Masuk
Di tengah dinginnya malam, darah Tamara mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras, membuat baju Tamara sedikit basah. Jari-jari Tamara mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar, darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar dan menetes ke lantai.
Amarah, kegugupan, kesedihan, dan ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu.
"Apa maksud Bapak?!"
Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Tamara yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Tamara sebagai bentuk provokasi.
Ingin sekali rasanya Tamara mencakar wajah sialan itu!
Sayangnya, Tamara tidak punya pilihan lagi, selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya.
"Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"
Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut, kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengkan kepalanya dengan pasrah, lalu menatap mata Tamara lekat-lekat.
"Saya, kan, sudah bilang kalau kamu dipecat karna kesalahanmu sendiri. Kenapa nggak percaya, sih?"
"Bagaimana saya bisa percaya?! Kesalahan macam apa yang saya lakukan?!"
Tamara nyaris tertawa kencang-kencang saking marahnya ia terhadap ketidakadilan ini.
Tamara adalah Eksekutif Manajer Keuangan yang mempunyai posisi tertinggi di kantor ini selain CEO yang berada langsung di atasnya. Setiap pekerjaan dilakukan tanpa cela. Dividen yang diterima pemegang saham selalu meningkat, pengeluaran perusahaan pun terkontrol dengan sangat baik. Karyawan-karyawan di kantor juga sangat menghormati Tamara karena mengagumi kinerjanya. Mereka selalu memberikan salam yang terlalu sopan setiap bertemu.
Di mata mereka, Tamara bagikan seorang putri kerajaan yang tidak memiliki satupun kekurangan. Paras wajahnya cantik dan menawan, tetapi tetap lugu seperti gadis polos yang tidak tahu apa-apa.
Dia tinggi dan ramping dengan lekuk badan yang jelas-jelas sangat bagus—terbentuk indah, begitu berisi di tempat yang seharusnya. Rambut hitamnya terlihat berkilauan dikala tergerai panjang. Temperamennya arogan serta perfeksionis, tetapi tidak ada yang menyalahkan hal itu.
Bagaimana tidak?
Pintar dan cantik, tapi tidak arogan. Apa tidak takut diinjak orang-orang?
Tamara yang seperti itu selalu memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya. Apabila orang biasa hanya mengeluarkan 80-100% tenaganya dalam bekerja, maka tenaga yang Tamara keluarkan bisa dikatakan 150-200%.
Ketika para karyawan itu pulang, setiap hari Tamara akan tinggal hingga larut malam untuk mengecek pekerjaan hariannya dan milik bahawannya, memastikan dengan sedetail mungkin apakah ada kesalahan atau tidak.
Setiap saat, akan ada banyak koleganya yang meminta saran ketika mengerjakan sesuatu.
Setiap saat, akan ada dokumen-dokumen yang bukan bagian dari pekerjaannya tetapi harus ia kerjakan semata-mata karena gelar Tamara yang dapat diandalkan.
Setiap saat, ia tampil maksimal ketika meeting diadakan, menuai banyak tepuk tangan dan pengakuan dari pejabat-pejabat perusahaan lainnya.
Jadi, di mana letak kesalahan Tamara?
Mulai dari mana ia salah dan seberapa besar hal tersebut sampai-sampai membuatnya dipecat?
Bapak Wijaya merogoh-rogoh laci mejanya sebelum mengeluarkan setumpuk dokumen dengan stampel "Rahasia" ke atas meja.
"Kemari dan lihat sendiri."
Dengan ekspresi buruk, Tamara melangkah pelan. Ia meraih dokumen-dokumen tersebut dan membacanya perlahan.
Seiring dengan berjalannya waktu, ekspresi Tamara semakin menjadi-jadi. Tangannya bergetar keras, berusaha menahan diri untuk tidak merobek dokumen itu.
Tamara mendengus tak habis pikir, "Heh."
Di dalam setumpuk kertas itu terdapat bukti-bukti penggelapan uang perusahaan yang telah Tamara lakukan. Uang yang dinyatakan "hilang" sudah mencapai satu miliar rupiah.
Perusahaan mengalami kerugian besar. Tidak hanya itu, terdapat pula bukti bahwa Tamara telah berkali-kali melawan atasannya dan menyinggung kolega lain. Hal ini membuktikan karakter Tamara sebagai karyawan yang perlu dievaluasi kembali.
Dalam hati, Tamara melontarkan ratusan hinaan kepada atasan dan kolega yang disebut di dokumen tersebut.
Tamara melawan karena sikap mereka yang kurang ajar! Karyawan laki-laki bajingan yang ingin menyetubuhinya kerap kali datang dan menggangu Tamara. Terang saja ia membela diri.
Permasalahannya adalah hal ini dijadikan bukti karakter Tamara yang harus dievaluasi?
Antara seluruh karyawan perusahaan ini buta, atau memang semua ini hanyalah senjata yang digunakan untuk menghabisi Tamara?
Jawabannya sudah pasti yang terakhir.
Tamara diam-diam berpikir. Otaknya berputar cepat. Tidak cukup untuk membuatnya dipecat hanya karena tuduhan karyawan terhadap dirinya, tuduhan penggelapan uang pun ditambahkan.
Bukti-bukti yang terperinci dan meyakinkan ini tidak mungkin disiapkan dalam waktu singkat. Tanpa perlu berpikir, Tamara sudah tahu bahwa tuduhan ini direkayasa dengan matang oleh pelaku.
Tetapi, siapa?
Melihat Tamara yang terdiam, Bapak Wijaya mengira Tamara ketakutan. Jadi dengan suara yang di buat-buat lembut, ia berkata, "Saya bisa bantu kamu, loh."
Tamara terdiam tak bergerak. Bapak Wijaya tak mau repot-repot menunggu reaksi Tamara dan melanjutkan kata-kata persuasi yang sudah ia siapkan.
"Kamu tau sendiri, kan, penggelapan uang itu nggak gampang. Bukan cuma bakal dipecat, kamu juga bakal dipenjara."
Setelah berkata demikian, Bapak Wijaya menghela napas berat. "Hahh ... Anggap aja kejadian ini sebagai bahan pelajaran, supaya kamu nggak serakah lagi untuk kedepannya. Sayang sekali kalo kamu harus masuk penjara."
"Kamu masih muda dan cantik. Tidak mudah juga untuk sampai ke titik ini. Daripada dipecat dan kehilangan semuanya, bagaimana kalau saya bantu?"
Senyuman aneh muncul di wajah Bapak Wijaya. "Tentu saja kalau saya sendirian nggak akan mampu bantu kamu. Jadi, saya bakal usahain untuk tanya temen-temen lainnya biar bantu kamu juga, ya?"
Sudut bibir Tamara melengkung ke atas. Hati Tamara terbakar dengan amarah, tapi tidak tampak sama sekali di wajahnya.
Haha, lucu sekali.
Tamara bertanya dengan suara kecil, "Bagaimana caranya supaya saya bisa balas kebaikan bapak?"
Wajah Bapak Wijaya langsung berseri-seri. Gadis ini sudah masuk ke perangkap!
"Ahh, itu mah gampang. Karena kamu masih gadis, saya dan yang lain nggak akan minta kamu ngelakuin hal-hal berat. Kamu cuma perlu menemani kita aja setiap malam. Bergantian."
"Menemani?" tanya Tamara.
"Betul. Nggak susah, kan?" balas Bapak Wijaya.
Seketika keheningan memenuhi ruangan. Bapak Wijaya masih beranggapan bahwa Tamara sebentar lagi akan berada dalam genggamannya. Matanya melengkung senang dan mulutnya tak berhenti tersenyum.
Bodohnya, ia terlalu naif.
Tamara mengangkat wajahnya, lalu melemparkan setumpuk dokumen tersebut ke arah Bapak Wijaya. Matanya memerah dan dengan kejam Tamara mengumpat, "Brengs*k!"
Namun, hal ini menjelaskan sesuatu.
Bukan dia pelaku yang memfitnah Tamara. Orang ini hanya peduli dengan nafsu bejatnya saja.
Tamara segera beranjak pergi tanpa menghiraukan ekspresi Bapak Wijaya yang memerah, lalu membiru, menahan amarah.
"Tamara!! Dasar pelacur!! Nggak tau kebaikan diri sendiri!!" maki Bapak Wijaya. Dia menyumpahi lagi, "Bangs*t!"
Bapak Wijaya terus menghujani Tamara dengan berbagai kata hinaan yang tidak bisa lagi terdengar oleh Tamara. Lobi di depan ruangan Bapak Wijaya dipenuhi suara hujatan dan perkataan kasar yang sayangnya tidak seorang pun akan berbaik hati untuk menenangkan Bapak Wijaya.
Tamara bergegas memasuki lift dan menekan tombol lantai tertinggi dimana CEO Cahya berada.
Dibanding menghabiskan waktu berdebat dengan orang yang tidak signifikan, akan lebih baik untuk langsung mendatangi atasan tertinggi dan menjelaskan kesalahpahaman ini.
Saat Tamara tiba di depan ruangan CEO Cahya, ia menemukan Asisten Ren berdiri dengan tenang di depan pintu. Tamara seperti mendapat ilusi kalau Asisten Ren sedang menunggu kedatangannya, yang langsung dihapuskan begitu saja dari pikiran Tamara. Tidak mungkin. Itu pasti cuma halusinasi.
"Halo, Asisten Ren."
Asisten Ren mengangguk, lalu tersenyum. "Eksekutif Manajer Tamara."
Sejenak Tamara tampak menahan diri untuk mengajukan permohonan. Menyadari gerak-gerik tersebut, Asisten Ren segera mengatakan, "CEO Cahya sudah menunggu Eksekutif Manajer Tamara."
Tamara tersentak. "Menunggu?"
Sekali lagi Asisten Ren mengangguk pelan. "Betul. Sepertinya ada yang ingin didiskusikan dengan Eksekutif Manajer Tamara."
"Aku nggak tau ...." sahut Tamara lirih, diiringi helaan napas frustasi. "Jangan kebanyakan mikir. Kamu mau bertahan hidup atau nggak? Atau kamu mau balik ke rumah orang tua kandungmu?" Tamara spontan mendengus kasar. "Mereka? Selama Velani masih di sana, aku nggak akan pulang."Sebut Tamara iri dengki, berhati sempit, dan lain-lain. Ia tidak peduli. Poin utama yang menghalangi Tamara pulang cuma harga dirinya.Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya tergores ketika suatu saat dia harus mengalah ke Velani, berebut kasih sayang, atau menonton keluarga hangat mereka berinteraksi sedangkan ia terlihat asing berada di sana. Padahal ia-lah anak kandung di rumah itu. Dari sikap Yudhi dan Dahlia, Tamara tahu. Mereka akan selalu berat sebelah ke Velani, meskipun Tamara berusaha sebaik mungkin menjadi putri idaman mereka. Oleh karena itu, pilihannya adalah Tamara atau Velani. Bukan Tamara "dan" Velani. Karena Dahlia dan Yudhi tidak mau melepas Velani, maka Tamara juga tidak mau merendah dem
Dahlia menghembuskan sedikit napas lega. Buru-buru dia menjelaskan, "Dulu saya dan ibu kamu—Em, ibu angkat kamu, melahirkan di rumah sakit yang sama. Lalu, suster yang berjaga di ruangan menaruh bayi di tempat tidur yang salah. Kalian tertukar.""Kami baru tau akhir-akhir ini saat Velani membutuhkan transfusi darah. Maafkan kami karena telah datang terlambat, ya. Membutuhkan waktu yang cukup lama sampai penyelidikan tentang kamu selesai dan kami bisa menjemputmu langsung," sambung Dahlia. Matanya berlumur penyesalan dan kesedihan. Tamara mengernyit. "Penyelidikan soal aku? Jadi, kalian sudah tau semua tentangku?""Iya, Sayang," ujar Dahlia lembut.Kemudian, Dahlia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Tetapi setelah menyadari mereka berada di ruang tamu kos-kosan, Dahlia mengurungkan niatnya. Meski demikian, Dahlia bergerak-gerak resah, seolah ada hal mengganjal yang ingin dia bicarakan.Yudhi tidak memedulikan dimana mereka. Ia mengambil alih pembicaraan dan dengan brutal b
BAM! BAM!"Tamara!"BAM!"Haduhhh kemana perempuan ini," ujar seorang ibu-ibu berambut panjang kuncir kuda dan bertubuh gempal. Urat di pojok keningnya muncul karena kesal tak kunjung menerima jawaban.Telapak tangannya kerap menggedor—atau lebih tepatnya mencoba mendobrak—pintu kosan Tamara dengan menggebu-gebu. Pintu kamar sebelah terbuka, lalu sebuah kepala mumbul di selanya. "Ada apa, sih, Bu?""Eh, Santi. Kamu punya nomornya Tamara nggak? Coba telpon, cepet," suruh Bu Marni.Santi memutar bola matanya malas. "Nanti juga keluar sendiri, Bu. Saya tau, kok. Dia ada di dalam.""Yang bener kamu?""Bener, Bu! Ngapain saya bercanda. Saya selalu stand by di kamar, loh. Semenjak masuk kosan sini dia nggak pernah keliatan lagi."Bu Marni mengehela napas kasar. Kemudian menggedor kembali pintu kamar Tamara. Sedangkan Santi diam-diam menyeringai senang, menunggu drama yang akan datang. "Lagian Tamara emang sombong banget, Bu. Baru pindah tapi ngga pernah nyapa tetangganya sama sekali. Ckck
Asisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Tamara dapat segera masuk. Walaupun Tamara samar-samar mencium ada yang tidak beres, ia tidak bisa menentukan apa itu. Makanya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke gedung-gedung pencakar langit lainnya.Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Tamara berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.Tamara mengedarkan pandangan sampai akhirnya bertubrukan dengan CEO Cahya.Dmitri Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.Dmitri duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang tengah menunggu kudapan
Di tengah dinginnya malam, darah Tamara mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras, membuat baju Tamara sedikit basah. Jari-jari Tamara mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar, darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar dan menetes ke lantai.Amarah, kegugupan, kesedihan, dan ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu."Apa maksud Bapak?!"Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Tamara yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Tamara sebagai bentuk provokasi.Ingin sekali rasanya Tamara mencakar wajah sialan itu!Sayangnya, Tamara tidak punya pilihan lagi, selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya."Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut, kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengka







