Sayup-sayup Wilona mulai membuka mata. “Ssst … aw,” desis Wilona sembari memegang kepalanya yang terasa sangat berat, pemandangannya juga berkunang-kunang.
Ceklek. “Kak Ona sudah sadar?” Terdengar suara seorang wanita yang sangat tidak asing ditelinga Wilona, baru saja membuka pintu. Wanita itu pun segera berjalan ke arah Wilona dengan antusias, juga dengan senyum yang merekah. Meskipun pandangan Wilona masih sedikit kabur, tapi dia tahu betul siapa gerangan wanita yang menghampirinya saat ini. “Kak Wilona sudah sadar?” tanya wanita itu lagi sembari memegang telapak tangan Wilona. Plak! Bruk! Dengan kepala yang masih terasa sangat berat dan pandangan tidak jelas, Wilona bangun dari tidurnya serta menampar wanita tersebut dengan kekuatan penuh, hingga dia tersungkur di bawah ranjang. “Aw, apa yang Kakak lakukan?” jerit wanita itu. “Pergi kamu! Pergi … ! Wilona berteriak sekencang-kencangnya. “Kak Ona, ini aku Rosa.” Wanita itu mencoba menenangkan Wilona sembari berusaha berdiri. “Pergi!” “Pergi!” “Dasar wanita licik!” Bugh. Wilona terus berteriak sembari melemparkan bantal dan benda lain yang ada di dekatnya ke arah wanita tersebut. “Pergi!” “Pergi!” Krak! Hingga akhirnya, jarum infus yang tengah menancap di punggung tangan Wilona pun terlepas, tentu saja hal itu menyebabkan tangan Wilona berdarah. “Kak, hentikan kak, ini aku.” Rosa terus berusaha menyadarkan Wilona yang nampak seperti orang kesurupan tersebut. “Pergi kamu!” “Jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!” “PERGI …. ! BRAAAK. “Ada apa ini?” Seorang wanita paruh baya masuk ke ruangan Wilona dengan tergopoh. “Pergi!” “Pergi!” Sementara Wilona masih terus menjadi-jadi. Wanita paruh baya tersebut pun segera memegang pundak Rosa dan membawanya melangkah mundur. “Ibu, tenang bu, ada apa ini?” “Raka.” Seorang anak laki-laki juga masuk ke ruangan tersebut tanpa diketahui. “Raka, kenapa kamu nampak berbeda?” Wilona mulai memelankan suaranya sembari terus menatap Raka, dia mencoba mengusap matanya beberapa kali, agar penglihatannya bisa lebih jelas. Sedangkan Raka tidak memperdulikan pandangan Wilona yang nampak keheranan, dia segera menyambar tisu yang ada di atas nakas, kemudian menekan luka di punggung tangan Wilona yang terus mengeluarkan darah. “Ibu, Ibu sudah sadar?” “Kenapa Ibu terus berteriak?” tanya Raka dengan terus fokus pada luka Wilona. “Itu Dok, Ibu sudah sadar, tolong diperiksa.” Seketika Wilona mengalihkan pandangannya pada sumber suara. “Rani?” gumam Wilona. Dokter dan Rani pun segera menghampiri Wilona. “Rani, kenapa kamu nampak seperti beberapa tahun yang lalu?” gumam Wilona yang suaranya masih bisa didengar oleh beberapa orang yang ada di dekatnya. “Ibu, apa yang ibu katakan? Kenapa Ibu terus berteriak?” tanya Rani. “Apa aku sedang mimpi?” gumam Wilona lagi, tanpa menjawab pertanyaan semua orang yang terus penasaran dengan teriakan Wilona. “Tidak bu, Ibu tidak bermimpi, hanya saja Ibu baru sadar setelah pingsan beberapa hari,” terang dokter sembari membalut luka di punggung tangan Wilona. “Pingsan?” tanya Wilona yang semakin keheranan. “Iya bu, kami berdua menemukan ibu tergeletak di bawah wastafel kamar mandi,” ucap Raka sembari menatap Rani sejenak. “Sepertinya Ibu sedang kelelahan hingga pingsan di sana, karena dokter tidak menemukan adanya bekas kekerasan ataupun luka,” sahut Rani. “Benarkah seperti itu?” tanya Wilona sembari menatap Dokter. “Iya bu, Ibu hanya kelelahan dan juga anemia,” jelas Dokter. “Anemia? Ya, aku memang kerap punya penyakit darah rendah, dan itu akan semakin memburuk jika aku tidak makan dengan baik serta kelelahan,” gumam Wilona dalam hati. “Beruntung dua anak ini segera membawa ibu ke rumah sakit,” ucap dokter sembari tersenyum setelah membalut luka dan memasang infus kembali dengan jarum yang baru, di tangan sebelah kanan. “Eh, tunggu dulu Dok, apa paru-paru ku baik-baik saja? Mungkin saja paru-paruku kemasukan banyak air,” ucap Wilona. “Tidak ada bu, anda hanya kelelahan saja, kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh,” terang Dokter. “Sekarang apa ada yang ibu keluhkan?” tanya dokter tersebut. “Hanya kepala saya sangat berat dok,” jawab Wilona. “Itu wajar, karena Ibu telah pingsan beberapa hari dan memaksa untuk duduk, sebaiknya Ibu berbaring dulu untuk memulihkan tenaga,” ucap dokter tersebut yang kemudian pergi meninggalkan ruangan. “Dasar wanita gila!” “Sudah sakit-sakitan, gak bisa kasih keturunan, bisanya nyusahin saja!” “Beruntung Rosa masih mau rawat kamu!” umpat wanita paruh baya yang tadi masuk ke ruangan dengan tergopoh. Wanita paruh baya itu merupakan Ibu mertua Wilona. “Merawat? Wanita gila itu mau merawatku? Bukankah aku berada di sini karena ulahnya?” monolog Wilona dalam hati. “Lebih baik Bram menikah dengan Rosa saja, dari pada dengan kamu yang selalu membawa sial buat keluarga!” “Ayo Rosa, kita keluar saja, biarkan dia, tidak usah kamu rawat lagi!” ucap Mama Arina, beliau merangkul pundak Rosa dan berjalan keluar ruangan. “Hah, bukankah Mas Bram dan Rosa memang sudah menikah?” monolog Wilona dalam hati yang semakin kebingungan. “Sabar ya Bu,” ucap Rani sembari mengelus pundak Wilona, yang juga seketika menyadarkan Wilona dari lamunannya. “Raka, Rani, anak-anak yang selalu aku sia-siakan dan tidak pernah aku perhatikan, tapi mereka berdua terus merawatku dengan baik, juga sangat perhatian padaku,” monolog Wilona dalam hati lagi sembari memandang Raka dan Rani secara bergantian. Tes. Hingga tidak terasa, butiran air matanya tiba-tiba saja terjatuh. “Ibu, apa Ibu sedang kesakitan?” tanya Raka sembari memegang tangan Wilona yang tadi terluka. Wilona pun hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan. “Ah, benar!” “Apa aku bisa meminjam handphone?” tanya Wilona yang lagi-lagi memaksa duduk meskipun kepalanya masih terasa berat. “Handphone?” tanya Raka. “Iya, pinjam handphone kalian,” ucap Wilona lagi. “Kami mana punya handphone bu,” sahut Rani. “Bukankah aku sudah membelikan kalian handphone tempo hari,” ucap Wilona. “Kapan Ibu membelikan handphone untuk kami?” tanya Raka sembari mengerutkan keningnya. “Ibu lebih baik istirahat dulu,” ucap Rani. Ceklek. “Sayang, apa kamu baik-baik saja?” “Mas Bram,” ucap Wilona sembari berhambur ke pelukan Bramasta, yang secepat kilat sudah berada di pinggir ranjang. “Maaf, karena aku sudah mengganggu Bapak saat bekerja,” ucap Rani lirih sembari menundukkan kepalanya. “Tidak apa, kamu melakukan hal yang benar,” ucap Bramasta. “Kamu tadi menelepon Mas Bram?” tanya Wilona sembari menatap ke arah Rani, tanpa melepas pelukannya. “Iya bu, maaf,” ucap Rani dengan terus tertunduk, seakan merasa takut dan juga bersalah. “Katanya tadi kamu gak punya handphone?” tanya Wilona dengan tatapan penuh menyelidik. “Aku tadi menggunakan telepon rumah sakit,” jawab Rani. “Mereka berdua kan memang tidak punya handphone sayang, tapi mereka hafal dengan nomor telepon kita,” jelas Bramasta yang seketika membuat Wilona melepaskan pelukannya. “Iyakah? Bukankah aku sudah membelikan handphone pada mereka berdua?” tanya Wilona dengan sangat penasaran. “Membelikan mereka berdua handphone? Sejak kapan kamu perhatian dengan mereka berdua, hmm?” tanya Bramasta yang semakin membuat Wilona sangat kebingungan. “Kenapa? Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanya Bramasta setelah melihat ekspresi istrinya yang sangat kebingungan. “Kenapa semua kejadian hari ini sangat aneh?” monolog Wilona dalam hati. “Kalau begitu, aku pinjam handphone kamu,” ucap Wilona yang langsung dituruti oleh Bramasta, karena memang tidak ada hal apapun yang disembunyikan oleh Bramasta, maka dari itu dia tidak keberatan untuk meminjamkan handphonenya. “Sayang … Apa kamu salah set tanggal?” “Kenapa tahun 2021?” tanya Wilona dengan terus melihat layar ponsel Bramasta. “Ya memang sekarang tahun 2021 sayang,” jawab Bramasta sembari duduk di sebelah ranjang, sedangkan Rani mengambil botol air mineral untuk diberikan pada Bramasta. “2021? Bukakah sekarang tahun 2025?” tanya Wilona. Tujuan Wilona meminjam handphone memang untuk melihat tanggal hari itu. “Sayang, apa kamu pikir kamu berasal dari masa depan?” tanya Bramasta yang membuat Raka dan Rani tersenyum tipis. Wilona segera membuka aplikasi kalender, dan hasilnya masih sama, yaitu menunjukkan tahun 2021. “Ibu, apa Ibu masih belum sadar sepenuhnya? Sekarang memang tahun 2021 bu,” ucap Raka sembari menunjukkan kalender yang ada di atas nakas. Dengan segera, Wilona menyambar kalender tersebut dan membalik setiap lembar, tapi yang dia dapat hanya angka 2021, tidak ada angka 2025 di sana. “Ssst …” Wilona mendesis sembari memegang kepalanya yang semakin berat. Lambat laun pandangannya kabur dan semakin lama semakin gelap. Tap. Bugh. “Ibu … ” “Sayang … ” Wilona sudah tidak bisa melihat apapun lagi, hanya suara Bramasta, Raka dan Rani yang masih terdengar, mereka terdengar kebingungan dan juga panik memanggil dokter, tapi suara-suara itu pun semakin lama juga tidak terdengar lagi oleh Wilona.Sayup-sayup Wilona membuka mata, dia melihat jam dinding yang menunjukkan tepat jam 12 malam. "Ssstt ..." desis Wilona yang merasakan kepalanya sangat berat. Wilona yang tengah tertidur di sofa kamar, segera beranjak duduk sembari mengedipkan matanya beberapa kali agar pandangannya tidak kabur.Sedetik kemudian dia mendengar perutnya berbunyi, barulah dia menyadari bahwa dia belum makan sejak tadi siang, mulai saat bersama Salim di restoran tadi. Wilona segera turun dan berjalan menuju kulkas, mencari sesuatu yang bisa dia makan. "Apa ini?" gumam Wilona saat menemukan plastik ziplock berukuran kecil yang ada di dalam freezer."Seperti es lilin, tapi tidak berbentuk lilin, apa ini es gabus?" gumam Wilona lagi sembari mencium plastik tersebut yang tidak berbau apapun. Wilona memang belum sempat membersihkan kulkasnya sejak dia kembali ke rumahnya. Dia hanya memindahkan semua barang-barangnya dan membersihkan ruang kerja tersebut agar tidak bau debu, karena sudah lama tidak dibuka.Wilon
"Ini Pak Salim, proposal yang saya janjikan," ucap Wilona sembari menyodorkan sebuah map. Saat ini Wilona sedang berada di kantornya Salim dan hendak membicarakan bisnis.Salim segera membuka map tersebut dan langsung menandatanganinya. "Apa anda tidak membaca isinya terlebih dahulu Pak Salim?" tanya Wilona."Tidak perlu, aku percaya dengan kemampuan bisnis kamu Wilona. Jangan lupa, bahwa aku juga yang menjadi investor pertama di perusahaan pink yang kamu dirikan dengan susah payah itu," ucap Salim dengan tersenyum."Dan kali ini aku akan bersusah payah lagi," sahut Wilona sembari mengulas senyum tipis."Lakukan semua dengan maximal. Ingat, aku adalah seorang pebisnis, jadi jangan sampai membuatku rugi," imbuh Salim."Baik Pak Salim," ucap Wilona sembari mengulas senyum lagi di bibirnya dan segera memasukkan map yang sudah ditandatangani oleh Salim ke dalam tas."Aku akan segera mentransfer dana. Tunggu saja, semua akan dikerjakan oleh sekretarisku dengan cepat," ucap Salim sembari me
Beberapa hari sebelumnya.Setelah mengetahui perihal kehamilan Rosa, malam itu Wilona segera membuka laptopnya dan merencanakan penyerangan balasan. Wilona memeriksa email satu persatu yang mana 90% email tersebut berasal dari Bunga. Dari email Bunga tersebut lantas Wilona mendapati apa yang dia cari, yaitu tentang Rama. Wilona pun menyeringai dengan licik.***Hari itu akhirnya Rani memutuskan untuk tetap melanjutkan kuliah dan juga pergi dari rumah tersebut untuk kos. Setelah mendengar keputusan Rani, Wilona pun lega dan segera mengantar Rani untuk mencari kos yang dekat dengan kampus, agar mudah baginya saat ada kelas mendadak."Bagaimana dengan yang ini? Apa kamu menyukainya?" tanya Wilona saat mereka berdua sudah ada di kamar kos."Yang mana saja aku suka Kak, cari saja yang paling murah, aku tidak mau terus merepotkan," jawab Rani."Tenang saja, aku tidak akan jatuh miskin dengan mudah," ucap Wilona dengan tersenyum."Kalau begitu mulai malam ini kamu langsung tidur saja di kos,
"Tuan Putri, berikan aku uang belanja bulanan," pinta Wilona pada Rosa."Kenapa minta padaku?" tanya Rosa yang sedang rebahan di ruang tengah sembari membaca buku dan mendengarkan musik, hari itu Rosa tidak pergi bekerja karena masih terus merasa mual dan lemas."Bukankah Bramasta bilang kalau semua urusan rumah kamu yang pegang, tugasku kan hanya melayani kalian, bukan mencukupi makan kalian sekeluarga," ucap Wilona."Masak saja apa yang ada di dapur, bukankah Bu Maria sudah belanja," jawab Rosa."Mana bisa begitu, ibu hamil membutuhkan nutrisi yang lebih, apalagi di bulan-bulan awal seperti ini adalah pembentukan otak anak," sanggah Wilona."Ck, kenapa kamu jadi cerewet sekali sih setelah mati suri," kesal Rosa sembari mengambil ponselnya yang ada di atas meja sebelah sofa."Jangan terlalu membenciku, nanti anakmu mirip aku lho," ejek Wilona."Berapa nomor rekeningmu?" kesal Rosa."Nih," ucap Wilona sembari menyodorkan ponselnya dan menunjukkan barcode pada Rosa.Rosa pun segera men
BRAAK. Wilona segera beranjak dari kursinya dan berlari ke arah pintu saat mendapati Mama Arina ingin keluar dari ruang kerjanya. "Jangan takut Ma, aku hanya bertanya saja, karena mungkin bahkan Mama tahu lebih dulu daripada aku," ucap Wilona dengan suara lembut. Mama Arina menghela nafas panjang dengan pasrah, lalu berjalan lagi ke arah sofa. "Mama baru mengetahuinya saat mereka berdua sudah menikah, saat itu Mama tidak sengaja melihat Rosa memberikan sesuatu dari botol kecil tersebut ke dalam minuman Bramasta." "Mama hanya berusaha menyelamatkan anak Mama. Mama tidak tahu kalau kemudian hal tersebut malah mengenaimu," jelas Mama Arina dengan menyesal. "Yang Rosa berikan padaku berbeda Ma, dia menanam sesuatu di belakang kamarku," ucap Wilona. "Sesuatu apa?" tanya Mama Arina. "Mama tidak perlu tahu, semua sudah berlalu dan sekarang aku sudah pulih," jawab Wilona. "Wilona, maafkan Mama, karena keegoisan Mama yang ingin segera mempunyai cucu, semuanya menjadi berantakan seperti
Beberapa minggu kemudian.BRAKK.Wilona turun dari taxi, dia mengedarkan pandangannya dan menarik nafas dalam menatap halaman rumahnya dari depan gerbang. "Orang memang tidak mudah berubah, aku hidup kembali setelah tahu akhir nasibku, tapi aku mencoba kabur, aku belum membalas dendam sama sekali. Tidak, aku bahkan belum melakukan apapun." Wilona menatap rumahnya dengan tatapan tajam, angin berhembus cukup kencang hingga membuat rambut panjangnya tersapu ke belakang.Perlahan Wilona berjalan dengan memantapkan hati, dia terus melangkah dengan wajah tegas dan penuh keyakinan. Wilona terus menyusuri halaman dan masuk ke rumah mewahnya, hingga sampai di ruang makan. Terlihat keluarga bahagia sedang sarapan bersama bak pemilik asli rumah tersebut. "Sepertinya aku datang di saat yang tepat, aku butuh mengisi energi setelah keluar dari rumah sakit. Bisakah kita sarapan bersama?" Suara Wilona seketika membuyarkan gelak tawa yang terdengar riuh di meja makan itu."Wilona," gumam Mama Arina se
3 Bulan kemudian.BLAAAR.Wilona membuka mata dan memperhatikan sekeliling dengan pandangan yang berkunang-kunang. "Aaakh ... " Wilona mendesis karena mendapati kepalanya yang terasa sangat berat dan pusing."Ada di mana aku?" gumamnya dengan terus berusaha memperhatikan sekeliling, dilihatnya ruangan yang tidak asing, nakas di sebelah tempat tidur dan ada infus yang menggantung di sebelah ranjangnya. "Rupanya aku masih hidup," gumam Wilona lagi dengan suara serak.Wilona berusaha bangun, tapi tidak bisa karena kepalanya benar-benar terasa sangat berat, sayup-sayup dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah ruangannya. "Kejadian yang sama persis seperti 3 tahun yang lalu, tidak mungkin Rosa kan yang mendekat kemari?" Wilona membatin dengan tangannya berusaha meraih vas bunga yang ada di atas nakas.CEKLEK.Pintu terbuka, Wilona pun sudah siap siaga mengangkat tangannya yang lemas sembari membawa vas bunga, tapi ternyata yang masuk ke dalam ruangan adalah Furi, hampir saja
Suasana di atas speedboat menjadi haru, terdengar dengan jelas tangis kesedihan dari Wilona dan Melisa, juga penyesalan yang saat ini dirasakan oleh Bunga, bahkan Bunga hingga tidak bisa mengeluarkan air matanya dan pandangannya menjadi sedikit kabur, serta bibirnya mulai putih pucat. Bunga melihat kedua telapak tangannya yang gemetar hebat, karena sudah menarik pelatuk pada Debby. Tentu saja, kecuali Bramasta dan Rosa, mereka berdua malah menari-nari dan tertawa bersama. Perlahan Rosa mendekati Bunga dan berjongkok, tepat di hadapan Bunga yang sudah ambruk. "Rupanya kamu pandai berpura-pura, setelah membuat wajahku menjadi buruk rupa," ucap Rosa dengan suara lirih, agar tidak terdengar oleh Bramasta, karena dengan tindakan Bunga menembak Debby, Rosa tahu bahwa kepercayaan Bramasta akan semakin besar terhadap Bunga dan jika Rosa bersikeras mengatakan bahwa Bunga adalah pengkhianat, itu akan sia-sia saja, yang ada malah akan memicu pertengkaran dan kerenggangan hubungan."Tapi pertunj
"Tempat apa ini?" guman Melisa saat dia dan Rosa baru saja tiba di depan gedung terbengkalai, terlihat juga mobil Bramasta yang terparkir di area tersebut."Ayo," ajak Rosa sembari melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Melisa dan Rosa melangkah secara perlahan menyusuri tempat tersebut sembari mengedarkan pandangan ke segala arah, tapi yang mereka lihat hanya bangunan tua, tidak berpenghuni dan hampir roboh."Ssst!" Rosa segera menarik lengan Melisa ke balik tembok, saat mendapati ada seseorang yang tidak dikenalnya membuka pintu. Perlahan dengan membungkuk, Rosa mengambil kayu dan meletakkannya di pinggiran daun pintu, agar pintu tersebut tidak tertutup.Setelah memastikan bahwa pria tadi berjalan cukup jauh, Rosa pun segera menarik pergelangan tangan Melisa untuk masuk ke sebuah ruangan. "Ternyata semua hanya tipuan, di dalamnya lumayan bagus juga," ucap Melisa sembari melihat kesana dan kemari."Dimana Bramasta?" tanya Rosa yang tidak menghiraukan ucapan Melisa. Mereka berdu