Share

Bab 2

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-14 11:28:07

 

 

Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang, karena jika ngebut aku takut anak-anak dalam bahaya dan kami mati konyol bersama, lalu Mas Ferdi dan Susan akan hidup bahagia, oh tidak.

 

Meski sekuat tenaga kutahan tapi tetap saja cairan dari mata dan hidung berdesakan keluar, dan membuat konsentrasi mengemudikan motor ini sedikit buyar.

 

"Mama sedih ya Ayah nikah lagi," ucap Desti anak sulungku yang berumur sembilan tahun.

 

Saat ia turun dari motor matanya langsung menatapku dengan iba dan bisa jadi ia juga menyadari tangisanku saat mengemudi motor tadi,  anak sulungku sudah besar dan ia cukup mengerti seperti apa isi hati ibunya.

 

Kuukir sebuah senyuman menandakan jika aku baik-baik saja, meski dalam hati aku ragu jika senyuman ini tak dapat menghalau kekhawatiran anakku.

 

"Mama ga apa-apa, Kak, sana masuk dan jangan jajan sembarangan ya."

 

Putriku itu menundukkan wajah beberapa saat lalu menatapku lagi, dapat kulihat di matanya yang jernih ada buliran-buliran bening.

 

"Ayah sudah jahat ya sama Mama, sama kita semua." Dalam satu kedipan air matanya luruh , aku tak kuasa melihat kesedihan itu lalu memalingkan wajah ke arah kiri di mana para pedagang berjejer rapi.

 

"Yang penting Kakak masih bisa sekolah, bisa jajan dan beli apa yang Kakak mau, sudah sana masuk, Mama mau anterin Dita dulu takut telat."

 

Usai mencium punggung tanganku Desti langsung masuk ke gerbang sekolah dengan langkah pelan, tak berlari seperti biasanya.

 

Aku menghirup napas dan mengembuskannya dengan kasar, aku harus kuat demi ketiga putriku.

 

Bisa saja aku bercerai dari Mas Ferdi. Namun, bagaimana nasib ketiga anakku? Dan juga nasib adik dan ibuku, mereka semua bergantung pada Mas Ferdi.

 

Apalagi rumah ibu hanya memiliki dua kamar, aku tak mungkin kembali ke rumah itu dan menjadi bebannya, sedangkan Mas Ferdi hidup bahagia dan berkecukupan dengan wanita lain.

 

Bisa dikatakan aku belum siap hidup mandiri karena membesarkan tiga anak itu tidak mudah di zaman sekarang, apalagi kondisi ekonomiku yang tak memungkinkan.

 

Dan setelah banyak perjuangan yang aku dan Mas Ferdi alami rasanya tak rela jika tiba-tiba aku harus pergi dan mengalah begitu saja, Apalagi restoran yang dulunya hanya warteg kecil itu kini telah berkembang pesat, dan restoran itu bisa maju tentu karena campur tanganku yang pandai memasak.

 

Sudah rutinitas setiap hariku menunggu Dita di sekolah TK, berkumpul dan berbagi cerita dengan ibu-ibu lain.

 

"Eh Mbak Yuli, sini deh saya mau tanya." Mbak Mona salah satu orang tua murid TK di sini menghampiriku.

 

Aku duduk di sebuah bangku khusus penunggu murid, dari cara bicara dan sorot wajah sepertinya ia ingin membicarakan sesuatu yang serius.

 

"Tadi sebelum berangkat aku lihat di rumah Mbak ada perempuan muda wara-wiri minta tolong, dia siapa ya?"

 

Dadaku seperti dihantam palu, apa yang harus kukatakan? Tak mungkin kurangkai kebohongan karena pada ujungnya akan ketahuan juga, tapi jika kukatakan sebenarnya siap-siap saja menerima tanggapan pedas ibu-ibu.

 

"Emm, terus setelah itu apa yang terjadi, Mbak?" tanyaku lagi.

 

Tak dapat dipungkiri hati ini sedikit resah memikirkan apa yang terjadi pada Mas Ferdi, bagaimana jika ia langsung mati lalu aku dan Susan saling berebut warisan, meski secara hukum aku lebih berhak karena istri sah, tapi aku yakin perempuan itu tak mungkin mengalah dan pergi dengan tangan kosong saja.

 

"Abis itu sih tetangga pada dateng terus Mas Ferdi dibawa pakai mobil, dan perempuan itu juga ikut, emang dia siapa? Saudara Mas Ferdi?"

 

Ah, ibu-ibu memang selalu ingin tahu apa yang terjadi pada kehidupan orang lain.

 

"Dia istri kedua Mas Ferdi, biarlah, Mbak, biar perempuan itu saja yang urus." 

 

Aku memasang wajah datar sementara Mbak Mona membulatkan mata dengan mulut menganga, untuk beberapa saat ia seperti menahan napasnya.

 

"Hah istri? Mbak serius? Mereka kapan nikahnya?" Bola mata Mbak Mona masih membulat seolah akan menelanku hidup-hidup.

 

Dan aku yakin setelah ini berita pernikahan kedua Mas Ferdi akan tersebar luas.

 

"Katanya sih seminggu yang lalu."

 

"Ya ampuun, kok Mbak bisa biasa aja? Kalau aku mungkin udah ... heuh!" Ia menonjokkan kepalan tangan kirinya pada telapak tangan kanannya.

 

Sementara aku hanya tersenyum masam, ia mungkin melihatku perempuan kuat dan tegar padahal sisi hatiku sangat rapuh seperti ranting kering.

 

"Gimana lagi, Mbak, Mas Ferdi sangat ingin punya anak lelaki, dan aku ... Mbak 'kan tahu aku ga mungkin bisa ngasih lagi."

 

Aku menunduk menahan cairan yang hendak menerjang keluar, lalu kurasakan tangan ini hangat karena genggaman jemari Mbak Mona begitu kuat.

 

"Yang sabar, Mbak, setiap manusia pasti akan diuji, dan Tuhan yang memberikan ujian ini tahu kalau Mbak bisa kuat dan bangkit."

 

Aku mengangguk walau sebenarnya kata-kata semanis apapun tak bisa mengobati pedihnya hati ini.

 

Selama mengobrol dengan Mbak Mona ponselku tak berhenti bergetar, usai Mbak Mona pergi aku merogoh benda pipih tersebut.

 

Banyak sekali panggilan dan pesan dari Mas Ferdi, dan sepertinya yang menelpon itu bukan Mas Ferdi melainkan Susan, ia juga mengirim banyak pesan.

 

[Mbak, Mas Ferdi dibawa ke rumah sakit]

 

[Gimana ini dia ga punya BPJS, dan harus secepatnya bayar administrasi kalau engga dia ga bisa ditangani]

 

[Mbak susul aku sekarang ya ke rumah sakit Kartika]

 

[Mbak, Mas Ferdi kena serangan stroke]

 

Senyumku mengembang saat membaca pesan Susan yang terakhir.

 

Akhirnya kamu terkapar lemah, Mas, dan kamu tak bisa lagi menyakitiku.

 

Usai Dita pulang sekolah kuantar ia dan Dara ke rumah ibu, rasanya tak tega membawa kedua anak itu menemui ayahnya, biarlah mereka tak harus tahu masalah kedua orang tuanya.

 

"Mbak kenapa baru datang sih?" 

 

Tak kutanggapi ocehan maduku itu, tetap melangkah lurus menghampiri brankar yang ditempati Mas Ferdi.

 

Bibir Mas Ferdi terlihat miring, tangan kanannya pun tak bisa lagi bergerak ataupun hanya sekedar diluruskan, kata suster separuh tubuh Mas Ferdi kaku tak bisa digerakkan.

 

Mampuss!

 

"Memangnya semalam Mbak ngasih daging apa sih? Daging kambing 'kan?" tanya Susan dengan nada sedikit membentak.

 

Aku menoleh lalu menatapnya dengan datar.

 

"Bukankah semalam kamu juga ikutan makan, bisa bedain 'kan mana daging sapi mana daging kambing."

 

"Tapi kalau itu daging sapi kenapa tensi darah Mas Ferdi bisa tinggi lalu kena stroke?" Ada kilatan amarah yang terpancar dari wajah perempuan itu.

 

"Ya mana kutahu, seharusnya aku yang bertanya, semalam apa yang kalian lakukan hingga Mas Ferdi bisa seperti ini, bukankah semalaman dia bersamamu?"

 

Kubalas ia dengan tatapan tajam, seketika Susan menelan ludah lalu membuang pandangan.

 

"Kalau gitu Mbak sudah bayar administrasinya? Dari tadi suster nanyain terus."

 

Hah, ia malah mengalihkan pembicaraan.

 

"Tentu saja sudah. Sudah kubayar lunas memakai uang yang ada di dalam brankas."

 

Aku tersenyum sinis sambil melirik ke arah Mas Ferdi yang sedang memperhatikan perdebatan kami, kulihat dadanya naik turun dengan mata melotot dan wajah memerah.

 

"Hah ... uang di brankas? Bukankah Mas Ferdi bilang uang itu akan dipakai bulan madu kita ke Bandung?" 

 

Bukan hanya Mas Ferdi yang terkejut, kini kulihat Susan pun hampir kehilangan oksigen.

 

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
enak aja emangnya uang moyangmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Tamat

    Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 42.B

    Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 42.A

    "Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 41.B

    (POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 41.A

    (POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 40.B

    (PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 40.A

    (POV FERDI)Tengah malam pintu rumahku ada yang mengetuk beberapa kali, Susan terus saja menepuk pundakku menyuruh membuka pintu."Apaan sih ah, kamu aja sana yang buka!" Aku menepis kasar tangannya."Ya ampun, Mas! Aku tuh lagi hamil besar mau istirahat, aku capek ngurusin kedua anak kamu dari pagi, bisa ga sih ngertiin aku!" bentaknya.Sudah tujuh tahun kami membina rumah tangga ini, bukan semakin harmonis malah semakin sering cekcok setiap hari Setiap hari selalu saja ada hal yang membuat kami ribut, entah itu anak-anak, masalah keuangan dan yang lainnya.Sampai saat ini aku masih berharap anak yang ada di rahim Susan itu perempuan, aku melarang Susan bertanya soal jenis kelamin anak itu ketika di USG, aku takut saja jika bayi dalam perutnya itu perempuan lagi."Ya udah iya aku yang buka!" tegasku sambil menyibak selimut.Aku berjalan menghidupkan lampu menuju pintu, saat pintu terbuka nampaklah lima orang lelaki bertubuh tinggi besar, aku tahu dia anak buah Vincen.Vincen adalah

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 39.B

    Pemuda bernama Haikal itu bersalaman denganku dan ibu, lalu kami masuk ke dalam.Setelah ganti baju aku menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu, termasuk keterlibatan Mas Ferdi dengan penculikan Desti.Jelas saja ibu dan Lira murka mendengar lelaki itu dalang dari masalah ini."Dasar laki berotak batu," ujar Lira."Ini ga bisa dibiarkan, Yul, si Ferdi itu harus dipenjara," ujar ibu."Iya sebaiknya kamu segera melapor ke polisi, Yul," ujar Andre "Baiklah, aku ambil hape dulu ya."Menelpon seorang penyidik yang menangani kasus penculikan Desti, mereka menyuruhku datang ke kantor siang ini dengan Desti untuk memberi keterangan."Gimana? Udah di telpon?" tanya Andre."Sudah, aku sama Desti disuruh ke kantor nantisiang.""Baiklah, aku pulang dulu ya, nanti siang aku kemari lagi nemenin kalian.""Terima kasih ya." Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang kuberikan untuk membalas jasanya.Jika Andre bukan orang kaya sudah pasti aku memberikan sejumlah uang besar padanya, tetapi tentu saja And

  • Kubuat Suamiku LumpuhĀ Ā Ā Bab 39.A

    "Bagaimana ini?" tanyaku dengan napas terengah-engah menatap Andre "Mana pistolmu, Yul?"Aku langsung memberikan benda itu padanya dan entah apa yang ingin ia lakukan, lalu kaca mobil di sampingnya terbuka setengah, seorang lelaki langsung menodongkan pedang ke leher Andre."Serahkan harta berharga kalian!" tegas laki-laki yang mengenakan penutup kepala tersebut.Perlahan Andre mulai menodongkan pistol ke orang tersebut, dapat kulihat mata lelaki itu membeliak."Jangan halangi jalanku kalau tidak kepalamu akan pecah saat ini juga," ancam Andre.Lalu di belakang mobilku terdengar seorang berteriak lantang."Mundur! Mereka membawa pistol!"Hingga akhirnya segerombolan orang itu kembali mundur dan masuk kembali ke semak-semak, aku bernapas lega ternyata tidak ada pertumpahan darah lagi.Orang-orang itu ketakutan melihat senjata api di tangan Andre dan sepupunya di mobil belakang, jika pun melawan mereka sudah pasti kalah.Mobil kembali melaju membelah jalanan malam tanpa arah tujuan."M

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status