Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.
Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.
Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.
“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”
“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.
Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.
Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.
Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu nyaman, seolah memang sudah tinggal di sana sejak awal.
“Ma, tante itu ngapain di dapur?” tanya Raka polos, membuat suasana sesaat membeku.
Aira hanya tersenyum tipis. “Tante itu bantu-bantu sebentar, Nak.”
Tania menoleh, seolah tak terganggu. “Aku masak bekal buat Ayah kalian, biar nggak jajan sembarangan.”
Aira tak menjawab. Tapi matanya melototi Tania.
Tak lama Ibu Revan menyusul dari belakang, mengenakan daster bermotif bunga besar, dan langsung menuju meja makan sambil mengeluh pelan setelah melihat sepatu baru Aira yang masih belum keluar dari kotaknya.
“Pantes aja gaji Revan sering habis nggak jelas. Kalau semuanya diturunin ke kamu, Ra, ya begini. Boros. Terlalu banyak gaya.”
Aira menoleh pelan. Matanya bertemu dengan mata mertuanya, namun ia tak menjawab. Ia sudah belajar bahwa membela diri di rumah ini hanyalah bahan tertawaan selanjutnya.
Revan duduk di samping ibunya, menyeruput teh hangat.
“Ibu ada benarnya,” katanya datar. “Aku kerja siang malam, tapi pengeluaran rumah makin nggak jelas.”
Aira menggigit bibirnya. Ujung hatinya menjerit, tapi wajahnya tetap tenang.
Revan lalu kembali bicara.
“Ra, mulai bulan ini kamu nggak usah repot urus pengeluaran rumah. Aku sebaiknya serahin semua ke Tania. Dia yang ngatur belanja, tagihan, dan lain-lain.”
Aira yang sedang membereskan serbet berhenti sejenak. Menoleh pelan.
“Semua Mas?” tanyanya lirih.
“Iya. Kamu fokus aja ke Aluna dan Raka. Semua kebutuhan mereka tetap aku kasih ke kamu, tapi sisanya… Tania yang urus. Aku percaya dia lebih ngerti cara ngatur rumah sekarang.”
"Sekarang." Kata itu menampar Aira lebih keras daripada yang Revan sadari.
Ibu Revan yang duduk di ujung meja ikut angkat bicara, suaranya tenang tapi tajam.
“Memang seharusnya begitu. Tania itu luwes, pintar ngatur keuangan. Biar kamu nggak terlalu terbebani. Kamu itu capek ngurus anak aja, udah cukup.”
Aira mengangguk pelan, seolah menerima. Tapi dalam hatinya, ia mendengar suara kaca yang retak sedikit demi sedikit.
Bukan karena soal uang. Tapi karena mereka baru saja mencabut salah satu hal paling berharga yang ia perjuangkan selama tujuh tahun: posisinya sebagai tiang rumah itu.
Tania menatapnya dengan senyum kecil. “Aku akan pastikan rumah ini jalan dengan baik. Tenang aja, Aira.”
Aira menelan napasnya. Lalu berkata pelan, hampir seperti bisikan.
“Tenang... ya?”
Ia menoleh ke arah Revan. Tatapannya lembut tapi membunuh.
Tania lalu kembali ke daput dan muncul membawa satu kotak bekal besar. Ia tampak segar, dengan blouse putih bersih dan senyum yang terlalu lebar.
“Aku udah siapin bekal buat Revan, Bu. Ada salad dan ayam panggang kesukaan dia. Makan di luar tuh mahal, kan sayang uangnya,” ujarnya sambil melirik Aira.
Ibu Revan terkekeh. “Iya, Tan, kamu paham betul. Gimana ya, ada perempuan yang memang cuma bisa ngabisin, ada yang bisa ngatur.”
Aira tetap diam. Tapi jemarinya mengencang di gagang tas kecil milik Raka.
Ibu Revan tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di udara.
“Aira, kamu jangan baper gitu lah. Ini demi kebaikan bersama. Kamu juga enak, kan? Bisa lebih fokus ke anak-anak. Udah saatnya kamu ngerti juga, jadi ibu rumh tangga itu nggak cuma soal gengsi.”
Melihat Aira tetap diam. Revan berdiri dari kursi, suaranya sedikit mengeluh. “Ra, jangan drama. Kita cuma bagi peran. Kamu tetap istri aku.”
Aira menatapnya lama. Bibirnya bergetar sedikit, lalu membentuk senyum yang sangat tipis.
“Istri. Tapi tidak cukup sebagai nyonya rumah. Tidak cukup dipercaya untuk memegang rumah tangga yang aku bangun. Dan tidak cukup untuk jadi satu-satunya.”
Ia menoleh ke arah Raka, dan bersamaan dengan suara Aluna yang menggema.
“Mama, kita berangkat sekarang?” tanya Aluna, matanya memelas.
Aira mengangguk. Lalu, ia menatap Revan.
“Aluna minta aku temani. Hari ini penting buat dia.”
Revan menatap penampilan Aira dari atas ke bawah. Wajah tanpa riasan, rambut disanggul sederhana, kaus polos dan celana panjang longgar.
Bukan penampilan yang akan ia banggakan di depan orang tua murid lain.
Tania mengerutkan alis, berbisik pada Revan, “Nggak usah lah Mas. Lihat itu dandanan Aira”
Tapi Revan mengabaikan saran Tania. Meskipun wajahnya masam, ia tetap mengangguk. “Terserah. Tapi jangan lama-lama. Ada jadwal arisan ibu nanti.”
Aira hanya menjawab dengan tatapan tajam yang cepat disembunyikan. Ia menggandeng tangan Aluna dan Raka, melangkah keluar.
Di ambang pintu, ia menoleh sejenak.
“Terima kasih… untuk semua pelajaran pagi ini,” ucapnya pelan.
Tania tertawa samar. “Jangan baper, Ra.”
Tapi Aira hanya tersenyum. Senyum yang berbeda.
Anak-anak mengikuti Aira dengan langkah kecil. Di belakang mereka, Tania mendekat ke Revan dan menyentuh lengannya lembut, penuh kepemilikan.
“Biar nanti aku yang urus rumah Mas,” ucapnya manis. “Kamu fokus kerja aja, Sayang.”
Revan mengangguk, seolah lupa perempuan yang barusan berjalan di sampingnya adalah istri sahnya. Ibu Revan memandangi keduanya dengan senyum tipis bangga.
Setelah Aira dan Revan berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, rumah kembali sepi. Tania sengaja tak langsung beres-beres dapur.
Ia menyeduh kopi untuk Ibu Revan dan duduk di ruang tamu bersamanya, mengenakan daster lembut warna pastel, tampil seperti menantu ideal.
“Aira dan Revan lama juga ya ngantar anak-anak?” tanyanya ringan, sambil menyodorkan cangkir ke ibu Revan.
“Biasanya mampir sarapan atau beliin jajanan anak-anak,” jawab Ibu Revan.
Tania tersenyum tipis, matanya mengamati raut wajah sang mertua yang sibuk merapikan meja.
“Bu, istirahat dulu aja. Biar saya yang beresin nanti.”
“Ah, kamu memang rajin, Tan. Ibu bersyukur Revan punya kamu sekarang.”
Mendengar itu, Tania hanya tersenyum. Tapi dalam hatinya, ia mencibir. "Bersyukur? Harusnya sudah dari dulu." pikirnya. Dan seperti sudah terjadwal, ia mulai lagi menyusupkan racun.
“Bu… saya tuh dulu satu sekolah sama Aira. Ibu tahu kan?” katanya pelan, suaranya seperti kabut tipis yang menutupi niat buruk.
“Iya, Aira pernah cerita.”
Tania menatap ke cangkirnya, lalu berkata dengan nada rendah dan penuh pura-pura kesal.
“Saya tuh dulu sering bingung, Bu… kenapa Revan bisa milih Aira. Maksud saya, Aira itu… dulu dikenal agak ‘ramai’ sama cowok-cowok.”
Ibu Revan mengerutkan dahi. “Ramai gimana maksudmu?”
Tania menunduk seolah berat bicara, lalu perlahan membuka mulut.
“Bu… Aira itu dulu sebenarnya bukan perempuan baik-baik seperti yang Ibu lihat sekarang. Waktu sekolah… dia itu sering deketin cowok-cowok, gonta-ganti pacar, bahkan sempat digosipin dekat sama salah satu guru.”
Mata Ibu Revan membulat. “Guru?”
Tania pura-pura menyesal telah membuka topik itu. “Saya nggak tahu itu bener atau nggak, Bu. Tapi waktu itu ramai banget dibicarain. Dan anehnya, semua cowok yang didekati Aira tuh selalu... nurut. Bahkan ninggalin pacarnya demi Aira.”
“Ya ampun… Ibu nggak pernah dengar itu.”
“Saya dulu diem, Bu. Soalnya saya sahabatnya. Tapi sekarang saya ngerti… Aira itu pintar bersandiwara. Di depan Revan keliatan kalem, keibuan. Tapi siapa tahu apa yang sebenarnya dia sembunyikan?”
Ibu Revan menghela napas panjang. Ada keraguan yang mulai menyusup ke matanya.
“Dan... Bu, saya juga nggak enak bilang ini, tapi saya curiga Aira pakai anak-anak buat jaga posisi dia di rumah ini. Dia tahu Revan nggak bisa jauh dari anak-anak, makanya dia selalu pakai Aluna dan Raka sebagai tameng.”
Tania menatap Ibu Revan dengan ekspresi terluka yang dibuat-buat.
“Saya cuma nggak mau Revan dibutakan terus sama masa lalu. Dia berhak bahagia, Bu. Dengan perempuan yang benar-benar jujur sama dia.”
Ibu Revan tak menjawab. Tapi diamnya adalah tanda tanda bahwa racun itu mulai bekerja.
Dan saat Tania melangkah ke dapur dengan langkah ringan, ia tak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya.
Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i
Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an
Sudah sebulan sejak Raka dimakamkan. Rumah itu kini terasa sunyi. Tidak ada lagi tawa kecil yang memanggil "Mama" sambil membawa mobil-mobilan.Tidak ada lagi tangisan malam karena mimpi buruk. Hanya Aluna yang masih hadir dan diam-diam mulai sering berbicara sendiri, seolah berharap kakaknya bisa kembali.Aira berusaha bertahan. Ia kembali menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga: memasak, membersihkan, mengurus Aluna. Tapi hatinya masih patah. Dan sekarang, tekanan hidup mulai menyusul luka batin yang belum pulih.Tagihan mulai menumpuk. Biaya sekolah Aluna, kebutuhan dapur, listrik, dan sekarang bahkan untuk keperluan sederhana pun Aira harus berhitung.Sementara Revan belum juga mendapat promosi seperti yang dijanjikan kantornya. Justru sejak isu di rumah sakit menyebar samar-samar, citranya mulai dipertanyakan.Revan makin sering pulang larut. Wajahnya tegang. Dan Tania pun mulai jarang muncul entah karena canggung, atau sedang menyusun skenario baru.Suatu sore, Aira duduk di
Beberapa hari setelah insiden dirumah, Aira tidak lagi mengurus tentang keracunan Raka, ia ingin fokus anaknya sembuh dulu.Hari itu, Aira mendapat panggilan dari pihak sekolah Aluna. Katanya, ada urusan mendesak soal administrasi dan kesehatan yang harus ia urus langsung da haya tinggal Aluna yang belum selesai karena Revan tidak kunjung merespon panggilan.Meski berat, Aira terpaksa meninggalkan rumah sakit sebentar, percaya bahwa Raka aman bersama tim medis yang sudah ia percayai.Sebelum pergi, Aira mencium kening putranya yang tertidur. “Mama cuma sebentar ya, Nak… Mama balik cepat.”Namun Aira tak tahu, ini adalah celah yang telah ditunggu.Tania, yang diam-diam menyuap salah satu petugas keamanan rumah sakit, tahu persis kapan Aira pergi. Begitu mobil Aira meninggalkan area parkir, Tania dan ibu Revan muncul di lorong, berpura-pura sebagai keluarga pasien.Mereka mendesak petugas jaga. “Kami keluarga kandung. Ibunya keluar sebentar. Kami hanya ingin menemani cucu dan keponakan k
Malam itu, Aira duduk di bangku lorong rumah sakit. Di tangannya tergenggam nota tagihan rawat inap Raka yang belum lunas. Ia tahu, jika tak segera dibayar besok pagi, Raka bisa saja dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih sederhana, atau bahkan ditunda pengobatannya.Aira menatap jemarinya yang mulai gemetar.Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru tua.Di dalamnya, beberapa perhiasan emas yang dulu ia simpan baik-baik, hadiah pernikahan dan hasil kerja kerasnya saat masih bekerja kantoran.Tanpa ragu, ia menutup kotak itu, berdiri, dan malam itu juga, ia naik ojek ke sebuah toko emas tua yang masih buka 24 jam di dekat pasar induk.“Tolong,” ucapnya pada si pemilik toko, “saya ingin gadai ini. Saya butuh dana secepatnya.”Pemilik toko melihat perhiasan itu. “Ini lumayan nilainya, Bu. Tapi apa Ibu yakin?”Aira hanya tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti dalam hidup, Pak. Kecuali satu: seorang ibu tidak akan tinggal diam ketika anaknya sakit.”Keesokan harinya, tagih
Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”Aira menghela napas dalam.“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.“Gimana