Share

Part 6

"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."

Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. 

"Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati.

"Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."

Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. 

Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. 

Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga sudah cukup sakit hati dengan fitnah yang tidak berdasar. Dia yakin bahwa masih ada tempat lain yang bisa menghargai kerja kerasnya. 

Sementara itu, Ava tidak banyak berkomentar untuk saat ini. Ziyan berharap semoga istrinya tersebut bisa lebih memahaminya.

Saat sudah sampai di rumah, Ziyan mendapat telepon dari ibunya.

"Halo, Bu." Ziyan menyapa dengan hangat. 

Ava yang mendengar itu membiarkab keduanya berbicara. Dia memilih untuk mengistirahatkan diri di kamar. Sementara Ziyan berada di ruang tamu dan masih berbicara dengan ibunya.

"Main ke rumah Ibu?" Dia sedikit mengecilkan suara. Entah mengapa Ziyan merasa bahwa hal ini tidak tepat untuk didengar Ava. "Ada apa, Bu?"

Terdengar sahutan dari seberang telepon. "Ada apa kamu bilang? Nak, udah berapa lama kamu nggak pulang ke rumah Ibu? Apa kamu nggak kangen sama orangtuamu?"

Tanpa diutarakan secara terus terang, Ziyan tahu maksud sesungguhnya dari permintaan sang ibu. 

"Iya, Bu. Maaf soal itu. Nanti aku coba bilang ke Ava, ya." Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurut.

"Nah, istrimu juga! Kenapa susah banget dihubungi, sih? Kalian baik-baik aja, 'kan?"

"Baik-baik aja, kok, Bu."

"Ya udah kalau begitu. Ibu harap secepatnya kamu datang ke sini."

Panggilan terputus setelah keduanya mengucapkan salam. 

Ziyan masuk ke kamar dan istrinya tengah duduk di depan meja rias--rutinitas memakai produk perawatan kulit. 

"Ibu ngomong apa, Mas?" 

Tidak langsung menjawab, Ziyan beringsut ke kasur. Merilekskan tubuhnya yang sedikit kaku. "Ibu minta kita main ke rumah."

Krim malam yang semula di tangannya mendadak terlepas ke atas meja. Bunyi yang sedikit nyaring membuat sang suami sedikit berjingit kaget.

"Pasti mau tanya anak, 'kan?" 

Nada suara yang ketus itu lantas membuat Ziyan menghela napas panjang. Ini dia masalahnya. Kedua wanita yang sangat dicintainya itu selalu sensitif tentang masalah anak.

Benar, ibunya Ziyan sudah lama menginginkan cucu. Meski notabene sudah memiliki cucu dari pihak kakaknya, tetap saja yang menjadi alasan adalah karena Ziyan anak bungsu yang sangat dinantikan keturunannya. Memang sedikit tidak masuk akal, karena sejak pernikahannya, persoalan anak sudah dibicarakan. Mereka berniat menunda momongan sampai kondisi finansial yang stabil. 

Ava mengubah posisi duduknya yang semula menghadap cermin, kini beralih ke Ziyan. "Mas! Bilangin, dong, ke ibumu. Jangan maksa-maksa terus." 

"Ibu nggak bilang gitu, kok, Va. Ibu cum minta kita main karena udah lama nggak kesana. Jangan berprasangka dulu lah." Ziyan mencoba untuk bersikap netral. Sialnya, bagian ini yang paling sulit dilakukan.

"Halah! Nggak percaya aku, Mas! Memangnya pernah ibu kamu nyuruh kita datang selain menginterogasi 'kapan punya anak?' terus bandingin kita sama saudaramu itu?" Ava mulai terbawa emosi. Jika sudah menyinggung tentang anak dan perbandingan ibu mertua dengan keluarga kakaknya Ziyan, ubun-ubunnya terasa panas.

Ziyan pikir malam ini akan sedikit lebih tenang. Selesai masalah satu, ternyata ada masalah lain yang mengntre. Menghela napas saja rasanya tidak cukup untuk menjelaskan betapa sesaknya fia saat ini.

"Va, please. Kita datang aja dulu. Barangkali emang ibu dan bapak kangen sama kita."

"Kangen buat menyudutkan  mantunya, sih, iya!"

***

Besok lusa adalah akhir pekan dan Ziyan memutuskan untuk datang di hari itu. Ava sudah berulang kali memberi alasan untuk tidak mau datang, tetapi jika sudah menyangkut sang ibu memang sulit untuk dikibuli. 

"Aku malas, Ma. Malas berdebat sama ibunya Ziyan!" Ava menangkup dagunya dengan satu tangan. 

"Tapi, yang dibilang Ziyan bisa aja benar, 'kan? Cuma pengin lihat kalian aja." Jema menanggapinya dengan santai. Curhatan ini tidak sekaki atau dua kali dia dengar. Ava memang sefrustrasi itu jika sudah menyangkut ibu mertua.

"Kamu kayak nggak kenal ibunya Ziyan aja, sih, Ma. Lebih cerewet daripada tukang sales!"

"Hush! Nggak boleh ngomong gitu. Mau gimanapun juga, beliau ibu mertua kamu, Va."

"Kamu, mah, nggak bakal ngerti posisi aku, Va. Lagian emang kamu juga nggak berniat punya ibu mertua, 'kan?"

Jema hanya menghela napas. Jika jawabannya sudah seperti itu, dia tidak bisa bicara banyak.

Kebiasaan Ava memang begitu. Jika tidak mendapat saran atau tanggapan yang sekiranya mendukung dia, wanita itu akan membalas dengan ungkapan bahwa orang lain tidak akan mengerti dirinya, tidak ada yang paham posisinya dan menjadikan dirinya seakan yang paling menderita.

Memang, Jema tidak tahu rasanya punya ibu mertua yang cerewet. Tidak pernah mendengar saudara atau orang terdekat menagih keturunan darinya, konflik antara keluarga suami, dan masih banyak lagi. Dia tidak atau mungkin belum merasakannya, akan tetapi kenapa Ava menjadikannya tempat curhat untuk segala keruwetan rumahtangga? 

Kalau memang Ava tahu bahwa Jema tidak akan mengerti, kenapa tidak konsultasi ke ahlinya saja? 

Terkadang, di situlah rasa malas Jema menyerang ketika sahabatnya mulai bercerita. 

Namun, di sisi lain juga Jema sadar bahwa Ava tidak selalu mengingknkan solusi dalam masalahnya. Wanita itu lebih sering ingin didengar dibanding hal yang lain.

"Kalau aja ada yang mau tukar posisi sama aku, Ma." Ava melipat lengan di atas meja dan membiarkan kepalanya beristirahat di sana. 

"Tukar posisi?"

"Iya. Seseorang gantiin aku. Aku muak terus berada di situasi kayak gini."

Jema menatap lekat sahabatnya yang lesu itu. "Kalau beneran ada yang mau, kamu nggak keberatan  sama sekali?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status