"Nggak, Mbak. Nggak ada apa-apa. Aku hanya salah ngomong aja, kok." Sekarang Imel jadi ketakutan kalau dia sudah melakukan sesuatu yang salah. Ini akan semakin mempersulit keadaan dan memperpanjang masalah, tetapi bukan Maura namanya kalau tidak mendapatkan apa pun sesuai dengan kehendaknya. Dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk melakukan apa pun demi kepuasan diri. Tidak mau lagi menjadi kacung atau orang lemah yang terus ditindas. "Baiklah. Kalau kamu tidak mau mengatakannya, hari ini juga aku akan buat laporan ke kantor polisi dan foto-foto ini jadi bukti kalau kamu melakukan kekerasan kepadaku."Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Maura langsung berdiri dan mengambil tasnya. Dia hendak pergi, lalu seketika Imel menarik tangan wanita itu."Mbak, jangan gitu dong. Kan sudah perjanjian kita tidak akan membawa masalah ini ke jalur hukum." "Ya udah kalau gitu, katakan apa yang kamu maksud tadi."Imel masih tampak ragu. Dia sampai berpikir berkali-kali apa yang harus dilakukan kepad
"Kok diam aja, sih? Jawab! Bagaimana, kamu mau nggak melakukan dua syarat itu? Nggak berat-berat. Lagi pula itu tidak sebanding dengan luka yang kamu berikan sama aku. Lihat bekas-bekasnya sampai seperti ini. Orang-orang pasti mengira kalau aku ini benar-benar maling, itu sudah mencemarkan nama baikku tahu!" seru Maura masih berusaha untuk membujuk Imel agar mau menuruti semua keinginannya.Dengan begini semakin dekat penghancuran Mila semakin baik. "Bukan gitu, Mbak. Aku cuma takut saja terseret masalah besar. Aku disini cuma mau kerja, nggak mau cari masalah apa-apa. Jadi, aku harus tahu dulu untuk apa informasi itu, Mbak," ujar Imel. Ternyata gadis polos ini masih bisa berpikir jernih untuk tidak langsung mengiyakan apa keinginan Maura. "Kan aku sudah bilang jangan tanya. Aku jamin semua ini tidak ada kaitannya dengan kamu. Yang penting kamu informasikan semuanya, aku nggak akan bilang sama Mbak Mila, kok kalau kamu yang kasih informasi. Aku hanya mau tahu apa saja yang dilakuka
Maura diam sebentar. Dia berpikir sejenak, apa yang sekiranya bisa dilakukan Imel untuknya. Lumayan ada pesuruh gratis, jadi dia tidak perlu capek-capek untuk melakukan apa pun yang sekiranya memberatkan Maura. Setelah agak lama terdiam, akhirnya wanita itu pun menyeringai. Sesuatu yang membuat Imel tiba-tiba saja merinding, sepertinya gadis itu tidak sadar kalau dirinya akan dimanfaatkan oleh wanita ini." Anggap saja itu sebagai kompensasi atas rasa sakit yang kamu berikan, bagaimana?""Iya, Mbak. Aku setuju.""Pertama. Kamu harus siapkan semua makanku tiap hari.""Hah?" Seketika Imel tercengang. Dia bingung sendiri."Kenapa? Nggak mau? Katanya mau melakukan apa saja asalkan kamu tidak dipenjara, tapi diminta untuk menyiapkan makan malah bilang, hah. Ya udah deh, aku batalkan saja." "Eh, enggak-enggak seperti itu, Mbak." "Terus, kenapa kamu bilang seperti itu? Tadi mau, sekarang nggak mau. Jangan bikin aku pusing," ucap Maura dengan mata sinis. Imel menunduk sebentar. Dia terlih
Maura berdiam diri di kamar sembari meringis kesakitan. Tubuhnya benar-benar sakit, tak butuh waktu lama sampai terlihat memar-memar dan bekas pukulan di tangan dan kakinya. Dengan cepat wanita itu mengambil gambar luka-luka mana saja yang ada. Setelah ini dia akan mencoba ke kantor Polisi untuk minta divisum. Lagi pula itu sangat menyakitkan. Sebelumnya dia hanya memastikan kalau tidak ada siapa-siapa di rumah ini.Padahal hanya memastikan apakah ada maling di dalam karena ada sendal asing yang tersimpan di depan rumah ini, Tetapi malah berujung seperti ini. Benar-benar menyakitkan. Dia tidak bisa diam saja.Di saat seperti ini tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Wanita itu mendesah kasar. Siapa lagi yang sudah mengganggunya? Apa tidak ada yang mau membiarkannya tenang sedikit saja? Selalu diganggu."Iya, siapa?!" tanya Maura dengan setengah berteriak. "Ini aku, Mbak. Imel." Wanita itu mengernyitkan dahi, heran. Kenapa tiba-tiba saja gadis ini datang ke kamar?Tetapi dengan santainy
"Nggak ada! Nggak ada alasan apa pun. Kamu salah, harusnya kamu lihat dulu siapa yang datang. Kalau memang maling bisa kan langsung mukul tanpa tiba-tiba saja mengeroyok orang? Kamu pakai sapu, aku tangan kosong. Pokoknya aku nggak mau tahu, ya. Hari ini juga kita ke kantor polisi!" seru Maura. Dia tidak akan kalah begitu saja. "Aduh, jangan dong, Mbak. Nanti gimana dengan keluarga saya di kampung? Kalau saya di penjara, siapa yang akan mencari nafkah?""Lah, bukan urusanku! Itu tanggung jawab sendiri, ngapain kamu mukul orang sembarangan?" ujar Maura, masih bersikukuh kalau dirinya ingin semua ini dipermasalahkan ke jalur hukum. "Atau gini aja deh, Mbak. Gimana kalau sebagai gantinya aku akan melakukan apanpun yang Mbak suruh," ucap Imel membuat Mila terkesiap, sementara Maura terlihat kaget. Tidak menyangka kalau gadis ini bisa mengatakan hal seperti itu."Nggak ada, nggak ada. Ah, Maura! Dia itu kerja sama aku dan mulai hari ini Imel akan menjadi asistenku juga tinggal di sini."
Melihat pemandangan di depan mata, Mila semakin puas. Dia membiarkan kejadian itu terjad,i malah dengan gampangnya merekam semua itu. Anggap saja ini balas dendam atas rasa sakit yang diberikan Maura karena ucapannya kemarin.Adiknya ini tidak tahu diri. Sudah untung ditampung di sini, tetapi malah melakukan hal seperti itu. Mila rasa merekrut Imel menjadi asistennya itu tidak ada salahnya, malah menguntungkan seperti ini."Berhentikan! Aku Maura. Kalau kamu tidak berhenti aku laporkan kemu ke polisi!" teriak Maura menggema di ruangan itu, membuat Imel langsung menghentikan pukulannya. Sang gadis mundur beberapa langkah dan membuka mata, betapa terkejutnya dia melihat kalau yang di depannya itu adalah Maura. Sang wanita meringis kesakitan. Beberapa kali mengusap tangan dan punggungnya yang barusan dipukul oleh Imel. "Aduh sakit banget," gumam Maura, kesakitan. Wanita itu berdiri dan menatap Imel dengan tajam, sementara sang gadis ketakutan. Dia benar-benar pemikiran tentang maling
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,