Seorang gadis memasuki bar tempatnya bekerja. Tubuhnya dibalut kaos ketat merah menyala dan celana pendek sejengkal. Para pria seakan terhipnotis olehnya.
Gadis itu memiliki paras cantik, tinggi 160 cm, kulit mulus serta bongkahan depan dan belakang yang begitu menggoda. Ketika ia mengayunkan rambut panjangnya, aroma manis seolah membius orang-orang di dekatnya.Ia menyilangkan kaki di kursi bar seakan menantang para pria untuk mendekat dan menyentuh paha mulusnya. Gadis itu kemudian menyalakan rokok, mengisap dengan gerakan sensual."Nggak usah sok-sokan memancing hidung belang, Yun!" ujar Rio, bartender sekaligus teman dekat Yuna.Yuna terkekeh. "Lihat muka mereka! Lucu sekali.""Udah, buruan ganti baju kerja!""Iya, iya. Cuma merokok sebentar aja bawel amat!"Yuna berlenggak-lenggok genit di depan deretan anak muda yang duduk di dekat pintu ruangan karyawan. Ia mengedipkan sebelah mata kepada mereka, yang dibalas oleh seruan dan siulan."Kamu ke mana saja telat dua menit?!" Wanita paruh baya memukul kepala Yuna sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan."Aduh! Maaf, Bu Ratna yang paling cantik! Nanti aku pulangnya ditambah lima menit, deh.""Apa-apaan itu bajumu! Tiap hari makin kurang bahan saja!" ujar wanita lain yang sibuk mencuci alat-alat makan. "Cepat pakai celemekmu!"Yuna Melissa, usia dua puluh tahun, bekerja sebagai koki di sebuah bar hotel bintang lima. Para pengunjung sering salah mengira ia sebagai salah satu wanita tunasusila.Hotel Laisa, bukan sembarang hotel saja. Selain menyewakan kamar dan membuka bar diskotik, pihak hotel juga menyediakan jasa kupu-kupu malam. Tentu saja, mereka memiliki izin yang sah, sehingga banyak pengunjung setiap harinya.Bukan hanya para hidung belang biasa, banyak pula pejabat dan tokoh besar diam-diam mengunjungi Hotel Laisa. Tepatnya, di lantai teratas sekaligus lantai VVIP, para elit sering mengadakan pesta."Yuna! Ayo ikut ke atas!" Riana tiba-tiba melesat masuk lalu mencuri beberapa potong makanan."Jangan diambil semua!" hardik Yuna."Iya, iya, pelit sekali sih! Kapan kamu mau ke atas, Yun?"Sudah dua tahun sejak Yuna bekerja, Riana yang juga teman dari SMA, tidak lelah membujuk Yuna untuk terjun ke dunia yang sama dengannya. Dan Yuna juga tak pernah bosan menolak rayuan temannya itu.Meskipun sering berperilaku genit pada para pria, Yuna tidak sekali pun ingin menjual diri. Dan walau ingin sekali segera mendapat uang banyak untuk melanjutkan kuliah, ia tidak sudi disentuh para pria hidung belang itu."Nope! Nggak minat. Kamu aja yang kerja keras. Nanti aku tinggal minta traktiran!" Yuna meringis memamerkan gigi putih nan rapi."Yee, enak aja! Udah ah, balik ke atas. Aku cuma mau lihat Rio sebentar."Rio si bartender juga satu sekolah dengan mereka dulu. Sudah tiga tahun Riana menyukai Rio, tapi ia tidak pernah berani mengungkap perasaannya. Terlebih lagi, setelah Riana terpaksa jadi kupu-kupu malam, ia merasa tak pantas bersanding dengan pemuda itu."Ckckck. Nyosor Om Om berani, giliran sama Rio ngomong langsung aja gemetaran," ejek Yuna."Terserah, bodo amat." Riana pun berlalu.Jam 10 malam, Yuna beristirahat sebentar. Ia ke depan meja bartender menemani Rio melayani tamu. Tidak lupa melancarkan godaan mematikan kepada para pria di sana."Aku tadi lihat Riana ke sini," tutur Rio."Iya, nyariin kamu tuh. Diajak kencan buruan!"Rio tidak menjawab."Ahhh...." Mendadak Yuna mengerang. Sesuatu menggelitik dalam celananya.Rio menggeleng-geleng melihat tingkah temannya. "Dasar gila."Tapi tidak untuk para pria di sekitarnya. Jakun mereka naik turun meneguk saliva. Desahan Yuna menggelitik kejantanan mereka.Yuna masih mengerang sembari memasukkan tangan di kantong celana. Jemarinya bergeliat seolah sedang memainkan miliknya sendiri.Erangan Yuna berhenti ketika ia berhasil mengeluarkan ponsel yang sesak di saku celana. Tampak wajah-wajah kecewa dari para pria ketika Yuna berlari keluar."Halo," sapa Yuna.Suara wanita asing menyapa. Wanita itu dengan ramah bertanya, "Benar dengan Yuna Melissa?""Iya, saya sendiri. Ada apa ya?""Saya dari Rumah Sakit Putra Jawara, ingin menginformasikan bahwa Saudari Yuni Lusiana baru saja mengalami kecelakaan dan membutuhkan izin keluarga untuk operasi secepatnya.""A-Apa? Kecelakaan? Dan operasi apa?""Kalau bisa Kak Yuna datang sekarang. Kami akan menjelaskan detailnya langsung."***"Gimana adik saya, Dok?"Dokter itu memperlihatkan hasil pemeriksaan kepala Yuni. Yuna tidak begitu mengerti istilah-istilah yang dibeberkan sang dokter. Namun ia paham, adiknya tidak dalam kondisi yang baik."Bisa dilihat dari hasil CT Scan dan MRI, ada cedera di tulang tengkorak dan pendarahan di otak pasien. Dan pasien membutuhkan operasi kraniotomi traumatik secepatnya.""Kira-kira berapa biayanya, Dok?" tanya Yuna gugup."Seratus lima puluh juta, belum termasuk biaya pasca operasi. Sayangnya, operasi kepala akibat kecelakaan tidak ditanggung asuransi."Mulut Yuna terbuka lebar. "Lalu, gimana kalau nggak dioperasi, Dok?"Sang dokter menunjuk layar monitor. "Di bagian ini, ada benda asing masuk ke otak pasien. Jika tidak segera dikeluarkan, akan membahayakan nyawa pasien.""Paling lama kapan operasinya, Dok?""Semakin lama ditunda maka semakin fatal akibatnya."Yuna menggigit-gigit bibir bawahnya. Dalam hati menghitung uang dalam tabungan. Tetap saja, ia tidak mungkin memiliki uang sebanyak itu!"Dok, apa pembayarannya harus dibayar sekaligus? Kami sudah nggak memiliki orang tua yang membiayai hidup kami. Kalau dicicil boleh, Dok?"Dokter berusia awal tiga puluh tahunan itu tersenyum ramah. "Coba Mbak Yuna tanya ke bagian administrasi. Ada beberapa pasien yang diperbolehkan mencicil pembayaran."Yuna menuruti saran dokter itu. Namun pihak rumah sakit tidak lagi mengizinkan cicilan pembayaran karena banyaknya pasien yang kabur dan tidak membayar kewajiban. Akibatnya, rumah sakit cukup banyak mengalami kerugian."Saya mohon, Kak. Adik saya harus segera dioperasi," pinta Yuna."Maaf, Kak. Kakak hanya bisa mengajukan cicilan pembayaran apabila Kakak memberi jaminan kepada kami. Seperti sertifikat tanah atau kendaraan."'Sial, ini rumah sakit atau rentenir,' maki Yuna dalam hati.Yuna berjalan lesu ke arah ruang perawatan Yuni. Hatinya teriris-iris melihat luka di sekujur tubuh adiknya yang sedang dalam keadaan koma."Sudah Kakak bilang, kalau mau mengerjakan tugas sekolah jangan malam-malam," gumam Yuna dari balik kaca penyekat.Melihat kondisi adik sekaligus keluarga satu-satunya yang ia miliki, Yuna membuang malu dan harga diri untuk meminta bantuan kepada Riana. Namun sayang, meskipun dibayar cukup mahal, Riana tidak memiliki uang sebanyak itu."Aku cuma ada lima puluh juta sekarang. Kalau mau pinjam aku transfer sekarang, Yun.""Serius? Tapi gimana nanti dengan biaya pengobatan ibumu?" Riana diam."Aku akan cari bantuan lain dulu, Ri.""Tunggu, Yun, jangan ditutup dulu teleponnya."Setelah menunggu beberapa menit, suara Riana terdengar lagi dari telepon. "Maaf lama. Aku baru saja ditanya Mami barusan.""Mami?""Ya, Mami Maria. Uhm, Yun, aku biasanya cuma iseng nawarin kamu. Tapi kali ini, aku serius tanya, apa kamu nggak mau cobain?""Coba apa?""Jadi kupu-kupu malam.""Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga