang lengang, aku melihat kanan, kiri dan sekitarnya, saat kurasa aman ku matikan mesin mobil lalu aku keluar dari mobil, kubuka penutup tangki bensin mobil lalu aku menghidupkan korek api yang terbuat dari kayu, lantas aku memasukkannya ke dalam tangki bensin. Dengan cepat aku berlari menjauh dari mobil Tedi sebelum mobil itu meledak, meskipun dengan susah payah aku berlari karena perutku yang buncit ini, hingga akhirnya...Duar....Mobil meledak dan terbakar, a
"Oke deh, aku tunggu," ucapku dengan sumringah. Mataku berbinar membayangkan aku kembali akan menikmati barang itu, entah kenapa hari ini aku hanya ingin ditemani oleh Tedi saja, mungkin ini bawaan si utun di dalam rahimku.Bergegas aku mengganti pakaianku, aku tak terbiasa memakai pakaian seksi jika sedang keluar maupun di rumah. Itu sengaja kulakukan agar orang lain tidak tahu sepak terjangku. Terkadang aku merutuki kebodohan orang-orang yang dengan berani live di sosmednya saat mereka tengah berpesta sabu, justru mereka membuat lubang neraka untuk hidup mereka sendiri, itulah aku katakan mereka itu bodoh bin tolol. Kalau mau bersenang-senang ya sah-sah saja, tapi tak perlu juga di umbar seperti itu hingga seluruh dunia tau kebodohan mereka.Ah, kenapa aku jadi mikirin hal gak jelas kayak tadi sih, inilah akibat k
"Nia? Kamu tak apa?" tanyaku khawatir."Yang kamu lihat gimana?""Maaf, aku gak sengaja, sini aku bantu," ucapku mencoba membantu Nia berdiri tapi tanganku ditepis oleh Nia."Gak usah, aku bisa sendiri!"Kutarik kembali tanganku dari depan Nia, Nia kini sudah berdiri dihadapanku, ah, betapa indah makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini."Mas, minggir aku mau lewat!" suara Nia membuyarkan pikiranku yang entah lagi kemana. Kumiringkan tubuh ku agar Nia bisa lewat, hingga saat tubuh Nia berada didekatku tanpa sengaja aku mencium aroma shampo dari rambut Nia yang tergerai indah. Dan refleks aku memeluk Nia dan membenamkan kepalak