Share

Ijab Kabul

Penulis: Asih Leta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-12 23:21:49

"Kita harus berdiskusi tentang pernikahan dadakan sekaligus palsu ini," jelas Dewa.

"Diskusi?" Melati mengerutkan keningnya karena kebingungan.

"Jujur aku tak mau menikah dengan wanita jelek sepertimu. Kekasihku saja cantik-cantik. Tapi, ayah mengancam ku akan menghapus namaku dari warisannya dan ini juga demi mama," jelas Dewa.

"Lalu?" Melati masih belum paham maksud Dewa.

"Aku sudah membuat surat perjanjian pra nikah untuk kita." Dewa memberikan sebuah kertas yang sudah ia isi.

"Apa ini?"

Melati membelalakan matanya saat membaca isi dari perjanjian pra nikah itu.

Perjanjian pra nikah.

1. Bersikap layaknya suami istri pada umumnya di depan orang tuaku.

2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.

3. Tak ada malam pertama dan seterusnya. Tapi jika aku khilaf, tolong dimaklumi.

"Perjanjian macam apa ini, kenapa poin ketiga seperti ini?" Protes Melati.

"Ya, aku lelaki normal jika suatu saat aku khilaf mau bagaimana lagi," dalih Dewa.

"Ini tidak adil! Ini namanya mau menang sendiri, tak ada jaminan jika terjadi sesuatu padaku!" Melati kembali protes karena poin keempat hanya menguntungkan Adam.

"Tenanglah, jika aku melanggar aturan ini. Kita tambahkan poin saja, bagaimana?" tawar Dewa.

Melati terdiam cukup lama sambil memikirkan menyetujui atau tidak perjanjian gila itu.

"Poin ke empat adalah. Jika pihak lelaki melanggar perjanjian ini dan si wanita hamil maka perjanjian pra nikah ini batal. Pihak lelaki akan tanggung jawab," ucap Dewa.

"Bagus, jadi aku tidak takut lagi jika kau melanggar." Melati sangat lega karena poin ke empat menguntungkan dia.

"Jadi Kau setuju?" Dewa memastikan.

"Oke, aku setuju," jawab Melati.

Melati pun menyetujui perjanjian itu dan segera menandatangani perjanjian itu.

Karena dia tak mungkin mau menolak permintaan tuan Adam. Dia sudah terlanjur banyak berhutang budi padanya.

"Oke, deal!" Dewa mengulurkan tangannya.

"Deal!" Melati menjabat tangan dewa, menandakan jika perjanjian pra nikah itu sah.

"Siang ini ikut aku menemui mama," pinta Dewa.

"Oke," jawab Melati sambil berlalu pergi.

Jam makan siang pun tiba, Dewa membawa Melati untuk menemui ibunya di rumah.

"Bos, apa yang harus saya katakan pada ibumu?" tanya Melati takut salah bicara nanti.

"Jawab pakai logika. Jelas semua yang mama tanyakan mengenai hubungan kita. Bilang saja kita sudah berhubungan satu tahun yang lalu, selebihnya pakai logikamu," jelas Dewa.

Melati hanya mengangguk mendengar Dewa menjelaskan semuanya. Ia kembali merapikan penampilannya sebelum turun dari mobil.

"Dasar jelek akan tetap jelek," ejek Dewa.

"Jelek begini sebentar lagi akan menjadi istrimu!" seru Melati.

Dewa hanya melirik tajam, kalimat Melati berhasil membungkam mulut pedas si bos Playboy itu.

"Assalamualaikum." Melati mengucapkan salam saat memasuki rumah calon suaminya

"Walaikumsalam," jawab Ria, ibu Dewa.

"Kamu Melati?"

"Iya, Tante," jawab Melati dengan senyum manisnya

"Wah, calon menantuku cantik juga," puji ibu Dewa.

"Cantik dari mananya, Ma?" protes Dewa dalam hati.

"Ayo masuk, Sayang!" ajak mama Ria.

Melati pun mengikutinya wanita paruh baya tapi masih terlihat muda dan cantik itu.

"Tante, ini saya bawakan kue." Melati menyerahkan paper bag berisi brownis kesukaan mama Ria.

"Terima kasih, Melati." Mama Ria menerima paper bag itu.

Mereka pun langsung duduk di meja makan, untuk menikmati makan siang. Melati pikir pertemuan pertamanya dengan calon mertua itu menakutkan. Tapi nyatanya ini diluar dugaan.

Mama Ria menyiapkan piring yang sudah diisi nasi, hanya lauknya yang belum. Ia memberikan piring itu pada Melati.

"Melati, ayo makan! Ambil apa yang Kamu sukai, atau Kamu tidak suka dengan masakan ini?"

"Bukan, Tante. Melati suka," kilah Melati.

"Mana bisa aku tak suka Tante, ini pertama kalinya setelah mama meninggal aku melihat makanan sebanyak ini," batin Melati.

Mama Ria dan Melati pun terlihat sangat akrab, meski ini adalah kali pertama mereka bertemu. Bagi Melati, mama Ria seperti ibunya. Wanita itu ceria dan membuat Melati sangat nyaman.

"Ma, sudah sore Dewa antar Melati pulang dulu," pamit Dewa.

"Sebenarnya mama masih ingin ngobrol banyak, tapi ya sudahlah nanti juga kita bisa ngobrol lagi ya, Melati? Setelah kalian menikah mama ingin kalian tetap tinggal si sini," pinta mama Ria.

"Itu pasti, Ma. Siapapun yang menjadi istri Dewa harus mau tinggal di sini," ucap Dewa pada ibunya.

"Melati mau 'kan?" tanya mama Ria.

"Iya, Tante. Melati mau," jawab Melati.

"Terima kasih, Sayang." Mama Ria memeluk calon menantunya.

"Kami pergi dulu, Ma," pamit Dewa.

"Sampai bertemu lagi, Tante. Assalamualaikum," pamit Melati.

"Iya, Sayang. Walaikumsalam."

Sore itu, tuan Adam tiba di rumah Tante Melati,Tuan Adam datang dengan sopirnya dan Leo, asisten pribadi Dewa. Dengan membawa berbagai seserahan dan hadiah sebagai bagian dari lamaran formal. Melati, yang masih tampak bingung dan gelisah, berjalan di belakangnya, seolah-olah tubuhnya sedang dibawa oleh kekuatan lain yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Di rumah kecil itu, tantenya, Bu Ratna dan sepupunya, Laura sudah menunggu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Mereka telah mendengar bahwa ada tamu penting yang akan datang, tetapi belum tahu sepenuhnya maksud kedatangan mereka.

Saat mereka duduk di ruang tamu sederhana, suasana terasa canggung. Tuan Adam mulai membuka pembicaraan. "Bu Ratna terima kasih telah menerima kami hari ini. Saya datang dengan niat baik. Saya ingin melamar salah satu putri dari keluarga ini untuk anak saya, Dewa."

Bu Ratna terperangah mendengar kalimat itu, dan sekilas, Melati bisa melihat kebingungan di wajah tantenya. Ratna lalu melirik Laura, yang duduk dengan wajah bersemu merah, seakan yakin bahwa lamaran ini ditujukan untuknya.

"Lamaran untuk siapa, Tuan Adam?" tanya Bu Ratna dengan hati-hati.

Tuan Adam mengerutkan kening, bingung dengan respons itu. "Tentu untuk Melati,"

Bu Ratna tampak semakin kebingungan. Ia melirik lagi ke arah Laura, lalu ke Melati, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa, Anda tidak salah, dia bukan seseorang yang ... yang mungkin dilirik oleh anak seorang pebisnis besar seperti Dewa."

Wajah Melati memucat, sementara Laura tampak semakin bingung. Ia jelas berharap bahwa Dewa akan melamarnya, bukan sepupunya. Terlebih lagi, Laura memang seringkali merasa dirinya lebih menarik dan berhak dibandingkan Melati.

Namun, Tuan Adam tetap pada pendiriannya. "Bu Ratna, saya datang ke sini untuk Melati. Saya tahu, mungkin ini mengejutkan, tapi saya percaya bahwa Melati adalah pilihan yang tepat untuk putra saya."

Laura menelan ludah, matanya berkaca-kaca, merasa terluka dan tersinggung. Sementara itu, Bu Ratna mencoba mencerna situasi yang terasa sangat canggung ini. "Tuan Adam ... Apakah Anda yakin? Maksud saya, Laura lebih pantas. Dia lebih cantik, lebih ... sesuai dengan dunia kalian."

Tuan Adam tersenyum tipis, namun tatapannya tegas. "Kecantikan luar tidak selalu menjadi dasar untuk keputusan besar seperti ini. Yang saya butuhkan adalah seseorang yang bisa menjaga putra saya, yang bisa memberinya ketulusan. Saya percaya Melati bisa memberikan itu."

Melati terdiam, merasa seperti batu besar menghantam dadanya. Tak ada yang bisa ia lakukan, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya untuk membela dirinya atau bahkan menolak. Ia tahu, kata-kata Tuan Adam sudah final.

Bu Ratna akhirnya hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya masih ada banyak keraguan. Laura, di sisi lain, tampak semakin kesal. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa lamaran ini bukan untuknya, dan perasaannya terhadap Melati berubah menjadi rasa iri yang mendalam.

"Pakai pelet apa kamu?" tanya Laura dengan nada sinis ketika tuan Adam dan rombongan pergi meninggalkan rumah Ratna.

"Tidak pakai apa-apa," jawab Melati.

"Mana mungkin seorang anak pengusaha yang dikenal playboy tiba-tiba melamar si jelek?" cibir Laura. "Pasti, kau melakukan sesuatu, atau kau menjebaknya?"

"Laura, demi Allah aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan. Ini semua permintaan Tuan Adam," jelas Melati.

Ratna dan Laura tak mau mendengar penjelasan Melati, mereka tetap melempar tatapan tajam pada Melati.

Waktu pun berjalan dengan cepat, kini tiba saatnya pernikahan yang tak diinginkan Dewa dan Melati dilangsungkan.

"Dewa, apa Kau sudah siap?" tanya tuan Adam saat mengecek ruang ganti.

"Sudah, Pa," jawab Dewa.

Pernikahan pun dilangsungkan di sebuah hotel mewah dan dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat saja karena ini pernikahan dadakan.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Sekar Melati binti almarhum Arya Dewanto dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai," ucap Dewa dengan susah payah.

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu pada para saksi.

"Sah!" seru para saksi.

Senyum semua orang pun mengembang, terutama ayah dan ibu Dewa di hari bahagia ini.

"Pa, akhirnya Dewa menikah juga ya? Mama sangat bahagia," ucap mama Ria penuh haru.

"Iya, Ma. Semoga setelah menikah kelakuan Dewa semakin membaik. Semoga saja Melati juga mampu membuat putra kita sadar."

"Amin," gumam mama Ria.

"Alhamdulillah, selamat untuk Sadewa Bramastyo. Anda sudah sah menjadi seorang suami, silakan panggil mempelai wanita," ucap penghulu.

Ratna pun menghampiri keponakannya. Meski dalam hati ia merasa iri pada keponakannya itu yang dapat dinikahi orang kaya. Harusnya Laura lah yang dinikahi Dewa bukan Melati.

"Melati, ayo keluar!" ajak Ratna.

"Iya, Tante." Melati berdiri dari duduknya.

Dengan perlahan Melati pun berjalan menuju tempat ijab kabul. Ia duduk di samping Dewa yang kini sudah sah menjadi suaminya.

Melati terlihat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih yang melekat indah di tubuhnya. Meksi ia masih menutupi wajah aslinya, akan tetapi ia masih terlihat cantik dengan make up sederhana.

"Selamat ya Melati sekarang tandatangani ini dan tukar cincin," ucap penghulu.

Dewa dan Melati pun menandatangani beberapa berkas di depannya. Mereka pun saling tukar cincin dan berlanjut dengan Melati mencium punggung tangan Dewa.

"Cium kening," bisik Melati karena Dewa tak kunjung melakukannya.

Dewa hanya melotot pada wanita yang sudah saja menjadi istrinya itu. Rasanya ia ingin kabur dari pernikahan palsu ini, akan tetapi wajah bahagia sang ibu menahannya.

"Bos, cium!" perintah Melati lagi.

Namun, Dewa masih saja tak bergeming. Ia masih enggan melakukannya. Para tamu pun mulai memperhatikan sikap Dewa.

"Kenapa, Sayang?" tanya mama Ria.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kudapatkan Cinta Playboy    Kabur

    15"Ada yang mencarimu, siapa dia?" tanya tuan Adam pada Dewa."Siapa?" Dewa tampak berpikir."Tata, tapi aku sudah mengusirnya," jawab tuan Adam."Tata ...." Dewa menggantung kalimatnya seolah sedang berpikir mencari ide untuk menjelaskan semua pada Melati. "Koleksi barumu?" tebak Melati, meski hatinya terluka."Bukan, dia hanya salah satu rekan kerja," kilah Dewa."Oh." Dalam hati Melati menangis, ia sangat berharap hubungan palsu itu dapat berubah. Namun, ia mulai tak yakin melihat sikap Dewa yang masih seperti itu."Kau lupa siapa aku bos? Aku adalah sekretarismu, yang sudah pasti tahu siapa rekan kerjamu," batin Melati.Tuan Adam tak jadi membicarakan sesuatu dengan putranya karena melihat Melati sedikit terganggu dengan kedatangan wanita yang mencari Dewa. Ia memilih pergi dari sana. Melati dan juga Dewa pun melupakan pagi ini, mereka berangkat ke kantor seperti biasa. Sore ini Melati meminta ijin pada Dewa untuk menjenguk Rara yang sedang sakit. Sebenarnya itu bukan alasan u

  • Kudapatkan Cinta Playboy    Diam - Diam Melindungi

    14"Jika kau bisa lakukan saja," tantang Melati."Kau yakin?" Laura mencoba memastikan apakah Melati benar-benar menantangnya."Kau lebih mengenal aku, Laura," ucap Melati."Kau benar, jangan menangis jika aku bisa merebut suamimu!" "Kau juga jangan menangis jika suamiku tak tertarik padamu," cibir Melati.Melati mempersilahkan Laura masuk, ia lalu mengantarkan dia ke kamar tamu. Sebenarnya ia sedikit takut akan kedatangan Laura, ya dia sadar siapa Dewa? Dia bisa saja tergoda dengan wanita lain apalagi wanita seperti Laura.Namun, entah apa yang membuat Melati merasa jika Dewa tak akan tergoda meski rasa takut lebih mendominasi di hatinya. Ia hanya berharap Dewa tidak tergoda dengan Laura. Ya, walau Melati tahu lelaki dengan julukan si mulut pedas itu masih sering berkencan dengan wanita lain di luar sana."Melati!" teriak Dewa."Ya, Mas!" sahut Melati yang langsung mengganti panggilannya. Ia pun segera berlari menghampiri suaminya."Mas?" Dewa mengerutkan keningnya."Ada Laura, aku

  • Kudapatkan Cinta Playboy    kedatangan Laura

    Ratna langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia sangat ketakutan saat mendengar suara Dewa. Itu jelas membuat si mulut pedas itu tambah murka. "Jangan angkat panggilannya jika tidak bersamaku!" tegas Dewa yang sangat marah. "Baik," jawab Melati. "Jika dia mengancam laporkan padaku, beraninya dia mengusik orang terdekatku!" Dewa yang geram pun tak jadi melunasi pinjaman Ratna ke Bank. Ia ingin melihat sejauh mana wanita itu menindas Melati. Perhatian Dewa membuat Melati sedikit terbang. Ia pikir ini adalah awal dari perubahan sikap Dewa padanya. Dari perhatian ini juga Melati mulai tertarik pada suaminya itu. "Sial!" umpat Ratna saat mendengar suara Dewa. "Ada apa, Ma?" tanya Laura. "Mama minta uang pada Melati, tapi tadi Dewa yang bicara," ucap Ratna ketakutan. "Apa! Kenapa bisa, Mama ceroboh?" Laura menyalahkan ibunya yang sangat ceroboh. "Mana mama tahu Dewa ada di samping Melati. Bagaimana ini? Padahal dia mau melunasi pinjaman ke Bank." Ratna tampak bingung. Ia tak

  • Kudapatkan Cinta Playboy    Pindah

    Bab 12 "Siap diusir," jawab Dewa dengan nada tak suka."Pa, ayo kita sarapan!" Ajak mama Ria agar suasana tak semakin menegangkan.Lagi-lagi tuan Adam hanya tersenyum melihat sikap putranya, ia sama sekali tidak marah karena Dewa terus berdebat dengannya. Ia justru bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk bercanda dengan putranya. Ya, tuan Adam menganggap ini adalah bercanda ala dia, bentuk kasih sayang antar ayah dan anak."Tempat untuk menampung kami, seperti istana atau gubuk reyot?" Dewa melontarkan pertanyaan pada ayahnya."Gubug yang nantinya akan Kau bangun menjadi istana," jawab tuan Adam disertai senyum."Papa semakin membuatku kehilangan kesabaran!" bentak Dewa."Mas, sabar. Dia papa, tak seharusnya Kamu membentaknya," ucap Melati mencoba mengingatkan Dewa."Diam dan tak usah ikut campur!" Dewa malah membentak Melati."Aku akan diam jika Kau diam!" Melati tak mau kalah dari si mulut pedas.Tuan Adam menatap kagum pada menantunya yang berani membentak putranya yang su

  • Kudapatkan Cinta Playboy    Bantu Aku Rileks

    "Sayang, papa bukan benci atau sebagainya. Papa hanya ingin Kau menjadi lebih baik," imbuh mama Ria."Jika itu kata, Mama Dewa paham. Sebenarnya ini sulit untukku," lirih dewa.Mama Ria memeluk putranya, ia juga sebenarnya tak tega, akan tetapi demi kebaikan sang putra ia harus menyingkirkan egonya."Ada Melati yang bisa menjadi tempat untukmu bersandar, mama juga akan sering berkunjung ke rumah kalian," ucap mama Ria yang berharap bisa dimengerti Dewa.Dewa mengangguk, meski hati kecilnya menolak akan keputusan ayahnya itu. Melihat putranya setuju ia pun memanggil Melati untuk mulai mengemas pakaian mereka. Ya, meski besok mereka baru pindah tapi tak ada salahnya 'kan bersiap sekarang?Melati mulai mengemas semua pakaian mereka, ia hanya menyisakan beberapa pakaian agar saat mereka menginap di sini masih ada baju ganti. Sesekali Melati melirik ke arah Dewa yang masih tampak muram itu. Melati langsung memalingkan wajahnya saat Dewa menatapnya.Melati semakin panik saat si mulut pedas

  • Kudapatkan Cinta Playboy    Jangan Baper

    Melati tersenyum lega mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut tuan Robert. Ketakutannya sirna sudah ketika tahu jika lelaki paruh baya itu hanya menguji suaminya. "Jadi kerja sama ini masih bisa dilanjutkan?" Tuan Robert kembali bertanya.Dewa terlihat berpikir, ia masih dikuasai api amarah jadi pantas saja ia masih belum percaya apakah lelaki di hadapannya itu benar-benar serius dalam ucapannya atau hanya mempermainkannya."Tuan, saya minta maaf dengan hal yang sudah saya lakukan tadi. Tapi percayalah, saya hanya menguji, Anda." Tuan Robert mencoba memastikan Dewa."Baiklah kali ini saya mempercayai, Anda. Tapi jika hal seperti tadi terjadi lagi, jangan salahkan saya jika lepas kendali," ucap Dewa penuh ancaman."Siap, Tuan. Tenang saja, saya juga seperti, Anda," ujar tuan Robert."Seperti saya?" Dewa mengulang kalimat tuan Robert."Ya, seperti, Anda. Meski kita dikenal sebagai playboy, tapi kita tetap setia dengan satu wanita," jelas tuan Robert.Dewa tersenyum masam,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status