MasukAsisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Tamara dapat segera masuk. Walaupun Tamara samar-samar mencium ada yang tidak beres, ia tidak bisa menentukan apa itu. Makanya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.
Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke gedung-gedung pencakar langit lainnya.
Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Tamara berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.
Tamara mengedarkan pandangan sampai akhirnya bertubrukan dengan CEO Cahya.
Dmitri Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.
Dmitri duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang tengah menunggu kudapan makanan untuk disajikan. Di sudut bibirnya tergantung sebatang rokok yang menyala. Mulutnya sesekali mengatup dan terbuka demi menghembuskan asap rokok.
"CEO Cahya."
Ini kali pertama Tamara memasuki ruangan CEO. Sebelumnya ia tidak tahu seperti apa karena tidak ada yang pernah melihat ruangan ini, ataupun berhadapan langsung dengan Dmitri.
Dmitri jarang sekali menampakkan wajahnya. Semua selalu diwakilkan oleh Asisten Ren. Entah itu menerima laporan, rapat, ataupun konferensi besar. Bahkan tak ada media yang berhasil memotret paras Dmitri Cahya yang selalu di agung-agungkan sebagai pria tertampan. Tamara memicingkan mata dan merapatkan bibir. Sungguh, ia tampak tidak bersahabat, sampai-sampai ia membalas tatapan Dmitri yang mengamatinya dengan mata yang terang-terangan terselimuti api kemarahan. Sorot mata gelap Dmitri memberatkan udara di ruangan dan turut membuat suasana di sekitar mereka sarat ketenangan. Ketidakpedulian, kelam menenggelamkan, terpancar samar di balik asap rokoknya, dan menghunus tepat pada Tamara. Bau rokok yang menyebar itu membatasi ruang pernapasan Tamara. Selain itu, nuansa dekorasi hitam yang mengelilinya juga semakin mempersempit ruang gerak. Suasana begitu menyesakkan. Tamara menunggu dan menunggu tanpa hasil. Sepertinya Dmitri tidak akan berkata apa-apa. Haha! Sialan, bukan? Mentang-mentang Bos. Kobaran api amarah menyala-nyala seiring jarum detik berdentang di ruangan ini. Mengetahui Tamara masih harus menurunkan egonya lagi untuk membela diri, jelas memperdalam sakit hatinya. Persetan dengan tekanan ini. "Saya tidak bersalah," Tamara mendeklarasi penuh momentum. Suaranya menembus dinding-dinding kesunyian di sekitar mereka, bergema nyaring. Tamara berdiri tegap dan kaku. Keseriusan terlihat dari cara dia yang tidak mencoba untuk melarikan diri sama sekali ketika sepasang mata kelam itu menyipit. "Saya harap CEO dapat bersikap adil supaya kebenaran tentang penggelapan proyek Haven bisa segera terungkap."Tamara mengangkat dagunya sedikit. Ini adalah cara terakhir mempertahankan harga dirinya yang sudah tak seberapa. "CEO tidak ingin nama perusahaan tercoreng oleh berita yang dibuat-buat, kan,"
Karena kondisi Tamara sudah seperti berada di dasar jurang, dia memutuskan untuk sekalian menghantam kekuasaan di depannya. Dmitri melihat Tamara dengan tajam. "Know your place." "Saya tau dimana saya berpijak. Tapi, sepertinya masih banyak yang tidak mengerti." "...." "Bagaimana rasanya tidak dianggap sebagai pemimpin? Saya penasaran ...." tanya Tamara dengan nada menggantung. Kalimatnya berlumur provokasi. Disaat yang sama, Dmitri bangkit sambil menjatuhkan rokok diselipan jarinya, lalu menginjak rokok itu hingga hancur tak berbentuk. Cahaya di mata Tamara berkilat sekilas. Ia melanjutkan perlahan, "... Melihat karyawanmu bertindak seenaknya di belakang ...."TAP. TAP. TAP. Dmitri mengikis jarak diantara mereka. Asap yang sebelumnya mengebul itu menghilang, ketika Dmitri berjalan menembusnya. Tamara mendongakkan kepala menghadap pria yang kini tiba di hadapannya. Tubuh pria itu tinggi menjulang, membelakangi lampu, hingga Tamara hanya bisa menangkap siluet Dmitri tanpa bisa menerka ekspresinya. Meski begitu, Tamara dengan tak gentar bertanya, "Apa anda tidak punya muka?"SIIIIIING Sunyi datang kembali. Namun tiba-tiba, "Kehh!" Kerah baju Tamara terangkat tinggi. Wajahnya hampir menempel dengan Dmitri. Kedua mata mereka saling berpandangan. Bedanya, yang satu dengan intensitas kekejaman, sementara yang satu lagi bergetar karena tertekan. Dmitri mengeratkan genggamannya. "Urghh!" S-sesak! Ujung kaki Tamara berjinjit dan seluruh beban tubuhnya bertumpu pada tangan Dmitri yang saat ini mencekik kerahnya. Suara serak yang terdengar berat dan sadis itu bergaung di telinga Tamara, "Kau ... pikir kau siapa?" Kegelapan di dasar mata Dmitri semakin meredup. Dia mengayunkan tangannya.BANG! "Aaah!" Tamara terlempar dan terbanting ke lantai dengan keras. "Tuan Muda!" Asisten Ren membuka pintu ruangan dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya panik mengira telah terjadi sesuatu kepada Dmitri. "Anda baik-baik saja?!" seru Asisten Ren sembari melesat ke sisi Dmitri. "Hm." "Tuan Muda serius? Perlu saya panggilkan dokter? Atau lebih baik kita ke rumah sakit saja, biar saya siapkan mobilnya." Asisten Ren mencecar Dmitri seolah-olah buta tentang kehadiran Tamara yang sedang menekuk badan kesakitan di lantai. Tamara menggertakan giginya. "Dmi-" "Bawa dia keluar," potong Dmitri dingin. Asisten Ren menoleh dan langsung tersadar, "Loh? Oh ... Baik." Buru-burulah, Asisten Ren menepuk tangannya untuk memanggil sekuriti yang berjaga di luar ruangan. Tamara belum sempat menstabilkan badannya setelah susah payah berdiri, saat sekuriti dengan tidak sabar berderap dan menyabet lengannya. "Tunggu-!" pekik Tamara. "Lepas!" Tamara memberontak sebisanya. "Dmitri Cahya ...!" Tamara meronta sekuat tenaga. Di kanan dan kirinya, berdiri pria bertubuh kekar yang memegangi lengannya dan menariknya pergi menjauh. Sedangkan Dmitri sendiri tidak lagi menaruh perhatian padanya. Dmitri berputar balik dan menempelkan sebatang rokok baru di bibirnya. Sikapnya memberikan tamparan keras pada Tamara kalau ternyata masalah penggelapan uang ini bukan hal besar bagi Dmitri. Rasa tidak terima dan frustasi memenuhi relung hati Tamara. "Hei! Coba jelaskan apa salahku!" Tamara memberontak hebat. "Jangan kira aku akan diam saja!" "Brengsek kalian semua ...!" "Ck," decakan Dmitri tambah menyulut emosi Tamara. "Hah ... Hahahaha ... Bastard!" tawa Tamara mengejek. Sekuriti berhenti mendadak ketika berada di ambang pintu. Bukan karena mereka tidak tahu jalan, melainkan terpaksa berhenti karena suhu udara tiba-tiba turun drastis sampai membuat bulu kuduk mereka merinding.Tatapan yang sangat dingin dan tanpa perasaan melewati Tamara. Dmitri berpikir, wanita ini tampaknya betul-betul ingin mengakhiri nasibnya disini.
Asisten Ren menunduk seraya bergeser menjauhi Bosnya yang terlihat menakutkan. "You ask for it," Dmitri berkata, "pecat tanpa hormat." "Baik, Tuan Muda," jawab Asisten Ren patuh. Kemudian semua berjalan cepat. Tamara tak lagi melawan saat diseret menuju lobby dasar perusahaan, kemudian di dorong secara kasar ke trotoar. Bisik-bisik mantan koleganya menemani perjalanan Tamara. Tatapan merendahkan, tawa sinis, sampai julukan-julukan menghina merupakan bumbu penyedap alami. Sangat ampuh untuk membuat perasaannya kian masam. Seolah ia penjahat yang diarak-arak demi menjadi pelampiasan semata para penonton. Satu hal yang menyadarkannya. Situasinya tak bisa diubah. 'Tanpa hormat, huh..' Ironis. Apa betul selama ini yang ia terima adalah hormat? Bisa jadi, dibelakangnya selalu cemooh yang ia dapatkan. Tamara menundukkan kepalanya dengan telapak tangan memegangi kening. Wajahnya tertutupi oleh helai-helai rambut yang berjatuhan ke depan. Namun, sinar matanya tetap menyala merah. Dia mengumpulkan barang-barangnya yang berceceran di tanah setelah ikut dilempar oleh sekuriti.Bagai lava yang meletup-letup, setitik kebencian mewarnai hatinya.
Dendam mengulurkan tangannya dengan sukarela. Cakar-cakarnya menggaruk keluar dari bayangan Tamara, memanjat dengan jejak hitam berlumur yang meresapi tubuhnya.
Sedikit, sedikit, cakar itu menanjak makin ke atas, ke samping, merangkul.
Sampailah seluruh cairan hitam pekat itu menyelimutinya.
Bagaikan tenggelam di kedalaman laut, Tamara tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Tidak bisa melawan beratnya massa air. Tidak bisa menggapai cahaya di permukaan.
Dendam mengikat pergelangan kakinya dan menariknya jatuh terperosok. Tawa berat dan mengerikan bersahutan di telinganya.
Dan mungkin, Tamara menyambut hal itu dengan tangan terbuka.
"Suatu saat ... Ah, tidak, tidak, suatu hari ... Um ..." Tamara bergumam selagi berjalan sempoyongan di pinggir trotoar. Tangannya mengepal erat. Kuku-kukunya menancap dalam, melukai dan membuat cairan merah segar mengalir bebas.
Tetesan darah meninggalkan jejak di setiap langkah yang Tamara ambil.
"Aku nggak tau ...." sahut Tamara lirih, diiringi helaan napas frustasi. "Jangan kebanyakan mikir. Kamu mau bertahan hidup atau nggak? Atau kamu mau balik ke rumah orang tua kandungmu?" Tamara spontan mendengus kasar. "Mereka? Selama Velani masih di sana, aku nggak akan pulang."Sebut Tamara iri dengki, berhati sempit, dan lain-lain. Ia tidak peduli. Poin utama yang menghalangi Tamara pulang cuma harga dirinya.Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya tergores ketika suatu saat dia harus mengalah ke Velani, berebut kasih sayang, atau menonton keluarga hangat mereka berinteraksi sedangkan ia terlihat asing berada di sana. Padahal ia-lah anak kandung di rumah itu. Dari sikap Yudhi dan Dahlia, Tamara tahu. Mereka akan selalu berat sebelah ke Velani, meskipun Tamara berusaha sebaik mungkin menjadi putri idaman mereka. Oleh karena itu, pilihannya adalah Tamara atau Velani. Bukan Tamara "dan" Velani. Karena Dahlia dan Yudhi tidak mau melepas Velani, maka Tamara juga tidak mau merendah dem
Dahlia menghembuskan sedikit napas lega. Buru-buru dia menjelaskan, "Dulu saya dan ibu kamu—Em, ibu angkat kamu, melahirkan di rumah sakit yang sama. Lalu, suster yang berjaga di ruangan menaruh bayi di tempat tidur yang salah. Kalian tertukar.""Kami baru tau akhir-akhir ini saat Velani membutuhkan transfusi darah. Maafkan kami karena telah datang terlambat, ya. Membutuhkan waktu yang cukup lama sampai penyelidikan tentang kamu selesai dan kami bisa menjemputmu langsung," sambung Dahlia. Matanya berlumur penyesalan dan kesedihan. Tamara mengernyit. "Penyelidikan soal aku? Jadi, kalian sudah tau semua tentangku?""Iya, Sayang," ujar Dahlia lembut.Kemudian, Dahlia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Tetapi setelah menyadari mereka berada di ruang tamu kos-kosan, Dahlia mengurungkan niatnya. Meski demikian, Dahlia bergerak-gerak resah, seolah ada hal mengganjal yang ingin dia bicarakan.Yudhi tidak memedulikan dimana mereka. Ia mengambil alih pembicaraan dan dengan brutal b
BAM! BAM!"Tamara!"BAM!"Haduhhh kemana perempuan ini," ujar seorang ibu-ibu berambut panjang kuncir kuda dan bertubuh gempal. Urat di pojok keningnya muncul karena kesal tak kunjung menerima jawaban.Telapak tangannya kerap menggedor—atau lebih tepatnya mencoba mendobrak—pintu kosan Tamara dengan menggebu-gebu. Pintu kamar sebelah terbuka, lalu sebuah kepala mumbul di selanya. "Ada apa, sih, Bu?""Eh, Santi. Kamu punya nomornya Tamara nggak? Coba telpon, cepet," suruh Bu Marni.Santi memutar bola matanya malas. "Nanti juga keluar sendiri, Bu. Saya tau, kok. Dia ada di dalam.""Yang bener kamu?""Bener, Bu! Ngapain saya bercanda. Saya selalu stand by di kamar, loh. Semenjak masuk kosan sini dia nggak pernah keliatan lagi."Bu Marni mengehela napas kasar. Kemudian menggedor kembali pintu kamar Tamara. Sedangkan Santi diam-diam menyeringai senang, menunggu drama yang akan datang. "Lagian Tamara emang sombong banget, Bu. Baru pindah tapi ngga pernah nyapa tetangganya sama sekali. Ckck
Asisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Tamara dapat segera masuk. Walaupun Tamara samar-samar mencium ada yang tidak beres, ia tidak bisa menentukan apa itu. Makanya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke gedung-gedung pencakar langit lainnya.Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Tamara berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.Tamara mengedarkan pandangan sampai akhirnya bertubrukan dengan CEO Cahya.Dmitri Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.Dmitri duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang tengah menunggu kudapan
Di tengah dinginnya malam, darah Tamara mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras, membuat baju Tamara sedikit basah. Jari-jari Tamara mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar, darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar dan menetes ke lantai.Amarah, kegugupan, kesedihan, dan ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu."Apa maksud Bapak?!"Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Tamara yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Tamara sebagai bentuk provokasi.Ingin sekali rasanya Tamara mencakar wajah sialan itu!Sayangnya, Tamara tidak punya pilihan lagi, selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya."Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut, kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengka







