Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.
Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.
Ia tidak akan pergi. Belum.
Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.
Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.
“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.
Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.
“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”
Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Aku cuma mampir sebentar.”
Alis Revan terangkat sedikit, tapi ia tetap tersenyum seolah semuanya baik-baik saja. “Aira ada di belakang. Mau aku panggilkan?”
“Biar aku yang cari,” jawab Fikar pelan. “Aku cuma mau lihat wajah adikku. Pastikan dia masih utuh setelah semalam.”
Ada jeda. Udara pagi yang sejuk mendadak terasa panas. Revan menggeser tubuhnya dari pintu, memberi jalan. “Silakan.”
Fikar melangkah masuk. Tatapannya menyapu ruang tamu. Sekilas ia melihat Tania sedang melipat baju di sofa, seolah rumah itu sudah sepenuhnya miliknya.
Mata mereka bertemu. Tapi tak ada sapaan. Hanya tatapan datar yang membeku di udara.
Di belakang, Aira sudah berdiri. Ia tahu Fikar datang. Dan ia tahu kenapa.
Ketika kakaknya mendekat, ia langsung memeluknya erat. Tapi berbeda dari semalam, kini pelukan itu bukan permohonan tolong, melainkan semacam perjanjian diam-diam.
Fikar berbisik di telinganya, “Kamu yakin nggak ikut aku sekarang?”
Aira melepaskan pelukan, menatap mata kakaknya yang selalu protektif.
“Aku nggak ikut, Kak,” jawabnya pelan. Tapi kali ini bukan dengan nada ragu. “Aku nggak bertahan karena nggak bisa pergi. Aku bertahan… karena aku ingin tahu sejauh apa mereka bisa menghancurkan dirinya sendiri.”
Fikar menatapnya dalam diam. Di matanya, Aira bukan lagi adik kecil yang rapuh. Tapi seorang perempuan yang sedang menyiapkan badai.
“Dan satu hal lagi,” bisik Aira sambil menyentuh lengannya, “untuk sementara waktu… aku pelihara gundik suamiku. Biar dia pikir dia menang.”
Fikar tersenyum kecil, getir. “Kalau kamu butuh apa pun, hubungi aku.”
Aira mengangguk. Lalu menoleh ke arah dalam rumah, ke arah dua orang yang mengira mereka sudah menang.
Seteleh Fikar pergi, Aira kembali menjalankan rutinitas rumah tangga seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Ia tak lagi berharap. Ia tak lagi mencintai. Ia hanya… menyaksikan.
Tania masih tinggal di rumah itu. Aira bahkan tidak memintanya pergi. Ia mempersilakan kamar tamu atas digunakan.
Ia bahkan membantu memilih tirai yang cocok untuk jendela kamar itu.
Revan bingung. Ibu Revan cemas. Tapi Aira hanya tersenyum dan berkata, “Tenang saja, Bu. Saya tahu posisi saya. Saya istri pertamanya.”
Tania, yang awalnya merasa menang, mulai merasa terancam. Tiap pagi ia menemukan Aira sudah lebih dulu di dapur, menyiapkan bekal untuk anak-anak, dan sesekali… untuk Revan juga.
“Maaf, aku nggak sengaja bikin dua porsi. Mungkin kamu mau bawa bekal sendiri, Tan?” ucap Aira dengan senyum yang begitu manis, hingga terasa seperti pisau.
Tania hanya mengangguk canggung. Revan tak berani bicara.
Di hadapan mertua, Aira tetap sopan, tetap memanggil “Bu” dengan nada hangat. Tapi di matanya, ada pantulan dingin yang tak bisa dibantah.
Dan malam itu, saat Tania mengadu pada Revan bahwa ia merasa tidak nyaman karena Aira terlalu “baik”, Revan hanya bisa menghela napas.
“Dia nggak ngapa-ngapain, Tan. Kamu aja yang terlalu sensitif.”
Tania menggigit bibirnya menahan kesal.
Sementara itu, di dalam kamar, Aira menatap bayangannya di cermin. Di balik matanya yang tenang, ada rencana besar yang mulai ia susun.
Bukan untuk membuat Revan kembali.
Tapi untuk membuat Revan dan Tania menyesal karena pernah berpikir bisa mempermainkan perempuan sepertinya.
Keesokan paginya, matahari menyusup malu-malu di antara tirai kamar. Aira duduk di sisi ranjang, menatap bayangannya di cermin.
Wajahnya pucat, bekas tangis masih membekas, tapi matanya... lebih hidup dari kemarin.
Di bawah, rumah mulai ramai. Anak-anaknya baru saja pulang dari rumah Ibu Aira. Tawa mereka terdengar ceria, polos belum tahu badai apa yang sedang mengelilingi mereka.
Aira turun ke bawah, dan matanya langsung menangkap pemandangan yang mengiris. Tania, dengan senyum manisnya yang palsu, duduk di ruang keluarga. Bersama anak-anaknya. Menyodorkan potongan buah ke mulut kecil itu.
“Maa, siapa tante itu?” tanya Aluna, anak perempuan Aira yang baru berusia lima tahun.
Pertanyaan itu meluncur seperti anak panah yang mengenai tepat di dada.
Tania sempat terdiam. Revan yang baru datang dari dapur terlihat kaku. Aira masih berdiri di tangga, tapi suaranya terdengar jernih, dingin, dan menusuk.
“Itu… teman lama Mama, Sayang,” ucapnya pelan. “Dia lagi numpang tinggal di sini.”
Tania langsung tersenyum, pura-pura ramah. “Halo sayang, kamu Aluna ya.”
Aluna mengabaikan dan langsung menoleh lagi ke arah Aira, polos. “Tapi kenapa Tante Tania gandeng tangan Papa tadi.”
Hening.
Waktu seakan berhenti. Revan tersedak minumannya. Tania membeku. Ibu Revan yang baru muncul dari dapur menelan ludah.
Aira tersenyum kecil, menatap anaknya. “Nggak sayang, kamu cuman salah lihat.”
Kemudian ia berjalan pelan ke dapur, membuatkan bekal anak-anak seperti biasa, sementara di ruang tengah, keheningan masih menggantung seperti awan hitam sebelum hujan badai.
Sementara itu, di ruang makan, tawa terdengar ringan namun menusuk. Suasana tampak damai, tapi kata-kata yang terucap jauh dari itu.
Revan duduk santai, kakinya disilangkan, sementara Tania menyandarkan kepala di bahunya dengan ekspresi puas.
Di seberang mereka, Ibu Revan menyendokkan sup ke mangkuk sambil sesekali tersenyum kecil senyum penuh penghakiman.
“Aku kira Aira bakal lempar piring atau jerit-jerit kayak di sinetron,” ujar Tania sambil menyeruput kopi.
“Eh, ternyata cuma bengong doang. Terus malah nanya aku suka warna cat kamar tamu apa. Kasihan banget.”
Revan tertawa sinis. “Dia itu kayak boneka. Cantik-cantik kosong. Nggak punya reaksi. Makanya aku bosen.”
Ibu Revan ikut tertawa pendek. “Dari awal Mama bilang, perempuan kayak dia itu nggak cocok jadi istri kamu. Lulusan sarjana, tapi kerjaannya cuma jadi budak rumah sendiri. Lihat dia sekarang ngurus anak, masak, nungguin kamu pulang, tapi apa hasilnya? Dia sendiri yang ditinggal.”
Tania mencibir. “Dia pikir status ‘istri pertama’ itu berarti pemenang? Dia cuma sisa. Rebutan yang udah kalah.”
Revan mengangguk setuju. “Aira itu gampang banget dibaca. Penurut, nggak pernah bantah. Asal dikasih uang belanja, dia diam. Bisa dibilang, selama ini aku nikah sama pengasuh bukan pasangan.”
“Apa pun yang kamu minta dari dia, dia kasih. Tapi nggak pernah bikin kamu bahagia. Orang kayak gitu mending jadi pembantu tetap aja,” Tania menyindir, tertawa geli.
“Mungkin dia memang cocoknya jadi penunggu rumah. Tapi bukan sebagai istri. Lebih kayak apa ya? Boneka rumah tangga.” Ibu Revan menambahkan, suaranya ringan seolah itu hal paling biasa di dunia.
Mereka tidak sadar, Aira berdiri membeku di ambang pintu, menyaksikan semuanya.
Telinganya panas. Hatinya terbakar. Tapi wajahnya tetap tenang. Tak satu kata pun keluar. Tak satu air mata pun tumpah.
Namun di sudut bibirnya, muncul senyum tipis. Datar. Dingin. Senyum perempuan yang sudah membuang rasa cinta dan iba yang kini hanya menyisakan tekad.
Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i
Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an
Sudah sebulan sejak Raka dimakamkan. Rumah itu kini terasa sunyi. Tidak ada lagi tawa kecil yang memanggil "Mama" sambil membawa mobil-mobilan.Tidak ada lagi tangisan malam karena mimpi buruk. Hanya Aluna yang masih hadir dan diam-diam mulai sering berbicara sendiri, seolah berharap kakaknya bisa kembali.Aira berusaha bertahan. Ia kembali menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga: memasak, membersihkan, mengurus Aluna. Tapi hatinya masih patah. Dan sekarang, tekanan hidup mulai menyusul luka batin yang belum pulih.Tagihan mulai menumpuk. Biaya sekolah Aluna, kebutuhan dapur, listrik, dan sekarang bahkan untuk keperluan sederhana pun Aira harus berhitung.Sementara Revan belum juga mendapat promosi seperti yang dijanjikan kantornya. Justru sejak isu di rumah sakit menyebar samar-samar, citranya mulai dipertanyakan.Revan makin sering pulang larut. Wajahnya tegang. Dan Tania pun mulai jarang muncul entah karena canggung, atau sedang menyusun skenario baru.Suatu sore, Aira duduk di
Beberapa hari setelah insiden dirumah, Aira tidak lagi mengurus tentang keracunan Raka, ia ingin fokus anaknya sembuh dulu.Hari itu, Aira mendapat panggilan dari pihak sekolah Aluna. Katanya, ada urusan mendesak soal administrasi dan kesehatan yang harus ia urus langsung da haya tinggal Aluna yang belum selesai karena Revan tidak kunjung merespon panggilan.Meski berat, Aira terpaksa meninggalkan rumah sakit sebentar, percaya bahwa Raka aman bersama tim medis yang sudah ia percayai.Sebelum pergi, Aira mencium kening putranya yang tertidur. “Mama cuma sebentar ya, Nak… Mama balik cepat.”Namun Aira tak tahu, ini adalah celah yang telah ditunggu.Tania, yang diam-diam menyuap salah satu petugas keamanan rumah sakit, tahu persis kapan Aira pergi. Begitu mobil Aira meninggalkan area parkir, Tania dan ibu Revan muncul di lorong, berpura-pura sebagai keluarga pasien.Mereka mendesak petugas jaga. “Kami keluarga kandung. Ibunya keluar sebentar. Kami hanya ingin menemani cucu dan keponakan k
Malam itu, Aira duduk di bangku lorong rumah sakit. Di tangannya tergenggam nota tagihan rawat inap Raka yang belum lunas. Ia tahu, jika tak segera dibayar besok pagi, Raka bisa saja dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih sederhana, atau bahkan ditunda pengobatannya.Aira menatap jemarinya yang mulai gemetar.Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru tua.Di dalamnya, beberapa perhiasan emas yang dulu ia simpan baik-baik, hadiah pernikahan dan hasil kerja kerasnya saat masih bekerja kantoran.Tanpa ragu, ia menutup kotak itu, berdiri, dan malam itu juga, ia naik ojek ke sebuah toko emas tua yang masih buka 24 jam di dekat pasar induk.“Tolong,” ucapnya pada si pemilik toko, “saya ingin gadai ini. Saya butuh dana secepatnya.”Pemilik toko melihat perhiasan itu. “Ini lumayan nilainya, Bu. Tapi apa Ibu yakin?”Aira hanya tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti dalam hidup, Pak. Kecuali satu: seorang ibu tidak akan tinggal diam ketika anaknya sakit.”Keesokan harinya, tagih
Malam itu, di ruang perawatan anak, Aira duduk di samping tempat tidur Raka. Anak itu tampak lemah, wajahnya pucat. Selang infus terpasang di tangan kecilnya.Aluna tertidur di sofa kecil, masih memeluk bonekanya. Tapi Aira tak bisa tidur. Pandangannya kosong, namun pikirannya tajam dan bekerja keras.Ia mengingat kembali semua kejadian: makanan yang tiba-tiba ditolak Raka karena “nggak enak”, muntah yang datang mendadak, Aluna yang menangis karena cubitan, hingga bekas luka samar itu.Aira mengeluarkan ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan… dan menekan satu nama.“Dok, saya Aira… Saya butuh bantuan. Bukan untuk rawat anak saya… tapi untuk tahu apa yang masuk ke tubuhnya.”Di seberang sana, suara dokter kenalannya terdengar lembut, namun terkejut. “Kamu curiga diracuni?”Aira menghela napas dalam.“Saya nggak curiga, Dok. Saya yakin. Tapi saya butuh bukti, bukan emosi.”Keesokan harinya, ketika Revan datang menjenguk, Aira tak banyak bicara. Ia tampak tenang. Terlalu tenang.“Gimana
Beberapa hari kemudian rumah tidak lagi sama.Tak ada aroma masakan Aira di pagi hari, tak ada tangan sigap yang menyambut kebutuhan keluarga. Namun Aira tetap tinggal. Diam. Tegak. Tidak ke mana-mana.Ia merawat Raka dan Aluna dengan penuh perhatian, seolah dunia di luar mereka sudah mati.Namun diam-diam, kelicikan diracik di balik kamar tamu. Tania tidak tinggal diam menghadapi kekalahan verbal dari Aira. Ia butuh cara yang lebih menyakitkan. Lebih halus. Lebih licik.Dan sasarannya kali ini: Raka.Sore itu, saat Aira sedang memandikan Aluna di lantai atas, Tania memanggil Raka yang sedang menggambar sendirian di ruang tamu.“Rakaaa... sini, sayang. Tante punya jus stroberi, kayak yang kamu suka waktu kita ke taman. Nih, coba deh.”Raka, polos dan tak curiga, mengambil gelas itu. Ia meneguk setengah isi minuman sebelum Aira muncul dari tangga, mengusap rambut basah Aluna sambil membawa handuk. Pandangannya langsung tajam ke arah gelas di tangan Raka.“Raka! Kamu dapat minuman itu d
Keesokan paginya, Aira baru saja selesai memandikan Aluna ketika terdengar suara dari luar kamar.“Ra! Tolong setrika baju Tania, ya. Dia mau ke acara arisan, bajunya harus rapi!” teriak Revan dari bawah.Aira menoleh ke arah gantungan pakaian. Dress satin Tania yang mewah tergantung di sana, masih baru, labelnya belum dilepas. Ia menarik napas panjang.Sambil menggendong Aluna, Aira turun ke bawah. Di ruang tamu, Revan sedang duduk santai menonton TV sambil menyeruput kopi.Tania berdiri di depan cermin besar, menyemprotkan parfum mahal ke lehernya.“Jangan terlalu panas ya setrikanya, Ra. Ini bahan mahal, bukan kayak daster-daster kamu itu,” ucap Tania sambil tersenyum tipis, matanya tak lepas dari bayangannya sendiri di cermin.Aira tidak menjawab. Ia mengambil dress itu pelan, membawanya ke dapur yang sempit, menyetrika dengan penuh hati-hati.Tangannya gemetar, bukan karena takut merusak kain, tapi karena harga dirinya yang terus diinjak-injak.Saat sedang menyetrika, terdengar l
Keesokan harinya, suara pintu pagar otomatis terdengar dari arah depan rumah. Aira sedang melipat pakaian anak-anak di ruang tengah saat ia melihat mobil baru berhenti di halaman. Mobil Revan, tapi dengan bagasi penuh kantong-kantong belanja dari butik mahal yang logonya berkilat emas.Tania turun lebih dulu, memakai kacamata hitam besar, mengenakan dress putih ketat dengan sabuk Gucci mencolok di pinggangnya.Ia membawa empat kantong belanja di tangan kiri, dan tas Hermes di tangan kanan.Revan turun sambil membawa dua kotak sepatu. Ia bahkan membukakan pintu untuk Tania seperti seorang pelayan pribadi.“Oh, bawaannya berat banget sih. Harusnya beli koper sekalian tadi,” keluh Tania manja.“Nanti kita beli, sayang. Kalau butuh, ya ambil aja. Nggak usah ditahan-tahan,” jawab Revan santai, memasukkan kotak-kotak itu ke dalam rumah.Aira berdiri di ambang pintu ruang tengah. Tangannya masih memegang kaos Raka yang setengah terlipat.Tania melihatnya dan langsung nyengir lebar. “Eh, Air