"Dia adalah contoh nyata dari istilah 'kalau udah cinta, tai ayam pun rasa coklat'. Gak usah terlalu dipikirin," jawab Mitha dengan mimik wajah jutek andalannya."Pfffttttt, bisa-bisanya lo Mit..." sahut Olivia.Olivia sendiri tidak pernah terpikir lagi dengan istilah jadul itu hingga Mitha menyuarakannya."Hahahaa...""Hahaha, tapi bener juga sih ya.""Emang dia segitunya banget..."Seluruh anggota tim jadi menertawakan celotehan Mitha sebelumnya. "Halo???" ucap seseorang memecah gosip sore Rena and friends.Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara."Jamal... Jamal... Bisa-bisanya dateng sekarang, lagi seru nih kittaaaa..." ucap Olivia sedikit merajuk pada Jamal."Bikin kaget aja..." gumam Mitha."Hehe... Maaf ya, maaf banget. Bentar doang kok. Mau kasih undangan nikah buat kalian satu divisi," jawab Jamal malu-malu.Jamal pun meletakkan undangan fisik berbentuk amplop berwarna merah ke meja yang paling dekat dengannya."Waaahhh... Selamat Jamaallll, akhirnyaaaa...""Widihh
"Pfffftttt... ppfffffttt..."Rena benar-benar berusaha menahan tawanya."Tadi katanya gak akan ketawaaaaaa??" tanya Mitha cemberut.Meski begitu, Mitha tidak marah pada Rena."Iya... okee... maaf.. maaf.. aku gak akan ketawa lagi..."Rena berusaha berhenti tertawa secepat mungkin. Jujur saja, perut gadis itu sampai sakit menahan tawa."Ehhmmm... eehhheemmm..."Rena berdehem untuk membantu dirinya sendiri agar tak tersenyum. Gadis itu dengan cepat meraih botolnya agar bisa minum sehingga fokusnya dapat segera teralihkan."Okeee, tanya ke chatGPT," ucap Rena berusaha kembali serius pada topik pembicaraan mereka."Terus apa kata chatGPT?" tanya Rena usai meletakkan botolnya kembali ke meja.Mitha memajukan bibirnya. Meski terlihat tak senang, Mitha tetap ingin bercerita tentang kebodohan yang telah lama ia pendam ini."Menurut chatGPT, hal itu dikarenakan dalam hati aku merasa enggak dianggap sebagai bagian dari hidup pacarku. Umumnya, undangan pernikahan adalah ajang perkenalan pasangan
"Malam dok," jawab Rena dan Mitha bersamaan."Saya demam," jawab Mitha lemah.Rasa dingin Mitha sudah sedikit berkurang kali ini."Sudah berapa hari demamnya mbak?" tanya dokter Yasmine."Dari kemarin malam mbak. Saya jam empat pagi tadi juga udah sempat ke klinik dan minum obat dari dokternya. Cuma memang demamnya belum turun-turun," jelas Mitha."Kalau saya boleh tahu, mbak nya diberi obat apa saja ya oleh dokter klinik?""Saya dikasih obat demam, obat radang tenggorokan, antibiotik sama vitamin dok. Untuk nama obatnya saya gak inget dan gak bawa juga," kata Mitha.Mitha menyesali mengapa tidak sempat memotret obat yang ia dapat dari klinik."Tadi dia buru-buru saya bawa ke sini karena udah terbaring di lantai pas saya sampai di apartemennya dok, makanya gak kepikiran buat bawa obatnya juga," jelas Rena pada dokter Yasmine."Baik kalau begitu. Maaf sebelumnya, dengan mbak siapa?""Saya Rena, teman saya ini Mitha, dok..."Dokter Yasmine pun tersenyum dan memegang kening Mitha."Cukup
“Brraaakkkk!!!”Bunyi kursi menghantam meja itu kencang sekali sehingga membuat semua yang ada di sekitarnya menoleh ke arah sumber suara.“Adduuhh, maaf ya, aku bener-bener enggak sengaja,” ucap seorang gadis dengan rambut sebahu dan potongan poni datar.Permintaan maaf dengan nada yang dibuat-buat untuk terdengar imut itu benar-benar membuat jengkel siapapun yang mendengarnya.“Kebangetan ya kamu!” sahut gadis yang sudah terduduk di lantai itu. Dia terlihat sangat kesakitan.Gadis yang terduduk di lantai itu sudah tahu kalau dia sengaja didorong bersamaan dengan kursi. “Lohh… Lohhh… Kok marah? Kan aku udah bilang enggak sengaja, katanya kamu anak baiiikkkk. Kok anak baik marah? Anak baik harusnya ikhlas dong!”Silvi benar-benar tersenyum puas melihat Rena yang meringis kesakitan.“Udah ahh, mau lanjut kerja. Byeee,” ucap Silvi yang berniat untuk langsung pergi.“Aaahhh satu lagi, anak baik harusnya enggak akan rebut pacar orang sih,” bisik Silvi pada Rena.Silvi berlalu meninggalka
“Cuci muka sebentar ma, gerah,” jawab Rena seadanya.“Duuuhhh, lama enggak ketemu Rena jadi tambah cantik ya. Hebat juga udah punya rumah sendiri. Mana rumahnya rapi banget lagi. Ini bukan karena ada kamu kan Fi jadi rumahnya rapi?” tanya Rita pada Fiona.“Hahaha, enggak Ta. Rena memang rapi kok anaknya. Pinter dia urus rumah, cuma kurang bisa masak aja. Tapi meskipun kurang bisa, dia suka masak. Sekarang jadi udah lumayan enak masakan dia. Udah bisa laahhh dijadiin mantu,” ucap Fiona pada Rita.Kedua wanita paruh baya itu tertawa dengan sangat bahagia hingga tidak memperhatikan Rena yang tersenyum kecut.“Hahaha, oke oke. Gampang laahhh, nanti kita atur tanggalnya,” jawab Rita.Rena sudah tidak fokus lagi mendengar percakapan mereka. Namun, hal yang membuat Rena kesal adalah Rendy yang terlihat sangat santai itu. Ingin sekali dia mencubit lengan pria itu hingga biru.***“Mamaaa! Apa maksudnya sih jadi menantu jadi menantu segala? Enggak lucu tahu bercandanya!” ucap Rena pada Fiona s
Tangan Rena masih fokus memainkan rumus excel dengan lincah. Ia tak mendengar ucapan pria itu. Tak lupa sesekali menyeruput caffe latte dari kedai kopi kesayangannya.Pagi Rena yang semula berkabut perlahan berubah cerah. Ia tak peduli dengan suara-suara di luar earphone.Bekerja sambil minum kopi memang terbaik!“Rennn…” ucap Mitha sambil menarik pelan lengan baju Rena.Semua yang ada di ruangan itu sudah melirik pada Rena yang masih asyik dengan laptop dan sumpalan earphone di kedua telinganya.“Hmmmm… bentar Mit, bentar... Lagi tanggung…” jawab Rena yang masih saja fokus dengan laptopnya.Mitha pun melirik pria yang juga kini berada di depannya itu. Tak disangka, pria itu melemparkan senyum santai ekstra cerah yang membuat ketampanannya kini berada di level 1000/10. Mitha sendiri hanya bisa membalas senyum tampan itu dengan senyum kikuk sembari bergantian melirik ke Rena.“Reeennn, pak Bambang manggil kamu,” ucap Mitha agak keras pada Rena yang kira-kira sudah 5 menit belum juga me
Rena yang kehabisan kata-kata itu pun dengan cepat membalikkan badan dan berjalan menuju toilet. Ia merasa sakit di perutnya itu jadi upgrade level.Ferdian terus melihat punggung Rena hingga gadis itu lenyap dari pandangannya.“Aaaarrrgghhhh! Bisa gila aku!” teriak Rena dalam hati.Gadis itu pun mengacak-acak rambutnya tanpa sadar. Rambut ikal panjang ala Korea yang menghabiskan waktu catok 15 menit itu hancur dalam sekejap.Saat masuk ke toilet, ia masuk ke dalam bilik kloset dengan kecepatan yang luar biasa. “Haaddoohhhh... Ferdian batu begitu enggak mempan ditolak, ditambah lagi ada Rendy. Bikin kepala sakit aja, mana kaki belom sembuh juga,” gumam Rena.“Viii… Lihat kan tadi? Ada karyawan baru! Siapa deh tadi namanya? Rendy ya kalau enggak salah. Ganteng bangeeetttt!”Suara Mia, Rena sangat mengenali suara itu.“Duhh! Apa lagi sih iniiiiiiiiii,” batin Rena.“Hmmm, lumayan,” sahut Silvi, lawan bicara Mia sembari mencuci tangan.Usai mencuci tangan, Silvi mengeluarkan pewarna bibi
Rena yang merasa panas mengingat masa lalu itu meneguk es lemon tehnya dengan kasar.“Indy bahkan selalu ketakutan dulu pas lewat depan aku. Artinya apa? Artinya dia merasa bersalah ke aku. Dia tahu yang dia lakuin salah. Sementara kamu? Cuma kamu yang enggak merasa itu salah,” tambah Rena.Rena bahkan menatap Rendy frustasi. Ekspresinya bahkan mengisyaratkan dengan jelas bahwa gadis itu sedang mengumpat, “Hey bro, come on! Kamu pinter loh, masa logika sederhana begini enggak kepikiran!”Rendy meletakkan burgernya yang masih tersisa sedikit di atas piring dan menatap lurus ke mata Rena.“Tapi Ren…” ucap Rendy terlihat ingin membantah.“Apa?” tanya Rena ketus.Rendy diam dan merenung sesaat. Penjelasan Rena masuk akal juga. Benar juga dulu dia mulai dekat dengan Indy saat masih berpacaran dengan Rena. Meski status mereka bukan pacar, dia lebih sering menghubungi Indy daripada Rena.“Okee. Aku ngaku salah. Aku bersalah sama kamu, Ren. Maaf, aku belum sempat minta maaf dengan benar sama