Share

Bab 2

 

 

Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang, karena jika ngebut aku takut anak-anak dalam bahaya dan kami mati konyol bersama, lalu Mas Ferdi dan Susan akan hidup bahagia, oh tidak.

 

Meski sekuat tenaga kutahan tapi tetap saja cairan dari mata dan hidung berdesakan keluar, dan membuat konsentrasi mengemudikan motor ini sedikit buyar.

 

"Mama sedih ya Ayah nikah lagi," ucap Desti anak sulungku yang berumur sembilan tahun.

 

Saat ia turun dari motor matanya langsung menatapku dengan iba dan bisa jadi ia juga menyadari tangisanku saat mengemudi motor tadi,  anak sulungku sudah besar dan ia cukup mengerti seperti apa isi hati ibunya.

 

Kuukir sebuah senyuman menandakan jika aku baik-baik saja, meski dalam hati aku ragu jika senyuman ini tak dapat menghalau kekhawatiran anakku.

 

"Mama ga apa-apa, Kak, sana masuk dan jangan jajan sembarangan ya."

 

Putriku itu menundukkan wajah beberapa saat lalu menatapku lagi, dapat kulihat di matanya yang jernih ada buliran-buliran bening.

 

"Ayah sudah jahat ya sama Mama, sama kita semua." Dalam satu kedipan air matanya luruh , aku tak kuasa melihat kesedihan itu lalu memalingkan wajah ke arah kiri di mana para pedagang berjejer rapi.

 

"Yang penting Kakak masih bisa sekolah, bisa jajan dan beli apa yang Kakak mau, sudah sana masuk, Mama mau anterin Dita dulu takut telat."

 

Usai mencium punggung tanganku Desti langsung masuk ke gerbang sekolah dengan langkah pelan, tak berlari seperti biasanya.

 

Aku menghirup napas dan mengembuskannya dengan kasar, aku harus kuat demi ketiga putriku.

 

Bisa saja aku bercerai dari Mas Ferdi. Namun, bagaimana nasib ketiga anakku? Dan juga nasib adik dan ibuku, mereka semua bergantung pada Mas Ferdi.

 

Apalagi rumah ibu hanya memiliki dua kamar, aku tak mungkin kembali ke rumah itu dan menjadi bebannya, sedangkan Mas Ferdi hidup bahagia dan berkecukupan dengan wanita lain.

 

Bisa dikatakan aku belum siap hidup mandiri karena membesarkan tiga anak itu tidak mudah di zaman sekarang, apalagi kondisi ekonomiku yang tak memungkinkan.

 

Dan setelah banyak perjuangan yang aku dan Mas Ferdi alami rasanya tak rela jika tiba-tiba aku harus pergi dan mengalah begitu saja, Apalagi restoran yang dulunya hanya warteg kecil itu kini telah berkembang pesat, dan restoran itu bisa maju tentu karena campur tanganku yang pandai memasak.

 

Sudah rutinitas setiap hariku menunggu Dita di sekolah TK, berkumpul dan berbagi cerita dengan ibu-ibu lain.

 

"Eh Mbak Yuli, sini deh saya mau tanya." Mbak Mona salah satu orang tua murid TK di sini menghampiriku.

 

Aku duduk di sebuah bangku khusus penunggu murid, dari cara bicara dan sorot wajah sepertinya ia ingin membicarakan sesuatu yang serius.

 

"Tadi sebelum berangkat aku lihat di rumah Mbak ada perempuan muda wara-wiri minta tolong, dia siapa ya?"

 

Dadaku seperti dihantam palu, apa yang harus kukatakan? Tak mungkin kurangkai kebohongan karena pada ujungnya akan ketahuan juga, tapi jika kukatakan sebenarnya siap-siap saja menerima tanggapan pedas ibu-ibu.

 

"Emm, terus setelah itu apa yang terjadi, Mbak?" tanyaku lagi.

 

Tak dapat dipungkiri hati ini sedikit resah memikirkan apa yang terjadi pada Mas Ferdi, bagaimana jika ia langsung mati lalu aku dan Susan saling berebut warisan, meski secara hukum aku lebih berhak karena istri sah, tapi aku yakin perempuan itu tak mungkin mengalah dan pergi dengan tangan kosong saja.

 

"Abis itu sih tetangga pada dateng terus Mas Ferdi dibawa pakai mobil, dan perempuan itu juga ikut, emang dia siapa? Saudara Mas Ferdi?"

 

Ah, ibu-ibu memang selalu ingin tahu apa yang terjadi pada kehidupan orang lain.

 

"Dia istri kedua Mas Ferdi, biarlah, Mbak, biar perempuan itu saja yang urus." 

 

Aku memasang wajah datar sementara Mbak Mona membulatkan mata dengan mulut menganga, untuk beberapa saat ia seperti menahan napasnya.

 

"Hah istri? Mbak serius? Mereka kapan nikahnya?" Bola mata Mbak Mona masih membulat seolah akan menelanku hidup-hidup.

 

Dan aku yakin setelah ini berita pernikahan kedua Mas Ferdi akan tersebar luas.

 

"Katanya sih seminggu yang lalu."

 

"Ya ampuun, kok Mbak bisa biasa aja? Kalau aku mungkin udah ... heuh!" Ia menonjokkan kepalan tangan kirinya pada telapak tangan kanannya.

 

Sementara aku hanya tersenyum masam, ia mungkin melihatku perempuan kuat dan tegar padahal sisi hatiku sangat rapuh seperti ranting kering.

 

"Gimana lagi, Mbak, Mas Ferdi sangat ingin punya anak lelaki, dan aku ... Mbak 'kan tahu aku ga mungkin bisa ngasih lagi."

 

Aku menunduk menahan cairan yang hendak menerjang keluar, lalu kurasakan tangan ini hangat karena genggaman jemari Mbak Mona begitu kuat.

 

"Yang sabar, Mbak, setiap manusia pasti akan diuji, dan Tuhan yang memberikan ujian ini tahu kalau Mbak bisa kuat dan bangkit."

 

Aku mengangguk walau sebenarnya kata-kata semanis apapun tak bisa mengobati pedihnya hati ini.

 

Selama mengobrol dengan Mbak Mona ponselku tak berhenti bergetar, usai Mbak Mona pergi aku merogoh benda pipih tersebut.

 

Banyak sekali panggilan dan pesan dari Mas Ferdi, dan sepertinya yang menelpon itu bukan Mas Ferdi melainkan Susan, ia juga mengirim banyak pesan.

 

[Mbak, Mas Ferdi dibawa ke rumah sakit]

 

[Gimana ini dia ga punya BPJS, dan harus secepatnya bayar administrasi kalau engga dia ga bisa ditangani]

 

[Mbak susul aku sekarang ya ke rumah sakit Kartika]

 

[Mbak, Mas Ferdi kena serangan stroke]

 

Senyumku mengembang saat membaca pesan Susan yang terakhir.

 

Akhirnya kamu terkapar lemah, Mas, dan kamu tak bisa lagi menyakitiku.

 

Usai Dita pulang sekolah kuantar ia dan Dara ke rumah ibu, rasanya tak tega membawa kedua anak itu menemui ayahnya, biarlah mereka tak harus tahu masalah kedua orang tuanya.

 

"Mbak kenapa baru datang sih?" 

 

Tak kutanggapi ocehan maduku itu, tetap melangkah lurus menghampiri brankar yang ditempati Mas Ferdi.

 

Bibir Mas Ferdi terlihat miring, tangan kanannya pun tak bisa lagi bergerak ataupun hanya sekedar diluruskan, kata suster separuh tubuh Mas Ferdi kaku tak bisa digerakkan.

 

Mampuss!

 

"Memangnya semalam Mbak ngasih daging apa sih? Daging kambing 'kan?" tanya Susan dengan nada sedikit membentak.

 

Aku menoleh lalu menatapnya dengan datar.

 

"Bukankah semalam kamu juga ikutan makan, bisa bedain 'kan mana daging sapi mana daging kambing."

 

"Tapi kalau itu daging sapi kenapa tensi darah Mas Ferdi bisa tinggi lalu kena stroke?" Ada kilatan amarah yang terpancar dari wajah perempuan itu.

 

"Ya mana kutahu, seharusnya aku yang bertanya, semalam apa yang kalian lakukan hingga Mas Ferdi bisa seperti ini, bukankah semalaman dia bersamamu?"

 

Kubalas ia dengan tatapan tajam, seketika Susan menelan ludah lalu membuang pandangan.

 

"Kalau gitu Mbak sudah bayar administrasinya? Dari tadi suster nanyain terus."

 

Hah, ia malah mengalihkan pembicaraan.

 

"Tentu saja sudah. Sudah kubayar lunas memakai uang yang ada di dalam brankas."

 

Aku tersenyum sinis sambil melirik ke arah Mas Ferdi yang sedang memperhatikan perdebatan kami, kulihat dadanya naik turun dengan mata melotot dan wajah memerah.

 

"Hah ... uang di brankas? Bukankah Mas Ferdi bilang uang itu akan dipakai bulan madu kita ke Bandung?" 

 

Bukan hanya Mas Ferdi yang terkejut, kini kulihat Susan pun hampir kehilangan oksigen.

 

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
enak aja emangnya uang moyangmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status