Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.
Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.
Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.
Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.
“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”
Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”
Aira menghela napas dalam.
“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”
Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.
“Gimana Raka?” tanya Revan, wajahnya agak letih.
Aira tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Raka, lalu berdiri pelan dan berkata, “Kau boleh datang, tapi jangan ajak perempuan itu ke ruangan ini.”
Revan mendengus. “Kau masih belum bisa move on dari fitnah itu?”
Aira menatapnya, kali ini tak sedingin sebelumnya, melainkan seperti kaca yang sudah retak tapi menolak pecah.
“Bukan fitnah kalau ada bukti,” bisiknya pelan.
Belum sempat Revan menjawab, dokter anak masuk. “Bu Aira, saya mau bicara empat mata. Boleh sebentar?”
Mereka ke luar ruangan, dan dokter itu menyerahkan sebuah berkas hasil lab.
“Dari hasil tes, memang ditemukan zat asing dalam tubuh Raka. Bukan racun keras, tapi ada senyawa yang biasa terdapat dalam bahan pembersih rumah tangga atau zat pelunak makanan.
Jika tertelan terus-menerus dalam dosis kecil, bisa menyebabkan gangguan pencernaan berat dan keracunan lambat.”
Aira menggenggam kertas itu erat. Tangannya bergetar.
“Terima kasih, Dok. Ini yang saya butuhkan.”
Sore harinya, ketika Revan dan ibunya datang lagi, mereka membawa makanan dan senyum palsu. Tania ikut, berpura-pura sibuk membawa tas berisi buah.
Namun Aira hanya tersenyum kecil, lalu berkata sambil berdiri:
“Terima kasih sudah datang. Tapi mulai hari ini, saya yang atur siapa yang boleh dan tidak boleh masuk ke ruang perawatan anak saya.”
Ibu Revan mendengus. “Apa maksudmu?”
Aira mengeluarkan berkas dari tasnya. “Ini hasil lab dari dokter. Dan ini bukti bahwa Raka mengalami paparan zat kimia berbahaya dalam beberapa hari terakhir.”
Revan tertegun. “Apa?!”
Tania langsung panik. “Kamu nuduh aku lagi?! Aku nggak pernah—”
“Diam.” Suara Aira kali ini tegas dan penuh wibawa. “Aku belum nuduh siapa pun. Tapi aku akan cari tahu. Dan jika aku tahu siapa pelakunya, bukan cuma aku yang akan bicara.”
Ia menatap satu per satu mereka.
“Polisi yang akan urus semuanya.”
Tania mulai pucat. Ibunya Revan mulai gelisah. Tapi Revan, yang selama ini membela mati-matian, mulai goyah. Ia tampak bingung dan takut.
Namun Aira tak menunggu. Ia menoleh pada perawat.
“Maaf, suster. Tolong batasi kunjungan. Mulai sekarang, saya hanya izinkan dua orang untuk masuk: saya dan dokter.”
Perawat mengangguk tegas. “Baik, Bu.”
Aira menatap mereka terakhir kali. “Mulai sekarang, permainan kalian selesai. Saya bukan lagi Aira yang bisa kalian bentak dan tampar sesuka hati. Saya ibu dari Raka dan Aluna. Dan saya akan berdiri di depan mereka, bukan lagi di belakang kalian.”
Kemudian ia masuk ke ruang perawatan dan menutup pintu… perlahan tapi pasti.
Di balik pintu, Aluna terbangun dan langsung memeluknya.
“Ma, aku takut…”
Aira memeluknya erat. “Jangan takut lagi, sayang. Mulai hari ini, Mama yang akan buat mereka takut…”
Dua hari setelah hasil laboratorium keluar, Aira masih menunggu pergerakan dari Revan. Ia sengaja tak membawa bukti itu ke polisi dulu.
Ia ingin melihat: seberapa jauh orang-orang ini akan melangkah sebelum topeng mereka benar-benar runtuh.
Tapi ternyata, mereka melangkah terlalu jauh.
Siang itu, Aira baru saja pulang ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa baju bersih dan perlengkapan anak-anak. Rumah itu sunyi. Tapi tak lama, suara mobil terdengar. Revan pulang bersama Tania dan ibunya.
Ketiganya masuk dengan langkah cepat. Dan tanpa banyak basa-basi, Revan langsung membentak:
“Kamu datang-datang ke rumah sakit, bawa-bawa tuduhan! Kamu tahu malu nggak?! Orang-orang sampai ngomongin keluarga kita!”
Tania pura-pura menangis sambil memegangi lengannya. “Aku cuma mau bantu jaga Raka, Mas… tapi dia nuduh aku, seolah aku ini penjahat! Aku tuh cuma pengin jadi bagian keluarga ini…”
Ibu Revan menimpali, “Udah aku bilang dari dulu, Mas… perempuan ini memang suka melebih-lebihkan! Apa pun dijadikan drama. Padahal mungkin Raka cuma keracunan jajanan sekolah!”
Aira berdiri, mencoba tetap tenang. “Aku bawa bukti, Bu. Aku tidak asal bicara.”
Tapi Revan malah melempar berkas itu ke lantai. “Bukti apaan?! Kamu ini terlalu banyak nonton sinetron! Sekarang semua salah Tania?! Kamu pikir kamu siapa, Aira?!”
Tania langsung memeluk Revan, dan seolah-olah menangis dalam-dalam. “Mas... aku capek... aku dijadikan kambing hitam terus. Aku disiksa mental aku, Mas...”
Dan seolah tak cukup, ibu Revan mendekat ke Aira, lalu menampar pipinya keras.
Plak!
“Kamu perempuan nggak tahu diri! Anakku udah cukup sabar sama kamu. Sekarang kamu bikin malu keluarga besar di rumah sakit, kamu nuduh-nuduh tanpa bukti! Kamu bukan menantu lagi buatku.”
Aira terdiam. Pipinya merah. Tapi matanya… tidak berkaca-kaca.
Pintu rumah mendadak terbuka. Ternyata beberapa tetangga yang mendengar keributan mulai berdatangan. Salah satunya adalah Bu Lilis, tetangga lama yang mengenal Aira sejak awal menikah.
“Astaga, kenapa ribut-ribut? Aira… kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Lilis cemas.
Tania langsung berakting. “Maaf, Bu… kami lagi urusan keluarga. Tapi saya capek dituduh terus, padahal saya hanya membantu!”
Revan menoleh ke arah tetangga-tetangga yang mulai berkerumun. Ia makin terbakar emosi, takut jadi bahan omongan.
“Kamu puas, Ra? Kamu bikin malu aku di depan semua orang?!”
Aira hanya menatapnya. Datar. Tapi kali ini, ia menunduk mengambil berkas yang tadi dilempar Revan, menepuknya pelan agar rapi, lalu menatap semua orang yang ada di sana.
Dengan suara tenang namun tajam, ia berkata:
“Kalian semua ingin tahu siapa saya?”
“Aku adalah istri yang ditinggal karena perempuan lain.”
“Ibu yang anaknya sakit karena racun dari tangan yang pura-pura menyayanginya.”
“Dan perempuan yang rumahnya dibeli sendiri, tapi malah diperlakukan seperti pembantu.”
Ia menoleh ke Tania.
“Kau menang hari ini, Tan, aku akui dari dulu kamu memang pandai drama, cita-citamu dulu memang menjadi artis kan dulu.” Lirikan Aira sinis dan meremahkan.
Lalu ia menatap Revan.
“Kamu terlalu kejam Van..”
Satu per satu tetangga mulai berbisik. Beberapa bahkan memandang Revan dan Tania juga Aira dengan banyak persepsi.
Aira melangkah pergi dari rumah bergegas ke rumah sakit lagi tanpa menangis, tanpa terisak. Ia menggenggam erat berkas di tangannya dan menatap ke depan.
Beberapa menit kemudian, Revan berdiri di dapur. Ia menuang air ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang tamu dan menyerahkannya pada Tania yang pura-pura lemas di sofa.Tania menerimanya dengan tangan gemetar. “Makasih, Mas,” bisiknya.Tapi Revan tak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah tangga, ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.Di ujung meja, ada sisa roti isi dari tadi malam. Bungkusnya masih ada tulisan kecil dengan spidol:"Untuk Mas Revan jaga kesehatan."Tulisan tangan Aira.Tania mengikuti arah pandang Revan, lalu menunduk. Ia tahu sebenci-bencinya Aira wanita itu masih lebih punya tempat di hati Revan, daripada dirinya yang kini sah sebagai istri.Di atas sana, Aira berdiri di balik tirai jendela kamar, menatap halaman depan yang mulai disinari mentari. Ia tersenyum kecil.Keesokan paginyaAira turun dari mobil dengan anggun. Blazer putih elegan membalut tubuh rampingnya, rambut dikuncir rapi, dan riasan wajah yang flawless.Di belakangnya, Tania mengekor, membaw
Aira berdiri di depan mobil SUV hitam yang sudah disiapkan untuk kembali ke Jakarta. Ia mengenakan coat panjang berwarna beige dengan syal wol di lehernya.Sembari menunggu Revan dan Tania mengambil barang, ia mengecek ponselnya ada satu pesan video dari Aluna yang dikirim mertuanya: “Mama cepat pulang Aluna pengen peluk!”Senyum tipis muncul di wajah Aira. Namun sebelum ia sempat membalas, langkah cepat menghampirinya dari arah kiri.“Maaf, Kak Aira?” suara itu datang dari seorang pria muda bersetelan rapi, ia manajer Ezra yaitu Candra.Aira menoleh ramah. “Ya?”Pria itu tersenyum profesional. “Ezra titip pesan. Dia ingin sekali mengundang Kak Aira makan malam sebelum pulang ke Jakarta. Hanya berdua. Katanya, untuk merayakan kerja sama luar biasa hari ini.”Aira terdiam sesaat. Di belakangnya, Revan dan Tania baru tiba sambil menarik koper perlengkapan Aira. Revan menatap ke arah pria itu, waspada.Aira tersenyum sopan, lalu menggeleng halus. “Sampaikan terima kasih untuk Ezra. Tapi
Kantor tempat Aira bekerja hari itu sedang sibuk. Ruang meeting dipenuhi tim produksi dan perwakilan brand luar negeri yang hendak bekerja sama.Di sudut ruangan, Tania duduk dengan gugup, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia baru tiba satu jam lalu, dan Aira belum berbicara sepatah kata pun padanya.Aira melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan blazer putih bersih dan rok pensil. Makeup-nya flawless. Dia tampak seperti pusat gravitasi ruangan.“Pagi semuanya,” sapanya ramah. “Langsung saja ya, kita mulai.”Tania buru-buru bangkit berdiri, membuka presentasi. Tapi suaranya gemetar. Slide salah. Bahasa Inggrisnya terbata. Semua mata mulai berpaling dengan ekspresi tak nyaman.“Sebentar,” potong Aira halus, meski suaranya menohok. “Tan, kamu upload file yang salah. Itu bukan untuk klien hari ini.”Tania membeku. “Maaf, aku pikir—”“Kamu pikir?” Aira menoleh pada tamu, tersenyum sopan. “Sorry for the inconvenience. My team member is still in training.”Semua tertawa kecil.S
Sejak kejadian itu, hidup Aira perlahan berubah. Mertua yang dulu sinis, kini justru mendadak ramah. Bu Rani mulai sering mengajaknya bicara, bahkan tanpa dipanggil, wanita itu sudah duduk manis di teras setiap Aira pulang kerja.“Wah, tas kamu baru ya, Aira? Elegan sekali,” puji Bu Rani suatu sore.Aira tersenyum tipis. “Oh, ini? Iya, kebetulan koleksi dari brand Prancis yang kerja sama sama aku, Bu. Tapi kalau Ibu suka, aku belikan yang lain ya. Warna pastel lebih cocok buat Ibu, setuju?”Bu Rani tertawa kecil, geli. “Aduh, kamu ini, Nak, makin manis aja sekarang.”Tak hanya itu. Aira kini punya mobil sendiri, sopir pribadi, dan hamper-hamper mewah yang ia bawa pulang nyaris setiap minggu. Perhiasan, tas, baju semuanya ia beli dari hasil endorse dan bisnis yang meroket. Suatu malam, ia menyodorkan sebuah kotak beludru pada Bu Rani.“Ibu pernah bilang suka anting berlian, kan? Aku lihat ini cocok sekali dengan warna kulit Ibu.”Bu Rani terperangah. “Aira... ini mahal.”“Buatku, senyum
Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i
Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an