Share

Arisan Ibu

Author: Phoenixclaa
last update Huling Na-update: 2025-04-22 01:56:20

Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.

Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.

Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.

Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.

Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.

Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.

Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.

Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh semangat.

“Saya tuh sebenarnya selalu ingin Revan punya pasangan yang benar-benar bisa jadi mitra hidup. Bukan cuma istri di KTP.”

Suara tamu-tamunya tertawa kecil.

Lalu ibu Revan melanjutkan, “Tania ini... luar biasa. Dia perhatian, rapi, pintar ngatur keuangan, dan yang paling penting dia sayang banget sama anak-anak Revan. Saya sih... kalau boleh jujur, andai Aira itu ya, maaf ya, amit-amit misalnya meninggal atau apa saya akan jodohin Revan sama Tania tanpa pikir panjang.”

Tawa para ibu teredam, berganti bisikan penuh penasaran.

Di balik dinding dapur, Aira berdiri kaku. Matanya tak berkedip menatap piring-piring di wastafel. Tangannya gemetar, tapi ia tak menjatuhkan satu pun cangkir.

Napasnya berat. Tidak ada air mata yang turun. Hanya dada yang serasa terbakar oleh kata-kata yang terlalu kejam untuk disebut "andaikan".

Tania muncul di ambang pintu dapur, membawa gelas kosong, senyum puas mengembang di wajahnya.

“Maaf, teh habis. Bisa tolong isiin lagi, Ra?” katanya santai, menahan tawa yang hampir pecah.

Aira mengambil gelas itu dengan tenang. Ia menuang teh ke dalamnya, lalu menatap Tania tajam.

“Kamu menikmati ini semua, ya?” tanyanya pelan.

Tania menyandarkan tubuh ke kusen pintu, bermain dengan kukunya. “Apa yang harus disesali, Ra? Aku cuma menerima kesempatan yang aku dapatkan sendiri.”

Aira tersenyum kecil, getir.

“Kalau kamu pikir aku akan pergi karena ini semua, kamu salah, Tan. Aku nggak bertahan demi Revan. Aku bertahan... demi anak-anak. Dan satu hal lagi,” katanya sambil menyerahkan teh itu ke tangan Tania, suaranya nyaris seperti bisikan menusuk.

“Kamu boleh ambil rumah ini. Kamu boleh ambil laki-laki itu. Tapi jangan pernah anggap kamu bisa jadi aku di mata Aluna dan Raka.”

Tania terdiam. Tatapannya berubah. Tapi Aira sudah melangkah keluar, membelakangi kekacauan yang tak dia ciptakan, tapi kini harus dia hadapi.

Dan di luar, di halaman, Aluna sedang duduk sambil menggambar rumah. Di tengah-tengah gambarnya ada gambar seorang ibu, dua anak kecil, dan sosok pria yang berdiri agak jauh.

Aira duduk di sampingnya, dan Aluna berkata, “Rumah kita jangan ganti, ya Ma. Tetap rumah Mama.”

Aira menunduk, memeluk Aluna erat, anak perempuannya sangat peka dengan perasaan Aira.

Menjelang malam, rumah mulai lengang setelah arisan bubar. Suara tawa para ibu yang tadi ramai kini menguap, menyisakan sisa gelas teh dan piring kue yang belum dibereskan.

Tak ada pembantu di rumah itu, Aira yang biasanya membersihkan semua, kini masih duduk di ruang tengah, menyulam baju sobek milik Raka sambil mendengarkan tawa kecil anak-anak dari lantai atas.

Tak jauh darinya, suara langkah ibu Revan terdengar turun dari tangga. Beliau tak menyapa, hanya melirik Aira dingin lalu berlalu ke arah kamar, seolah Aira adalah bagian dari furnitur rumah yang tak penting lagi.

Tak lama, suara pintu depan terbuka. Revan baru pulang dan seperti biasa belakangan ini, ia tidak sendiri selalu di sambut seseorang.

Tania masuk bersamanya, menggandeng tangan Revan sambil tertawa kecil.

“Mas, kamu tau ga ada tadi itu, ada ibu siapa ya? Yang bajunya ngejreng banget tapi keteknya basah?”

Revan ikut tertawa, santai.

“Udah jangan julid. Tapi iya sih, agak parah kalau kayak gitu…”

Mereka melewati ruang tengah, lalu berhenti begitu melihat Aira duduk sendiri.

Tania pura-pura kaget.

“Lho, Aira… kok sendirian aja sih? Nggak ikut ngumpul sama ibu-ibu tadi? Biasanya tuh, arisan tempat pamer skill bersosialisasi loh.”

Ia duduk di sofa dekat Revan dan menyilangkan kaki anggun, senyum puas di wajahnya.

Aira menoleh sebentar, tenang.

“Aku lebih suka temani anak-anak.”

Tania tertawa kecil, nada meremehkan.

“Iya sih… kadang memang susah nyambung kalau nggak biasa ngobrol kelas atas, ya.”

Ia menepuk-nepuk tangan Revan manja.

“Tapi tenang, Mas. Tadi ibu-ibu arisan bilang aku cocok banget jadi nyonya rumah di sini. Bahkan Ibu—”

Ia menoleh ke arah tangga, memastikan ibu Revan tidak jauh, lalu berbisik pelan, “—sempat bilang, kalau andai Aira… amit-amit nggak ada, dia udah tahu siapa yang cocok dijodohin sama Mas Revan.”

Revan tidak menimpali. Tapi ia tidak pula menegur. Diamnya adalah pembenaran yang menyakitkan.

Aira meletakkan baju yang ia sulam di meja. Ia berdiri perlahan.

“Mati… ya?” gumamnya. “Kalian bahkan sudah siapkan skenario andai aku mati?”

Tania pura-pura salah tingkah, tapi jelas senang dengan efek ucapannya.

“Eh, maksud aku bukan gitu lho, Ra. Tapi yaa… kita harus realistis. Siapa pun bisa pergi kapan aja. Dan Mas Revan… terlalu berharga untuk sendiri, kan?”

Revan berdiri, meraih gelas air di meja. Ia tak menatap Aira.

“Udah lah, Ra. Jangan baper. Tania cuma bercanda.”

Aira menatap mereka lama. Wajahnya tetap tenang.

“Canda kalian terlalu mirip kenyataan. Sampai rasanya bukan lucu, tapi menjijikkan.”

Tania hanya tersenyum, lalu dengan santainya berdiri, berjalan ke dapur.

“Mas, aku bikin es buah ya, buat seger-seger. Tadi abis makan enak, sekarang manis-manis…”

Revan mengangguk dan duduk kembali, seolah tak terjadi apa-apa.

Aira memandangi punggung Tania yang hilang di balik dapur, lalu menatap suaminya yang kini benar-benar terasa asing.

Aira mengabaikan dan langsung menuju kamar anak-anak.

Beberapa saat kemudian, di sudut ruangan, Tania mulai sibuk mengelap meja, mengganti taplak dengan yang baru, lalu menyapu remah-remah kue arisan tadi.

"Ibu, toples ini ditaruh di lemari ya?" tanya Tania sambil menunjukkan toples kaca berisi keripik sisa arisan.

Ibu Revan yang sedang melipat taplak bekas hanya mengangguk. “Iya, Tan. Kamu memang paling sigap. Enak kalau rumah ada kamu.”

Tania tersenyum manis, mengikat rambutnya ke belakang. “Saya suka aja, Bu, beres-beres begini. Rumah jadi adem kalau rapi.”

Ibu Revan melirik ke arah lantai atas, nada bicaranya berubah pelan tapi menusuk. “Nggak kayak yang di atas itu.

Dari tadi cuma ngumpet di kamar. Main sama anak-anak terus. Nggak ngerti diri, padahal dia yang tinggal di rumah ini.”

Tania ikut melirik, lalu tertawa kecil. “Mungkin Aira lelah, Bu. Kan tugasnya banyak: ngatur drama, bukan rumah tangga.”

Mereka tertawa kecil berdua. Tawa yang terasa seperti duri tajam bila terdengar oleh orang yang sedang terluka.

Sementara itu, di lantai atas, Aira duduk bersila di lantai kamar anak-anak. Rambutnya dibiarkan terurai ke belakang, dan senyum kecil terpulas di wajahnya saat melihat Raka dan Aluna berebut membacakan buku cerita.

“Mama, aku dulu ya bacanya!” Aluna menepuk-nepuk lutut ibunya.

“Enggak, aku dulu! Mama janji aku duluan,” protes Raka.

Aira memeluk keduanya erat. “Sini, sini. Kalian duduk di kiri-kanan Mama, kita baca bareng, ya?”

Mereka tertawa kecil, dunia kecil mereka hanya berisi tiga orang mereka yang saling menggenggam dalam sunyi yang menyesakkan.

Namun di balik pelukannya, dada Aira terasa berat. Ia tahu, di bawah sana, Tania sedang kembali membangun citra yang semakin menyingkirkan dirinya. Menghimpitnya perlahan, seolah rumah itu bukan miliknya lagi.

Lalu, terdengar suara langkah di tangga. Revan muncul, melihat ke arah kamar anak-anak dengan dahi sedikit berkerut.

“Ra, kamu nggak bantu-bantu di bawah?” tanyanya, nada suaranya menggantung.

Aira menoleh pelan. “Tania sudah sangat ahli Mas. Aku pikir, lebih baik aku habiskan waktu dengan anak-anak. Lagipula, aku ibu mereka.”

Revan tak menjawab. Tatapannya tajam sejenak, sebelum berbalik turun kembali.

Di ruang bawah, ia langsung disambut Tania yang mengelap peluh di keningnya, seolah habis bekerja keras mengurus rumah.

“Mas capek? Sini duduk, aku buatin teh manis ya,” ucapnya lembut, lalu merapikan kerah baju Revan di depan ibu mertuanya.

Revan duduk dan menerima perlakuan itu begitu saja.

Tania lalu berkata manja, cukup keras agar ibu Revan mendengar, “Capek juga ya, Bu, bersihin rumah segede ini. Tapi senang, karena rumah jadi hidup kalau beres dan bersih.”

Ibu Revan menimpali cepat. “Iya, Tan. Ibu memang paling cocok punya menantu seperti kamu. Kalau dulu Revan pilih kamu, mungkin sekarang rumah ini lebih terurus.”

Tania hanya tersenyum, lalu berjalan ke dapur.

Namun di tangga atas, Aira mendengar semuanya. Ia berdiri diam, memeluk dinding, matanya menatap kosong. Tapi di belakangnya, Raka menarik tangan ibunya.

“Mama kenapa?” tanya Raka pelan.

Aira menatap anak bungsunya, lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Sayang. Mama cuma ingat sesuatu.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Happy Adriana
ayo semangaatt Aira...jangan mau ditindas
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kepalsuan

    Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kesempatan Emas

    Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Mulai Bekerja

    Sudah sebulan sejak Raka dimakamkan. Rumah itu kini terasa sunyi. Tidak ada lagi tawa kecil yang memanggil "Mama" sambil membawa mobil-mobilan.Tidak ada lagi tangisan malam karena mimpi buruk. Hanya Aluna yang masih hadir dan diam-diam mulai sering berbicara sendiri, seolah berharap kakaknya bisa kembali.Aira berusaha bertahan. Ia kembali menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga: memasak, membersihkan, mengurus Aluna. Tapi hatinya masih patah. Dan sekarang, tekanan hidup mulai menyusul luka batin yang belum pulih.Tagihan mulai menumpuk. Biaya sekolah Aluna, kebutuhan dapur, listrik, dan sekarang bahkan untuk keperluan sederhana pun Aira harus berhitung.Sementara Revan belum juga mendapat promosi seperti yang dijanjikan kantornya. Justru sejak isu di rumah sakit menyebar samar-samar, citranya mulai dipertanyakan.Revan makin sering pulang larut. Wajahnya tegang. Dan Tania pun mulai jarang muncul entah karena canggung, atau sedang menyusun skenario baru.Suatu sore, Aira duduk di

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Kehilangan Buah Hati

    Beberapa hari setelah insiden dirumah, Aira tidak lagi mengurus tentang keracunan Raka, ia ingin fokus anaknya sembuh dulu.Hari itu, Aira mendapat panggilan dari pihak sekolah Aluna. Katanya, ada urusan mendesak soal administrasi dan kesehatan yang harus ia urus langsung da haya tinggal Aluna yang belum selesai karena Revan tidak kunjung merespon panggilan.Meski berat, Aira terpaksa meninggalkan rumah sakit sebentar, percaya bahwa Raka aman bersama tim medis yang sudah ia percayai.Sebelum pergi, Aira mencium kening putranya yang tertidur. “Mama cuma sebentar ya, Nak… Mama balik cepat.”Namun Aira tak tahu, ini adalah celah yang telah ditunggu.Tania, yang diam-diam menyuap salah satu petugas keamanan rumah sakit, tahu persis kapan Aira pergi. Begitu mobil Aira meninggalkan area parkir, Tania dan ibu Revan muncul di lorong, berpura-pura sebagai keluarga pasien.Mereka mendesak petugas jaga. “Kami keluarga kandung. Ibunya keluar sebentar. Kami hanya ingin menemani cucu dan keponakan k

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Suami Gelap Mata

    Malam itu, Aira duduk di bangku lorong rumah sakit. Di tangannya tergenggam nota tagihan rawat inap Raka yang belum lunas. Ia tahu, jika tak segera dibayar besok pagi, Raka bisa saja dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih sederhana, atau bahkan ditunda pengobatannya.Aira menatap jemarinya yang mulai gemetar.Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru tua.Di dalamnya, beberapa perhiasan emas yang dulu ia simpan baik-baik, hadiah pernikahan dan hasil kerja kerasnya saat masih bekerja kantoran.Tanpa ragu, ia menutup kotak itu, berdiri, dan malam itu juga, ia naik ojek ke sebuah toko emas tua yang masih buka 24 jam di dekat pasar induk.“Tolong,” ucapnya pada si pemilik toko, “saya ingin gadai ini. Saya butuh dana secepatnya.”Pemilik toko melihat perhiasan itu. “Ini lumayan nilainya, Bu. Tapi apa Ibu yakin?”Aira hanya tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti dalam hidup, Pak. Kecuali satu: seorang ibu tidak akan tinggal diam ketika anaknya sakit.”Keesokan harinya, tagih

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Terlalu Licik

    Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”Aira menghela napas dalam.“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.“Gimana

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status