[Setelah kematian Luna Diana Lita, sang suami mengabarkan pertunangannya dengan perempuan yang dijodohkan dengannya. Banyak orang berharap, pria yang telah ditipu istrinya itu dapat berbahagia. Terlebih, Daffa Ardiansyah harus berjuang keras mengembalikan uang yang terlah digelapkan almarhumah istrinya. Namun, banyak orang yang mendukung pria– ]
Tit!
Luna mematikan televisi di ruang rawat inapnya dengan cepat.
Ekspresi wajahnya pun menggelap.
Pria itu telah menyelingkuhi dan menuduhnya. Dan sekarang, dia akan hidup bahagia begitu saja?
Rasa sakit dalam diri Luna sudah tak terkira saat ini.
Jika saja dia sudah benar-benar mati, tidak akan ada orang yang tahu kebenaran ini. Orang-orang akan mengenangnya sebagai penipu yang layak untuk meninggal tragis.
“Apa ini kesempatan yang diberikan oleh Tuhan untuk membalaskan dendamku?” gumam Luna pelan.
Tanpa sadar, air matanya menetes.
Dia merasa dia tidak yakin akan keputusan yang diambilnya.
Saat ini, dia sudah mencuri wajah orang yang telah meninggal. Dia juga mengambil posisi Nilam tanpa diketahui siapapun. Jadi, dia tidak ada bedanya dengan Daffa ataupun mantan sahabatnya.“Apa yang harus kulakukan?” lirih Luna pada dirinya sendiri.
Lama, perempuan itu berpikir, hingga dia memutuskan suatu hal besar: dia akan mengaku pada William setelah pria itu pulang dari kantor dan menjenguknya.
“Mungkin, William akan marah padaku. Tapi, itu lebih baik agar hatiku tenang saat membalas dendamnya pada Daffa.”
*******
Kriet!
Pintu ruangan Luna terbuka, hingga membuatnya menoleh cepat.
Terlebih, kini sudah pukul 18:00. Dia yakin pria itu adalah William.
“William!” teriak Luna bersemangat.
Pria tampan itu sampai mengerutkan dahi. Tidak biasanya, istrinya itu bersemangat melihatnya, terlebih setelah kecelakaan itu. “Ya?”
Sebenarnya, Luna menyadari itu, tapi dia tak peduli. Dia harus cepat mengatakan kebenaran ini pada William. Jadi, ditatapnya dalam pria itu.
“Aku ingin mengatakan sesuatu. Maaf, aku–”
“Sayang … akhirnya, kamu sadar!” Seorang wanita berusia 50 tahunan akhir datang dengan wajah bahagia, hingga ucapan Luna terhenti.
Diperhatikannya wajah wanita itu yang masih terlihat cantik meski sudah cukup berumur.
"Maaf, kami baru bisa kembali. Pesawat kami terjebak badai di Amerika, Nak.”
Kali ini, pria paruh baya yang sepertinya pasangan wanita itu berbicara.
Luna termenung. Dia tidak mengerti situasi ini.
Dengan penuh harap, dia menoleh pada William untuk meminta bantuan.
Menyadari itu, William pun langsung berbicara pada dua orang di hadapannya. “Ma, Pa. Maaf, William lupa kasih tahu. Sepertinya, Nilam mengalami trauma pascakecelakaan. Jadi, dia lupa dengan kita.”
“APA?!” Wajah wanita itu terlihat panik. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kamu benar-benar tidak mengenali mama, Nak?”
Luna pun mengangguk.
Sebenarnya, bisa saja dia mengaku bahwa dirinya bukan Nilam sekarang. Namun, dia tak berani begitu melihat pasangan paruh baya ini.Mereka pasti akan marah dan sedih bila mengetahui dirinya bukan putri mereka. Dan, putri mereka yang asli telah meninggal….
"Lalu, bagaimana hasil pemeriksaannya, Will?” tanya Papa Nilam mendadak.
“Menurut hasil pemeriksaan, tidak ada luka serius pada kepalanya. Jadi, kita hanya menunggu waktu untuk pemulihan Nilam saja."
Kedua orang tua itu pun mengangguk meski masih mencerna informasi baru ini. Ada perasaan tak tega di hati Luna melihat itu semua.“Mama!”
Gadis kecil favorit Luna saat ini masuk ke ruangannya ditemani baby sitternya.
Dipandangnya sang ayah untuk membantunya duduk di samping Luna.Gegas, William mengangkat gadis kecil yang langsung menghambur ke pelukan Luna.
Perlahan, Luna pun memeluk anak itu, hingga anak itu tersenyum bahagia bahkan tertawa nyaring.
Semua orang dalam ruangan pun tertawa.
“Jangan ketawain Angel!” seru gadis kecil itu sedikit merajuk.
“Iya, Sayang. Opa nih yang ketawa. Nanti, jangan dicium, ya,” ucap Mama Nilam membujuk cucunya.
Angel pun mengangguk. Lalu, dia menatap “ibunya” lagi. “Mama, kapan pulang?”
“Sebentar lagi,” ucap Luna pelan.
“Yeay!! Nanti, kita tidur bareng sama papa kaya dulu banget itu, loh!” ucap Angel riang.
Meski bingung, Luna pun tersenyum.
Dalam hati, ada pergulatan batin dalam dirinya. Bagaimana nasib Angel bila tahu mamanya telah meninggal? Apakah gadis itu akan menangis?
Membayangkannya, hati Luna sakit.Dia tidak ingin malaikat kecil itu bersedih. Keinginan untuk mengaku bahwa dirinya bukan Nilam perlahan mengabur.
‘Maaf dan terima kasih, Nilam. Izinkan aku meminjam wajah dan posisimu untuk balas dendamku. Tapi, aku berjanji untuk menjaga hal-hal yang penting untukmu.’
Luna lantas memeluk Angel erat.
Semua orang tersenyum melihat kedekatannya dan “sang anak”.
Bahkan, William pun tersenyum melihat kedekatan keduanya. Hanya saja, ada rasa bingung dalam diri pria itu karena Nilam begitu berbeda. Istrinya ini menjadi lebih lembut dan penyabar, bahkan dia tidak menegur Angel untuk tertawa lebih anggun, seperti dahulu.Yang lebih membuatnya terkejut adalah Nilam bahkan mengizinkan Angel tidur bersama mereka. Padahal, dulu wanita itu selalu mengatakan bahwa sebagai orang tua, mereka harus disiplin pada Angel.
‘Apa kamu benar-benar Nilamku?’ batin William.
Namun, ditepisnya rasa curiga itu. Saat ini, yang penting Nilam ada di dekat dirinya.
Saat ini, mereka berdua di dalam kamar.William yang saat ini tengah bersantai di atas ranjang, melihat ke arah pintu. Istrinya yang menggunakan pakaian piyama berjalan ke arahnya lalu naik ke atas ranjang.Wanita itu menunjukkan wajah khawatirnya seraya mengelus pipi suaminya, dan menanyakan kenapa dia belum tertidur. William hanya menjawab kalau saat ini sedang banyak pikiran. Nilam tidak tahu, apa yang sebenarnya dipikirkannya. Meski memendam ketakutan lebih untuk menanyakan, alih-alih ia menanyakan perbedaan dia dengan Nilam istrinya. Ia menepis praduga itu, dan mencoba menjadi pribadi Nilam yang peduli terhadap suaminya."Apa yang sedang kau pikirkan, Sayang?" tanyanya sambil menatap kedua bola mata William yang penuh kekhawatiran. Pria itu pun memandang wajah istrinya. "Tidak ada apapun, Sayang. Hanya ada sedikit pekerjaan kantor yang bermasalah," ucapnya dengan memegang dagu Nilam gemas. "Oh ya, kamu dari mana? Lama sekali aku menunggumu?""Angel lagi rewel, Mas. Aku temani
“Nilam Ayu Bagaskara. Istri dari William Bagaskara. Terkenal tegas dan cuek. Wanita ini pemberani, pintar, dan menyukai tantangan.” “Sedari remaja, kerap mendaki gunung dan mengikuti pecinta alam. Bila belum mengenal, orang akan mengiranya sedikit sombong. Padahal, hatinya sebenarnya baik dan menyayangi keluarganya.” “Hanya saja, putri dari Seno Bhaskara pendendam. Dia membenci orang-orang yang berani menyentuh sesuatu yang disayanginya.”Setelah beberapa hari berlalu, Luna semakin memantapkan dirinya sebagai Nilam seutuhnya. Menggunakan beberapa informasi mengenai kepribadian dan keseharian wanita itu, Luna semakin lama semakin akrab dengan identitas ini.Dia bahkan tidak terkejut bila ada orang yang memanggilnya Nilam.Meski bertolak belakang dengan segala sifat aslinya, demi dendamnya, ia akan melakukannya. Dan semua dimulai dengan kembali memimpin di Perusahaan Bhaskara Group. Meski William melarang, ia akan tetap memaksa. Setidaknya, ini bentuk balas budinya pada Nilam asli
William terkejut saat Luna kembali dengan ekspresi buruk. Ia memperhatikan baju yang ia kenakan basah."Kita pulang saja! Aku tidak bisa lanjutkan makan dalam kondisi pakaian basah seperti ini!" Ia menenteng kembali tas brandednya. "Bagaimana bisa sampai basah begitu, Sayang?" tanya William dengan mengangkat alisnya, ‘bingung’.Segera ia beranjak dari sana tanpa penjelasan Luna. Dengan memanggil pramusaji, pria itu menunjuk beberapa lembar yang ia letakkan di bawah piring untuk mengambilnya.Buru-buru ia melenggang dari tempat itu.*****Masih teringat akan wajah wanita yang menabraknya di restoran tadi.Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Saat ia kembali dari kamar mandi, wanita itu tidak terlihat di mana pun. Entah mungkin sudah pergi, tanpa sepengetahuannya.Wajahnya yang terlihat menunjukkan aura berbeda, membuatnya tidak tenang. Luna lantas menepis kegelisahan itu. 'Ah, lupakan!' perintahnya, pada dirinya sendiri.'Jika aku Nilam asli, mungkin aku akan b
Mata Luna terbelalak, mendengar ucapan polos-Angel barusan. Ia melirik William yang sudah tidak jelas sikapnya. Pria itu seolah menikmati kebingungannya.'Astaga, rasanya ingin sekali aku menggosok otaknya yang penuh dengan debu itu menggunakan sikat.' Luna menghela nafas kasar dengan menunjukkan wajah manyun."Kenapa, Ma? Kelihatannya Mama tidak senang kalau Angel punya adik? Apa permintaan Angel ini berat ya, Ma?" tanya Angel lugu. Suaranya yang belum bisa mengucapkan kata-kata dengan fasih-membuat Luna tersenyum.Ia pun mencubit pipi Angel gemas. Tak lupa, ia memeluknya penuh kasih sayang."Anak Mama makin lama, makin gemesin deh," puji Luna, makin mempererat pelukannya."Papa peluk juga dong, Ma!" suruh Angel, lugu.Jantung Luna bergetar hebat. Meski ia sadar yang dikatakan Angel karena mengira dirinya adalah Nilam–ibu asli anak itu."Tuh! Dengar, Ma. Angel nyuruh kamu peluk aku. Sini!" titah William dengan merentangkan tangannya.Wajah Luna berubah menjadi kepiting rebus. Namu
Nilam memberontak setelah sadar melihat tubuh dan kakinya diikat di sebuah kursi kayu dengan erat. ”Lepaskan aku! Siapa kamu sebenarnya?" teriak Nilam kencang begitu melihat pria berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala dan hanya menyisakan kedua mata, hidung dan mulut. Pria berperawakan tinggi, kekar bagai mafia itu, sontak menatap tajam ke arah Nilam. Diarahkannya senapan yang siap membidik perempuan itu kapan saja dia inginkan. ”Maaf, Nona. Saya tidak bisa melepaskan, Anda! Seseorang telah membayar saya mahal untuk menghabisi Anda sekarang!" "Siapa orang yang menyuruhmu?" Nilam masih belum diam. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari–berusaha melepaskan diri dari ikatan. Sayangnya, nihil! Dia justru kelelahan sendiri setelahnya. Nilam pun menghela nafas berulang kali, berusaha tenang.Dia tidak ingin mati konyol sebelum membalas dendamnya. Dia pun yakin William akan menyelamatkan dirinya. Perlahan, Nilam bersikap biasa saja meski sekarang berada dalam ujung maut. "K
Kini, Nilam sudah terkapar lemas di lantai berdebu.Samar-samar, dia dapat melihat Widya dan mafia yang menyiksanya datang kembali.“Haha …. Direktur Utama Nilam, bagaimana kabar Anda? Rasanya sedang tidak baik-baik saja, ya? Apalah arti kekuasaanmu itu jika sekarang kau sama seperti sampah yang tidak bisa didaur ulang. Sangat menjijikkan!” Wanita itu tiba-tiba menginjak tangan Nilam dan menggoyangkan ke sana kemari, hingga terluka karena high heelsnya. “Arggh!” Nilam menjerit kesakitan. ‘Dasar wanita kurang ajar! Dia belum jelaskan siapa dirinya padaku! Jika aku bertanya, aku tidak akan selamat darinya ataupun dari keluarga Bagaskara!' Nilam hanya bisa memaki dalam hati.Baru beberapa bulan menjadi Nilam, ia sudah mendapatkan kejutan besarnya. Bagaimana setelah ini jika ada yang seperti ini lagi?“Sebenarnya, aku ingin sekali membunuhmu, tapi aku tidak ingin polisi mencariku dan memasukkan aku ke dalam penjara,” ujarnya Widya senyum sinis lalu menendang perut Nilam, hingga meringk
William memeluk Nilam erat. Dia sangat khawatir padanya, bahkan dia nyaris gila saat tak bisa melihat wanita itu beberapa hari ini.Cukup sudah Nilam meninggalkan dia koma beberapa minggu. Melihatnya kini seperti ini, rasanya ia gagal menjadi suami yang bisa menjaga dirinya. Di sisi lain, sebenarnya, Nilam ingin menolak pelukan pria itu, tapi tangannya masih lemas untuk melakukannya. Anehnya, Nilam merasakan William menangis. “Kenapa kamu menangis, Mas?” Mencoba untuk bisa tetap tersenyum, William pun membalasnya, “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjagamu. Tugasku sebagai suamimu, tidak kulaksanakan dengan baik. Lihatlah dirimu sekarang, tubuhmu penuh luka, mari kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya.” Nilam menggeleng. “Tidak perlu, cukup dirawat dari rumah saja! Aku bosan dengan bau rumah sakit. Biar nanti Mas William memanggil perawat pribadi ke rumah.” “Baiklah.” *****Kini keduanya di dalam kamar.Sebenarnya, bukan kesalahan Nilam jika William putus dengan wanit
Beberapa hari berlalu, kedua pasangan itu masih tampak biasa meski William berkali-kali gagal mendapatkan jatah.Namun, Nilam baru sadar, ia memiliki sopir baru. “Mas, di mana sopir lamaku?” “Sudah kupecat, Sayang,” jawab William ringan. “Kenapa kamu memecatnya tanpa persetujuan dariku, Mas? Apa kamu tidak memikirkan pekerjaan apa yang ia dapatkan sekarang ini, dia akan menjadi pengangguran jika tidak mendapatkan pekerjaan secepatnya?”Dari wajah Nilam, sepertinya ia tidak setuju dengan tindakan William yang egois. Padahal ia merasa pekerjaannya bagus. William yang sudah berada satu mobil bersama Nilam di belakang kursi kemudian menarik dagu istrinya. "Tahu tidak? Gara-gara keteledorannya, kamu sampai disekap oleh Widya. Dia tidak menjagamu dengan baik. Jadi, dia harus mendapatkan hukuman yang seimbang. Ya sudah aku tidak suka kamu membicarakan dia, aku sudah tidak percaya dengan pekerjaannya lagi.” William mengalah karena tidak mau Nilam berlama-lama memasang wajah cemberutnya