Beberapa hari kemudian rumah tidak lagi sama.
Tak ada aroma masakan Aira di pagi hari, tak ada tangan sigap yang menyambut kebutuhan keluarga. Namun Aira tetap tinggal. Diam. Tegak. Tidak ke mana-mana.
Ia merawat Raka dan Aluna dengan penuh perhatian, seolah dunia di luar mereka sudah mati.
Namun diam-diam, kelicikan diracik di balik kamar tamu. Tania tidak tinggal diam menghadapi kekalahan verbal dari Aira. Ia butuh cara yang lebih menyakitkan. Lebih halus. Lebih licik.
Dan sasarannya kali ini: Raka.
Sore itu, saat Aira sedang memandikan Aluna di lantai atas, Tania memanggil Raka yang sedang menggambar sendirian di ruang tamu.
“Rakaaa... sini, sayang. Tante punya jus stroberi, kayak yang kamu suka waktu kita ke taman. Nih, coba deh.”
Raka, polos dan tak curiga, mengambil gelas itu. Ia meneguk setengah isi minuman sebelum Aira muncul dari tangga, mengusap rambut basah Aluna sambil membawa handuk. Pandangannya langsung tajam ke arah gelas di tangan Raka.
“Raka! Kamu dapat minuman itu dari siapa?”
Raka menunjuk Tania yang tersenyum.
Aira mengambil gelasnya, mencium aromanya manis, menyengat, aneh. Ia tahu ini bukan minuman biasa. Hatinya berdegup keras. Tapi ia menahan diri.
Malamnya, Raka mendadak demam dan muntah hebat. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat. Aira panik dan segera membawanya ke rumah sakit.
Di IGD, dokter mengatakan perlu uji darah untuk memastikan penyebab pasti, karena gejalanya mengarah pada keracunan ringan atau Ayahran obat penenang.
Beberapa jam kemudian, di rumah…
Revan pulang dengan wajah lelah, dasi longgar dan kemeja kusut. Ia baru saja menutup pintu ketika Tania menghampirinya dengan langkah gontai dan mata merah membengkak, seolah habis menangis seharian.
“Van…” suaranya lirih, hampir tercekat. “Aku... aku nggak kuat lagi…”
Revan menghentikan langkahnya, langsung sigap. “Kenapa, Tan? Kamu kenapa?”
Tania menggigit bibir, berusaha tampak tegar namun matanya kembali basah. “Aira... dia... dia nuduh aku meracuni Raka…”
Revan mengernyit. “Apa?!”
Tania menggeleng pelan, menahan napas seolah menahan ledakan emosi. “Aku cuma kasih jus, Van. Jus biasa. Tapi dia bilang aku racunin Raka. Dia bilang aku punya niat jahat. Aku ini cuma numpang, Van. Tapi diperlakukan kayak penjahat…”
Revan mencengkeram bahunya, nadanya mulai meninggi. “Kamu serius? Aira nuduh kamu racunin anak kami?!”
Tania menangis makin keras. “Dia bawa Raka ke rumah sakit. Katanya ada racun. Padahal dia sendiri yang nggak becus jaga anak! Sekarang dia bikin seolah aku yang jahat... aku jahat, Van…”
Revan membuang napas panjang, rahangnya mengeras. “Sudah keterlaluan! Dia makin gila!”
Tak lama, ibu Revan datang dari dapur, mengibaskan celemek. “Memangnya kenapa sih, rame-rame?”
Tania menyeka air matanya. “Bu… Aira nuduh saya yang bikin Raka sakit. Katanya saya racunin dia.”
Sang ibu langsung mendecak keras. “Astagfirullah, itu anak makin keterlaluan! Raka paling cuma masuk angin! Makan permen jatuh atau minum es habis lari-lari!”
Revan mengangguk cepat. “Aku nggak tahu apa yang ada di kepala Aira. Tapi aku nggak akan diam. Aku akan kasih dia pelajaran! Dia sudah bikin malu aku, malu keluarga!”
Ibu Revan mendukung. “Iya! Anak itu perlu disadarkan. Sudah dikasih tempat tinggal, dikasih kesempatan, eh malah sok-sokan jadi polisi moral!”
Tania menunduk, berbisik nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk Revan dengar. “Kalau bukan karena aku sayang kamu, Van… aku udah pergi dari rumah ini. Aku capek jadi kambing hitam.”
Revan mengepalkan tangan. Wajahnya gelap, penuh amarah yang membuncah.
“Aku akan temui Aira. Sekarang juga.”
Beberapa menit kemudian, di rumah sakit…
Aira duduk sendiri di ruang tunggu. Wajahnya lelah, rambutnya acak-acakan, tapi tangannya terus menggenggam tangan kecil Raka yang masih terbaring di ranjang.
Pintu ruang tunggu terbuka keras. Revan masuk dengan langkah cepat. Tatapannya menusuk.
“Apa yang kamu pikirkan, Ra?!”
Aira berdiri, terkejut. “Revan… kamu ke sini?”
Revan menunjuk wajahnya. “Kamu nuduh Tania racunin anak kita?!” suaranya menggema di lorong.
Aira menahan napas. “Karena aku tahu dia—”
“Kamu gila!” Revan membentak. “Kamu pikir ini sinetron? Kamu mau jadi korban terus? Kamu tahu nggak, kamu bikin semua orang malu! Kamu fitnah orang seenaknya! Tania bahkan nangis sepanjang sore karena kamu!”
Aira gemetar. “Tapi Raka—”
“Cukup!” Revan menatap tajam. “Kalau Raka sakit, itu karena kamu! Kamu yang urus dia! Jangan cari kambing hitam!”
Aira terdiam. Hatinya seperti diremukkan.
Revan menunduk ke arah Raka yang masih lemah. “Anak ini nggak butuh ibu yang suka drama. Dia butuh ibu yang waras!”
Aira menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca tapi tidak jatuh. “Aku tahu apa yang aku lihat, Van. Dan aku akan buktikan semuanya.”
Revan tertawa sinis. “Oh ya? Bukti apa? Kamu mau ngakuin salahmu aja nggak sanggup. Kamu pikir aku akan percaya sama kamu dibanding Tania? Dia lebih masuk akal daripada kamu akhir-akhir ini.”
Aira menarik napas dalam. Kali ini, bukan karena sedih, tapi karena sedang menahan gelombang kemarahan yang luar biasa.
“Baik, Van. Kalau kamu pilih percaya sama perempuan yang baru datang, dan bukan sama istrimu sendiri… maka jangan menyesal saat kebenaran datang terlambat.”
Tangisan kecil terdengar dari sisi ruangan. Aluna berdiri di balik tirai, matanya merah dan tubuhnya gemetar.
Ia menyaksikan semuanya sejak tadi, melihat ayahnya membentak ibunya, melihat ibunya hanya diam menahan air mata.
“Ayah jahat!” teriak Aluna tiba-tiba.
Revan tersentak. “Aluna?”
Gadis kecil itu berjalan cepat ke arah ibunya, memeluk kaki Aira erat. “Ayah jahat! Mama nggak salah! Mama selalu jaga Raka… Mama selalu masak, nyuci, nyetrika... Mama selalu peluk kami kalau kami sakit. Kenapa Ayah marahin Mama?!”
Suara Aluna yang kecil tapi penuh keberanian itu membuat suasana ruangan mendadak hening.
Aira hanya bisa menunduk, menggigit bibir, menahan ledakan tangis. Ia elus kepala anaknya dengan lembut. “Sudah, sayang… Jangan ikut marah...”
Namun Aluna mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak suka Tante Tania… Dia jahat... Dia bilang Mama pembantu... Dia bilang Raka anak lemah…”
Revan tercekat. “Apa?”
Belum sempat ia mencerna kata-kata putrinya, Tania yang berdiri di luar pintu mendengar semuanya. Wajahnya berubah pucat.
Ia cepat-cepat masuk ke ruang tunggu dengan langkah anggun dan suara memelas. “Aduh, Aluna… jangan suka ngarang cerita, sayang. Tante cuma bercanda…”
Aluna memeluk ibunya lebih erat. “Tante cubit aku…”
Aira langsung menoleh cepat. “Apa?”
Aluna mengangguk, menahan tangis. “Di dapur… waktu Mama ke kamar mandi…”
Aira langsung berjongkok, membuka sedikit lengan baju Aluna. Terlihat bekas merah samar di kulit kecil putrinya.
“Astaga…” napas Aira tercekat. “Tania… kamu berani menyakiti anakku?”
Tania melangkah cepat dan mencoba menyentuh Aluna. “Itu... itu pasti karena dia jatuh.”
“Jangan sentuh anakku!” Aira menepis tangannya, kali ini dengan sorot mata membara.
Revan masih diam, bingung, antara percaya dan membela.
Namun Aluna kembali bersuara, tangisnya pecah. “Tante Tania jahat… Dia cubit aku karena aku bilang mau cerita ke Mama…”
Hening.
Revan menatap Aluna, lalu ke arah Aira yang kini memeluk anaknya dengan tubuh gemetar. Ia menoleh ke Tania, yang kini tampak gugup dan tidak bisa bicara dengan lancar.
“Van… jangan dengerin anak kecil… dia pasti salah paham…”
Tapi Revan tidak menjawab. Wajahnya mulai goyah.
Sementara Aira berdiri, tegak, meski tubuhnya masih gemetar karena marah dan sakit hati.
“Sudah cukup, Van.” ucapnya pelan tapi tajam. “Kau boleh tutup matamu saat aku disakiti. Tapi hari ini, perempuan yang kau bela itu sudah menyentuh anak kita.”
Matanya berair, tapi kali ini bukan tangisan kelemahan. Itu adalah air mata seorang ibu yang siap melindungi anaknya dengan seluruh nyawa.
“Coba kau salahkan aku lagi… aku berani jamin, kali ini bukan cuma aku yang akan pergi. Anak-anak juga akan ikut. Dan jangan harap mereka akan panggil kamu ‘Ayah’ lagi.”
Revan terdiam. Suara tangis Aluna dan suara monitor detak jantung Raka jadi satu-satunya suara yang terdengar.
Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i
Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an
Sudah sebulan sejak Raka dimakamkan. Rumah itu kini terasa sunyi. Tidak ada lagi tawa kecil yang memanggil "Mama" sambil membawa mobil-mobilan.Tidak ada lagi tangisan malam karena mimpi buruk. Hanya Aluna yang masih hadir dan diam-diam mulai sering berbicara sendiri, seolah berharap kakaknya bisa kembali.Aira berusaha bertahan. Ia kembali menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga: memasak, membersihkan, mengurus Aluna. Tapi hatinya masih patah. Dan sekarang, tekanan hidup mulai menyusul luka batin yang belum pulih.Tagihan mulai menumpuk. Biaya sekolah Aluna, kebutuhan dapur, listrik, dan sekarang bahkan untuk keperluan sederhana pun Aira harus berhitung.Sementara Revan belum juga mendapat promosi seperti yang dijanjikan kantornya. Justru sejak isu di rumah sakit menyebar samar-samar, citranya mulai dipertanyakan.Revan makin sering pulang larut. Wajahnya tegang. Dan Tania pun mulai jarang muncul entah karena canggung, atau sedang menyusun skenario baru.Suatu sore, Aira duduk di
Beberapa hari setelah insiden dirumah, Aira tidak lagi mengurus tentang keracunan Raka, ia ingin fokus anaknya sembuh dulu.Hari itu, Aira mendapat panggilan dari pihak sekolah Aluna. Katanya, ada urusan mendesak soal administrasi dan kesehatan yang harus ia urus langsung da haya tinggal Aluna yang belum selesai karena Revan tidak kunjung merespon panggilan.Meski berat, Aira terpaksa meninggalkan rumah sakit sebentar, percaya bahwa Raka aman bersama tim medis yang sudah ia percayai.Sebelum pergi, Aira mencium kening putranya yang tertidur. “Mama cuma sebentar ya, Nak… Mama balik cepat.”Namun Aira tak tahu, ini adalah celah yang telah ditunggu.Tania, yang diam-diam menyuap salah satu petugas keamanan rumah sakit, tahu persis kapan Aira pergi. Begitu mobil Aira meninggalkan area parkir, Tania dan ibu Revan muncul di lorong, berpura-pura sebagai keluarga pasien.Mereka mendesak petugas jaga. “Kami keluarga kandung. Ibunya keluar sebentar. Kami hanya ingin menemani cucu dan keponakan k
Malam itu, Aira duduk di bangku lorong rumah sakit. Di tangannya tergenggam nota tagihan rawat inap Raka yang belum lunas. Ia tahu, jika tak segera dibayar besok pagi, Raka bisa saja dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih sederhana, atau bahkan ditunda pengobatannya.Aira menatap jemarinya yang mulai gemetar.Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru tua.Di dalamnya, beberapa perhiasan emas yang dulu ia simpan baik-baik, hadiah pernikahan dan hasil kerja kerasnya saat masih bekerja kantoran.Tanpa ragu, ia menutup kotak itu, berdiri, dan malam itu juga, ia naik ojek ke sebuah toko emas tua yang masih buka 24 jam di dekat pasar induk.“Tolong,” ucapnya pada si pemilik toko, “saya ingin gadai ini. Saya butuh dana secepatnya.”Pemilik toko melihat perhiasan itu. “Ini lumayan nilainya, Bu. Tapi apa Ibu yakin?”Aira hanya tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti dalam hidup, Pak. Kecuali satu: seorang ibu tidak akan tinggal diam ketika anaknya sakit.”Keesokan harinya, tagih
Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”Aira menghela napas dalam.“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.“Gimana
Beberapa hari kemudian rumah tidak lagi sama.Tak ada aroma masakan Aira di pagi hari, tak ada tangan sigap yang menyambut kebutuhan keluarga. Namun Aira tetap tinggal. Diam. Tegak. Tidak ke mana-mana.Ia merawat Raka dan Aluna dengan penuh perhatian, seolah dunia di luar mereka sudah mati.Namun diam-diam, kelicikan diracik di balik kamar tamu. Tania tidak tinggal diam menghadapi kekalahan verbal dari Aira. Ia butuh cara yang lebih menyakitkan. Lebih halus. Lebih licik.Dan sasarannya kali ini: Raka.Sore itu, saat Aira sedang memandikan Aluna di lantai atas, Tania memanggil Raka yang sedang menggambar sendirian di ruang tamu.“Rakaaa... sini, sayang. Tante punya jus stroberi, kayak yang kamu suka waktu kita ke taman. Nih, coba deh.”Raka, polos dan tak curiga, mengambil gelas itu. Ia meneguk setengah isi minuman sebelum Aira muncul dari tangga, mengusap rambut basah Aluna sambil membawa handuk. Pandangannya langsung tajam ke arah gelas di tangan Raka.“Raka! Kamu dapat minuman itu d
Keesokan paginya, Aira baru saja selesai memandikan Aluna ketika terdengar suara dari luar kamar.“Ra! Tolong setrika baju Tania, ya. Dia mau ke acara arisan, bajunya harus rapi!” teriak Revan dari bawah.Aira menoleh ke arah gantungan pakaian. Dress satin Tania yang mewah tergantung di sana, masih baru, labelnya belum dilepas. Ia menarik napas panjang.Sambil menggendong Aluna, Aira turun ke bawah. Di ruang tamu, Revan sedang duduk santai menonton TV sambil menyeruput kopi.Tania berdiri di depan cermin besar, menyemprotkan parfum mahal ke lehernya.“Jangan terlalu panas ya setrikanya, Ra. Ini bahan mahal, bukan kayak daster-daster kamu itu,” ucap Tania sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari bayangannya sendiri di cermin.Aira tidak menjawab. Ia mengambil dress itu pelan, membawanya ke dapur yang sempit, menyetrika dengan penuh hati-hati.Tangannya gemetar, bukan karena takut merusak kain, tapi karena harga dirinya yang terus diinjak-injak.Saat sedang menyetrika, terdengar l
Keesokan harinya, suara pintu pagar otomatis terdengar dari arah depan rumah. Aira sedang melipat pakaian anak-anak di ruang tengah saat ia melihat mobil baru berhenti di halaman. Mobil Revan, tapi dengan bagasi penuh kantong-kantong belanja dari butik mahal yang logonya berkilat emas.Tania turun lebih dulu, memakai kacamata hitam besar, mengenakan dress putih ketat dengan sabuk Gucci mencolok di pinggangnya.Ia membawa empat kantong belanja di tangan kiri, dan tas Hermes di tangan kanan.Revan turun sambil membawa dua kotak sepatu. Ia bahkan membukakan pintu untuk Tania seperti seorang pelayan pribadi.“Oh, bawaannya berat banget sih. Harusnya beli koper sekalian tadi,” keluh Tania manja.“Nanti kita beli, sayang. Kalau butuh, ya ambil aja. Nggak usah ditahan-tahan,” jawab Revan santai, memasukkan kotak-kotak itu ke dalam rumah.Aira berdiri di ambang pintu ruang tengah. Tangannya masih memegang kaos Raka yang setengah terlipat.Tania melihatnya dan langsung nyengir lebar. “Eh, Air