Mawar Merah
“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.
Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.
Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.
Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…
Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…
Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan
Kejutan Pahit“Anda Milly Kincaid?” tanya Thomas yang berjaga di pintu ruang kerja Axton.Milly yang tampak ling lung akibat tidak terbiasa dengan luasnya setiap area di gedung ini lantas menatap Thomas. Ia tadi diperintahkan untuk menuju ke lantai ini. Tepatnya lantai 30. Semburat senyum tipis dipamerkannya.“Kau teman Andez?”Thomas berdeham ketika meneliti penampilan Milly dari atas sampai bawah secara terang-terangan. Gadis itu mengenakan dress peach tanpa lengan namun panjangnya melewati lutut. Juga sepatu converse. Padanan yang cukup aneh. Terlebih masker bunga-bunga yang menutupi sebagian wajah gadis itu.“Saya bukan teman Tuan Andez.”“Lalu?”“Anda tidak perlu tahu siapa saya. Mari saya antarkan anda bertemu dengan Tuan Ax. Karena Tuan Ax sudah menunggu anda sejak tadi.”
Kehancuran Menyakitkan“Turunkan aku!” jerit Milly meronta memukul punggung Axton ketika lelaki berjalan membawanya menuju kamar rahasia di ruangan kerjanya.Milly tadi sempat ingin melarikan diri lewat jendela kerja Axton. Berniat menghancurkannya, namun batal sebab ia menjadi tertegun selama beberapa detik waktu sadar ketinggian di bawah sana. Lalu sebelum ia menghindar lebih lanjut, Axton telah lebih dulu mengangkat tubuhnya.“Ah,” ringis Milly ketika Axton melemparnya di ranjang. Tubuhnya terbanting di sana dan kepalanya terasa pening. Sementara ia mengumpulkan kesadarannya sejenak, Axton tiba-tiba menarik kakinya membuat ia meluncur ke bawah.“Apa yang kau lakukan?!” pekik Milly histeris. Apalagi saat Axton mulai merangkak ke atasnya, menangkap kedua tangannya, mengikatnya dengan dasi yang sebelumnya diambil di atas nakas.“Menurutmu?” Axton bertanya balik di sela giginya yang menarik kencang simpu
Rencana LicikMalam harinya, Milly terbangun. Ia tadi tertidur pulas karena kelelahan. Tangannya memegang kepalanya dan menatap sekitar. Bola matanya terbelalak, memandang nuansa ruangan itu yang berwarna hitam dan abu-abu.Segera ia menatap tubuhnya. Terdapat selimut yang membungkus namun dibaliknya ia tidak terhalang oleh apapun. Ia ingat jelas apa yang dilakukan Axton padanya.Lelaki itu…Lelaki itu mengoyak seluruh pakaiannya. Tidak ada yang tersisa.Lalu… mereka bercinta dengan liar dan panas.Tidak ingin mengingat hal menjijikan itu lagi, lekas ia melangkah turun. Terseok-seok karena merasa nyeri dan perih di pangkal pahanya. Kemudian menuju lemari pakaian yang dilihatnya. Dengan lancang ia membukanya. Ketika menemukan beberapa kemeja di sana, bergegas ia mengenakannya.Tapi matanya tiba-tiba berhenti ketika menangkap pantulannya di
Surat KabarKeesokan paginya Fernandez mengumpat, “Sial.” Ia memandang Axton yang tengah memegang koran—atau surat kabar—yang digulung. Ia tidak percaya bahwa ia akan ikut serta ke dalam rencana akal bulus Axton demi menyembunyikan Milly dari Elena.“Ini akan berhasil. Percaya padaku.” Axton menepuk sekilas pundak Fernandez, sementara Fernandez mulai mengetuk pintu apartemen sederhana Elena.“Elena. Ini aku.”“Tidak. Aku tidak ingin melihatmu Andez!” balas Elena dari dalam apartemen. Membuat Fernandez menyandarkan dahinya di pintu. Terlihat mengerang frustasi.“Kau membuat marah kekasihmu?”Fernandez mengabaikan pertanyaan Axton. Ia kembali berkata dengan tenang kepada Elena dari balik pintu. “Jika kau tidak membuka, jangan salahkan aku kalau aku mendobrak pintumu.”“Dan jika i
PemakamanSiang hari itu suasana berkabung begitu terasa. Walau hanya dihadiri oleh beberapa orang saja seperti teman kerja Milly. Juga tetangganya. Salah satunya Rachel. Wanita tua itu mengenakan kaca mata hitam, terus mengelap hidungnya menggunakan tisu disertai isakan.“Oh, Milly…” racaunya masih tidak menyangka.Elena yang berada di sebelah wanita tua itu hanya bisa mengusap lengan, berharap dapat memberikan kekuatan. “Bibi…”“Ia tidak seharusnya mengalami hal buruk seperti ini….” Rachel perlahan bersimpuh dan mengusap nisan yang bertuliskan nama Milly Kincaid. Ia merasa seakan mengulang peristiwa yang sama.Pasalnya beberapa bulan lalu, ia juga menghadiri pemakaman serupa. Bersama Clara, menangisi gadis belia yang tidak seharusnya merasakan segala hal mengerikan itu seorang diri hingga berujung pada kematian tragis.
Aksi Perlawanan“Lepaskan aku!” jerit Milly meronta, berusaha lepas dari cekalan kedua bodyguard Axton. Gaun pengantin sangat elegan melekat di tubuhnya, tapi terasa tipis. Bahunya terekspos. Segala pernak-pernik seperti anting-anting dan kalung mahal nan berkilau menghiasi dirinya. Sebuah veil pengantin terkait di belakang rambutnya.“Aku bilang lepaskan aku!” Kembali Milly berontak disertai jeritan histeris. Tidak ada make up terpoles di wajahnya. Bahkan semua yang dikenakannya saat ini adalah paksaan para pelayan Axton.Sementara Axton berjalan lebih dulu di helipad—landasan untuk helikopter—yang luas itu dengan kemeja putih dibalut setelan jas hitam, lengkap dengan celananya. Bunga kecil tersemat di sisi dadanya. Rambut yang tertata rapi sangat serasi, membuat penampilannya terkesan formal.Semilir angin malam berhembus di sekitar, menciptakan hawa dingin samar. Pintu heliko
Sumpah PernikahanBerkali-kali Marcus membuang nafas. Ia menutup matanya sejenak. Ketika terbuka ia menatap Axton yang ternyata sedang menatapnya.Dan bunyi pelatuk selalu bersiap ditarik Thomas untuk menembak isi kepala Marcus tanpa tedeng aling-aling. Tidak merasa ragu barang secuil pun, membuat Marcus menyerah.“Baiklah.”Detik berikutnya Marcus mulai mengutarakan hal yang biasa ia lakukan untuk memastikan keyakinan sepasang suami istri kala mengikat sebuah janji di pernikahan. Pria tua itu menatap Axton yang terarah lurus memandang Milly karena gadis itu menunduk, terus meneteskan air mata.“Axton Bardrolf, bersediakah kau menerima wanita ini sebagai istrimu? Menjaganya dalam keadaan sakit maupun sehat, serta dalam keadaan susah maupun senang sampai mau memisahkan?”Pertanyaan Marcus itu dijawab Axton dengan santai tanpa beban. Tatapannya terus
Kemenangan KecilAlunan musik panas mengalun mengisi ruangan itu, sedangkan Axton tengah duduk di sofa dengan satu tangan yang terentang di sandaran. Mengamati Milly yang berputar ragu-ragu, memegang tiang dansa. Jubah transparannya telah tergeletak di bawah, tidak jauh dari posisi Milly.Maddie dan anak buahnya sudah berlalu hingga hanya Axton yang berada di tempat ini. Lelaki itu terlihat santai memegang gelas kaca berisi cairan sampanye, menenggaknya sesekali.Ujung bibir Axton tertarik ke atas. Mulutnya berada di bibir gelas lekas ia jauhkan, tidak jadi meneguk lagi ketika menonton Milly mengalungkan kedua tangannya di tiang dansa dari belakang. Axton melirikkan matanya ke arah layar TV dimana Clara yang notebene adalah Ibu Milly itu memulai gerakan selanjutnya. Gerakan yang cukup menggundang hasrat para penonton.Clara melepas branya, melempar ke arah penonton dan memamerkan senyum sensual. Sorakan riuh dari