Share

Bukan Pembantu

Penulis: Phoenixclaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-01 22:41:37

Keesokan paginya, Aira baru saja selesai memandikan Aluna ketika terdengar suara dari luar kamar.

“Ra! Tolong setrika baju Tania, ya. Dia mau ke acara arisan, bajunya harus rapi!” teriak Revan dari bawah.

Aira menoleh ke arah gantungan pakaian. Dress satin Tania yang mewah tergantung di sana, masih baru, labelnya belum dilepas. Ia menarik napas panjang.

Sambil menggendong Aluna, Aira turun ke bawah. Di ruang tamu, Revan sedang duduk santai menonton TV sambil menyeruput kopi.

Tania berdiri di depan cermin besar, menyemprotkan parfum mahal ke lehernya.

“Jangan terlalu panas ya setrikanya, Ra. Ini bahan mahal, bukan kayak daster-daster kamu itu,” ucap Tania sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari bayangannya sendiri di cermin.

Aira tidak menjawab. Ia mengambil dress itu pelan, membawanya ke dapur yang sempit, menyetrika dengan penuh hati-hati.

Tangannya gemetar, bukan karena takut merusak kain, tapi karena harga dirinya yang terus diinjak-injak.

Saat sedang menyetrika, terdengar langkah kaki kecil berlari masuk. Raka menangis.

“Mama… tadi Tante Tania bilang aku nggak boleh duduk di sofa. Katanya bajuku bau dan nanti bikin sofanya jadi jelek…”

Aira segera memeluk anaknya. “Nggak apa-apa, sayang. Nanti kita main di kamar aja, ya.”

Air mata Raka jatuh di bahunya. Aira menahan tangisnya sendiri. Ia tahu, luka seperti itu tak akan hilang dengan cepat.

Sore harinya, ketika Aira sedang mencuci piring, terdengar suara dari ruang tengah.

“Ra! Tolong pel ini lantai. Saus jatuh, lengket banget!” panggil Tania dengan nada seenaknya.

Aira menghela napas. Ia mengambil alat pel, lalu menuju ruang tengah. Tania duduk santai di sofa, sibuk berswafoto dengan ponsel. Revan asyik main game, sementara ibu mertuanya menonton acara gosip sambil mengunyah buah potong.

Tak satu pun menoleh pada Aira yang berjongkok, membersihkan lantai.

Tania terkekeh pelan. “Aduh, maaf ya, Aira. Aku nggak sengaja banget. Tapi emang ya, rumah tuh butuh perempuan yang bisa kerja, bukan cuma duduk manis ngabisin waktu.”

Ibu Revan menyambung, “Iya Tan, zaman sekarang mah istri harus lincah. Bukan cuma ngurus anak, rebahan, lalu ngeluh ini itu.”

Aira berhenti dari kegiatannya. Ia bangkit perlahan, menatap mereka satu per satu.

Wajahnya tetap tenang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya dingin, tajam, seperti pisau yang sedang menajamkan ujungnya.

“Bu, Tan,” ucap Aira datar. “Kalian benar. Rumah ini memang butuh perempuan yang bisa kerja. Jadi mulai sekarang, kalian juga harus mulai kerja.

Karena mulai besok, saya nggak akan lagi sentuh cucian kalian. Baju-baju kalian silakan kalian setrika sendiri.

Kamar kalian? Bersihkan sendiri. Dapur? Silakan masak sendiri. Mau tahu rasanya mengurus semuanya tanpa bantuan.”

Revan menoleh. “Apa maksud kamu, Ra?”

Aira menoleh pelan, lalu tersenyum manis senyum yang penuh ironi.

“Maksudku, kalau aku ini tidak dihargai sebagai istri dan ibu rumah tangga, maka jangan harap kalian bisa menikmati hasil kerja aku lagi.”

Ia menatap Revan dan ibu mertuanya tajam, lalu menekankan kalimat berikut dengan suara yang tegas namun tetap dingin:

“Ingat, Mas. Ingat juga, Bu. Rumah ini aku yang beli. Dengan uangku sendiri. Uang dari jerih payah aku kerja dulu sebelum aku mengalah demi keluarga ini. Jadi kalau ada yang numpang di sini, jelas bukan aku.”

Tania berdiri, mendekat dengan alis terangkat. “Eh, kamu mulai kurang ajar ya, Ra?”

Aira menatapnya nyaris tanpa kedipan. “Kurang ajar? Tidak, Tan. Ini baru pemanasan.

Tania terkesiap.

Ibu Revan tampak terdiam, tak menyangka Aira akan bicara sejauh itu.

Revan berdiri. “Kamu sengaja ya cari ribut?!”

Aira melangkah mendekatinya. “Aku sudah diam terlalu lama, Van. Dan kamu tahu apa yang terjadi kalau seseorang yang sabar mulai bicara? Mereka bicara dengan tindakan. Aku nggak akan kabur. Aku nggak akan lari. Aku akan tetap di sini… dan menyingkirkan satu per satu racun yang merusak rumah ini.”

Dia lalu menoleh ke anak-anaknya di tangga, yang diam-diam menyaksikan dari atas. Ia mengulurkan tangan.

“Raka, Aluna. Ayo, kita ke kamar. Mulai malam ini, Mama akan ajari kalian cara menjadi tuan rumah. Bukan jadi tamu.”

Keesokan paginya, rumah itu sunyi. Tidak ada aroma nasi goreng. Tidak ada suara piring beradu.

Meja makan tampak kosong dan dingin. Hanya terdengar suara sendok dari arah pojok dapur tempat Aira dan kedua anaknya duduk menyantap bubur telur hangat dalam mangkuk kecil.

Aira duduk tegak, menyendokkan bubur perlahan ke mulut Raka, sementara Aluna menyuap sendiri sambil bersandar lelah pada ibunya.

Matanya sembab, tetapi wajah Aira… datar. Sepi. Tapi bukan pasrah itu wajah perempuan yang sedang menyusun rencana dalam diam.

Tania turun dengan daster satin berkilat dan rambut disanggul asal. Langkahnya malas dan ragu saat melihat meja makan kosong. Keningnya mengernyit tajam.

“Lho, sarapannya mana?” tanyanya nyaring, sengaja.

Aira menoleh singkat. Tatapannya dingin, tidak tergesa. “Dapur nggak dikunci, Tan. Silakan masak sendiri. Kalau butuh panci, masih ada di rak bawah asal kamu tahu cara pakainya.”

Nada suaranya tenang, tapi menusuk seperti pisau es.

Tania tertawa cepat, palsu, sinis. “Ih, marah ya? Cuma gara-gara pizza kemarin? Gitu amat…”

Aira tidak menjawab. Ia kembali menyendok bubur ke mulut Raka, seolah suara Tania hanyalah dengung nyamuk yang tak layak ditanggapi.

Tak lama, Revan turun. Ia menguap lebar, menggaruk kepala sambil menatap ke arah meja makan. “Ra, kopi aku mana?”

Aira berdiri pelan. Ia mengambil gelas bening, mengisi dengan air putih dari dispenser, lalu meletakkannya di depan Revan tanpa menoleh sedikit pun.

“Mulai hari ini, kamu minum air putih dulu, Van,” ucapnya datar. “Biar jernih pikirannya. Atau minta istri keduamu itu untuk ngurus kamu.”

Revan terdiam, merasa seperti baru saja ditampar dengan kata-kata yang terlalu halus untuk dianggap marah, tapi terlalu tajam untuk diabaikan.

Langkah berat terdengar dari atas. Ibu Revan turun dengan daster tua dan tatapan curiga.

Ia melihat ke arah dapur, ke arah meja makan kosong, lalu ke wajah Aira yang tetap tegak berdiri.

“Kamu kenapa, Ra? Mulai malas ngurus rumah ya? Kalau begini terus kamu akan rugi, Anakku bisa ceraikan kamu.” Ucapnya tajam.

Aira menatapnya, kali ini lama. Dalam sorot matanya tak ada air mata. Hanya ada luka yang sudah mengering dan membentuk dinding baja.

“Yang rugi?” Aira tersenyum kecil. “Bu… rugi itu kalau kita terus melayani orang-orang yang bahkan tidak tahu caranya menghargai. Saya sudah cukup jadi pelayan di rumah yang saya beli dengan keringat sendiri. Mulai hari ini, saya berhenti jadi pembantu kalian.”

Lalu ia kembali ke meja kecil bersama anak-anak. Mengelus kepala mereka lembut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kepalsuan

    Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kesempatan Emas

    Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Mulai Bekerja

    Sudah sebulan sejak Raka dimakamkan. Rumah itu kini terasa sunyi. Tidak ada lagi tawa kecil yang memanggil "Mama" sambil membawa mobil-mobilan.Tidak ada lagi tangisan malam karena mimpi buruk. Hanya Aluna yang masih hadir dan diam-diam mulai sering berbicara sendiri, seolah berharap kakaknya bisa kembali.Aira berusaha bertahan. Ia kembali menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga: memasak, membersihkan, mengurus Aluna. Tapi hatinya masih patah. Dan sekarang, tekanan hidup mulai menyusul luka batin yang belum pulih.Tagihan mulai menumpuk. Biaya sekolah Aluna, kebutuhan dapur, listrik, dan sekarang bahkan untuk keperluan sederhana pun Aira harus berhitung.Sementara Revan belum juga mendapat promosi seperti yang dijanjikan kantornya. Justru sejak isu di rumah sakit menyebar samar-samar, citranya mulai dipertanyakan.Revan makin sering pulang larut. Wajahnya tegang. Dan Tania pun mulai jarang muncul entah karena canggung, atau sedang menyusun skenario baru.Suatu sore, Aira duduk di

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kehilangan Buah Hati

    Beberapa hari setelah insiden dirumah, Aira tidak lagi mengurus tentang keracunan Raka, ia ingin fokus anaknya sembuh dulu.Hari itu, Aira mendapat panggilan dari pihak sekolah Aluna. Katanya, ada urusan mendesak soal administrasi dan kesehatan yang harus ia urus langsung da haya tinggal Aluna yang belum selesai karena Revan tidak kunjung merespon panggilan.Meski berat, Aira terpaksa meninggalkan rumah sakit sebentar, percaya bahwa Raka aman bersama tim medis yang sudah ia percayai.Sebelum pergi, Aira mencium kening putranya yang tertidur. “Mama cuma sebentar ya, Nak… Mama balik cepat.”Namun Aira tak tahu, ini adalah celah yang telah ditunggu.Tania, yang diam-diam menyuap salah satu petugas keamanan rumah sakit, tahu persis kapan Aira pergi. Begitu mobil Aira meninggalkan area parkir, Tania dan ibu Revan muncul di lorong, berpura-pura sebagai keluarga pasien.Mereka mendesak petugas jaga. “Kami keluarga kandung. Ibunya keluar sebentar. Kami hanya ingin menemani cucu dan keponakan k

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Suami Gelap Mata

    Malam itu, Aira duduk di bangku lorong rumah sakit. Di tangannya tergenggam nota tagihan rawat inap Raka yang belum lunas. Ia tahu, jika tak segera dibayar besok pagi, Raka bisa saja dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih sederhana, atau bahkan ditunda pengobatannya.Aira menatap jemarinya yang mulai gemetar.Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru tua.Di dalamnya, beberapa perhiasan emas yang dulu ia simpan baik-baik, hadiah pernikahan dan hasil kerja kerasnya saat masih bekerja kantoran.Tanpa ragu, ia menutup kotak itu, berdiri, dan malam itu juga, ia naik ojek ke sebuah toko emas tua yang masih buka 24 jam di dekat pasar induk.“Tolong,” ucapnya pada si pemilik toko, “saya ingin gadai ini. Saya butuh dana secepatnya.”Pemilik toko melihat perhiasan itu. “Ini lumayan nilainya, Bu. Tapi apa Ibu yakin?”Aira hanya tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti dalam hidup, Pak. Kecuali satu: seorang ibu tidak akan tinggal diam ketika anaknya sakit.”Keesokan harinya, tagih

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Terlalu Licik

    Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”Aira menghela napas dalam.“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.“Gimana

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Jangan Sakiti Anakku

    Beberapa hari kemudian rumah tidak lagi sama.Tak ada aroma masakan Aira di pagi hari, tak ada tangan sigap yang menyambut kebutuhan keluarga. Namun Aira tetap tinggal. Diam. Tegak. Tidak ke mana-mana.Ia merawat Raka dan Aluna dengan penuh perhatian, seolah dunia di luar mereka sudah mati.Namun diam-diam, kelicikan diracik di balik kamar tamu. Tania tidak tinggal diam menghadapi kekalahan verbal dari Aira. Ia butuh cara yang lebih menyakitkan. Lebih halus. Lebih licik.Dan sasarannya kali ini: Raka.Sore itu, saat Aira sedang memandikan Aluna di lantai atas, Tania memanggil Raka yang sedang menggambar sendirian di ruang tamu.“Rakaaa... sini, sayang. Tante punya jus stroberi, kayak yang kamu suka waktu kita ke taman. Nih, coba deh.”Raka, polos dan tak curiga, mengambil gelas itu. Ia meneguk setengah isi minuman sebelum Aira muncul dari tangga, mengusap rambut basah Aluna sambil membawa handuk. Pandangannya langsung tajam ke arah gelas di tangan Raka.“Raka! Kamu dapat minuman itu d

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Bukan Pembantu

    Keesokan paginya, Aira baru saja selesai memandikan Aluna ketika terdengar suara dari luar kamar.“Ra! Tolong setrika baju Tania, ya. Dia mau ke acara arisan, bajunya harus rapi!” teriak Revan dari bawah.Aira menoleh ke arah gantungan pakaian. Dress satin Tania yang mewah tergantung di sana, masih baru, labelnya belum dilepas. Ia menarik napas panjang.Sambil menggendong Aluna, Aira turun ke bawah. Di ruang tamu, Revan sedang duduk santai menonton TV sambil menyeruput kopi.Tania berdiri di depan cermin besar, menyemprotkan parfum mahal ke lehernya.“Jangan terlalu panas ya setrikanya, Ra. Ini bahan mahal, bukan kayak daster-daster kamu itu,” ucap Tania sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari bayangannya sendiri di cermin.Aira tidak menjawab. Ia mengambil dress itu pelan, membawanya ke dapur yang sempit, menyetrika dengan penuh hati-hati.Tangannya gemetar, bukan karena takut merusak kain, tapi karena harga dirinya yang terus diinjak-injak.Saat sedang menyetrika, terdengar l

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Sekotak Pizza

    Keesokan harinya, suara pintu pagar otomatis terdengar dari arah depan rumah. Aira sedang melipat pakaian anak-anak di ruang tengah saat ia melihat mobil baru berhenti di halaman. Mobil Revan, tapi dengan bagasi penuh kantong-kantong belanja dari butik mahal yang logonya berkilat emas.Tania turun lebih dulu, memakai kacamata hitam besar, mengenakan dress putih ketat dengan sabuk Gucci mencolok di pinggangnya.Ia membawa empat kantong belanja di tangan kiri, dan tas Hermes di tangan kanan.Revan turun sambil membawa dua kotak sepatu. Ia bahkan membukakan pintu untuk Tania seperti seorang pelayan pribadi.“Oh, bawaannya berat banget sih. Harusnya beli koper sekalian tadi,” keluh Tania manja.“Nanti kita beli, sayang. Kalau butuh, ya ambil aja. Nggak usah ditahan-tahan,” jawab Revan santai, memasukkan kotak-kotak itu ke dalam rumah.Aira berdiri di ambang pintu ruang tengah. Tangannya masih memegang kaos Raka yang setengah terlipat.Tania melihatnya dan langsung nyengir lebar. “Eh, Air

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status