Share

Bab 3 - Dendam dan Nasib

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 01:40:47

BAM! BAM!

"Tamara!"

BAM!

"Haduhhh kemana perempuan ini," ujar seorang ibu-ibu berambut panjang kuncir kuda dan bertubuh gempal. Urat di pojok keningnya muncul karena kesal tak kunjung menerima jawaban.

Telapak tangannya kerap menggedor—atau lebih tepatnya mencoba mendobrak—pintu kosan Tamara dengan menggebu-gebu. 

Pintu kamar sebelah terbuka, lalu sebuah kepala mumbul di selanya. "Ada apa, sih, Bu?"

"Eh, Santi. Kamu punya nomornya Tamara nggak? Coba telpon, cepet," suruh Bu Marni.

Santi memutar bola matanya malas. "Nanti juga keluar sendiri, Bu. Saya tau, kok. Dia ada di dalam."

"Yang bener kamu?"

"Bener, Bu! Ngapain saya bercanda. Saya selalu stand by di kamar, loh. Semenjak masuk kosan sini dia nggak pernah keliatan lagi."

Bu Marni mengehela napas kasar. Kemudian menggedor kembali pintu kamar Tamara. Sedangkan Santi diam-diam menyeringai senang, menunggu drama yang akan datang. 

"Lagian Tamara emang sombong banget, Bu. Baru pindah tapi ngga pernah nyapa tetangganya sama sekali. Ckck," terang Santi memanas-manasi Bu Marni. 

Jujur saja, Santi tidak suka Tamara. Sudah gayanya berlebihan, sok cantik, apa pula namanya?! Tamara? Halah. Pengen jadi bule atau gimana.

Masih bagusan juga Santi!

"Jangankan kamu! Saya juga tidak pernah disapa. Meman—Aaaah!"

Bu Marni memekik terkejut ketika Tamara keluar dengan rambut panjang yang tergerai mengaburkan wajahnya. Kedua matanya sayu dan hampa. Dengan kulit pucat dan kurus, Bu Marni hampir mengira dia Kuntilan*k!

"Kemana aja, sih, saya panggilin dari tadi," kata Bu Marni ketus. 

"... Sibuk," balas Tamara dengan suaranya yang serak seakan-akan tenggorokannya tidak pernah terbasuh air.

Yah, sibuk mengurung diri. 

Tamara pikir, meskipun dia harus melunasi hutang penggelapan uang yang dilimpahkan padanya, dia masih punya banyak waktu untuk mencari jalan keluar. Jadi begitu dia pulang ke rumah yang ia beli dengan tangis dan keringat, Tamara langsung beristirahat.

Dia hanya ingin bernapas sejenak.

Namun siapa sangka, besoknya petugas bank datang untuk menyita rumah dan barang-barang berharga lainnya milik Tamara. Semua ludes di tangan mereka. Bahkan, uang tabungannya pun terkuras habis, menyisakan secukupnya untuk biaya hidup dan menyewa kos-kosan sederhana bulan ini. 

Setelah pindah, Tamara lemas. Kemarahannya menguap tergantikan sesak dan belenggu yang perlahan-lahan melilitnya, membuatnya nyaris tak sanggup bangun dari tempat tidur. 

"Sibuk dari mananya, orang pengangguran," cibir Santi sambil tertawa sinis.

Bu Marni melihat Tamara dari atas sampai bawah dari sudut pandangnya sebelum menggeleng-geleng. "Itu orang tuamu dateng nyariin kamu."

Tamara masih bisa terima dibohongi atau ditusuk dari belakang layaknya kejadian kemarin. Sulit, tapi dia bisa menahannya.

Namun kalau sudah menyangkut orang tua, Tamara segera meledak. Rona kemerahan mulai menghiasi wajah pucatnya. Jika sinar mata dapat digunakan sebagai senjata, mungkin punggung Bu Marni yang sedang berlalu itu akan bolong oleh tatapan menusuk Tamara. 

"Maksud Ibu apa? Orang tua saya sudah meninggal!"

Perasaan teredam Tamara kembali bergejolak. Tetapi, percuma ia mengejar-ngejar Bu Marni. Ibu itu sama sekali tidak peduli siapa sepasang orang tua yang saat ini menunggu di ruang tamunya. Lantaran mereka mengaku sebagai keluarga Tamara, mereka adalah masalah Tamara. Bukan dia.

Pada akhirnya Tamara mengikuti Bu Marni ke depan dan bertatap muka dengan orang-orang tersebut. 

Seorang wanita paruh baya bersanggul menyambut kedatangan Tamara dengan tatapan penuh kecemasan. Dari gelagatnya, terlihat sekali dia ingin menghampiri Tamara. Tetapi mungkin ada sesuatu yang menahannya, makanya ia mengurungkan diri dan bertahan di tempat. Hanya memandangi dari kejauhan sembari meremas pelan genggaman tangannya. 

Di sebelahnya, seorang pria tua yang masih terlihat segar untuk usianya, sedang duduk dengan berwibawa. Lengannya menjulur dari belakang punggung sampai ke pundak wanita itu, memeluknya erat dengan upaya untuk menenangkan istrinya. Lain dari kecemasan yang dipancarkan oleh istrinya, pria tua itu memandang Tamara dengan tatapan mendalam dan sulit dibaca. 

Tamara tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Disaat ia menginjakkan kaki di area yang sama dengan kedua orang itu, perasaannya berdesir sekilas. Tetapi setelah mengedip, perasaan itu hilang.

Bu Marni pergi meninggalkan mereka dengan mata memicing yang penuh rasa ingin tahu. Tamara memutar balikkan mata melihat hal itu. Setelah dia duduk, dia ikut menyipit.

"Kalian siapa?" tanyanya tanpa basa-basi. Meski terkesan kurang ajar, ia tidak peduli. Dari sejak mereka mengaku-ngaku orang tuanya, rasa respek Tamara tertendang ke luar jendela. 

Wanita paruh baya itu menarik napas dalam sebelum berujar, "Nak, dengarkan kami baik-baik."

"Kami adalah orang tua kandungmu dan kamu anak bungsu kami yang waktu itu lahir tertukar dengan bayi lain."

"...."

Omong kosong apalagi sekarang ...

Saking tidak masuk akalnya, Tamara cuma mampu berkata, ".... Kedengerannya gila. Kalian mau syuting disini?"

"Mama mengerti ini sulit diterima, tapi-"

"Stop," Tamara menyela dingin, "Jangan sebut Mama. Karena Mama saya sudah tiada."

Wanita paruh baya itu menggigit bibirnya dengan wajah bersalah. Sedangkan suaminya mengerutkan kening tidak suka menyaksikan istrinya bersedih. 

Jika orang lain yang tidak mengenal mereka lewat, mungkin akan terlintas di benak orang tersebut kalau mereka adalah keluarga. Ekspresi bapak itu persis sekali Tamara ketika sedang marah.

"Kamu memang anak kami. Terima kenyataan itu. Kamu akan pulang bersama kami, jadi kemasi barang-barangmu." Sang suami mengambil alih. Titahnya seperti tak terima dibantah.

Sudut bibir Tamara tertarik kecil. "Dan kenapa aku harus menurutimu?"

"Kau tidak punya pilihan lain."

"Berpura-pura jadi orang tua saya saja sudah keterlaluan. Tetapi memerintahku apalagi. Minimal perkenalkan diri kalian, supaya aku tidak memanggil kalian penipu."

"Sepertinya aku harus mengajarimu tata krama," kata sang suami dengan memancarkan aura kekuasaan yang membuat Tamara merasa kecil. Tak ada kehangatan yang bisa ditemukan di tatapannya. 

Tamara melemparkan tatapan tajam, tak mau kalah. "If you can."

Bapak itu menyatukan kedua alisnya. Sesaat sebelum dia meledak, istrinya dengan cepat menahan lengannya dan memintanya sabar dengan pandangan memelas. Mau tidak mau, dia terpaksa menahan diri.

"Nama mama-ah ... saya Dahlia. Hmm ... kalo paman ini Yudhi Wirawan," jelas Dahlia sambil menunjuk Yudhi. 

"Mm," gumam Yudhi, masih dengan kerutan-kerutan di keningnya yang membentuk ombak.

Tamara mendengus. Melanjutkan topik yang sangat menggangunya, "Kenapa saya?"

Kenapa harus dia lagi. Pertanyaannya hanya satu itu saja. 

Apa tahun ini tahun sialnya? 

"Kalian datang dan mengharapkanku menelan mentah-mentah kabar ini, sama saja seperti berharap beruang kutub menyukai musim kemarau."

Alias mustahil.

"Kamu benar." Dahlia mengangguk paham dengan senyum tanpa daya. Tetapi di detik berikutnya, tatapan Dahlia berkelip penuh harap. "Setidaknya, maukah kamu mendengarkan penjelasan kami dulu?"

Tamara mengatupkan rahangnya rapat-rapat, alis bertaut kencang, dan matanya terlihat siaga. 

Mestinya Tamara menolak untuk mendengarkan. 

Mendiang orang tuanya adalah kado terbaik di hidupnya. Walaupun mereka hidup dalam kemiskinan dan kerap kali tidur dalam keadaan lapar, tapi orang tuanya selalu mengusahakan sebisa mereka bila itu menyangkut pendidikan dan kebahagiaan Tamara. 

Keluarga kecil mereka hampir terbebas dari tali kemiskinan ketika ayahnya mendapatkan pekerjaan tetap. Nahas, nasib tetap tak berpihak pada mereka.

Kala itu, ibu Kirana sedang bekerja serabutan menjadi tukang cuci. Pada saat ayahnya menjemput ibu Kirana dari tempat kerjanya, mereka berdua ditabrak oleh mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan. Konon katanya, pengemudi itu tengah dilanda mabuk berat.

Tamara mengepalkan tangannya erat begitu memori pahit itu muncul kembali. Tubuhnya kaku dan tegang. Tatapannya mengeras seiring berjalannya waktu. 

Dahlia menjadi sangat gugup menerima pandangan tak mengenakkan Tamara. Dia beringsut semakin mendekat ke dalam dekapan Yudhi. Sedangkan Yudhi tampak tidak terpengaruh. Malahan, dia merasa kemarahannya menggelegak.

Belum juga mereka membawa Tamara pulang ke rumah, tetapi bocah ini sudah berani menakuti istrinya. Bila Tamara terus seperti ini, Yudhi tak akan segan tuk mendisiplinkannya.

Tamara tidak tahu kalau Yudhi bahkan sudah siap-siap memberinya pelajaran. Padahal sebagai ayah kandung yang baru "reuni" dengan anak gadisnya, bukankah seharusnya dia bersikap hangat dan penuh kasih sayang?

Untungnya, Tamara belum mempertimbangkan sampai situ. Jujur saja, dia masih larut dalam pikirannya. 

Selepas orang tuanya meninggal, Tamara membanting tulang bagai tak kenal hari hanya demi menghidupi dirinya sendiri. Dia bekerja di semua tempat yang berani mempekerjakan seorang gadis ingusan dengan upah yang tak sepadan. 

Dia menangis siang dan malam meratapi nasibnya, tetapi juga memaksa matanya terbuka siang dan malam untuk belajar. Sampai akhirnya dia bisa lulus kuliah, mendapat pekerjaan di kantor bergengsi, dan membangun karir cemerlang. 

Tamara berjuang memperoleh semua itu hingga titik darah penghabisan. Sayangnya, lagi-lagi dia harus kehilangan segalanya. Karir, pekerjaan, rumah, biaya hidup layak, hangus tak bersisa.

Tamara betul-betul nyaris gila. Dia merasa tidak sanggup menerima kabar buruk lainnya bahwa selama ini orang tuanya bukanlah orang tua kandung. 

Tamara masih kesulitan menelan kenyataan memilukan itu dan refleks ingin lari ke kamar. Tetapi mulutnya berkata lain, "Katakan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 5 - Gencatan Senjata dengan Sang Iblis

    "Aku nggak tau ...." sahut Tamara lirih, diiringi helaan napas frustasi. "Jangan kebanyakan mikir. Kamu mau bertahan hidup atau nggak? Atau kamu mau balik ke rumah orang tua kandungmu?" Tamara spontan mendengus kasar. "Mereka? Selama Velani masih di sana, aku nggak akan pulang."Sebut Tamara iri dengki, berhati sempit, dan lain-lain. Ia tidak peduli. Poin utama yang menghalangi Tamara pulang cuma harga dirinya.Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya tergores ketika suatu saat dia harus mengalah ke Velani, berebut kasih sayang, atau menonton keluarga hangat mereka berinteraksi sedangkan ia terlihat asing berada di sana. Padahal ia-lah anak kandung di rumah itu. Dari sikap Yudhi dan Dahlia, Tamara tahu. Mereka akan selalu berat sebelah ke Velani, meskipun Tamara berusaha sebaik mungkin menjadi putri idaman mereka. Oleh karena itu, pilihannya adalah Tamara atau Velani. Bukan Tamara "dan" Velani. Karena Dahlia dan Yudhi tidak mau melepas Velani, maka Tamara juga tidak mau merendah dem

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 4 - Tak Diinginkan

    Dahlia menghembuskan sedikit napas lega. Buru-buru dia menjelaskan, "Dulu saya dan ibu kamu—Em, ibu angkat kamu, melahirkan di rumah sakit yang sama. Lalu, suster yang berjaga di ruangan menaruh bayi di tempat tidur yang salah. Kalian tertukar.""Kami baru tau akhir-akhir ini saat Velani membutuhkan transfusi darah. Maafkan kami karena telah datang terlambat, ya. Membutuhkan waktu yang cukup lama sampai penyelidikan tentang kamu selesai dan kami bisa menjemputmu langsung," sambung Dahlia. Matanya berlumur penyesalan dan kesedihan. Tamara mengernyit. "Penyelidikan soal aku? Jadi, kalian sudah tau semua tentangku?""Iya, Sayang," ujar Dahlia lembut.Kemudian, Dahlia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Tetapi setelah menyadari mereka berada di ruang tamu kos-kosan, Dahlia mengurungkan niatnya. Meski demikian, Dahlia bergerak-gerak resah, seolah ada hal mengganjal yang ingin dia bicarakan.Yudhi tidak memedulikan dimana mereka. Ia mengambil alih pembicaraan dan dengan brutal b

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 3 - Dendam dan Nasib

    BAM! BAM!"Tamara!"BAM!"Haduhhh kemana perempuan ini," ujar seorang ibu-ibu berambut panjang kuncir kuda dan bertubuh gempal. Urat di pojok keningnya muncul karena kesal tak kunjung menerima jawaban.Telapak tangannya kerap menggedor—atau lebih tepatnya mencoba mendobrak—pintu kosan Tamara dengan menggebu-gebu. Pintu kamar sebelah terbuka, lalu sebuah kepala mumbul di selanya. "Ada apa, sih, Bu?""Eh, Santi. Kamu punya nomornya Tamara nggak? Coba telpon, cepet," suruh Bu Marni.Santi memutar bola matanya malas. "Nanti juga keluar sendiri, Bu. Saya tau, kok. Dia ada di dalam.""Yang bener kamu?""Bener, Bu! Ngapain saya bercanda. Saya selalu stand by di kamar, loh. Semenjak masuk kosan sini dia nggak pernah keliatan lagi."Bu Marni mengehela napas kasar. Kemudian menggedor kembali pintu kamar Tamara. Sedangkan Santi diam-diam menyeringai senang, menunggu drama yang akan datang. "Lagian Tamara emang sombong banget, Bu. Baru pindah tapi ngga pernah nyapa tetangganya sama sekali. Ckck

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 2 - Dmitri Cahya

    Asisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Tamara dapat segera masuk. Walaupun Tamara samar-samar mencium ada yang tidak beres, ia tidak bisa menentukan apa itu. Makanya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke gedung-gedung pencakar langit lainnya.Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Tamara berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.Tamara mengedarkan pandangan sampai akhirnya bertubrukan dengan CEO Cahya.Dmitri Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.Dmitri duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang tengah menunggu kudapan

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 1 - Fitnah

    Di tengah dinginnya malam, darah Tamara mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras, membuat baju Tamara sedikit basah. Jari-jari Tamara mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar, darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar dan menetes ke lantai.Amarah, kegugupan, kesedihan, dan ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu."Apa maksud Bapak?!"Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Tamara yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Tamara sebagai bentuk provokasi.Ingin sekali rasanya Tamara mencakar wajah sialan itu!Sayangnya, Tamara tidak punya pilihan lagi, selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya."Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut, kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status